Bukan hal yg aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.
Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yg suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain?
Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yg mengalami dipepet-pepet seperti itu.
Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat, ”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”
Beberapa hari yg lalu sy ditanya seseorang tentang hadits keharusan mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yg disinyalir menjadi pijakan teman2 yg beranggapan bahwa kaki harus benar2 nempel dengan kaki jamaah lain.
Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab2 para ulama yg mu'tamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini.
A. Nash Hadits
Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits2 yg shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun kalau kita teliti di hulunya, rata2 semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma.
Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yg shahih.
Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan?
Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini.
Sebab kajian yg ilmiyah adalah kajian yg berciri hati2 dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.
1. Hadits Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallallah alaih wa sallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yg menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari)
Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada , hal. 1/146.
Catatan
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.
2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 diantara kami ada yg menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya. (HR. Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yg sama dengan hadits di atas.
Catatan
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits2 ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya
Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu melihat seorang laki2 yg menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.
B. Kajian dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yg cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yg melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
1. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yg pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul (tidak ada yg baru dalam hukum shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذر والتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yg nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yg mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yg susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela2. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela2, istiqamah dalam shaf, bukan benar2 menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar2 menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
2. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari kita telusuri lagi pendapat yg lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki.
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar2 lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311
Ternyata Shaleh Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar2 lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yg menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yg dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.)
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H). Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C. Point-Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi atau bentuk perintah yang secara nash beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?
1. Menempelkan mata kaki dalam shaf bukan tindakan atau anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yg benar terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam anjurkan adalah menegakkan shaf.
Perhatikan redaksinya:
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah barisan kalian
Itu yang beliau Shallahu 'alaihi wa sallam katakan. Sama sekali beliau tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yg tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat2 Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid2 pendukungnya saja.
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
[وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki
Meskipun dengan redaksi yg berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yg melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99)
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki2 pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yg mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Dan para shahabat yg lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yg lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh2 anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yg shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yg dilakukan di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yg dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yg tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat2 Allah. Ini adalah sebuah fatwa yg agak emosional dan memaksakan diri. Dan yg pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yg pernah mendukungnya.
Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara2 ada shahabat makan daging dhob (biawak), dan kebetulan memang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering2 makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat2 Allah.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yg bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yg mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan dia mengatakan bahwa yg mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yg mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus.
Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jika pun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini belum ditemukan pendapat ulama madzhab empat yg mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik. Wallahu a’lam
Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskam dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق
Tidak ada komentar:
Posting Komentar