Dalam sebuah video Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas alias Ustaz Yazid Jawas mengatakan tentang keharaman berdakwah bagi seorang muallaf, pelawak, penyanyi, pemusik yang sudah bertobat karena ketiadaan ilmunya, bahkan menurutnya mereka semua tidak punya hak untuk berdakwah. Benarkah demikian?
Menurut bahasa atau etimologi dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu دعا– يدعوا – دعوة (da'a - yad'u - da'watan). Kata dakwah tersebut merupakan isim masdar dari kata da’a yang dalam Ensiklopedia Islam diartikan sebagai “ajakan kepada Islam. Kata da’a dalam al-Quran, terulang sebanyak 5 kali, sedangkan kata yad’u terulang sebanyak 8 kali dan kata dakwah terulang sebanyak 4 kali. Secara istilah dakwah adalah menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu dengan proses yang berkesinambungan dan ditangani oleh para pengembang dakwah.
وقال الشيخ علي محفوظ: الدعوةُ: "حث الناس على الخير والهدي، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، ليفوز الناس بسعادة لآجلا والعاجل. ( هداية المرشدين الى طرق الوعظ والخطابة ألشيخ على محفوظ طبعة 7 ص 17)
"Syech Ali Mahfudz berkata, "Dakwah adalah mendorong orang berbuat baik dan berada di bawah petunjuk. Memerintah pada manusia berbuat baik dan mencegah kemungkaran, agar bisa hidup bahagia sekarang dan nanti." (Hidayah Al-Mursyidin Ila Thurq Al-Wa'zh wa Al-Khithabah edisi cetak ke-7 tahun 1978 M/1399 hal.17)
Melihat penjelasan diatas dakwah adalah ajakan, seruan, permohonan dan dorongan agar orang lain menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Ta'ala. Meskipun demikian tetap ada batasan saat berdakwah bagi pemula (baru bertobat). Artinya sebatas mengajak dalam kebaikan itu menjadi suatu keharusan dan bukan sebagai pendakwah yang harus dijadikan panutan, rujukan dan bukan sanad ilmu agama yang dielu-elukan sebagaimana terjadi di jaman sekarang.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan akan hal tersebut dalam sabdanya,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ مِنْ النَّاسِ بَعْدَ أَنْ يُعْطِيَهُمْ إِيَّاهُ وَلَكِنْ يَذْهَبُ بِالْعُلَمَاءِ كُلَّمَا ذَهَبَ عَالِمٌ ذَهَبَ بِمَا مَعَهُ مِنْ الْعِلْمِ حَتَّى يَبْقَى مَنْ لَا يَعْلَمُ فَيَتَّخِذَ النَّاسُ رُؤَسَاءَ جُهَّالًا فَيُسْتَفْتَوْا فَيُفْتُوا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّوا وَيُضِلُّوا
Ddari Abdullah bin 'Amru berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dari manusia setelah Ia berikan kepada mereka. Akan tetapi Allah akan mengambil (mewafatkan) para ulama`, maka setiap seorang Alim pergi, akan pergi pula ilmu yang ia miliki. Sehingga di dunia ini hanya tersisa orang-orang bodoh, dan manusia akan mengambil pemimpin yang bodoh, jika mereka dimintai fatwa maka mereka akan menjawab tanpa dengan ilmu (hanya berdasarkan logika), mereka sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari no.6763 dan Ahmad no.6602)
Ibnu Al-Hudzail pernah berkata, bahwa seseorang yang belum cukup ilmu dan belum waktunya menjadi sumber ilmu namun sudah berani mengajarkannya, niscaya bakal terhina. Kehinaan itu akan ia dapatkan dengan diperlihatkannya kesalahan-kesalahan yang ia buat.
Kedunguannya pun akan tampak melalui beberapa kekeliruan dalam menjawab berbagai masalah. Mereka ini sebenarnya tertipu oleh perasaan mereka sendiri karena menyangka ia tidak lagi membutuhkan ilmu, petunjuk, atau arahan sang guru. Akhirnya, ia pun tersadar untuk belajar kembali.
Setiap muslim punya kewajiban untuk berdakwah. Harus ada yang menunaikannya di suatu negeri. Jika tidak ada yang menunaikan dakwah, maka semuanya berdosa. Jika sudah ada yang menunaikan, maka yang lain gugur kewajibannya. Namun dakwah di sini sesuai kemampuan. Karena demikianlah yang namanya kewajiban. Para ulama memberikan kaedah, “Kewajiban itu tergantung pada kemampuan”. Demikianlah dalam dakwah.
Para ulama salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Jika ada orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar, wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan tercapai.
Mengenai perintah untuk berdakwah sekaligus keutamaannya dijelaskan dalam ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imron: 110).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat: 33).
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17).
*Berdakwah Sesuai Kemampuan*
Para ulama memberikan kaedah, “Kewajiban itu berkaitan dengan kemampuan”.
عَلَى أَعْيَانِهِمْ فَهَذَا يَتَنَوَّعُ بِتَنَوُّعِ قَدْرِهِمْ وَمَعْرِفَتِهِمْ وَحَاجَتِهِمْ
“Kewajiban yang mengenai individu itu bertingkat sesuai pada kemampuan, tingkat ma’rifah (pengenalan) dan kebutuhan”
Kaedah diatas didukung oleh dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286).
لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-A’raf: 42).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj: 78).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan apa yang diperintahkan bagi kalian, maka lakukanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337).
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan hatinya. Ini menunjukkan serendah-rendahnya iman” (HR. Muslim)
*Larangan Bagi Pendakwah*
Mengenai batasan (larangan) dalam berdakwah meliputi penyampaian bahasan agama yang tanpa di dasari ilmu. Orang yang bicara agama tanpa mengetahui tentang ilmu yang dibicarakan maka akan dimintakan pertanggung-jawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya,” (QS. Al-Isra’: 36).
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah bahwa Allah Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim)
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya”. (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
Allah telah berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
“Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun,” (QS. Al-Qashshash: 50).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan orang yang bicara agama tanpa ilmu, orang yang berdakwah tanpa ilmu sebagaimana sabda beliau,
مَنْ أَفْتَى بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَـتْهُ مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka ia dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi,” (HR. Ibnu ‘Asakir).
Lebih seram lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan untuk tidak berfatwa dan mengeluarkan pendapat tentang agama yang akhirnya di ikuti orang banyak, sebab bisa dibenamkan di nanah kubangan Neraka. Na’udz billah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ؛ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barang siapa membicarakan mukmin dengan sesuatu yang tidak benar adanya; niscaya Allah akan benamkan dia ke dalam kubangan nanahnya para penghuni neraka, hingga ia bertaubat dari perkataan tersebut,” (HR. Abu Dawud).
Imam Asy-Syafi'i, memberi komentar bagi orang yang mengaku bahwa dirinya sudah mampu berdakwah, dan sudah memiliki Ilmu yang sepadan dengan para Asatidz yang benar-benar belajar dan menuntut Ilmu.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
مَنْ سَامَ بِنَفْسِهِ فَوْقَ مَا يُسَاِوي رَدَّهُ اللهُ تَعَالَى إِِلَى قِيْمَتِهِ (الْمَجْمُوْع شَرْحُ الْمُهَذَّبِ، 1\13)
“Barangsiapa yang mengklaim dirinya telah mencapai derajat yang belum ia capai, maka Allah akan membuka kedoknya dan mengembalikannya ke derajat dia yang sesungguhnya.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 1/13).
Kesimpulannya, setiap muslim wajib menyampaikan dakwah sesuai kemampuannya. Adapun batasan dakwah islamiyah sudah menjadi domain bagi siapapun yang berkompeten dan benar-benar memiliki pemahaman ilmu agama dan memiliki sanad keilmuan yang jelas juga hujjah yang kuat. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar