MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 08 Januari 2018

KAJIAN FIQIH FATHUL QORIB BAB IDDAH



*بسم الله الرحمن الرحيم*

*السلام عليكم ورحمة الله وبركاته*

*BAB ‘IDDAH*

(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْعِدَّةِ وَأَنْوَاعِ الْمُعْتَدَّةِ

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ‘iddah dan macam-macam mu’taddah (wanita yang menjalankan ‘iddah).

وَهِيَ لُغَةً الْاِسْمُ مِنْ اعْتَدَّ

‘Iddah secara bahasa adalah kalimat isim dari fi’il madli “i’tadda.”

وَشَرْعًا تَرَبُّصُ الْمَرْأَةِ مُدَّةً يُعْرَفُ فِيْهَا بَرَاءَةُ رَحْمِهَا بِأَقْرَاءٍ أَوْ أَشْهُرٍ أَوْ وَضْعِ حَمْلٍ

Dan secara syara’ adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan.

*Macam-Macam Mu’taddah (Wanita Yang Menjalankan ‘Iddah)*

(وَالْمُعْتَدَّةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ مُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا (وَغَيْرُ مُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا

Wanita mu’taddah ada dua macam, yaitu mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha (yang ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha (yang tidak ditinggal mati suami).

*Mu’taddah Mutawaffa ‘Anha Zaujuha*

فَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا)إِنْ كَانَتْ) حُرَّةً (حَامِلًا فَعِدَّتُهَا) عَنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا (بِوَضْعِ الْحَمْلِ) كُلِّهِ حَتَّى ثَانِيَ تَوْأَمَيْنِ مَعَ إِمْكَانِ نِسْبَةِ الْحَمْلِ لِلْمَيِّتِ وَلَوْ احْتِمَالًا كَمَنْفِيٍّ بِلِعَانٍ

Untuk mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha, jika berstatus merdeka dan sedang hamil, maka ‘iddahnya sebab wafatnya sang suami adalah dengan melahirkan kandungan secara utuh hingga kandungan yang berupa dua anak kembar dengan syarat dimungkinkan nasab sang anak bersambung pada suami yang meninggal dunia walaupun hanya kemungkinan saja seperti anak yang dinafikan dengan sumpah li’an.

فَلَوْ مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُوْلَدُ لِمِثْلِهِ عَنْ حَامِلٍ فَعِدَّتُهَا بِالْأَشْهُرِ لَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ

Sehingga, seandainya ada anak kecil meninggal dunia yang tidak mungkin bisa memiliki keturunan dan meninggalkan istri yang sedang hamil, maka ‘iddahnya sang istri adalah dengan melewati beberapa bulan, tidak dengan melahirkan kandungan.

(وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَعِدَّتُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ) مِنَ الْأَيَّامِ بِلَيَالِيْهَا

Jika mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sepuluh malam.

وَتُعْتَبَرُ الْأَشْهُرُ بِالْأَهِلَّةِ مَا أَمْكَنَ وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا

Empat bulan tersebut dihitung sesuai dengan perhitungan tanggalan yang memungkinkan, dan untuk tanggal bulan yang tidak utuh, maka disempurnakan menjadi tiga puluh hari.

*Mu’taddah Ghairu Mutawaffa ‘Anha Zaujuha*

(وَغَيْرُ الْمُتَوْفَى عَنْهَا) زَوْجُهَا (إِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَعِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ) الْمَنْسُوْبِ لِصَاحِبِ الْعِدَّةِ.

Untuk mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan yang bisa dihubungkan nasabnya pada suami yang memiliki ‘iddah tersebut.

(وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا وَهِيَ مِنْ ذَوَاتِ) أَيْ صَوَاحِبِ (الْحَيْضِ فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ قُرُوْءٍ وَهِيَ الْأَطْهَارُ)

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuhaitu tidak dalam keadaan hamil dan ia termasuk golongan wanita yang memiliki / memungkinkan haidl, maka ‘iddahnya adalah tiga kali aqra’, yaitu tiga kali suci.

وَإِنْ طُلِقَتْ طَاهِرًا بِأَنْ بَقِيَ مِنْ زَمَنِ طُهْرِهَا بَقِيَّةٌ بَعْدَ طَلَاقِهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالطَّعْنِ فِيْ حَيْضَةٍ ثَالِثَةٍ

Jika ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan arti setelah tertalak masih berada dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ketiga.

أَوْ طُلِقَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِطَعْنِهَا فِيْ حَيْضَةٍ رَابِعَةٍ

Atau tertalak saat dalam keadaan haidl atau nifas, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ke empat.

وَمَا بَقِيَ مِنْ حَيْضِهَا لَا يُحْسَبُ قُرْأً

Sedangkan sisa masa haidlnya tidak terhitung masa suci.

(وَإِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْمُعْتَدَّةُ (صَغِيْرَةً) أَوْ كَبِيْرَةً لَمْ تَحِضْ أَصْلًا وَلَمْ تَبْلُغْ سِنَّ الْيَأْسِ أَوْ كَانَتْ مُتَحَيِّرَةً (أَوْ آيِسَةً فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ) هِلَالِيَّةٍ إِنِ انْطَبَقَ طَلَاقُهَا عَلَى أَوَّلِ الشَّهْرِ

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha tersebut masih kecil atau sudah besar dan sama sekali belum pernah haidl dan belum mencapai usiaya’si (monupause), atau dia adalah wanita yang sedang mengalami mutahayyirah (bingung akan haidl dan sucinya) atau sudah mencapai usia monupause, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai tanggal jika talaknya bertepatan dengan awal bulan.

فَإِنْ طُلِقَتْ فِيْ أَثْنَاءِ شَهْرٍ فَبَعْدَهُ هِلَالَانِ وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ

Sehingga, jika ia tertalak di tengah bulan, maka ‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah bulan yang tidak utuh disempurnakan menjadi tiga puluh hari dari bulan ke empat.

فَإِنْ حَاضَتِ الْمُعْتَدَةُ فِيْ الْأَشْهُرِ وَجَبَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِالْأَقْرَاءِ

Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha -yang telah disebutkan ini- mengalami haidl di saat menjalankan ‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi dia melakukan ‘iddah dengan penghitungan masa suci.

أَوْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَشْهُرِ لَمْ تَجِبِ الْأَقْرَاءُ.

Atau mengalami haidl setelah selesai menjalankan ‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan ‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci.

(وَالْمُطَلَّقَةُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا)

Wanita yang tertalak sebelum sempat dijima’, maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita tersebut.

سَوَاءٌ بَاشَرَهَا الزَّوْجُ فِيْمَا دُوْنَ الْفَرْجِ أَمْ لاَ

Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan dengannya selain pada bagian farji ataupun tidak.

*‘Iddahnya Budak Wanita*

(وَعِدَّةُ الْأَمَّةِ) الْحَامِلِ إِذَا طُلِّقَتْ طَلَاقًا رَجْعِيًّا أَوْ بَائِنًا (بِالْحَمْلِ) أَيْ بِوَضْعِهِ بِشَرْطِ نِسْبَتِهِ إِلَى صَاحِبِ الْعِدَّةِ

‘Iddahnya budak wanita yang sedang hamil ketika tertalak raj’i atau ba’in adalah dengan melahirkan kandungan dengan syarat anak tersebut bisa dihubungkan nasabnya pada lelaki yang memiliki ‘iddahnya (suami yang mentalak).

وَقَوْلُهُ (كَعِدَّةِ الْحُرَّةِ) الْحَامِلِ أَيْ فِيْ جَمِيْعِ مَا سَبَقَ

Ungkapan mushannif “seperti ‘iddahnya wanita merdeka yang sedang hamil” maksudnya di dalam semua hukum yang telah dijelaskan di depan.

(وَبِالْأَقْرَاءِ أَنْ تَعْتَدَّ بِقُرْأَيْنِ)

Dan jika ‘iddah dengan beberapa masa suci, maka budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan dua kali masa suci.

وَالْمُبَعَّضَةُ وَالْمُكَاتَبَةُ وَأُمُّ الْوَلَدِ كَالْأَمَّةِ.

Budak wanita muba’adl, mukatab, dan ummu walad hukumnya seperti budak wanita yang murni.

(وَبِالشُّهُوْرِ عَنِ الْوَفَاةِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرَينِ وَخَمْسِ لَيَالٍ

Jika budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan penghitungan bulan sebab ditinggal mati suami, maka ‘iddahnya dengan dua bulan lima hari.

وَ) عِدَّتُهَا (عَنِ الطَّلَاقِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرٍ وَ نِصْفٍ) عَلَى النِّصْفِ

‘Iddahnya budak wanita sebab talak adalah ‘iddah dengan satu bulan setengah, yaitu separuh dari ‘iddahnya wanita merdeka.

وَفِيْ قَوْلٍ شَهْرَانِ وَكَلَامُ الْغَزَالِيِّ يَقْتَضِيْ تَرْجِيْحَهُ

Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah dua bulan, dan ungkapan imam al Ghazali menetapkan keunggulan pendapat ini.

وَأَمَّاالْمُصَنِّفُ فَجَعَلَهُ أَوْلَى حَيْثُ قَالَ (فَإِنِ اعْتَدَّتْ بِشَهْرَيْنِ كَانَ أَوْلَى)

Sedangkan mushannif hanya menjadikan dua bulan sebagai bentuk yang lebih utama saja, sehingga beliau berkata,“sehingga, jika budak wanita itu melaksanakan ‘iddah dengan dua bulan, maka itu lebih utama.”

وَفِيْ قَوْلٍ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَهُوَ الْأَحْوَطُ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah tiga bulan, dan ini adalah yang lebih hati-hati sebagaimana yang disampaikan oleh imam asy Syafi’i Ra.

وَعَلَيْهِ جَمْعٌ مِنَ الْأَصْحَابِ.

Dan ini pendapat yang diikuti oleh beberapa golongan Al-Ashhab [1].
==============
[1] Al-Ashhab adalah ulama’-ulama’ yang mengikuti madzhab imam Asy-Syafi’i.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼🙏🏼

Tidak ada komentar:

Posting Komentar