Sabtu, 13 Januari 2018
BENARKAH TAHUN BARU MASEHI TAHUN BARU KAFIR?
Momentum akhir tahun 2017 kemarin benar-benar membuat kita sibuk. Belakangan ini kita disibukkan dengan pro dan kontra ucapan selamat Natal berikut hukum menjaga dan menghadiri perayaan di gereja. Sementara debat kusir belum berakhir, kali ini kita kembali dibuat sibuk dengan kontroversi perayaan malam Tahun Baru Masehi 2018. Dalam berbagai pesan berantai di jejaring sosial, beredar informasi bahwa tahun baru masehi merupakan tahun baru orang-orang kafir yang merepresentasikan budaya Barat. Oleh karenanya, perlu kita telusuri sejenak apakah tahun masehi memang identik dengan tahun kafir?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ والْحِسَابِ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ.
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS: Yunus: 5)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ketentuan Allah swt tentang garis edar yang teratur dari bulan dan matahari dimaksudkan agar manusia mengetahui perhitungan tahun. Diantara hikmah peredaran bulan dan matahari yang teratur adalah dapat mengetahui waktu menunaikan shalat, puasa, haji, bekerja, maupun beristirahat. Berbagai kegiatan yang kita lakukan tentunya membutuhkan panduan waktu yang―jika ditelusuri―bermuara pada konsep peredaran bulan dan matahari.
Peredaran bulan merupakan pedoman pokok dalam penentuan tahun hijriyyah. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi) disebut juga tahun qamariyyah (tahun bulan). Penanggalan hijriyyah memiliki tahun kabisat (355 hari) dan tahun basithah (354 hari). Berdasarkan siklus peredaran bulan, setiap 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat dan 19 tahun basithah. Secara umum, pergantian hari dalam kalender hijriyyah dimulai dari saat tenggelamnya matahari waktu setempat, dan pergantian bulan dapat diketahui berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi yang dibuktikan dengan proses munculnya bulan sabit setelah menghilang. Penanggalan ini bisa dikatakan lebih akurat dalam penentuan waktu ibadah umat Islam, terutama dalam pelaksanaan ibadah puasa dan haji.
Sedangkan peredaran matahari menjadi pedoman pokok dalam penentuan tahun masehi, yang juga memiliki istilah lain yakni tahun miladiyyah―yang semakna dengan masehi―dan tahun syamsiyah (tahun matahari). Penanggalan masehi juga memiliki tahun kabisat (366 hari) dan tahun basithah (365 hari). Berdasarkan siklus revolusi bumi terhadap matahari, tahun kabisat terjadi setiap empat tahun sekali. Pergantian hari dalam penanggalan syamsiyah dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Peredaran matahari juga berpengaruh terhadap perubahan musim di berbagai negara, sehingga dalam musim tertentu dapat terjadi perubahan waktu aktifitas harian masyarakat setempat, begitu juga dalam durasi ibadah puasa serta pelaksanaan shalat dzuhur dan ashar maupun ibadah shalat sunnah lain yang dilaksanakan pada waktu siang hari.
Sebagai muslim, tentu kita cukup banyak bergantung pada penanggalan masehi dalam menjalankan aktifitas harian. Berbagai macam peringatan momentum bersejarah seperti Proklamasi Kemerdekaan RI, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, Hari Santri Nasional, dan lain sebagainya sangat bergantung pada kalender masehi. Bahkan sistem penanggalan masehi―yang berdasarkan revolusi bumi terhadap matahari―juga dikaji di berbagai pesantren dan madrasah sebagai bagian dari khazanah keilmuan disiplin ilmu falak (astronomi). Oleh karena itu, sepertinya kurang tepat jika tahun masehi diklaim sebagai tahun kafir.
Memang tak ada salahnya jika kita menolak perayaan tahun baru masehi. Alih-alih menganggap sebagai tahun baru kafir, alangkah baiknya jika perspektif yang digunakan adalah penolakan berdasarkan unsur euforia berlebihan yang notabene menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Mengingat biaya perayaan sebesar itu akan lebih bermanfaat jika dialihfungsikan menjadi sedekah, amal jariyah, menyantuni anak yatim, serta membantu saudara-saudara kita yang memang jauh lebih membutuhkan. Selain itu, momentum pergantian tahun akan lebih khidmah jika diisi dengan kegiatan positif seperti dzikir atau do’a bersama agar bangsa Indonesia dijauhkan dari marabahaya serta menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dikatakan dalam sebuah riwayat, dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu -:
كان لأهل الجاهلية يومان في كل سنة يلعبون فيهما، فلما قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة قال: كان لكم يومان تلعبون فيهما، وقد أبدلكم الله بهما خيرا منهما: يوم الفطر ويوم الأضحى.
“Dahulu, orang Arab Jahiliyyah mempunyai dua hari raya dimana mereka bersenang-senang pada hari raya tersebut. Kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah dan menjumpai masyarakat Madinah yang ternyata mereka pun merayakan dua hari raya tersebut, yaitu hari raya Jahiliyah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Mulai detik ini, kita hapuskan semua hari raya kecuali dua hari raya sebagai penggantinya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.”
Oleh karena itu, bisa kita tarik kesimpulan bahwa hari raya yang sesuai dengan Islam hanya dua yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Kemudian, dua hari raya yang diperingati masyarakat Jahiliyah pada saat itu maksudnya hari raya apa?
Jawabannya, mereka memperingati perayaan Neirus dan Mihrojan.
Neirus adalah perayaan tahun baru Persia. Karena asimilasi budaya, masyarakat Madinah yang kala itu masih musyrik, suka mengikuti budaya masyarakat lain yang dianggap lebih berperadaban. Seperti Persia atau Romawi. Sampai saat ini, hari raya Neirus tersebut masih diperingati oleh masyarakat Iran, padahal hal tersebut sudah dibatalkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam – .
Maka berdasarkan hadits tadi, kaum muslimin tidak boleh merayakan hari raya lain kecuali dua hari raya saja, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Salah satu yang termasuk pada hari raya terlarang kita turut merayakannya adalah hari yang telah kita saksikan yaitu perayaan datangnya tahun 2018 kemarin, dimana hiruk-pikuk manusia dari Indonesia sampai ke Maroko merayakannya. Negeri-negeri Islam pun ikut merayakannya, yang mana hari raya tersebut sebenarnya bukan bagian dari Islam.
Jika ada yang mengatakan, “Ustadz, Rasulullah tidak pernah mengharamkan tahun baru Masehi”
Kita bisa jawab, “Pada waktu itu Rasulullah sudah melarang tahun baru Persia karena –atas kehendak Allah– kebudayaan Persia-lah yang diserap oleh orang Arab, sedangkan kebudayaan Romawi belum terserap pada saat itu. Akan tetapi larangan Rasulullah untuk melakukan tahun baru Persia itu otomatis juga merupakan larangan Rasulullah untuk mengatakan perayaan tahun baru lainnya, apalagi ditambah dengan banyaknya mafsadat atau kerusakan di dalam perayaannya.” Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar