MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 16 Mei 2016

KAJIAN TENTANG MANHAJ DALAM MEMAHAMI SYARI’AT ISLAM


Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada Ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti Nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik, al-Hakim, al-Baihaqi)
Sesuai fithrahnya, Islam adalah ajaran kemanusiaan, penyelamatan, perdamaian, moderat, tunduk patuh dan kepasrahan total kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ia merupakan ideologi universal yang aturan aturannya didasarkan pada hakekat universalitas dengan memperhatikan basic need (al hajah al asasiyah) manusia itu sendiri. Karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut Islam sebagai agama fitroh dan menyeru kepada umat manusia agar menjaga fitroh itu tetap hidup (QS. Ar-Ruum [30] : 30),

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

Dan dengan dasar itu pula ditegaskan bahwa kehadiran islam dimaksudkan sebagai rahmah bagi sekalian alam (QS. Saba’ [34] : 28, QS. Al-Anbiya’ [21] :107 dan QS. Al-A’raaf [7] : 158).

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

" Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ [34]: 28)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

" Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’ [21] :107)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".” (QS. Al-A’raaf [7] : 158).

Sedangkan karakteristik utama dari ajaran islam menimal ada empat,yakni : Ilahiyah, Insaniyah, Syumuliyah dan wasathiyah. Disebut universal, karena Islam -baik sebagai sikap tunduk patuh kepada Allah yang Maha Agung maupun sikap harmoni terhadap makro kosmik- merupakan pola wujud seluruh alam semesta. Diutusnya para Rasul mulai dari Adam as sampai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang datang silih berganti dalam sejarah umat manusia dimaksudkan untuk menegaskan agar manusia jangan sampai salah pilih sehingga menempuh jalan hidup selain sikap tunduk patuh kepada penciptanya atau hidup yang tidak harmonis dengan makhluk yang lain. Orang orang yang menempuh jalan hidup “selain” seperti dimaksud diatas, dengan sendirinya nyata nyata melawan grand desigh ilahi, menentang nuraninya dan menentang hukum universal yang menguasai seluruh alam semesta (QS. Ali Imran : 83 – 85).

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ. قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. 
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri. Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran [3]: 83-85).

Disebut moderat, karena, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu yang dituntut adalah ketulusan beragama dan tidak dibenarkan pemaksaan agama dalam segala bentuknya, nyata atau terselubung, besar atau sekecil kecilnya sekalipun. Oleh karena tidak ada paksaan dalam beragama, maka dalam pemahaman agamapun tidak ada paksaan. Artinya bahwa Islam menghargai setiap manhaj, model dan kreatifitas manusia dalam memahami agamanya. semua agama mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut, ketika manusia melakukan interpretasi terhadap yang absolut itu, maka akan bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan manusia itu sendiri, karenanya sering dikatakan “Kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman akan kitab sucinya, sehingga kebenaran agama dapat dipahami secara beragam. Agama hanyalah “jalan” sedangkan tujuannya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sampai disini kita melihat bahwa model apapun yang berkembang dari improvisasi manusia dalam memahami agamanya sesungguhnya sah-sah saja tetapi yang utama bukanlah yang menempuh banyak jalan, melainkan yang memilih jalan efektif untuk sampai pada tujuan, cinta dan taqwa kepada Allah adalah jalan yang efektif untuk wushul ila Allah.

Secara normatif telah mensejarah beberapa pendekatan memahami islam yang terus berkembang hingga saat ini, antara lain :

1. Al Manhaj al Naqli (metode tekstual), المنهاج النقل

Yakni metode yang menjadikan teks-teks wahyu sebagai pegangan dalam memahami islam, menurutnya Al-Qur’an dan Al-Hadits telah komplit dan sempurna menyediakan berbagai konsep dan jawaban terhadap segala persoalan keagamaan yang dihadapi manusia sejak masa Rasululloh hingga akhir zaman.

Pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena hawatir menimbulkan keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan selalu menempatkan konsep المحافظة على القديم الصالح والاخذ باالجديد الاصلاح “Almuhafadatu alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.

Terdapat beberapa ciri yang melekat erat pada model ini biasanya mereka memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah (literal) dan bulat, mereka menolak upaya interprertasi kritis terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat). Menurutnya islam adalah agama yang universal dan holistik, ia merupakan sistem komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), dan berlaku untuk segala waktu dan tempat sehingga tidak perlu sumbang saran sebagaimana kotak saran.

2. Al Manhaj al Aqli (metode rasional kontekstual), المنهاج العقل

Yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.

Model kontekstualis menurut Harun Nasotion dapat diartikan sebagai sebuah manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks-teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.

Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi : Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam akan hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas islam itu sendiri, sebab dengan demikian islam akan mengalami pembusukan.

3. Al Manhaj al Jadili (metode dialektika), المنهاج الجدل

Yakni metode yang menjadikan debat argumentatif dan uji shoheh sebagai alat untuk menyingkap berbagai dimensi ajaran islam yang masih tersembunyi sekaligus membersihkan ajaran islam dari unsur unsur luar yang mencemarinya. Model ini menganggap bahwa setiap bentuk penafsiran atas teks adalah “kegiatan manusiawi.” Bagi mereka tafsir atas teks yang dilakukan banyak pihak adalah bersifat relatif, terbuka dan plural, sehingga diantara mereka boleh saling menyangkal dan akhirnya kebenaran ditentukan secara induktif melalui adu dan uji pendapat. Bagi pengguna model ini, yang diusahakan adalah terwujudnya ruang-ruang dialog yang terbuka, bebas dan jujur, sebab hanya dengan tersedianya ruang yang terbuka buat dialog, perkembangan pemikiran Islam akan berjalan secara sehat. Maka kebenaran pemahaman islam adalah ditentukan oleh valid tidaknya argumentasi atau hujjah yang mendasarinya.

4. Al Manhaj ad Dzauqi (metode gnosis), المنهاج الذوق

Yakni metode yang biasa digunakan kaum sufi untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) yang langsung dari Allah melalui riyadhah, daya intuitif dan cinta. Pengetahuan dan pemahaman Islam yang dicari oleh kelompok ini adalah pengetahuan dalam bentuk kesadaran dan kesaksian bathin, bila filosuf mencari ilmu al yaqin (pengetahuan berdasarkan argumentasi dan pembuktian nyata), maka seorang sufi mencari ain al yaqin (pengetahuan berdasarkan kesaksian nyata).

Bila filosuf dalam memperoleh pengetahuan selalu menggunakan teleskop rasio, akal dan nalarnya agar dapat mempelajari asal usul dan struktur sebuah keberadaan, maka seorang sufi menggunakan qalb, tashfiyah, tahdzib dan takmil an nas guna menggerakkan seluruh wujudnya agar sampai pada substansi, esensi dan hakekat keberadaan. Bila menurut filosuf kesempurnaan fitroh yang menjadi dambaan setiap manusia terletak pada pemahaman dan pengetahuan yang tak terbantahkan karena terdapat dalil dalil pasti, maka bagi seorang sufi kesempurnaan fitroh itu terletak pada wushul (sampai pada tujuan).

Bagi mereka cinta karena Allah merupakan ikatan iman yang paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang dibentangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, maka tidak ada manhaj yang lebih mempercepat wushul ila Allah kecuali manhaj cinta, dengan cinta seseorang dapat menurunkan rahmat Allah yang tidak dapat diturunkan dengan manhaj lain. Allah tidak dapat dijangkau dengan pandangan mata kepala, sebagaimana firman-Nya “la tudrikuhul absaar”, tetapi sangat mungkin dijangkau dengan mata hati dan cinta, sebagaimana ditegaskan para sufi “ kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan cintaku, maka akupun berkata tidak disangsikan lagi yang Engkau itu adalah Engkau Tuhan.

Diantara tanda tanda pengikut manhaj cinta adalah hatinya selalu bersih dan dipenuhi keyaqinan yang mantap, lisannya selalu diserta pujian, matanya selalu disertai rasa malu dan tangis, kehendaknya selalu diisi dengan meninggalkan kehendaknya, ia mendahulukan apa yang disenangi Allah diatas segalanya, dirinya selalu ridlo atas semua keputuasan Allah, ia merasa nikmat dalam taat dan ibadah kepada Allah, ia yang merasa kaya dalam kemiskinan, yang menjadi tuan dalam penghambaan, yang merasa kenyang dalam kelaparan, yang merasa hidup dalam kematian, dan yang merasa manis dalam kepahitan.

Jalaluddin Rumi menegaskan “ Jika tiada cinta, dunia akan membeku, cinta baginya adalah penaka lautan luas dan dalam, seluas dan sedalam daya jelajah nurani manusia itu sendiri, cintalah yang semestinya menjadi landasan manhaj seseorang memahami agamanya, ia mestinya menjadi pilar bagi hubungan manusia dengan kholik, dengansesama atau dengan kosmik.

Cinta adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia, tanpa cinta manusia akan saling bermusuhan satu sama lainnya, perang adalah bentuk ekstrim dari corak hubungan manusia yang kering akan cinta, keributan kemanusiaan adalah manefestasi dari iklim hati yang membeku karena sepi dari gairah cinta, hati tanpa cinta adalah garang, tulisan tanpa cinta hanya nuktah tak bermakna, puisi tanpa cinta hanyalah mbanyol dan akal tanpa cinta adalah kebingungan belaka.

Singkatnya, jika islam mengajarkan sifat rahmah maka tidak ada alasan kita untuk membenci atau meyalahkan satu dengan lainnya dalam masalah perbedaan pemahaman. Hal itu telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam sebuah riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ 
نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela salah satunya.” (HR. Bukhari Muslim)

Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas. Jadikanlah perbedaan pendapat sebagai rahmat. Wallahu a’lam bis-Shawab

Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق






Tidak ada komentar:

Posting Komentar