Haji secara bahasa berarti ( القصد ) ‘menuju’.
Secara syariat, haji adalah,
التعبد لله بأداء المناسك في مكان مخصوص في وقت مخصوص، على ما جاء في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ibadah kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan manasik di tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Haji merupakan salah satu rukun Islam dan kewajiban yang agung, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran : 97)
Orang yang telah meninggal dunia dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:
*Pertama:*
Saat hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)
Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
يا رسول الله إن أبي شيخ لا يستطيع الحج ولا العمرة ولا الظعن
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua dan tidak mampu melaksanakan haji, umrah, maupun bepergian.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حج عن أبيك واعتمر
“Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu.” (HR. Abu Dawud, 1: 420; At-Tirmidzi, 4: 160; dan beliau berkata, “Hadis hasan sahih.”)
Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.
Hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ada seorang wanita dari suku Khath’am berkata,
يا رسول الله، إن فريضة الله على عباده في الحج أدركت أبي شيخًا كبيرًا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة. أفأحج عنه؟
“Wahai Rasulullah, kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam hal haji telah menimpa ayahku yang sudah tua dan tidak mampu duduk tegak di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya?”
Beliau menjawab, ( نعم ) “Ya,” dan itu terjadi pada Haji Wada’. (HR. Bukhari, 2: 163; Muslim, 2: 973).
Hadits dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu.
Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
يا رسولَ اللهِ إنَّ أمِّي ماتت ولم تحُجَّ أفأحُجُّ عنها ؟
“Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan belum berhaji. Bolehkah aku berhaji untuknya?” Beliau menjawab,
نعم حُجِّي عنها
“Ya, berhajilah untuknya.” (HR. Lihat HR. Muslim no. 1149).
*Kedua:*
Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan sebelumnya.
Berkaitan dengan hal ini, Imam Abul Hasan Al-Mawardi (wafat 450 H) mengatakan menurut mazhab Syafi’iyah, tidak boleh bagi seseorang untuk menghajikan orang lain, sementara dirinya belum pernah menunaikan ibadah haji. Hal ini berdasarkan salah satu hadits nabi, yaitu,
احْجُجْ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمة.
“Hajilah untuk dirimu sendiri terlebih dahulu, barulah haji atas nama Syubramah.”
Hadits ini bermula dari ucapan salah seorang sahabat nabi yang sedang menghajikan temannya yang bernama Syubramah. Dalam kisahnya, ia mengatakan “labbaikan ‘an syubramah”, yang artinya: "Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, atas nama Syubramah". Mendengar ucapan itu, Nabi lantas bertanya, “Sudahkah engkau melakukan haji?” Sahabat itu pun menjawab: "Belum, wahai Rasululah.” Akhirnya Nabi berpesan untuk menunaikan haji terlebih dahulu, kemudian baru menghajikan orang lain.
Berdasarkan hadits ini, Imam Al-Mawardi menegaskan bahwa orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji tidak diperbolehkan untuk membadali orang lain. Hal ini sebagaimana ditegaskannya,
وَهَذَا كَمَا قَالَ لَيْسَ لِمَنْ لَمْ يُؤَدِّ فَرْضَ الْحَجِّ عَنْ نَفْسِهِ أَنْ يَحُجَّ عَنْ غَيْرِهِ سَوَاءٌ أَمْكَنَهُ الْحَجُّ أَمْ لا
“Dan ini sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada hak bagi orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji bagi dirinya sendiri untuk haji atas nama orang lain, baik memungkinkan baginya untuk menunaikan haji atau pun tidak.” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 45)
*Menyewa Orang Lain untuk Badal Haji*
Dalam kitab-kitab fikih, badal haji ( بدل الحج ) biasa juga diistilahkan dengan niyabah dalam haji ( النيابة في الحج ), yaitu,
القيام مقام الغير في أداء الحج
“melaksanakan haji atas nama orang lain.”
Misalnya, seseorang menyewa orang lain untuk berhaji untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut madzhab Imam Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad (bin Hambal) berpendapat bahwa boleh menyewa orang lain untuk berhaji karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أحق ما أخذتم عليه أجرًا كتاب الله
“Hal yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.” (HR. Bukhari, 3: 121).
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengambil upah untuk meruqyah dengan Kitabullah (Al-Qur'an) dan memberitahukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau membenarkan mereka. Wallahu a'lam bis-Showab 🙏🏻
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق إلى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar