Sabtu, 22 Juni 2019
KAJIAN TENTANG ZAMAN INI ILMU LEBIH UTAMA DARIPADA AMAL
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah : 11)
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ» [سنن الترمذي: صحيح]
"Keutamaan seorang ulama dibandingkan dengan seorang ahli ibadah seperti keutamaanku dibandingkan dengan orang yang paling rendah dari kalian". (HR. At-Tirmidzi: Shahih)
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ ، وَخَيْرُ دِينِكِمُ الْوَرَعُ [مسند البزار]
“Keutamaan ilmu lebih saya sukai daripada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama (amalan) kalian adalah sifat wara'”. (HR. Al-Bazzar: Shahih)
Dari Abu Ad-Darda' radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ، كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ» [سنن أبى داود]
“Sesungguhnya keutamaan seorang ulama terhadap seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan malam purnama dibandingkan dengan bintang lainnya”. (HR. Abu Daud: Shahih)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah telah mengatakan,
تعوذوا بالله من فتنةِ العابد الجاهل ، وفتنة العالم الفاجر ، فإنَّ فتنتهما فتنةٌ لكلِّ مفتون
Berlindunglah kalian kepada Allah dari fitnahnya seorang ahli ibadah yang bodoh dan fitnahnya seorang alim yang pendosa. Karena fitnah keduanya merupakan fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.” (Akhlaqul Ulama’ karya al-Ajurry hal.63)
Ada seseorang yang bercerita, dalam sebuah perjalanan manasik haji, para jamaah haji secara bertubi-tubi mengajukan banyak pertanyaan kepada pembimbing haji. Hampir semua permasalahan yang mereka jumpai dalam pelaksanaan ibadah haji, selalu dikonsultasikan kepada pembimbing. Kita yakin, suasana semacam ini hampir dialami oleh semua jamaah haji. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya hanya ada dua kemungkinan; pertama, mereka khawatir jangan-jangan ibadah haji yang mereka lakukan batal dan tidak diterima oleh Allah. Atau kedua, mereka takut dan khawatir jangan sampai melakukan tindakan pelanggaran yang menyebabkan mereka harus membayar denda.
Demikianlah gambaran semangat orang terhadap ilmu ketika melaksanakan ibadah haji. Suasana itu terbentuk disebabkan kekhawatiran mereka agar hajinya tidak batal. Mereka sadar, ibadah ini telah memakan banyak biaya dan tenaga, sehingga sangat disayangkan ketika ibadah yang sangat mahal nilainya ini, tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi dirinya.
Pernahkah sikap dan perasaan semacam ini hadir dalam diri kita dalam setiap melaksanakan ibadah, atau bahkan dalam setiap amal perbuatan kita? Ataukah sebaliknya, justru kita begitu menganggap enteng setiap amal, sehingga tidak mempedulikan pondasi ilmunya. Inilah yang penting untuk kita renungkan. Semangat untuk mendasari setiap amal dengan ilmu merupakan cerminan perhatian seseorang terhadap kesempurnaan beramal. Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu mampu tidak akan menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)
Ulama ini menasehatkan agar setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai pun dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak seseorang dikatakan mengamalkan dalil.
Namun sayangnya, masih banyak di antara kaum muslimin yang kurang mempedulikan landasan ilmu ketika beramal yang sifatnya rutinitas. Jarang kita temukan orang yang melaksanakan ibadah rutin, semacam shalat misalnya, kemudian dia berusaha mencari tahu, apa landasan setiap gerakan dan bacaan shalat yang dia kerjakan. Bisa jadi ini didasari anggapan, amal rutinitas ini terlalu ringan dan mudah untuk dilakukan.
*Ilmu Syarat Sah Amal*
Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:
بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ
“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”
(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al-Ilmu Qobla al-Qoul wa al-Amal)
Sahabat ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu meriwayatkan suatu hadits,
وقال صلى الله عليه وسلم إنكم أصبحتم في زمن كثير فقهاؤه قليل قراؤه وخطباؤه قليل سائلوه كثير معطوه العمل فيه خير من العلم وسيأتي على الناس زمان قليل فقهاؤه كثير خطباؤه قليل معطوه كثير سائلوه العلم فيه خير من العمل
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "kalian semua (para sahabatku) berada di zaman yang banyak para ahli fikihnya (ulama), sedikit ahli membaca Al-Qur'an, dan (sedikit) orang yabg pandai bicara. Sedikit para peminta-minta, banyak para pemberi. Amal pada masa ini lebih baik daripada ilmu. Dan kelak akan datang, masa dimana sedikit ahli fikihnya, banyak orang yang pandai bicara, sedikit yang memberi, dan banyak yang meminta. Ilmu akan lebih utama daripada amal.” (HR. Thabrani)
Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diisi oleh orang-orang yang masih “berfikir sederhana” (para sahabat). Meskipun tak banyak orang yang pandai bicara dihadapan umum, dan jarang sahabat yang mau berfatwa, tak lantas berbanding lurus dengan kenyataan bahwa sedikit orang yang mengerti agama. Dulu, masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap disebut sebagai masa yang terbaik. Karena pada waktu itu, mudah kita temukan ahli ilmu yang sejati. Sementara zaman sekarang ini banyak orang yang pandai bicara dan berfatwa tanpa ilmu yang memadai dan menjadi ulama dan ustadz dadakan. Na'udzubillahi min dzalil
Generasi zaman ini telah mulai banyak yang tidak mengenal lagi ulama. Mereka hanya mengenal ustadz dan da'i melalui media sosial dan televisi. Apalagi jika telah ada orang-orang yang menyamar sebagai ulama dengan modal ilmu yang minimalis. Bahkan, belajar agama mereka cukupkan dengan melalui media sosial dan internet.
Maka, dalam hal ini Imam Nawawi berpendapat bahwa meyibukkan dengan mencari ilmu lebih afdhal daripada sibuk beribadah sunnah, seperti shalat, puasa sunnah dan menbaca tasbih.
Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh Imam Nawawi.
*Pertama,* manfaat ilmu lebih meluas kepada kaum Muslimin. Sedangkan ibadah sunnah manfaatnya hanya untuk perorang, yaitu orang yang melakukan ibadah sunnah tersebut.
*Kedua,* karena ilmu itu mengoreksi ibadah sedangkan ibadah sunnah itu membutuhkan ilmu.
*Ketiga,* ulama merupakan warisan Nabi.
*Keempat,* karena ilmu tetap kekal meskipun ahli ilmu meninggal dunia. Sedangkan ibadah sunnah terputus jika seseorang meninggal dunia (Imam Nawawi, Muqaddimah Syarah Majmu’, hal. 48). Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar