MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 23 Oktober 2011

MAKNA ISTIWA’ DALAM KITAB AL-IBANAH AN USHUL AD-DINIYAH [MADZHAB HAMBALI]


 Kitab “Al-Ibanah An Ushul Ad-Diniyah” [Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il Al-Asy’ari; wafat: 324 H]

AQIDAH SALAF BERMADZHAB HAMBALI [IMAM AHMAD BIN HANBAL]

الإبانة عن أصول الديانة
أبو الحسن على بن إسماعيل الأشعرى
 (المتوفى : 324هـ)

كتاب الإبانة عن أصول الديانة عبر فيه المؤلف عن تفضيله لعقيدة السلف ومنهجهم والذي
كان حامل لوائه الإمام أحمد بن حنبل رحمه الله.

الباب الخامس ذكر الاستواء على العرش

إن قال قائل : ما تقولون في الاستواء ؟
قيل له : نقول : إن الله عز وجل يستوي على عرشه استواء يليق به من غير طول استقرار كما قال : ( الرحمن على العرش استوى ) ( 5 / 20 ) وقد قال تعالى : ( إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه ) من الآية ( 10 / 35 ) وقال تعالى : ( بل رفعه الله إليه ) من الآية ( 158 / 4 ) ( 1 / 106 ) وقال تعالى : ( يدبر الأمر من السماء إلى الأرض ثم يعرج إليه ) من الآية ( 5 / 32 ) وقال تعالى حاكيا عن فرعون لعنه الله : ( يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السماوات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا ) من الآيتين ( 36 - 37 / 40 ) كذب موسى عليه السلام في قوله : إن الله سبحانه فوق السماوات

وقال تعالى : ( أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض ) من الآية ( 16 / 67 )

فالسماوات فوقها العرش فلما كان العرش فوق السماوات قال : ( أأمنتم من في السماء ) من الآية ( 14 / 67 ) . . . لأنه مستو على العرش ( 1 / 107 ) الذي فوق السماوات وكل ما علا فهو سماء والعرش أعلى السماوات وليس إذا قال : ( أأمنتم من في السماء ) من الآية ( 16 / 67 ) يعني جميع السماوات وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السماوات ألا ترى الله تعالى ذكر السماوات فقال تعالى : ( وجعل القمر فيهن نورا ) من الآية ( 16 / 7 ) ولم يرد أن القمر يملأهن جميعا وأنه فيهن جميعا ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم إذا دعوا نحو السماء لأن الله تعالى مستو على العرش الذي هو فوق السماوات فلولا أن الله عز وجل على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش كما لا يحطونها إذا دعوا إلى الأرض 1 ( 1 / 108 )

Jika seorang berkata, “Bagaimana pendapat anda tentang istiwa’ [tempat bersemayam Alloh] diatas Arsy?”

Dikatakan kepadanya, kami berkata, “Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersemayam diatas Arsy-Nya yg sesuai dgn kemuliaan-Nya TANPA MENETAP SETERUSNYA sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, “(Yaitu) yg Maha Pemurah yg bersemayam diatas Arsy.” [QS. Thaaha: 5]

Dan sungguh Alloh berfirman, “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yg baik.” [QS. Al-Faathir: 10]

Dan Alloh berfirman, “Tetapi (yg sebenarnya) Alloh telah mengangkat Isa as. Kpd-Nya.” [QS. An-Nisa’: 158]

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya.” [QS. As-Sajadah: 5]
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman bercerita tentang Fir’aun smg Alloh melaknatnya, “Wahai Hammam, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yg tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku bisa melihat Ilah [Tuhan}Musa dan sesungguhnya aku memandangnya dia seorang pendusta.” [QS. Al-Mukmin: 36-37]

Fir’aun mendustakan Nabi Musa as. Bhw Alloh Subhanahu wa Ta’ala berada diatas lapis tujuh langit.

Alloh Ta’ala berfirman, “Apakah kamu merasa aman terhadap [siksa] Alloh yg dilangit bahwa Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dgn tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [QS. Al-Mulk: 16]

Arsy berada diatas tujuh lapis langit. Tatkala Alloh mengatakan bhw Arsy berada diatas langit dan Dia berfirman, “Apakah kamu merasa aman terhadap Alloh yg ada di langit,”  [QS. Al-Mulk: 16] Sebab Dia beristiwa’ [bersemayam] diatas Arsy-Nya yg berada diatas langit. Bukan berarti yg Dia katakan “Apakah kamu merasa aman terhadap Alloh yg ada di langit,”  [QS. Al-Mulk: 16] Dia berada di semua langit. Jadi maksudnya diatas Arsy yg lebih tinggi dari pada langit ketujuh. Tidaklah kalian melihat ketika Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tujuh lapis langit kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan, “Dan Alloh menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita.” [QS. An-Nahl: 16]

Ternyata bulan tdk memenuhi seluruh langit dan tdk terdapat diseluruh langit.

Kita melihat semua kaum muslimin mengangkat tangan mereka ke arah langit ketika mereka berdo’a. Ini membuktikan bhw Alloh Ta’ala beristiwa’ [bersemayam] diatas Arys-Nya yg berada diatas langit. Kalau sekiranya Alloh tdk berada diatas Arys-Nyatentunya mereka tdk akan mengangkat tangan ke arah Arys sebagaimana mereka tdk akan merendahkan tangan mereka mengarah ke bumi ketika berdo’a. [Juz: 1 hal: 108]

ALLOH BERADA TANPA TEMPAT [MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA]


Allah berfirman:     {فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ} [سورة البقرة/115]

Dalam menjelaskan ayat ini ahli tafsir terkemuka; Imam Abu Hayyan al Andalusiy dalan Kitab Tafsir al-Bahr al-Muhith menuliskan sebagai berikut:


"وفي قوله تعالى: {فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ} [سورة البقرة/115] ردٌّ على من يقول إنه في حيِّز وجهة، لأنه لمّا خيَّر في استقبال جميع الجهات دلَّ على أنه ليس في جهة ولا حيِّز، ولو كان في حيِّزٍ لكان استقباله والتوجه إليه أحق من جميع الأماكن، فحيث لم يُخصِّص مكانًا علِمْنا أنه لا في جهة ولا حيِّز، بل جميع الجهات في ملكه وتحت ملكه، فأيّ جهة توجهنا إليه فيها على وجه الخضوع كنا معظمين له ممتثلين لأمره"


“Dalam firman Allah QS. Al Baqarah: 115 ini terdapat bantahan terhadap orang yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, karena dalam ayat ini terdapat perintah memilih untuk menghadap ke arah manapun --dalam shalat sunnah di atas binatang tunggangan--; ini berarti bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Oleh karena bila Allah berada pada suatu tempat dan arah maka tentulah arah tersebut lebih berhak untuk siapapun menghadap kepadanya dibanding semua arah lainnya. Dengan demikian, ketika Allah tidak mengkhususkan untuk menghadap ke suatu arah --dalam shalat sunnah di atas binatang tunggangan-- kita menjadi tahu bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya semua tempat dan arah itu berada di dalam dan di bawah kekuasaan (milik) Allah. Karenanya ke arah manapun kita shalat --dalam shalat sunnah di atas binatang tunggangan-- dengan jalan tunduk merendahkan diri kepada-Nya maka berarti kita telah mengagungkan Allah dan mengerjakan perintah-Nya” [Al Bahr al Muhith, j. 1, h. 361]


Asy-Syaikh al-‘Allâmah Abd al-Ghani an-Nabulisi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul al-Fathar-Rabbâny Wa al-Faydl ar-Rahmâny menuliskan sebagai berikut:


"وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب، وأما التشبيه: فهو الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو عليه"


“Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at-Takdzib (mendustakan). Adapunat-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya” [al-Fath ar-Rabbâny, h. 124]
Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari menuliskan sebagai berikut:


"فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاءً معينًا مشتملاً على إثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرًا لا محالة"


“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” [Syarh al-Fiqh al-Akbar,  h. 215]


Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:


"من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وإن عُدّ قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمرّ عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة الإيمان"


“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya-” [Ibid, h. 271-272]


Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:


"بل قال جمع منهم ـ أي من السلف ـ ومن الخلف إن معتقد الجهة كافر كما صرح به العراقي، وقال: إنه قول لأبي حنيفة ومالك والشافعي والأشعري والباقلاني"


“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik,al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani” [Mirqât al-Mafâtîh, j. 3, h. 300]


Asy-Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:


"واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك"


“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian” [al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224]


al-Imâm Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fî Ushûliddîn menuliskan sebagai berikut:


"والغرض من هذا الفصل نفي الحاجة إلى المحل والجهة خلافًا للكرّامية والحشوية والمشبهة الذين قالوا إن لله جهة فوق. وأطلق بعضهم القول بأنه جالس على العرش مستقر عليه، تعالى الله عن قولهم. والدليل على أنه مستغن عن المحل أنه لو افتقر إلى المحل لزم أن يكون المحل قديمًا لأنه قديم، أو يكون حادثًا كما أن المحل حادث، وكلاهما كفر. والدليل عليه أنه لو كان على العرش على ما زعموا، لكان لا يخلو إما أن يكون مِثْل العرش أو أصغر منه أو أكبر، وفي جميع ذلك إثبات التقدير والحد والنهاية وهو كفر. والدليل عليه أنه لو كان في جهة وقدرنا شخصًا أعطاه الله تعالى قوة عظيمة واشتغل بقطع المسافة والصعود إلى فوق لا يخلو إما أن يصل إليه وقتًا ما أو لا يصل إليه. فإن قالوا لا يصل إليه فهو قول بنفي الصانع لأن كل موجودين بينهما مسافة معلومة، وأحدهما لا يزال يقطع تلك المسافة ولا يصل إليه يدل على أنه ليس بموجود. فإن قالوا يجوز أن يصل إليه ويحاذيه فيجوز أن يماسه أيضًا، ويلزم من ذلك كفران: أحدهما: قدم العالم، لأنا نستدل على حدوث العالم بالافتراق والاجتماع. والثاني: اثبات الولد والزوجة"


“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.


Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.


Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur.


Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena dalam keyakinan kita salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu yang ada padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” [al-Ghunyah Fî Ushûliddîn, h. 73-75] Wallohu a’lam bish-Showab








Tidak ada komentar:

Posting Komentar