MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 06 September 2015

WALI HAKIM DALAM PERNIKAHAN WANITA HAMIL


Jujur sy tidak menghendaki dan tentu jg yg bersangkutan tdk menginginkan hal ini terjadi. Sudah kesekian kalinya sy dimintai tolong unt menyelamatkan janin yg terlanjur tertanam dlm rahim perempuan dgn cara MENIKAHKANNYA. Mulai dari yg usia belia, remaja dan dewasa. Ada yg blm punya KTP sampai yg laki2nya sdh beristri, kasusnya sama HAMIL diluar nikah.
Sebagai pelayan masyarakat tentunya sulit menghindar jika diminta tolong terkait kasus ini. Jika tdk ditolong demi keberlangsungan janin biar ada yg tanggung jawab terabaikan dan jg beban moril bagi keluarganya tentunya. Dan jika ditolong sdh pasti banyak khilafiyah pendapat ulama tentangnya. Meskipun akhirnya sy kabulkan permintaan tersebut dgn menikahkannya.
Jika dilihat dari kacamata agama kasus tersebut disinggung oleh Alloh sbb:
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمنينِ
“laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)
Memang ada sebagian pendapat yg mengharamkan menikahi wanita yg pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat QS. An-Nuur: 3 tersebut.
Namun kalau kita teliti, rupanya yg mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkannya.
Pendapat Ulama
Jumhurul fuqaha’ (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yg dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yg pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yg pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yg zahirnya mengharamkan itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima‘ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yg khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٣٢)
"Dan kawinkanlah orang-orang yg sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yg berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yg haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Thobroni dan Daruquthuni)
Ulama 4 Imam Madzab Fikih hanya Madzhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal) yg mengatakan melarang dan TIDAK SAH pernikahan yg dilakukan saat wanita telah hamil sampai dia melahirkan. Adapun madzhab yg lain membolehkannya sbb:
Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki2 yg menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yg menikahinya itu bukan laki2 yg menghamilinya, maka laki2 itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
Madzhab Maliki dan Hanbali
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki2 yg tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yg hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. (Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An- Nawawi, jus XVI halaman 253)
Madzhab Syafi'i
Imam Syafi'i menurut pendapat beliau adalah bahwa baik laki2 yg menghamili atau pun yg tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. (Kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy- Syairazi juz II halaman 43.)
UU Perkawonan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Itulah landasan yg menjadi rujukan sy berani melakukan dan membantu pelaksanaan pernikahan wanita yg terlanjur hamil.
Perempuan hamil di luar nikah berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah karena cerai atau ditinggal mati suaminya. Untuk mereka yg hamil dalam masa iddah atau ditinggal mati suami, pernikahan mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi setelah melahirkan dan habis masa nifas.
Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yg menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah TETAP SAH. Demikian diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
"Kalau seorang pria menikahi perempuan yg tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yg lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan."
Meskipun demikian, Islam secara keras mengharamkan persetubuhan di luar nikah. Hamil, tidak hamil, atau dicegah hamil sekalipun. Karena, perbuatan keji ini dapat merusak berbagai aspek. Jangan sampai ada lagi bayi2 suci teronggok bersama lalat dan sampah.

Masalah Bertahkim (Wali Hakim)

Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila wali dekat (bapak) menolak menikahkan dengan alasan yg tidak sesuai syariah. Wali ini disebut wali adhol (menghalangi pernikahan). Dalam QS Al-Baqarah: 233 Allah berfirman:

فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن إذا تراضوا بينهم بالمعروف

"Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yg ma'ruf." (QS. Al-Baqarah: 233)

Dalam mazhab Syafi'i, apabila bapak (wali dekat/aqrob) menolak menikahkan putrinya tanpa alasan syar'i, maka hak menikahkan berpindah ke wali hakim, bukan ke wali lain yg jauh (wali ab'ad) seperti paman, saudara, dll. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 30/144 dijelaskan sbb:

ذهب الفقهاء إلى أنه إذا تحقق العضل من الولي وثبت ذلك عند الحاكم , أمره الحاكم بتزويجها إن لم يكن العضل بسبب مقبول , فإن امتنع انتقلت الولاية إلى غيره .

لكن الفقهاء اختلفوا فيمن تنتقل إليه الولاية : فعند الحنفية , والشافعية ، والمالكية - عدا ابن القاسم - وفي رواية عن أحمد أن الولاية تنتقل إلى السلطان ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له ) ; ولأن الولي قد امتنع ظلما من حقٍّ توجه عليه فيقوم السلطان مقامه لإزالة الظلم , كما لو كان عليه دين وامتنع عن قضائه . والمذهب عند الحنابلة أنه إذا عضل الولي الأقرب انتقلت الولاية إلى الولي الأبعد

"Ulama ahli fiqih berpendapat apabila wali menolak menikahkan putrinya, maka hakim memerintahkannya untuk menikahkan. Apabila menolak, maka perwalian pindah pada yg lain. ... Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki (selain Ibnu Al-Qasim) dan Ahmad (menurut sebagian riwayat) bahwa perwalian berpindah ke sulthon (yakni, wali hakim) berdasarkan hadits Nabi "Apabila wali menolak maka sultan adalah wali bagi perempuan yg tidak punya wali". Dan karena wali menolak secara zholim atas kewajiban yg diamanahkan padanya maka sulthon mengganti posisinya untuk menghilangkan kezholiman itu sebagaimana apabila ia punya hutang dan tidak mau melunasinya. Pendapat utama dalam mazhab Hanbali apabila wali utama menolak, maka pindah ke wali jauh." ( Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33).

عن عروة ، يقول :سمعت عائشة - رضي الله عنها - ، تقول : سمعت رسول الله - صلى الله عليه وآله وسلم - يقول : " أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فإن أصابها ، فلها مهرها بما أصابها ، وإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له " 

Dan Urwah berkata, aku mendengar dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja wanita yg menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil (Rasulullah mengucapkannya 3x), jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farjinya; dan jika mereka (para wali) berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yg mewakilinya) adalah wali bagi orang yg tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad (4250), Abu Daud (2083), Ibnu Majah (1839), Ibnu Hibban (4074), Hakim (2182). Lihat juga kitab Subulus Salam (III/118), kitab Fathul Bari (IX/191).

Wallohu a’lam bish-Showab dan semoga bermanfaat. Aamiin
________
Kelengkapan hadits diatas sbb:

أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَحْبُوبِيُّ بِمَرْوَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذٍ. وَأَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَمْدَانَ الْجَلابُ بِهَمْدَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْجَهْمِ السَّمُرِيُّ، قَالا: ثنا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ مُوسَى، يَقُولُ: ثنا الزُّهْرِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: " أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَهَا، وَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbas Muhammad bin Ahmad Al-Mahbubi di negeri Marwi : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’adz. Dan telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahman bin Hamdan Al-Jalab di negeri Hamdan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Jahm As-Samuri; mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim Adl-Dlahhak bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Sulaiman bin Muusaa berkata : Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri, ia berkata : Aku mendengar ‘Urwah berkata : “Aku mendengar ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wanita mana saja yg menikah tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil, pernikahannya itu baathil. Akan tetapi jika ia telah digauli, baginya mahar sebagai ganti apa yg telah dihalalkan atas kemaluannya. Namun jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yg tidak mempunyai wali” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 2/169, dan ia berkata : “Hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhaan, namun mereka berdua tidak meriwayatkannya”]
Wallahu a’lam dan semoga bermanfaat. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar