MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 03 Mei 2020

HUKUM ZAKAT FITRAH SECARA KOLEKTIF DIWAKILKAN NIATNYA


Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah : 103)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengambil zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka melalui zakat itu.

Memahami ayat diatas maka dibentuklah amil zakat untuk mempermudah umat islam dalam pengumpulan, pengambilan dan penyalurkan zakatnya.

Tidak sembarang orang boleh menjadi amil. Selain bisa membuat zakat menjadi rusak, menunjuk amil yang tidak memenuhi syarat justru akan meruntuhkan sendi-sendi zakat itu sendiri. Ibarat menyerahkan kunci-kunci gudang penyimpanan harta kekayaan kepada kepala maling, alih-alih menjaga dan mengamankan, yang terjadi justru semua harta habis disikat.

Karena itu maka syariat Islam memberikan beberapa persyaratan standar bagi orang yang akan diberikan kepercayaan sebagai amil zakat, di antaranya adalah harus beragama Islam, akil, baligh, jujur, punya ilmu dalam hukum zakat dan tentu harus orang yang kuat, baik jiwa maupun raga.

*Pengertian Amil dalam Zakat*

Amil zakat disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagai pihak yang berhak menerima harta zakat dengan nomor urut tiga, setelah fakir dan miskin. Demikian disebutkan di dalam Al-Qur'an ketika Allah SWT menyebutkan siapa saja yang berhak atas harta zakat.

*Amil Zakat Menurut Istilah*

Secara bahasa, istilah amil berasal dari kata ‘amila ya’malu’  yang bermakna mengerjakan atau melakukan sesuatu.

*Amil Zakat Menurut Bahasa*

Kata amil (عامل) adalah ism fail yang bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Maka kata amil bermakna orang yang mengerjakan sesuatu. Kita akan baca pengertian amil zakat dari para ulama sebagai berikut:

Imam Syafi’i (w. 204 H) pernah menyebutkan:

قال الشافعي: والعاملون عليها من واله الوايل قبضها

"Imam Syafi’i berkata: Amil zakat adalah orang yang diangkat oleh wali/ penguasa untuk mengumpulkan zakat."

Secara umum Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

*Jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali*

Pengertian amil menurut jumhur ulama adalah petugas yang mengurus segala permasalahan zakat, seperti orang yang memungut dan mengumpulkan zakat, menulis jumlah masuk dan keluar, berapa sisa serta, pemelihara harta zakat, serta membagikannya kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).

Jumhur ulama, dalam menguatkan pendapatnya, tidak mencantumkan dalil nas maupun logika, sehingga berat dugaan mereka menetapkan rumusan amil berdasarkan pemahaman kebahasan dan fungsinya sebagai pengurus zakat. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi pengurus zakat bukan hanya mengambil zakat dari muzakki, namun juga menghimpun, menjaga, dan mendistribusikannya kepada para mustahiq. Bedanya dengan mazhab Hanafi, jumhur menyebutkan dalam rumusannya dengan jelas bahwa ke dalam lafat amil masuk segala aktifitas yang  berkaitan dengan pengelolaan dan pendistribusian zakat. Perluasan makna amil kepada beberapa makna lain tampaknya masih dianggap cakupannya.

Perbedaan lain antara mazhab Hanafi dan jumhur adalah mazhab Hanafi menyebutkan bahwa amil ditunjuk oleh imam/penguasa kaum muslimin. Jumhur ulama tidak menyebutkan bahwa amil ditunjuk oleh imam. Kita bisa memahami penjelasan ini dengan mengatakan bahwa menurut mazhab Hanafi seyogyanya amil diangkat oleh imam/penguasa dan tidak diangkat oleh masyarakat, seperti yang pernah dilakukan Nabi dan Khulafaurrasyidin. Sedangkan menurut jumhur, amil dapat saja diangkat oleh imam atau oleh masyarakat, seperti banyak dipraktikkan dewasa ini.

*Amil Zakat Menurut Ulama Tafsir*

Beralih kepada konsep amil menurut ulama tafsir, di bawah dikutip pendapat empat ulama tafsir, yaitu Ibn Jarir ath-Thabary dalam Tafsir Ath-Thabary, al-Qurtubi dalam Tafsir al-Qurthiby, Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, dan Muhammad Ali al-Sais dalam Tafsir Ayat Ahkam.

*Menurut Imam Ibn Jarir al-Thabary*

Menurut Ibn Jarir al-Thabary, amil  adalah pemungut zakat dari muzakki dan membagikannya kepada mustahiq zakat. Kepada mereka diberi zakat karena pekerjaannya itu. Tidak dipermasalahkan apakah dia kaya atau miskin. Untuk menguatkan pendapatnya ini, beliau mengutip pendapat ahl al- ‘ilm dan bahasa, seperti al-Zuhry dan Qatadah.

Makna amil yang diberikan oleh al-Thabari ini sangat sederhana. Amil hanya dipahami sebagai pemungut zakat dari muzakki dan membagikannya kepada mustahiqnya.

*Amil Zakat Menurut Imam al-Qurthuby, Rasyid Ridha dan Muhammad ‘Ali al-Sais*

Menurut Imam al-Qurthuby, amil adalah petugas pengumpul zakat yang dtugaskan oleh imam untuk mengambil zakat. Hal ini berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi, sebagaimana riwayat Bukhari dari Abu Humaid al-Sa‘idy,

حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ

Telah menceritakan kepada kami [Yusuf bin Musa] telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] telah mengabarkan kepada kami [Hisyam bin 'Urwah] dari [bapaknya] dari [Abu Humaid As-Sa'adiy radliallahu 'anhu] berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki untuk mengurus zakat Bani Sulaim yang dikenal dengan sebutan Ibnu Al Latbiyah. Ketika orang itu kembali, Beliau memberinya (upah dari bagian zakat) ". (HR. Bukhari)

Imam Al-Qurthuby menambahkan, makna yang tercakup dalam lafadh al-amilin ‘alaiha sangat luas. la meliputi semua orang yang terlibat dalam mengurus permasalahan zakat. Termasuk di dalamnya pengumpul, penulis, penjaga, pembagi dan lain-lain yang berkenaan dengan pengurusan zakat. Pendapat al-Qurthuby ini bersesuaian dengan pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad ‘Ali al-Sais.

*Hukum Amil Zakat Mewakili Niat Zakat Muzakki*

Mewakilkan niat zakat hukumnya boleh dalam hal ini amil zakat yg dibentuk oleh DKM atau organisasi, meskipun amil zakat masih diperselisihkan kedudukannya menjadi amil. Namun sebagaimana hak dan wewenangnya mewakili muzakki dalam hal niat zakat diqiyaskan niat anggota keluarga diwakili oleh kepala rumah tangga dalam hal ini seorang ayah atau ibu.

الولي يخرجها عنهما من مالهما; لأنها زكاة واجبة, فوجب إخراجها, كزكاة البالغ العاقل, والولي يقوم مقامه في أداء ما عليه، ولأنها حق واجب على الصبي والمجنون، فكان على الولي أداؤه عنهما، كنفقة أقاربه وتعتبر نية الولي في الإخراج كما تعتبر النية من رب المال

"Wali menunaikan zakat atas nama mereka dari harta mereka. Karena harta itu adalah zakat yang wajib. Wajib untuk ditunaikan, sebagaimana zakat dari orang baligh dan berakal. Posisi wali menggantikan posisi mereka dalam menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Karena zakat ini juga menjadi kewajiban bagi anak kecil maupun orang gila (yang kaya). Sehingga kewajiban wali adalah menunaikan zakat atas nama keduanya, sebagaimana kewajiban memberi nafkah kepada keluar orang gila. Dan niat wali dalam hal mengeluarkan zakat statusnya sebagaimana niat pemilik harta." (al-Mughni, 2/488)

*Hukum niat ketika Zakat*

Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:

a. Mayoritas ulama (bahkan hampir semua ulama, selaian al-Auza’i) berpendapat bahwa niat merupakan syarat sah zakat.

b. Imam al-Auza’i berpendapat bahwa zakat tidak wajib niat. Sehingga zakat seseorang bisa ditunaikan orang lain, meskipun muzakki (orang yang berzakat) sendiri tidak tahu, sehingga dia tidak meniatkannya sebagai zakat. Alasannya karena zakat itu seperti utang, sehingga ketika membayarkannya tidak wajib diniatkan sebagai zakat, sebagaimana ketika seseorang melunasi utangnya.

Imam An-Nawawi mengatakan,

لا يصح أداء الزكاة إلا بالنية في الجملة وهذا لا خلاف فيه عندنا، وإنما الخلاف في صفة النية وتفريعها، وبوجوبها قال مالك وأبو حنيفة والثوري وأحمد وأبو ثور وداود وجماهير العلماء، وشذ عنهم الأوزاعي فقال لا تجب ويصح أداؤها بلا نية كأداء الديون

“Tidak sah menunaikan zakat kecuali disertai niat secara umum. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini dalam madzhab kami (Syafi’i). Perbedaan hanya terjadi pada cara niat dan merinci niat. Ulama yang berpendapat wajibnya niat adalah Imam Abu hanifah, Imam Malik, ats-Tsauri, Imam Ahmad, Abu Tsaur, Daud Zahiri, dan mayoritas ulama. Yang menyimpang dari pendapat mereka adalah Imam al-Auzai, beliau berpendapat, Tidak wajib niat, dan sah menunaikan zakat tanpa disertai niat, sebagaimana seseorang menunaikan utang.” (al-Majmu’, 6:180).

Berikut beberapa lafal niat zakat fitrah dalam bahasa Arab:

*Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri*

ﻧَﻮَﻳْﺖُ أَﻥْ أُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْسيْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

*Niat Zakat Fitrah untuk Istri*

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِﻋَﻦْ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻲْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk istriku, fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

*Niat Zakat Fitrah untuk Anak Laki-laki*

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ ... ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak laki-lakiku…. (sebutkan nama), fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

*Niat Zakat Fitrah untuk Anak Perempuan*

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِﻋَﻦْ ﺑِﻨْﺘِﻲْ ... ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak perempuanku…. (sebutkan nama), fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

*Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri dan Keluarga*

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَنِّيْ ﻭَﻋَﻦْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﻣَﺎ ﻳَﻠْﺰَﻣُنِيْ ﻧَﻔَﻘَﺎﺗُﻬُﻢْ ﺷَﺮْﻋًﺎ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku dan seluruh orang yang nafkahnya menjadi tanggunganku, fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

*Niat Zakat Fitrah untuk Orang yang Diwakilkan*

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ (..…) ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk… (sebutkan nama spesifik), fardu karena Allah Ta‘âlâ.”

Saat menerima zakat fitrah, seorang penerima disunnahkan mendoakan pemberi zakat dengan doa-doa yang baik. Doa bisa dilafalkan dengan bahasa apa pun.

Di antara contoh doa tersebut adalah seperti di bawah ini:

ﺁﺟَﺮَﻙ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍَﻋْﻄَﻴْﺖَ، ﻭَﺑَﺎﺭَﻙَ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍَﺑْﻘَﻴْﺖَ ﻭَﺟَﻌَﻠَﻪُ ﻟَﻚَ ﻃَﻬُﻮْﺭًﺍ

“Semoga Allah memberikan pahala atas apa yang engkau berikan, dan semoga Allah memberikan berkah atas harta yang kau simpan dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu.”

*Takaran Zakat Fitrah*

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan,

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ – صَلّى اللهُ عَلَيه وَسَلّم صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى الذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ ، صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, untuk lelaki dan wanita, orang merdeka maupun budak, berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Bukhari 1511 dan Muslim 2327)

Dalam hadits lain, dari Abu Said Al Khudzri radliallahu ‘anhu,

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Dulu kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur.” (HR. Bukhari 1506 & Muslim 2330)

Dalam hadits ini, disebutkan secara tegas bahwa kadar zakat fitri adalah satu sha’ bahan makanan.

*Apa itu sha’?*

Sha’ adalah ukuran takaran bukan timbangan. Ukuran takaran “sha’” yang berlaku di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sha’ masyarakat Madinah. Yang itu setara dengan 4 mud.

Satu mud adalah ukuran satu cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan. Dengan demikian, satu sha’ adalah empat kali cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan.

Mengingat sha’ adalah ukuran takaran, umumnya ukuran ini sulit untuk disetarakan (dikonversi) ke dalam ukuran berat karena nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Oleh karena itu, yang ideal, ukuran zakat fitri itu berdasarkan takaran bukan berdasarkan timbangan.

Hanya saja, alhamdulillah, melalui kajian para ulama, Allah memudahkan kita untuk menemukan titik terang masalah ukuran ini. Para ulama telah melakukan penelitian bahwa satu sha’ untuk beras dan gandum beratnya kurang lebih 3 kg.

Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa satu sha’ setara dengan lima sepertiga rithl Irak. Lima sepertiga rithl Irak setara dengan 2176 gram atau 2,2 kilogram. Dengan demikian, kadar zakat fitrah menurut kelompok ini adalah 2,2 kilogram.

Mereka beralasan bahwa ukuran ini merupakan ukuran sha’ penduduk Madinah. Masyarakat Madinah mendapatkan ukuran dimaksud dari para leluhurnya yang berinteraksi langsung dengan Rasulullah shallallahu ala’ihi wasallam. Sehingga, persaksian mereka merupakan bukti kuat akan kebenaran pendapat ini. Imam As Syaukani dalam kitab Nailul Autar juz 4 halaman 184 menyebutkan,

عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ سُلَيْمَانَ الرَّازِيْ أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ لِمَالِكِ بْنِ أَنَسَ: أَبَا عَبْدَ اللهِ كَمْ قَدْرُ صَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: خَمْسَةُ أَرْطَالٍ وَثُلُثٌ بِالْعِرَاقِيِّ

Dari Ishaq bin Sulaiman Al-Razi, ia berkata: Saya bertanya kepada imam Malik bin Anas: Hai bapak dari Abdullah, berapakah kadar sha’-nya Nabi shallallahu ala’ihi wasallam? Beliau menjawab: Lima sepertiga rithl Irak. (Lihat: Muhammad Abdul Fattah al-Banhawi, Zakat al-Fithri wa Atsaruha al-Ijtimaiyyah, halaman 34-35)

Perlu disebutkan bahwa sha’ merupakan ukuran takaran, bukan timbangan. Karenanya, maka ukuran ini sulit untuk dikonversi ke dalam ukuran berat, sebab nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda, tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Karenanya, sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, para ulama menyarankan agar mengeluarkan zakat fitrah sejumlah 2,5 sampai 3,0 kilogram.

Ringkasan kadar zakat :
@ 1 sha’ = 4 mud
@ 1 mud = cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan
@ 1 sha’ = 4 kali cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan
@ 1 sha’ beras kurang lebih setara dengan 3 kg beras.
@ 1 sha’ gandum kurang lebih setara dengan 3 kg gandum.

Insya Allah, untuk zakat fitrah 3,5 liter atau 2,5 kg atau 3 kg sangat aman. Lebih baik dilebihkan dari pada kurang. Karena jika lebih, kelebihannya menjadi sedekah.

Dalam penyaluran atau pembagian zakat wajib disamakan antara golongan penerima zakat yang satu dan lainnya tanpa ada perbedaan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan menurut kalangan madzhab Syafi’iyah. Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab juz 1 halaman 216 berikut ini:

(الشرح) فيه مسائل (إحداها) يجب التسوية بين الاصناف فان وجدت الاصناف الثمانية وجب لكل صنف ثمن وان وجد منهم خمسة وجب لكل صنف خمس ولا يجوز تفضيل صنف علي صنف بلا خلاف عندنا سواء اتفقت حاجاتهم وعددهم أم لا ولا يستثنى من هذا إلا العامل فان حقه مقدر بأجرة عمله فان زاد سهمه أو نقص فقد سبق بيانه وإلا المؤلفة ففى قول يسقط نصيبهم كما سبق (الثانية) التسوية بين آحاد الصنف ليست واجبة سواء استوعبهم أو اقتصر علي ثلاثة منهم أو أكثر وسواء اتفقت حاجاتهم أو اختلفت لكن يستحب أن يفرق بينهم علي قدر حاجاتهم فان استوت سوى وان تفاضلت فاضل بحسب الحاجة استحبابا وفرق الاصحاب بين التسوية بين الاصناف حيث وجبت وآحاد الصنف حيث استحبت بأن الاصناف محصورون فيمكن التسوية بلا مشقة بخلاف آحاد الصنف

“Wajib menyamakan bagian di antara golongan-golongan (mustahiq zakat), dan apabila di temukan golongan yang ada 8 tersebut, maka wajib bagi setiap dari golongan mereka delapan, dan jika ditemukan dari mereka lima maka wajib bagi setiap golongan tersebut lima, dan tidak diperbolehkan melebihkan satu golongan atas yang lainnya, dalam hal ini tidak ada khilaf menurut madzhab Syafi’iyah, baik kebutuhan dan jumlahnya sama atau pun tidak. Yang kedua, menyamakan bagian di antara perorangan dari sebuah golongan itu tidak wajib, baik memberi bagian pada semua golongan atau hanya 3 golongan dari mereka, dan baik kebutuhannya sama atau berbeda, akan tetapi disunahkan untuk membagi diantara mereka sesuai dengan kebutuhannya.” Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar