MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 21 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG PANGGILAN HAJI KEPADA YANG BELUM BERHAJI




Salah satu keunikan jamaah Haji Indonesia adalah usai mereka menunaikan rukun Islam yang kelima ini mereka mendapat gelar baru yaitu haji. Sehingga tetangga kanan kirinya pun memanggil mereka dengan panggilan yang ditambahi dengan kata haji untuk yang laki-laki, dan kata hajjah untuk yang perempuan. Lantas bagaimana jika panggilan "Haji/Hajah" diucapkan kepada orang yang belum haji atau orang yang sudah umroh?

Hukum memanggil orang yang belum haji dengan sebutan "Haji" atau "Hajjah" adalah tidak diperbolehkan dalam Islam karena dianggap sebagai kebohongan atau dusta, terutama jika panggilan tersebut ditujukan untuk memuliakan orang tersebut. 

Sebagian besar ulama, terutama dalam mazhab Syafi'i, mengharamkan panggilan "Haji" atau "Hajjah" bagi orang yang belum berhaji, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Panggilan tersebut dianggap haram karena merupakan kebohongan atau dusta, sebab orang yang dipanggil belum melaksanakan ibadah haji. Kecuali jika panggilan tersebut dimaksudkan secara harfiah, misalnya "Pak Haji" sebagai panggilan untuk orang yang hendak menuju shalat berjamaah, maka hukumnya diperbolehkan. 

Juga seorang pedagang di pasar terbiasa memanggil pelanggan yang memakai peci putih atau kerudung dengan sebutan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" tanpa mengetahui status hajinya, maka sebaiknya niatkan panggilan tersebut secara harfiah untuk mendoakan agar bisa menunaikan ibadah haji atau sebagai bentuk penghormatan sebagaimana di Makkah dan Madinah jamaah umroh pun dipanggil dengan sebutan "Pak Haji/Bu Janji (Hajji/Hajjah)". 

Sebaiknya, umat Islam tidak terlalu terpaku pada gelar "Haji" atau "Hajjah" karena yang terpenting adalah niat ikhlas dalam beribadah dan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan sekadar gelar.

Imam Romli dalam kitab karyanya Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj beliau menyampaikan,

(فرع استطرادي) وقع السؤال عما يقع كثيرا في مخاطبات الناس بعضهم لبعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام أو لا ؟ والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب ، إن معنى يا حاج : يامن أتى بالنسك على الوجه المخصوص .

نعم إن أراد بيا حاج المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحا ، كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة.

(Cabang yang menyimpang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam percakapan orang-orang satu sama lain, yaitu menyebut seseorang yang belum berhaji dengan sebutan "Hai, haji Fulan" sebagai penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah tampaknya haram karena itu adalah kebohongan. Arti dari "Hai, haji" adalah "Wahai yang telah melaksanakan ibadah haji dengan cara yang khusus."

Namun, jika maksud dari "Hai, haji" adalah arti secara bahasa dan dimaksudkan dengan makna yang benar, seperti "Hai, haji, wahai yang berniat pergi ke sini" seperti jamaah atau lainnya, maka tidak ada larangan." (Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuddin Ar-Ramli juz 3 hal.242 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)

Juga diperkuat oleh Imam Jamal dalam kitab Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj beliau mengatakan, 

(فرع) وقع السؤال عما يقع كثيراً في مخاطبات الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيماً له هل هو حرام أولا والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب لأن معنى يا حاج فلان يا من أتى بالنسك على الوجه المخصوص نعم إن أراد بيا حاج فلان المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحاً كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة اهـ 

"(Cabang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam komunikasi antara orang-orang, yaitu ketika mereka mengatakan kepada seseorang yang belum melaksanakan haji, 'Hai haji fulan' sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah bahwa tampaknya itu haram karena dianggap sebagai kebohongan, karena makna 'Hai haji fulan' adalah 'Hai, orang yang telah melaksanakan ibadah haji' dengan cara tertentu. Namun, jika yang dimaksud dengan 'Hai haji fulan' adalah makna bahasa dan ditujukan dengan niat yang benar, seperti 'Hai haji, hai yang berniat menuju ke tempat tertentu, seperti kelompok atau lainnya,' maka tidak ada larangan." (Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj, Sulaiman bin Umar bin Mashur Al-Ajili Al-Mashur Asy-Syafi'i Al-Ma'ruf bi Jamal juz 4 hal.5 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)

Pada dasarnya penggunaan nama panggilan "Haji/Hajjah atau panggilan lain misal panggilan laqab atau julukan sepanjang mengandung arti baik atau maksud mendoakan serta disukai oleh pemilik namanya, dalam ajaran Islam merupakan hal yang dibolehkan. Seperti para sahabat yang memiliki julukan tertentu setelah namanya. 

Sebagai contoh, sahabat Abu Bakar memiliki julukan Al-‘Atiq yang berarti terbebas dari api neraka, sahabat Umar bin Khattab yang dijuluki Al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan), sahabat Khalid bin Walid yang dijuluki Saifullah (pedang Allah) dan selainnya. Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menyatakan,

وَاتَّفَقُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ اللَّقَبِ الَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ فَمِنْ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ

“Para ulama sepakat bahwasanya dianjurkan memanggil seseorang dengan julukan yang disukai oleh si empunya, diantaranya ialah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Abdullah bin Utsman di juluki ‘Atiq.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], juz. 8, hal.441). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 19 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENGHIAS KUBURAN SECARA BERLEBIHAN

Viral nya video pendek di beranda FB terkait fenomena hiasan kuburan yang terlihat seperti perlombaan tujubelasan 'Menghias Kuburan' kemudian ada inbox yang menanyakan terkait hukumnya, maka awal mula artikel ini dan bukan maksud menghakimi siapapun.

Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya,

  مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَ مِنْهُ  

“Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” (HR. Ahmad).

Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ  أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ  مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi  dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur  menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR.  Muslim no. 532).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ  الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ  الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang sholeh mati di  tengah-tengah mereka, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya. Lantas  mereka membuat gambar-gambar (orang sholeh) tersebut. Mereka inilah  sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).

Seorang ulama Yaman Muhammad bin Ali Asy-Syaukani yang dikenal dengan sebutan Imam Asy-Syaukani (1759-1834) adalah seorang ulama, ahli hukum, teolog, dan reformis Islam Sunni Yaman yang terkenal. Ia lahir di Hijratu Syaukan, Yaman, dan dikenal karena pemikirannya yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits, serta penolakannya terhadap taqlid (mengikuti mazhab secara membabi buta) dan kalam (teologi spekulatif). 

Dalam salah satu kitab karyanya Ar-Rasail As-Salafiah Fi Ihyai Sunnah Khairil Bariyah hal.34 cet. Darr Al-Kitab Al-'Arabi beliau menyampaikan 

فلا شك ولا ريب أن السبب الأعظم الذي نشأ معه هذا الاعتقاد في الأموات، هو ما زينه الشيطان للناس من رفع القبور، ووضع الستور عليها، وتجصيصها، وتزيينها بأبلغ زينة، وتحسينها بأكمل تحسين فإنّ الجاهل إذا وَقَعَت عينه على قبر من القبور قد بنيت عليه قبة، فدخلها، ونظر على القبور الستور الرائعة والسرج المتلالئة، وقد صدعت حوله مجامر الطيب، فلا شك ولا ريب أنه يمتلئ قلبه تعظيماً لذلك القبر، ويضيق ذهنه عن تصوّر ما لهذا الميت من المنزلة، ويدخله من الروعة والمهابة ما يزرع في قلبه العقائد الشيطانية التي هي من أعظم مكايد الشيطان للمسلمين، وأشد وسائله إلى ضلال العباد وما يزلزله عن الإسلام قليلاً، حتى يطلب من صاحب ذلك القبر ما لا يقدر عليه إلا الله سبحانه فيصير في عداد المشركين

"Tidak diragukan lagi bahwa penyebab utama munculnya keyakinan ini terhadap orang-orang yang telah meninggal adalah apa yang dihias oleh setan kepada manusia berupa pengangkatan kuburan, peletakan tirai di atasnya, penghalusan, dan menghiasinya dengan hiasan yang sangat indah. Ketika seorang yang tidak berpengetahuan melihat kuburan yang dibangun dengan kubah, kemudian memasuki dan melihat tirai-tirai yang menawan serta lampu-lampu yang berkilauan, dan dikelilingi oleh aroma wewangian, pasti hatinya akan dipenuhi dengan penghormatan terhadap kuburan tersebut. Pemikirannya akan terhalang untuk membayangkan kedudukan orang yang sudah meninggal itu, dan perasaan kagum serta hormat yang muncul akan menanamkan dalam hatinya keyakinan-keyakinan setan yang merupakan salah satu tipuan terbesar setan terhadap umat Islam, serta menjadi salah satu cara yang paling kuat untuk menyesatkan hamba-hamba Allah, hingga ia meminta dari pemilik kubur tersebut sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga ia termasuk dalam golongan para musyrik." (Imam Asy-Syaukani dalam Ar-Rasail As-Salafiah Fi Ihyai Sunnah Khairil Bariyah hal.34 cet. Darr Al-Kitab Al-'Arabi)

Dalam kitab fikih Fath al-Mu’in dijelaskan,   

وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.   ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه.   

“Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal.536).

Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit adalah orang yang shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah), maka boleh makam tersebut diabadikan dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin,

ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ: ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ   

“Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata: ‘Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu (Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137).   

Alasan di balik pelarangan membangun kuburan ini adalah karena dalam membangun kuburan terdapat unsur menghias kuburan atau mempermewah kuburan. Selain itu, menurut Imam Al-Qulyubi, membangun kuburan merupakan bentuk menghambur-hamburkan harta tanpa adanya tujuan yang dibenarkan oleh Syara’, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah Umairah,

ﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ: ﻭﺣﻜﻤﺔ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮﻝ: ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻟﻐﻴﺮ ﻏﺮﺽ ﺷﺮﻋﻲ   

“Para ulama berkata, ‘Hikmah (alasan) larangan membangun kuburan adalah menghias.’ Saya (Umairah) katakan, ‘Juga karena menghamburkan harta tanpa tujuan yang dibenarkan syari’at’,” (Ahmad Al-Barlasi Al-‘Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan (mengijing) hukum asalnya adalah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan jika kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya adalah haram dan wajib untuk dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut adalah makam ulama atau orang yang shaleh, maka boleh dan tidak makruh membangun makam tersebut agar dapat diziarahi oleh khalayak umum tentunya dengan tidak berlebihan karena merupakan bentuk berlebihan. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 18 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG MAKNA HADITS "AKU ADALAH ORANG YAMAN"* (Tanggapan status FB Gus Tsabit Abi Fadhil II)

Viral nya bahasan Shalawat Thahal Yamani mengakibatkan para pakar kyai, gus, asatidz bahkan orang awam seperti saya ikutan menyampaikan argumentasinya baik yang pro dalam memahami hadits secara harfiah bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang Yaman maupun yang memahaminya lain.

Akhirnya alfaqir Asimun Mas'ud At-Tamanmini ikutan nimbrung menanggapi narasi status FB guru senior saya meski hanya menyampaikan apa yang telah dipaparkan oleh pakar hadits yang sesungguhnya yaitu Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut,

روى البخاري (4388) ومسلم (52) عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ( أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا ، الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ ) وفي رواية لمسلم (52) ِ: ( جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً ، الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ )

وقال البخاري رحمه الله : " سُمِّيَتْ الْيَمَنَ لِأَنَّهَا عَنْ يَمِينِ الْكَعْبَةِ وَالشَّأْمَ لِأَنَّهَا عَنْ يَسَارِ الْكَعْبَةِ "

والمقصود بأهل اليمن في هذا الحديث أهل الإيمان والصلاح والتقوى من أهل اليمن ؛ ومن قال إنما عنى بذلك أهل مكة والمدينة ، أو عنى بذلك أهل البيت ، فقوله مخالف لظاهر الحديث ، كما يدل عليه قوله ( أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ ) ، ( جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ ) والواجب الأخذ بالظاهر ، ولا يجوز العدول عنه إلا ببينة ظاهرة .

قال الحافظ ابن حجر رحمه الله :

" وَاخْتُلِفَ فِي الْمُرَاد بِهِ : فَقِيلَ مَعْنَاهُ نِسْبَة الْإِيمَان إِلَى مَكَّة لِأَنَّ مَبْدَأَهُ مِنْهَا , وَمَكَّة يَمَانِيَّة بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمَدِينَة ، وَقِيلَ : الْمُرَاد نِسْبَة الْإِيمَان إِلَى مَكَّة وَالْمَدِينَة وَهُمَا يَمَانِيَّتَانِ بِالنِّسْبَةِ لِلشَّامِ ، بِنَاء عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْمَقَالَة صَدَرَتْ مِنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ حِينَئِذٍ بِتَبُوك , وَيُؤَيِّده قَوْله فِي حَدِيث جَابِر عِنْد مُسْلِم " وَالْإِيمَان فِي أَهْل الْحِجَاز " , وَقِيلَ الْمُرَاد بِذَلِكَ الْأَنْصَار لِأَنَّ أَصْلهمْ مِنْ الْيَمَن ، وَنُسِبَ الْإِيمَان إِلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ كَانُوا الْأَصْل فِي نَصْر الَّذِي جَاءَ بِهِ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكَى جَمِيع ذَلِكَ أَبُو عُبَيْدَة فِي " غَرِيب الْحَدِيث " لَهُ .

وَتَعَقَّبَهُ اِبْن الصَّلَاح بِأَنَّهُ لَا مَانِع مِنْ إِجْرَاء الْكَلَام عَلَى ظَاهِره , وَأَنَّ الْمُرَاد تَفْضِيل أَهْل الْيَمَن عَلَى غَيْرهمْ مِنْ أَهْل الْمَشْرِق , وَالسَّبَب فِي ذَلِكَ إِذْعَانهمْ إِلَى الْإِيمَان مِنْ غَيْر كَبِير مَشَقَّة عَلَى الْمُسْلِمِينَ , بِخِلَافِ أَهْل الْمَشْرِق وَغَيْرهمْ , وَمَنْ اِتَّصَفَ بِشَيْءٍ وَقَوِيَ قِيَامه بِهِ نُسِبَ إِلَيْهِ ، إِشْعَارًا بِكَمَالِ حَاله فِيهِ , وَلَا يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ نَفْي الْإِيمَان عَنْ غَيْرهمْ , وَفِي أَلْفَاظه أَيْضًا مَا يَقْتَضِي أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ أَقْوَامًا بِأَعْيَانِهِمْ فَأَشَارَ إِلَى مَنْ جَاءَ مِنْهُمْ لَا إِلَى بَلَد مُعَيَّن , لِقَوْلِهِ فِي بَعْض طُرُقه فِي الصَّحِيح " أَتَاكُمْ أَهْل الْيَمَن , هُمْ أَلْيَن قُلُوبًا وَأَرَقّ أَفْئِدَة الْإِيمَان يَمَان وَالْحِكْمَة يَمَانِيَة , وَرَأْس الْكُفْر قِبَل الْمَشْرِق " وَلَا مَانِع مِنْ إِجْرَاء الْكَلَام عَلَى ظَاهِره وَحَمْل أَهْل الْيَمَن عَلَى حَقِيقَته .

ثُمَّ الْمُرَاد بِذَلِكَ الْمَوْجُود مِنْهُمْ حِينَئِذٍ لَا كُلّ أَهْل الْيَمَن فِي كُلّ زَمَان , فَإِنَّ اللَّفْظ لَا يَقْتَضِيه .

قَالَ : وَالْمُرَاد بِالْفِقْهِ الْفَهْم فِي الدِّين , وَالْمُرَاد بِالْحِكْمَةِ الْعِلْم الْمُشْتَمِل عَلَى الْمَعْرِفَة بِاَللَّهِ " .

انتهى من " فتح الباري " (6/532) .

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no.4388) dan Muslim (no.52) dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hati dan paling lembut jiwa. Iman itu berasal dari Yaman, dan hikmah itu juga berasal dari Yaman." (HR. Bukhari no.4388)

Dalam riwayat Muslim (no.52) disebutkan, "Telah datang orang-orang Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hati, iman itu dari Yaman, dan fiqih itu juga dari Yaman." (HR. Muslim no.52)

Imam Bukhari rahimahullah berkata, "Yaman dinamakan demikian karena posisinya di sebelah kanan Ka'bah, sedangkan Syam di sebelah kirinya."

Yang dimaksud dengan orang-orang Yaman dalam hadits ini adalah orang-orang yang memiliki iman, kebaikan, dan ketakwaan dari Yaman. Siapa pun yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah penduduk Mekkah dan Madinah, atau yang dimaksud adalah ahli bait, ucapannya bertentangan dengan makna hadits yang jelas, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat "Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman" dan "Telah datang orang-orang Yaman." Yang wajib diambil adalah makna yang jelas, dan tidak boleh menyimpangkan  darinya kecuali dengan bukti yang jelas.

Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, "Ada perbedaan pendapat mengenai maksudnya: "Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah hubungan iman dengan Mekkah karena asal mula iman dari sana, dan Mekkah dianggap Yaman relatif terhadap Madinah. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hubungan iman dengan Mekkah dan Madinah yang keduanya dianggap Yaman relatif terhadap Syam," berdasarkan bahwa ucapan ini dikeluarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau berada di Tabuk. Dan pendapat ini diperkuat oleh ucapannya dalam hadits Jabir di hadapan Muslim, 'Dan iman itu ada di kalangan penduduk Hijaz.' Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Anshar karena asal mereka dari Yaman, dan iman dinisbatkan kepada mereka karena mereka adalah yang utama dalam mendukung apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua ini diungkapkan oleh Abu Ubaidah dalam 'Gharib Al-Hadits' miliknya.

Ibnu As-Shalah menanggapi bahwa tidak ada larangan untuk memahami ucapan tersebut secara harfiah, dan yang dimaksud adalah memuliakan orang-orang Yaman dibandingkan dengan orang-orang dari wilayah timur, dan alasannya adalah karena mereka menerima iman tanpa kesulitan yang berarti bagi para Muslim, berbeda dengan orang-orang dari wilayah timur dan lainnya. Siapa pun yang memiliki sifat tertentu dan kuat dalam menjalankannya, maka hal itu dinisbatkan kepada mereka, yang menunjukkan sempurnanya keadaan mereka dalam hal tersebut. Dan tidak harus ada penafian iman dari yang lainnya, dan dalam ungkapannya juga terdapat hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang tertentu dari mereka, bukan suatu wilayah tertentu, sebagaimana dikatakan dalam beberapa jalur dalam kitab shahih: 'Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hati dan paling lembut jiwa; iman itu dari Yaman, dan hikmah itu juga dari Yaman, dan pokok kekufuran menghadap ke timur.' Dan tidak ada larangan untuk memahami ucapan tersebut secara harfiah dan mengaitkan orang-orang Yaman dengan realitasnya.

Kemudian yang dimaksud dengan hal itu adalah orang-orang yang ada di antara mereka pada saat itu, bukan seluruh penduduk Yaman di setiap zaman, karena pengertian tersebut tidak mencakupnya.

Dia berkata: "Yang dimaksud dengan fiqih adalah pemahaman tentang agama, dan yang dimaksud dengan hikmah adalah ilmu yang mencakup pengetahuan tentang Allah." (Fath Al-Bari juz 6 hal.615-616). 

٣٣٨٦. حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن يزيد بن أبي عبيد حدثنا سلمة رضي الله عنه قال خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على قوم من أسلم يتناضلون بالسوق فقال ارموا بني إسماعيل فإن أباكم كان راميا وأنا مع بني فلان لأحد الفريقين فأمسكوا بأيديهم فقال ما لهم قالوا وكيف نرمي وأنت مع بني فلان قال ارموا وأنا معكم كلكم

قوله : ( باب نسبة اليمن إلى إسماعيل ) أي ابن إبراهيم الخليل . ونسبة مضر وربيعة إلى إسماعيل متفق عليها ، وأما اليمن فجماع نسبهم ينتهي إلى قحطان

3386. Dari Musaddad, ia berkata: "Kami mendengar dari Yahya, dari Yazid bin Abi Ubaid, bahwa Salamah ra. berkata: 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui sekelompok orang dari Bani Aslam yang sedang bermain panah di pasar. Beliau bersabda: "Lemparlah anak-anak Ismail, karena ayah kalian adalah seorang pemanah, dan aku bersama Bani Fulan dari salah satu dari dua kelompok." Maka mereka menahan tangan mereka. Beliau bertanya: "Mengapa mereka tidak melempar?" Mereka menjawab: "Bagaimana kami bisa melempar sementara engkau bersama Bani Fulan?" Beliau berkata: "Lemparlah, aku bersama kalian semua."

Catatan: (Bab tentang hubungan Yaman dengan Ismail) yaitu putra Ibrahim Al-Khalil (Sang Kekasih). Hubungan Mudhar dan Rabi'ah dengan Ismail disepakati, sedangkan Yaman, keseluruhan nasab mereka berakhir pada Qahthan." (Fath Al-Bari juz 6 hal.621)

*Nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam*

قوله ( مضر ) هو ابن نزار ابن معد بن عدنان والنسب ما بين عدنان إلى إسماعيل بن إبراهيم فيه كما سيأتي ، وأما من النبي صلى الله عليه وسلم إلى عدنان فمتفق عليه . وقال ابن سعد في « الطبقات ، حدثنا هشام بن الكلبي قال : علمني أبي وأنا غلام نسب النبي صلى الله عليه وسلم فقال : محمد بن عبد الله بن عبد المطلب وهو شيبة الحمد بن هاشم واسمه عمرو بن عبد مناف واسمه المغيرة بن قصی واسمه زيد بن كلاب ابن مرة بن كعب بن لؤى بن غالب بن فهر وإليه جماع قريش ، وما كان فوق فهر فليس بقرشي بل هو كنانی ، ابن مالك بن النضر واسمه قيس بن كنانة بن خزيمة بن مدركة واسمه عمر و بن إلياس بن مضر . وروى الطبراني بإسناد جيد عن عائشة قالت و استقام نسب الناس إلى معد بن عدنان ، ومضر بضم الميم وفتح المعجمة بذلك لأنه كان مولعاً بشرب اللبن الماضر وهو الحامض ، وفيه نظر لأنه يستدعى أنه كان له اسم غيره قبل أن يتصف بهذه الصفة ، نعم يمكن أن يكون هذا اشتقاقه ، ولا يلزم أن يكون متصفاً به حالة التسمية ، وهو أول من حدا الإبل . وروى ابن حبيب في تاريخه عن ابن عباس قال : مات عدنان وأبوه وابنه معد وربيعة ومضر وقيس وتميم وأسد وضبة على الإسلام على ملة إبراهيم ، وروى الزبير بن بكار من وجه آخر عن ابن عباس و لا تسبوا مضر ولا ربيعة فإنهما كانا مسلمين ، ، ولا بن سعد من مرسل عبد الله بن خالد رفعه و لا تسبوا مضر فإنه كان قد أسلم » .

قوله ( من بني النضر بن كنانة ) أي المذكور ، وروى أحمد وابن سعد من حديث الأشعث بن يقال سمى قيس الكندى قال : قلت يا رسول الله إنا نزعم أنكم منا - يعنى من اليمن - فقال نحن بنو النضر بن كنانة

وروى ابن سعد من حديث عمرو بن العاص بإسناد فيه ضعف مرفوعاً و أنا محمد بن عبد الله ، وانتسب حتى بلغ النضر بن كنانة ، قال فمن قال غير ذلك فقد كذب ، انتهى . وإلى النصر تنتهى أنساب قريش ، وسيأتي بيان ذلك في الباب الذي يليه ، وإلى كنانة تنهي أنساب أهل الحجاز ، وقد روى مسلم من حديث واثلة مرفوعاً و إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل ، واصطفى من كنانة قريشاً ، واصطفى من قريش بني هاشم ، واصطفاني من بنى هاشم ، و لابن سعد من مرسل أبي جعفر الباقر : ثم اختار بني هاشم من قريش ثم اختار بني عبد المطلب من بنى هاشم .

Kata (Mudhar) adalah anak Nizar bin Ma'ad bin Adnan, dan nasab antara Adnan hingga Ismail bin Ibrahim akan dibahas kemudian. Adapun dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga Adnan adalah kesepakatan. Ibnu Sa'ad dalam "At-Thabaqat" menyebutkan, Hisham bin Al-Kalbi berkata: "Ayahku mengajarkan aku ketika aku masih kecil tentang nasab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, yang merupakan Syaubah Al-Hamd bin Hashim, dan namanya Amru bin Abdul Manaf, yang merupakan Al-Mughirah bin Qusay, dan namanya Zaid bin Kilab, anak Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr, dan dari Fihr adalah kumpulan Quraisy. Siapa pun yang di atas Fihr bukanlah Quraisy, melainkan Kinanah, anak Malik bin Al-Nadhr, yang bernama Qais bin Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah, yang bernama Amru bin Ilyas bin Mudhar." Imam At-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Aisyah, dia berkata, "Nasab manusia berakhir pada Ma'ad bin Adnan, dan Mudhar dengan memadukan huruf mim dan membuka huruf jim, karena ia sangat suka minum susu yang asam, dan ada pandangan bahwa ia memiliki nama lain sebelum dikenal dengan sifat ini. Namun, mungkin ini adalah asal usul namanya, dan tidak harus bahwa ia memiliki sifat tersebut saat penamaan. Ia adalah orang pertama yang memacu unta." Ibnu Habib dalam sejarahnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: "Adnan, ayahnya, dan anaknya Ma'ad, Rabi'ah, Mudhar, Qais, Tamim, dan Asad serta Dabbah meninggal dalam keadaan Islam di atas millah Ibrahim." Az-Zubair bin Bakar meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu Abbas, "Janganlah kalian mencela Mudhar atau Rabi'ah, karena mereka adalah orang-orang Muslim," dan Ibnu Sa'ad dari Al-Mursal Abdullah bin Khalid berkata, "Janganlah kalian mencela Mudhar, karena ia telah memeluk Islam."

Kata (dari keturunan Al-Nadhr bin Kinanah) berarti yang disebutkan, dan Ahmad serta Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari hadits Al-Ash'ath bin Qais Al-Kindi, ia berkata: *"Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, kami mengira bahwa kalian adalah dari kami' (maksudnya dari Yaman) beliau berkata, 'Kami adalah anak-anak Al-Nadhr bin Kinanah.'"* Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari hadits Amru bin Al-Ash dengan sanad yang lemah, ia berkata: "Aku adalah Muhammad bin Abdullah," dan ia menyebutkan nasabnya hingga Al-Nadhr bin Kinanah, dan barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka ia telah berdusta. Sampai kepada Al-Nasr berakhir nasab Quraisy, dan akan dijelaskan dalam bab berikutnya. Sampai kepada Kinanah berakhir nasab penduduk Hijaz, dan Muslim meriwayatkan dari hadis Wathilah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam "Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih dari Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy Bani Hasyim, dan memilihku dari Bani Hasyim." Dan Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Al-Mursal Abu Ja'far Al-Baqir: "Kemudian Dia memilih Bani Hasyim dari Quraisy, kemudian memilih Bani Abdul Muthalib dari Bani Hasyim." (Fath Al-Bari juz 6 hal.611-612)

*DALAM KITAB SYI'AH MENYEBUTKAN BAHWA NABI ORANG YAMAN*

Muhammad Baqir Majlisi dikenal dengan sebutan Al-Alamah Majlisi atau Majlisi Ats-Tsani (Majlisi Kedua), adalah seorang sarjana dan pemikir Syi'ah Akhbari Dua Belas Iran yang berpengaruh pada masa dinasti Safawi. Ia digambarkan sebagai "salah satu ulama Syiah yang paling kuat dan berpengaruh sepanjang masa", yang "kebijakan dan tindakannya mengarahkan kembali Dua Belas Syiah ke arah yang akan dikembangkan sejak masa kepemimpinannya.

Dalam kitab karyanya Bihar Al-Anwar juz 57 hal.232 Al-Maktabah Asy-Syi'iyyah menjelaskan dan mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa beliau orang yaman.

فقال النبي صلى الله عليه وآله

كذبت، إن خير الرجال أهل اليمن والايمان يمان وأنا يماني، وأكثر قبائل دخول الجنة يوم القيامة مذحج وحضرموت خير من بني الحرث بن معاوية  من كندة، إن يهلك لحيان فلا أبالي فلعن الله الملوك الأربعة جمدا ومخوسا، ومشرحا وأبضعة، وأختهم العمردة.

"Dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Kamu berdusta, sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah orang-orang Yaman dan iman itu berasal dari Yaman, *dan aku adalah orang Yaman.* Kebanyakan suku yang akan masuk surga pada hari kiamat adalah suku Madhhaj dan Hadhramaut, lebih baik daripada Bani Al-Harits bin Muawiyah, keturunan dari Kindah. Jika Lihyan bin Khuzaimah punah, aku tidak peduli, semoga Allah melaknat empat raja: Jamhur, Makhus, Masyrah, dan Abdhah, serta saudara mereka yang bernama Al-Amrudah.'" (Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar juz 57 hal.232 Al-Maktabah Asy-Syi'iyah)

Sementara dalam penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya apakah orang Yaman, beliau menjawab,

قوله ( من بني النضر بن كنانة ) أي المذكور ، وروى أحمد وابن سعد من حديث الأشعث بن يقال سمى قيس الكندى قال : قلت يا رسول الله إنا نزعم أنكم منا - يعنى من اليمن - فقال نحن بنو النضر بن كنانة 

Kata (dari keturunan Al-Nadhir bin Kinanah) berarti yang disebutkan, dan Ahmad serta Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari hadits Al-Ash'ath bin Qais Al-Kindi, ia berkata: *"Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, kami mengira bahwa kalian adalah dari kami' (maksudnya dari Yaman) beliau berkata, 'Kami adalah anak-anak An-Nadhir bin Kinanah.'"*(Fath Al-Bari juz 6 hal.611).

Singkatnya dalam rangka menyampaikan argumentasi keilmuan alangkah bijaknya jika disertakan referensi dari kitab-kitab salaf, sehingga tidak lagi melalui pemahaman sepihak tetapi merujuk pada penjelasan ulama terdahulu agar indikasi keberpihakan dalam pemahaman tidak terlihat dipaksakan dengan pemahaman personal atau komunal. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 14 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGUSAP KEDUA TELINGA SAAT BERWUDHU




Viralnya sebuah video seorang tokoh agama menyampaikan bahwa membasuh kedua telinga merupakan fardhu wudhu kemudian muncul narasi tulisan atau artikel yang membahasnya. Tak sedikit pula komentar terkait tanggapan dari video tersebut meski sudah menyertakan ibarot dan kitabnya dianggap suatu kesalahan karena menurut mereka hal itu didasari nafsu untuk merendahkan orang lain yang mengatakan bahwa mengusap kedua telinga itu wajib. Padahal beda pendapat dalam masalah itu hal yang biasa.

اختلف أهل العلم في مسح الأذنين في الوضوء هل هو واجب أو سنة، فمنهم من قال بالوجوب وذهب الجمهور إلى أن مسح الأذنين سنة مستحبة وليس واجباً. وبناء عليه، فمن نسي مسح الأذنين، فلا شيء عليه ووضوؤه صحيح.

مسح الأذنين في الوضوء مما واظب عليه النبي صلى الله عليه وسلم، واختلف أهل العلم فيه هل هو واجب أو سنة، فمنهم من قال بالوجوب كما هو المذهب عند الحنابلة؛ لما روى ابن ماجه (443) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ والحديث مختلف في صحته، وقد صححه الألباني رحمه الله في صحيح ابن ماجة.

وإذا كان الأذنان من الرأس كان مسحهما في الوضوء فرضا كمسح الرأس.

وذهب الجمهور إلى أن مسح الأذنين سنة مستحبة وليس واجباً. وينظر: "الموسوعة الفقهية" (43/364).

والمنقول عن الإمام أحمد رحمه الله أن من ترك مسح الأذنين، أن وضوءه يجزئه.

قال ابن قدامة رحمه الله في "المغني" (1/90):

"والأذنان من الرأس، فقياس المذهب وجوب مسحهما مع مسحه. وقال الخلال: كلهم حكوا عن أبي عبد الله فيمن ترك مسحهما عامدا أو ناسيا، أنه يجزئه؛ وذلك لأنهما تبع للرأس، لا يفهم من إطلاق اسم الرأس دخولهما فيه، ولا يشبهان بقية أجزاء الرأس، ولذلك لم يجزه مسحهما عن مسحه عند من اجتزأ بمسح بعضه، والأولى مسحهما معه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم مسحهما مع رأسه، فروت الرُّبَيِّع أنها رأت النبي صلى الله عليه وسلم مسح رأسه، ما أقبل منه وما أدبر وصدغيه وأذنيه مرة واحدة. وروى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم مسح رأسه وأذنيه ظاهرهما وباطنهما. وقال الترمذي: حديث ابن عباس وحديث الرُّبَيِّع صحيحان." انتهى.

وبناء على ذلك، فمن نسي مسح الأذنين، فلا شيء عليه، ووضوؤه صحيح.

"Para ulama berbeda pendapat mengenai mengusap telinga dalam wudhu, apakah itu wajib atau sunnah. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa itu wajib, sementara mayoritas berpendapat bahwa mengusap telinga adalah sunnah yang dianjurkan dan bukan wajib. Oleh karena itu, jika seseorang lupa mengusap telinga, maka tidak ada masalah dan wudhunya tetap sah.

Mengusap telinga dalam wudhu adalah sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Para ulama berbeda pendapat apakah itu wajib atau sunnah. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa itu wajib, sebagaimana pendapat yang dianut oleh madzhab Hanbali, berdasarkan riwayat Ibn Majah (443) dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: 'Telinga adalah bagian dari kepala.' Hadits ini berbeda pendapat mengenai keshahihannya, namun dihukumi shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah.

Jika telinga adalah bagian dari kepala, maka mengusapnya dalam wudhu adalah wajib sama seperti mengusap kepala.

Mayoritas berpendapat bahwa mengusap telinga adalah sunnah yang dianjurkan dan bukan wajib. Lihat: "Ensiklopedia Fiqh" (43/364).

Dari Imam Ahmad rahimahullah, diriwayatkan bahwa siapa pun yang meninggalkan mengusap telinga, maka wudhunya tetap sah.

Ibnu Qudamah ulama Madzhab Hambali dalam "Al-Mughni" (1/90) mengatakan:

'Telinga adalah bagian dari kepala, maka menurut kaidah madzhab, mengusapnya bersama dengan mengusap kepala adalah wajib. Dan Al-Khalal menyatakan bahwa semua ulama mengutip dari Abu Abdullah bahwa siapa pun yang meninggalkan mengusapnya secara sengaja atau lupa, maka wudhunya sah; karena telinga mengikuti kepala, dan tidak bisa dipahami dari nama kepala bahwa telinga termasuk di dalamnya, dan tidak sama dengan bagian kepala lainnya. Oleh karena itu, mengusap telinga tidak bisa menggantikan mengusap kepala bagi orang yang sudah cukup dengan mengusap sebagian. Sebaiknya mengusap keduanya bersama-sama; karena Nabi ﷺ mengusap keduanya bersama dengan kepalanya. Ruba'iy meriwayatkan bahwa ia melihat Nabi ﷺ mengusap kepalanya, baik bagian depan maupun belakang, serta kedua telinganya sekaligus. Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu  meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengusap kepala dan telinganya, baik bagian luar maupun dalam. Dan Tirmidzi mengatakan: Hadis Ibn Abbas dan Hadis Ruba'iy adalah sahih.'"

Oleh karena itu, jika seseorang lupa mengusap telinga, maka tidak ada masalah dan wudhunya tetap sah. (Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/115246)

Imam Al-Kasani (Abu Bakar Alauddin bin Mas’ud bin Ahmad bin Alauddin Al-Kasani) seorang ulama Madzhab Hanafi murid dan sekaligus menantu dari Imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Ahmad As-Samarqandi pengarang kitab fikih At-Tuhfah. Imam Al-Kasani dalam karyanya Badai’u Ash-Shana’i fii Tartib Asy-Syarai’ menjelaskan dan beliau juga mengutip pendapat imam madzhab lainnya, 

(مطلب المسح الاذنين)

(ومنها) ان يمسح الاذنين ظاهرهما, وباطنهما بماء الرأس (مذهب الحنفية : العناية شرح الهداية جز ١ ص ٢٧), رد المختار على الدار المختار جز ١ ص ١٢١)

وقال الشافعى: السنة ان يأخذ لكل واحد منهما ماء جديدا (مذهب الشافعية: حاشية البجيرمي على المنهاج جز ١ ص ٧٩, حاشيتي قليوبي وعميرة جز ١ ص ٦٢)

ورُوِيَ عن أنس بن مالك رضي الله عنه عن النَّبيِّ ﷺ أَنَّه قال : «الْأَذْنَانِ مِنَ الرَّأْس " ومعلوم أنه ما أراد به بيان الخِلْقة، بل بيان الحكم، إلا أنه لا ينوبُ المسح عليهما عن مسحِ الرّأسِ لأنّ وُجوبَ مسح الرّأسِ ثبت بدليل مقطوع به .

وكونُ الأُذُنَيْنِ من الرّأسِ ثبت بخَبَرِ الواحِدِ ، وأنّه يوجِبُ العمل دون العلم، فلوناب (المسحُ عليهما ) عن مسح الرّأسِ لَجَعَلْناهما من الرّأسِ قطعًا، وهذا لا يجوز، وصار هذا كقول النّبيِّ ﷺ : «الحطيم (٦) من البيتِ» (۷) فالحديثُ يُفيد كونَ الحطيم من البيت، حتّى يُطافَ به كما يُطافُ بالبيت، ثمّ لا يجوز أداء الصّلاةِ إِليه ؛ لأنّ وُجوبَ الصَّلاةِ إلى الكعبة ثبت بدليل مقطوع به ، وكون الحطيم من البيتِ ثبت بخَبَرِ الواحِدِ، والعمل بخَيْرٍ الواحِدِ إنّما يجب إذا لم يتضَمَّنْ إبطال العمل بدليل مقطوع به ، أمَّا إذا تَضَمَّنَ فلا ، كذلك ههنا .

(Masalah Mengusap Dua Telinga)

(Dan di antara itu) bahwa mengusap telinga dilakukan pada bagian luarnya dan dalamnya dengan air yang digunakan untuk mengusap kepala (Pendapat Hanafi: Al-'Inayah Syarh Al-Hidayah Jilid 1 Hal. 27, Radd Al-Mukhtar Ala Dar Al-Mukhtar Jilid 1 Hal. 121).

Dan Imam Syafi'i berkata: Sunnahnya adalah mengambil air yang baru untuk masing-masing telinga (Pendapat Syafi'i: Hasyiah Al-Bujairami Ala Al-Minhaj Jilid 1 Hal. 79, Hasyiah Qalyubi dan Umairah Jilid 1 Hal. 62).

"Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda: 'Dua telinga adalah bagian dari kepala.' Dan diketahui bahwa yang dimaksud bukan untuk menjelaskan penciptaan, tetapi untuk menjelaskan hukum. Namun, mengusap keduanya tidak menggantikan pengusapan kepala karena kewajiban mengusap kepala telah ditetapkan dengan bukti yang jelas.

Bahwa telinga termasuk dalam kepala ditetapkan melalui berita yang tunggal, dan itu mewajibkan tindakan meskipun tanpa ilmu. Seandainya mengusap keduanya menggantikan pengusapan kepala, pasti kita akan menganggap keduanya sebagai bagian dari kepala secara mutlak, dan ini tidak diperbolehkan. Ini mirip dengan sabda Nabi ﷺ: 'Hatim adalah bagian dari rumah.' Hadits tersebut menunjukkan bahwa hatim adalah bagian dari rumah, sehingga dapat dikelilingi seperti rumah, tetapi tidak diperbolehkan untuk shalat menghadapnya; karena kewajiban shalat menghadap Ka'bah telah ditetapkan dengan bukti yang jelas, sedangkan hatim sebagai bagian dari rumah ditetapkan dengan berita yang tunggal. Tindakan berdasarkan berita yang tunggal hanya wajib jika tidak mengandung pembatalan tindakan berdasarkan bukti yang jelas; jika mengandung, maka tidak. Begitu juga di sini." (Fiqih Hanafi : Bada'i Ash-Shana'i fi Tartib Asy-Syara'i juz 1 hal. 97-98)

فرع: أجمعت الأمة على أنَّ الأذنين تطهران واختلفوا في كيفية تطهيرهما على المذاهـب السَّابقة. قال أبو جعفر محمد بن جرير الطبري في كتابه اختلاف الفقهاء: أجمعوا أن من ترك مسحهما فطهارته صحيحةٌ وكذا نقل الإجماع غيره وحكى ابن المنذر وأصحابنا عن إسحاق بن راهويه أنَّه قال: من ترك مسحهما عمدا لم تصح طهارته وهو محجوجٌ بإجماع من قبل وبالحديث الذي ذكره المصنف والله أعلم.

وحكى القاضي أبو الطَّيِّب وغيره عن الشَّيعة أنَّهم قالوا لا يستحبُّ مسح الأذنين لأنَّه لا ذكر لهما في القرآن ولكن الشيعة لا يعتد بهم في الإجماع وإن تبرعنا بالرد عليهم فدليله الأحاديث الصحيحة والله أعلم.

*Cabang Permasalahan:* Umat sepakat bahwa kedua telinga harus dibersihkan, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai cara membersihkannya menurut mazhab-mazhab sebelumnya. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam bukunya "Ikhtilaf Al-Fuqaha" menyatakan: Mereka sepakat bahwa siapa yang meninggalkan mengusap keduanya, maka taharahnya sah. Demikian pula, orang lain menyebutkan konsensus ini. Ibnu Mundzir dan para pemilik mazhab kami mengutip dari Ishaq bin Rahawaih bahwa ia berkata: Siapa yang sengaja meninggalkan mengusap keduanya, maka taharahnya tidak sah, dan ia didukung oleh konsensus sebelumnya dan oleh hadits yang disebutkan oleh penyusun. Allah lebih mengetahui.

Dikisahkan bahwa hakim Abu Thayyib serta lainnya mengutip dari Syi'ah bahwa mereka mengatakan tidak dianjurkan untuk mengusap telinga karena tidak ada sebutan tentangnya dalam Al-Qur'an. Namun, Syi'ah tidak dianggap dalam ijma' ulama (konsensus), dan jika kita bersedia membantah mereka, dalilnya adalah hadits-hadits yang shahih. Allah lebih Maha Mengetahui. (Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab Asy-Syairazi juz 1 hal. 480)

Kesimpulannya, bahwa mengusap kedua telinga menurut jumhur ulama (konsensus mayoritas ulama) menghukumi sunnah, meski ada sebagian yang menghukumi wajib sebagaimana Imam Ibnu Qudamah madzhab Hambali dalam Al-Mughni. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 02 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG SYARAT PENYEMBELIHAN HALAL HEWAN QURBAN DAN LAINNYA

Kajian kali ini membahas mengenai syarat penyembelihan yang dapat membuat hewan halal untuk dikonsumsi. Syarat ini terbagi menjadi tiga: [1] Syarat yang berkaitan dengan hewan yang akan disembelih, [2] Syarat yang berkaitan dengan orang yang akan menyembelih, dan [3] Syarat yang berkaitan dengan alat untuk menyembelih. Setelah itu kami akan mengutarakan pula  syarat tambahan [4] tentang Adab ketika penyembelihan hewan. (Tulisan kali ini kami olah  dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/357-366, Al Maktabah At Taufiqiyah).

*SYARAT HEWAN YANG AKAN DISEMBELIH*

Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati). Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai.” (QS. Al Baqarah: 173)

Jika hewan untuk qurban atau aqiqah syaratnya sebagai berikut,

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى   

"Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, yaitu  yang matanya buta (picek), fisiknya dalam keadaan sakit, kakinya pincang, dan badannya kurus lagi tak berlemak (HR. At-Tirmidzi: 1417 hasan shahih dan Abu Dawud: 2420).

Dijelaskan dalam Bulughul Marom hadits no. 1360 berikut ini,

وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ” – رَوَاهُ مُسْلِم 

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (kambing berusia satu tahun masuk tahun kedua). Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah (domba berusia 6 bulan menuju 1 tahun) dari domba.” (HR. Muslim no. 1963).

Untuk sapi untuk berqurban berusia 2 tahun dan onta berusia 5 tahun sebagai syarat hewan untuk qurban. 

*SYARAT ORANG YANG AKAN MENYEMBELIH*

Pertama: Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz. Sehingga dari sini, tidak sah penyembelihan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Begitu pula orang yang mabuk, sembelihannya juga tidak sah.

Kedua: Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani). Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena selain muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika menyembelih.

Sedangkan ahlul kitab masih dihalalkan sembelihan mereka karena Allah Ta’ala berfirman,

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

“Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.” (QS. Al Ma-idah: 5). 

Makna makanan ahlul kitab di sini adalah sembelihan mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan Al Bashri, Makhul, Ibrahim An Nakho’i, As Sudi, dan Maqotil bin Hayyan. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 3/40, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H).

Namun yang mesti diperhatikan di sini, sembelihan ahul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal berdasarkan firman Allah Ta’ala,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)

Ketiga: Menyebut nama Allah (dan berdoa) ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah (padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan), maka hasil sembelihannya tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil sembelihannya boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)

Begitu juga hal ini berdasarkan hadits Rofi’ bin Khodij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ

“Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan.” (HR. Bukhari no. 2488).

Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (menyebut nama Allah atau basmalah). Sedangkan Imam Asy-Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah (dianjurkan). Mereka beralasan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ « سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ » . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .

Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.' (HR. Bukhari no. 5507).

Namun pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini, sebelum dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih dahulu.

Keempat: Tidak disembelih atas nama selain Allah. Maksudnya di sini adalah mengagungkan selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak. Maka hasil sembelihan seperti ini diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)

*SYARAT ALAT UNTUK MENYEMBELIH*

Ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu:

Pertama: Menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong. Karena maksud dari menyembelih adalah memotong urat leher, kerongkongan, saluran pernafasan dan saluran darah.

Kedua: Tidak menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij,

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang bernama Ethiopia).” (HR. Bukhari no. 2488).

*ADAB DALAM PENYEMBELIHAN HEWAN*

Pertama: Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)

Dari Syadad bin Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.” (HR. Muslim no. 1955).

Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan pisau di hadapan hewan yang akan disembelih. 

Ibnu Umar ra. berkata,

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,

أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا

”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum engkau membaringkannya.” (HR. Al Hakim (4/257), Al Baihaqi (9/280), ‘Abdur Rozaq no. 8608.  Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari. Adz Dzahabi dalam At Talkhis mengatakan bahwa sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam At Talkhis Al Habir (4/1493) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 2265 mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kedua: Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih

Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya. (HR. Muslim no. 1967).

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut, tetapi yang tepat adalah dalam keadaan berbaring. Cara seperti ini adalah perlakuan terbaik bagi kambing tersebut. Hadits-hadits yang ada pun menuntunkan demikian. Juga hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Juga berdasarkan kesepakatan ulama dan yang sering dipraktekan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi kirinya. Cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri.” (Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/122, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H).

Ketiga: Meletakkan kaki di sisi leher hewan

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,

ضَحَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .

“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.” (HR. Bukhari no. 5558).

Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan qurban. Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki si penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah untuk  menyembelih dan mudah mengambil pisau dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah memegang kepala hewan tadi dengan tangan kiri.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy Asy Syafi’i, 10/18, Darul Ma’rifah, terbit 1379 H).

Keempat: Menghadapkan hewan ke arah kiblat

Dari Nafi’ menyampaikan bahwa,

أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ.

“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.” (HR. ‘Abdur Razaq no. 8585 dengan sanad yang shahih).

Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan menjelaskannya. Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan). (Shahih Fiqh Sunnah, 2/364).

Kelima: terputusnya kerongkongan dan urat leher

يجب أن تكون التذكية في محل الذبح، وأن يقطع المريء والودجان، أو أحدهما

"Penyembelihan harus dilakukan pada bagian tempat pemotongan leher), dan harus terpotong kerongkongan dan dua urat leher atau salah satu urat leher." (Fatwa Lajnah Daimah no. 21165)

Keenam: Tidak diperbolehkan memotong hewan lebih dari satu kali (mengangkat pisau lebih satu kali dalam jeda yang lama) 

Syekh Ibrahim Al-Bajuri seorang ulama Syafi'iyah dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri Ala Ibni Qasim yang merupakan anotasi dari Kitab Fathul Qarib menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut:

   قوله: (ويكون قطع ما ذكر) أي من الحلقوم والمريء. وقوله: (دفعة واحدة لا في دفعتين) أي إذا لم توجد الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية، أما إذا وجدت الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية فيحل المذبوح حينئذ. ومثل الدفعة الثانية غيرها كالثالثة، فالشرط وجود الحياة المستقرة في ابتداء الوضع آخر مرة، ومحل ذلك عند طول الفصل، وإلا فلو رفع السكين وأعادها فورًا أو ألقاها لكونها كالة وأخذ غيرها فورًا أو سقطت منه وأخذ غيرها حالًا أو قبلها وقطع بها ما بقي حل المذبوح وإن لم توجد الحياة المستقرة المرة الأخيرة لأن جميع المرات عند عدم طول الفصل كالمرة الواحدة

"Dan harus memotong yang telah disebutkan (yaitu al-hulqum, saluran pernafasan dan al-mari', saluran makanan) dengan sekali potong, bukan dua kali potong. Maksudnya, jika tidak ada kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) pada potongan kedua, namun jika ada kehidupan yang stabil pada potongan kedua, maka hewan yang disembelih menjadi halal. Begitu juga potongan ketiga dan seterusnya, syaratnya adalah adanya kehidupan yang stabil pada awal potongan terakhir, dan hal ini berlaku jika ada jeda yang panjang antara potongan-potongan tersebut. Tetapi jika pisau diangkat dan digunakan kembali segera, atau dilempar karena tumpul dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau jatuh dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau diangkat dan digunakan untuk memotong sisa yang ada, maka hewan yang disembelih menjadi halal meskipun tidak ada kehidupan yang stabil pada potongan terakhir, karena semua potongan dianggap satu kali jika tidak ada jeda yang panjang." (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri Ala Ibnu Qasim [Jeddah, Darul Minhaj: 2016] juz IV halaman 323).   

Senada dengan penjelasan Syekh Ibrahim Al-Bajuri di atas, Imam Al-Bujairimi menegaskan: 

وَلَا يَضُرُّ رَفْعُ السِّكِّينِ وَإِعَادَتُهَا فَوْرًا وَلَا قَلْبُهَا لِيَأْخُذَ عَلَيْهَا مَا بَقِيَ مِنْ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ وَلَا إلْقَاؤُهَا لِيَأْخُذَ غَيْرَهَا وَلَا يُشْتَرَطُ فِيمَا ذُكِرَ حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ وَإِنَّمَا يُشْتَرَطُ قِصَرُ الْفَصْلِ عُرْفًا اهـ

"Dan tidak mengapa mengangkat pisau dan mengembalikannya segera, atau membaliknya untuk memotong yang tersisa dari tenggorokan (al-hulqum) dan kerongkongan (al-mari'), atau melemparkannya untuk mengambil pisau lain. Tidak disyaratkan adanya kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) dalam hal-hal yang telah disebutkan, tetapi yang disyaratkan adalah singkatnya jeda waktu menurut kebiasaan." (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], juz IV, halaman 295).   

Imam Ad-Dirdir ulama Malikiyah juga mengatakan,

فإن عاد عن قرب أكلت رفع يده اختيارا أو اضطرارا، والقرب والبعد بالعرف، فالقرب مثل أن يسن السكين أو يطرحها ويأخذ أخرى من حزامه أو قربه

Jika penyembelih segera mengulang penyembelihan, maka hewannya halal. Baik dia mengangkat tangannya sengaja atau tidak sengaja. Cepat dan lama ukurannya adalah urf (sesuai yang dipahami masyarakat). Yang dekat seperti mengasah pisau, atau menggantinya dengan pisau yang lain, yang dia ikat di sabuknya atau di dekatnya. (as-Syarh al-Kabir, 2/99)

Sayid Sabiq juga menjelaskan yang semisal. Beliau menuliskan,

وإذارفع المذكي يده قبل تمام الذكاة ثم رجع فورا وأكمل الذكاة فإن هذا جائز لأنه جرحها ثم ذكاها بعد وفيها الحياة فهي داخلة في وقول الله تعالى {إلا ما ذكيتم}.

Apabila orang yang menyembelih mengangkat tangannya sebelum penyembelihan sempurna, lalu dia segera kembali menyempurnakan sembelihannya, ini dibolehkan. Karena yang terjadi, dia melukai hewan itu, kemudian dia sembelih dan ketika itu hewan masih hidup. Sehingga termasuk dalam cakupan firman Allah, (yang artinya), kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (Fiqhus Sunah, 3/304)

Ketujuh: Menahan pisau/golok sampai hewan mati

Tahan pisau sesaat setelah melakukan penyembelihan jangan terburu mengangkat pisau dan mengoleskan pisau ke kulit badan hewan yang dipotong karena hal itu dimakruhkan dan biarkan hewan bergerak ketika telah berlangsung proses penyembelihan. Artinya dianjurkan untuk tidak langsung melepaskan pisau dari bekas sebatan pada leher hewan tersebut dan tahan dulu, biarkan hewan bergerak-gerak sampai dipastikan sudah mati. Itulah yang menjadikan makruh mengangkat pisau kemudian mengusapkannya ke badan hewan.

Kedelapan: Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir dilanjutkan doa

Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar“, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik di atas. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun bacaan takbir (Allahu akbar) para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan doa:

Hadza minka wa laka/wa ilaika.” (HR. Abu Dawud 2795) atau hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*