Jumat, 21 Juni 2019
KAJIAN TENTANG BATASAN AURAT LAKI-LAKI
*(Tanggapan Pendapat Bahwa Paha Laki-Laki Bukan Aurat)*
*Ta’rif (definisi) Aurat*
Aurat secara bahasa artinya bagian yang ditutupi manusia karena malu jika ditampakkan. Sedangkan secara istilah adalah bagian badan yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla untuk ditutupi.
*Perintah Menutup Aurat*
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ...
"Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al A’raaf: 31)
Ayat di atas turun berkenaan dengan kaum musyrik yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang karena menganggap bahwa pakaian yang biasa mereka pakai adalah pakaian yang biasa digunakan untuk maksiat sehingga mereka tanggalkan, maka dalam ayat di atas Allah memerintahkan manusia untuk menutup auratnya.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan, dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami perbuat terhadap aurat kami?” Beliau menjawab,
«احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ»
“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali terhadap istrimu atau budak yang kamu miliki.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika antara sesama kami?”
Beliau menjawab,
«إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا»
“Jika engkau mampu untuk tidak memperlihatkannya, maka jangan perlihatkan.”
Aku bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami sedang sendiri?”
Beliau menjawab,
«اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ»
“Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ،وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, wanita tidak boleh melihat aurat wanita. Laki-laki tidak boleh telanjang dengan laki-laki lainnya dalam satu selimut, dan wanita tidak boleh telanjang dengan wanita dalam satu selimut.” (HR. Muslim)
Ayat dan hadits di atas merupakan dalil wajibnya menutup aurat, dan masih banyak lagi dalilnya.
*Pembagian Aurat*
Ahli Ilmu menyebutkan, bahwa aurat itu terbagi dua, yaitu Aurat Nazhar dan Aurat Shalat. Aurat nazhar maksudnya aurat yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain (agar orang lain tidak terfitnah), sedangkan aurat shalat adalah aurat yang wajib ditutupi di dalam shalat (sebagai bentuk memenuhi hak Allah Ta’ala). Sebagian ulama memberikan contoh aurat nazhar dan aurat shalat, yaitu wajah wanita, ia tidak boleh menampakkannya di luar shalat kepada laki-laki asing (karena sebagai aurat nazhar), tetapi boleh menampakkannya di dalam shalat (karena aurat shalat seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan). Demikian pula pundak laki-laki, ia boleh menampakkannya di luar shalat kepada sesamanya, tetapi tidak boleh menampakkannya di dalam shalat karena sebagai aurat shalat.
*Aurat Laki-Laki*
Aurat laki-laki adalah bagian antara pusar dan lututnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا بَيْنَ السُّرَّةِ إِلَى الرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ»
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Hakim).
Berdasarkan hadits ini, maka lutut dan pusar bukanlah aurat (ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i). Bahkan yang menjadi aurat adalah bagian antara pusar dan lutut.
Dari Jarhad, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewatinya ketika pahanya terbuka, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّهَا مِنَ العَوْرَةِ»
“Tutuplah pahamu. Sesungguhnya ia bagian dari aurat.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “Hasan,” dan disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq dalam Shahihnya).
Akan tetapi di dalam shalat, bagi laki-laki harus tertutup pula pundaknya ketika sanggup menutupnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ»
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu kain, sedangkan di pundaknya tidak ada sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
«إذَا كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِفْ بِهِ فِي الصَّلَاةِ»
“Jika kain itu luas maka berselimutlah dengannya –yakni dalam shalat-.”
Sedangkan dalam riwayat Muslim lafaznya,
فَخَالِفْ بَيْنَ طَرْفَيْهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاِتَّزِرْ بِهِ
“Maka rentangkanlah kedua ujungnya, namun jika sempit maka jadikanlah sarung.”
Hadits di atas menunjukkan, bahwa jika kainnya luas, maka ia selempangkan di pundaknya setelah menjadikannya sarung agar bagian atas badannya juga tertutupi. Jumhur berpendapat, bahwa perintah ini sunah, namun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hal itu hukumnya wajib, dan bahwa tidak sah shalat seorang yang mampu melakukan hal itu tetapi malah meninggalkannya. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sah tetapi berdosa.
Jika sempit, maka ia menjadikannya sebagai sarung untuk menutup auratnya.
Di samping itu, dalam shalat, hendaknya kita memakai pakaian yang rapi dan sopan, serta berhias untuknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلىَّ أحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ لَهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.” (Hasan, diriwayatkan oleh Thahawiy, Thabrani dan Baihaqi, lihat Silsilah Ash Shahiihah 1369)
Syekh Said bin Muhammad Ba’ali al-Hadrami dalam kitab Busyra al-Karîm (Jeddah: Dar al-Minhâj, 2004), hal. 262, tentang apa itu aurat:
و (العورة) لغة: النقص، والشيء المستقبح، وسمي المقدار الآتي بها؛ لقبح ظهوره. وتطلق شرعاً: على ما يحرم نظره،
“Secara etimologis, aurat berarti kurang, sesuatu yang menjijikan, dan terkadang sesuatu yang dianggap jijik akan dinamai dengan “aurat” karena dianggap jelek untuk diperlihatkan. Dalam terminologi syara’, aurat berarti sesuatu yang haram untuk dilihat.”
Dalam bab shalat, batasan aurat secara syara’ bisa kita lihat penjelasannya pada penuturan Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarîb (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 12:
وعورة الذكر ما بين سرته وركبته، …؛ وعورة الحُرَّة في الصلاة ما سوى وجهها وكفيها ظهرا وبطنا إلى الكوعين؛
“Aurat lelaki (yang wajib ditutupi) ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut,.. dan aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan.”
Dari penuturan di atas bisa dipahami bahwa ketika shalat, seorang lelaki harus menutupi area tubuh dari pusar hingga lutut. Demikian ini menurut kepatutan syariat. Namun demikian, ada kepatutan yang lain yang mesti diperhatikan, yakni kepatutan adab atau kesopanan. Maka bagi lelaki seyogianya menggunakan pakaian yang memenuhi standar syariat dan kesopanan. Adapun perempuan, ketika shalat harus menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Sudut pandang ketertutupan aurat ini ialah ketika tak terlihat dari sisi atas dan seputarnya (kanan, kiri, depan dan belakang), bukan dari sisi bawah. Sehingga, bila aurat terlihat dari bawah seperti terlihat dari bawah saat sujud atau yang lainnya, hal tersebut tidak menjadi masalah, sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 113:
قوله لا من الأسفل - أي فلو رؤيت من ذيله كأن كان بعلو والرائي بسفل لم يضر أو رؤيت حال سجوده فكذلك لا يضر
“(Pernyataan ‘bukan dari bawah’) maksudnya apabila terlihat dari bawah seperti ketika shalat di tempat tinggi dan terlihat dari bawah, maka tidak masalah sebagaimana jika terlihat saat sujud.”
Mayoritas ulama sepakat bahwa batas aurat lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Dalam ensiklopedi fikih dinyatakan,
عورة الرّجل في الصّلاة وخارجها ما بين السّرّة والرّكبة عند الحنفيّة والمالكيّة والشّافعيّة والحنابلة، وهو رأي أكثر الفقهاء
"Aurat laki-laki dalam shalat maupun di luar shalat, antara pusar hingga lutut, menurut hanafiyah, malikiyah, syafiiyah dan hambali. Dan ini pendapat mayoritas ulama." (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 22/118)
Artikel saya ini sebagai bentuk tanggapan terkait video viral seorang ustadz yang menjelaskan bahwa paha laki-laki bukanlah aurat dengan berlandasan hadits dibawah ini tanpa melihat dan mempertimbangkan faktor apa yang menjadi penyebab sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperlihatkan paha beliau. (lihat videonya)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ’anhu ia berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قاعداً في مكان فيه ماء قد انكشف عن ركبته أو ركبتيه فلما دخل عثمان غطاها
“Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pernah duduk di suatu tempat yang terdapat air dalam keadaan terbuka lututnya atau kedua lututnya. Ketika Utsman datang, beliau menutup lututnya” (HR. Al Bukhari no. 3695).
Dari Anas radhiyallahu ’anhu yang panjang tentang kisah perang Khaibar, di antara redaksinya:
وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang putih.” (HR Bukhari: 371)
Meskipun dua hadits ini shahih, tapi tidak mesti menunjukkan secara pasti bahwa paha bukanlah aurat, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa aurat laki-laki memiliki dua jenis:
*Pertama :* ‘Aurah Mugalladzhah atau aurat yang berat. Yaitu, qubul dan dubur beserta bagian di sekitar keduanya. Aurat ini tidak boleh ditampakkan kecuali kepada istri atau hamba sahaya. Ia tidak boleh disingkap di depan orang lain kecuali bila dalam kondisi darurat. Adapun kalau hanya dalam kondisi yang diperlukan seperti mengangkat pakaian agar tidak terkena tanah becek, atau ketika mandi di kolam, atau keperluan/hajat lainnya maka tetap tidak boleh, karena kalau hanya sekedar hajat maka sama sekali tidak membolehkan pelaksanaan amalan haram, tetapi yang bisa membolehkan pelaksanaannya adalah bila dalam kondisi darurat seperti pada kondisi pengobatan atau operasi atau perkara darurat lainnya.
*Kedua:* ‘Aurah Mukhaffafah atau aurat yang ringan. Yaitu bagian paha hingga ke atasnya. Aurat jenis ini boleh diperlihatkan bila diperlukan, namun biasanya keperluan/hajat ini kondisinya hanya sekali-sekali dan bukan menjadi kebiasaan. Artinya, kalau ada yang keluar dengan memakai pakaian pendek yang memperlihatkan pahanya, maka ini tidak boleh karena ia merupakan pakaian yang menjadi kebiasaannya. Dalil utama yang menunjukkan bahwa paha adalah aurat yang ringan adalah:
- Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menampakkan pahanya pada orang lain dalam kondisi membutuhkan penyingkapannya, sebagaimana dalam hadits Anas ra di atas ketika beliau melewati atau melompati' benteng Khaibar.
- Juga Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menyingkap sarung (izar)nya sebentar dan bukan terus menerus menyingkapnya seperti ketika hanya duduk sebentar sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy'ari ra diatas. Dalam hadits ini beliau menyingkapnya dalam kondisi duduk, dan bukan berdiri atau berjalan. Sebab itu, ketika beliau melihat Abu Bakr radhiyallahu ’anhu yang menyingkap pahanya dalam keadaan berdiri tanpa hajat tertentu seperti melompati pagar atau tempat tinggi, beliau lantas bersabda:
أما صاحبكم فقد غامر
“Teman kalian ini telah menjerumuskan dirinya dalam perkara yang berbahaya.” (HR Bukhari: 3661).
Dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
لاَ تُبْرِزُ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرُإِلَى فَخِذِ حَيٍّ وَلاَ مَيِّتٍ
"Janganlah kamu menampakkan pahamu dan jangan pula kamu melihat paha orang yang masih hidup maupun telah mati." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Muhammad bin Jahsy berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salkam pernah berjalan berpapasan dengan Ma’mar ra, sementara kedua pahanya terbuka. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ياَ مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu karena kedua paha itu adalah aurat." (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).
Juga dalam hadits Anas dan Abu Musa di atas, mereka berdua menyebutkan penyingkapan paha Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dengan menyebutkan faktornya. Hal ini mengisyaratkan bahwa keauratan paha itu ringan, hanya boleh ditampakkan kalau ada hajat atau faktor tertentu, dan tidak boleh ditampakkan secara terus menerus.
*Kesimpulannya,* pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat merupakan pendapat yang benar dan penuh kehati-hatian. Adapun orang-orang yang menganggapnya bukan aurat maka akan kesulitan menentukan batasan aurat pada paha, sebab paha merupakan satu anggota badan yang panjang dan bersambung, sehingga bila menganggap bahwa bagian paha bawah bukan aurat maka serta merta akan menganggap bahwa pangkal paha yang dekat selangkangan juga bukanlah aurat . Tentunya ini merupakan pendapat yang tidak benar.
Pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat ringan merupakan pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dengan berdalil hadis populer:
الفخذ عورة
“Paha itu aurat.” (HR Ahmad: 1/275 dan Tirmidzi: 2796 dari hadis Ibnu Abbas, dan HR Ahmad: 3/478, Abu Daud: 4014, dan Tirmidzi: 2795 dari hadis Jarhad)
Adapun lutut dan pusar, maka para ulama berbeda dalam dua pendapat; apakah keduanya merupakan aurat atau bukan? Imam Malik, Syafii dan Ahmad berpandangan bahwa keduanya bukanlah aurat, sedangkan Abu Hanifah memandang keduanya sebagai aurat. Wallaahu a’lam. (Diringkas dari At-Tafsir wa Al-Bayan: 3/1293-1296) Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar