MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 08 Januari 2023

KAJIAN TENTANG TOKOH DAN AHLI AGAMA DENGAN SEBUTAN USTADZ, KYAI, GUS, ATAU WALI

Dalam Al-Qur'an, Allah menyebut orang yang memiliki pemahaman agama  dengan istilah “ulama” atau “ulul ilmi” (orang yang memiliki ilmu) atau “orang yang diberi ilmu” atau “Orang yang kokoh ilmunya.”

Kita bisa lihat beberapa ayat, diantaranya firman Allah,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28).

Di ayat yang lain, Allah berfirman,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS. Ali Imran: 18).

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang yang memiliki ilmu agama dengan istilah alim atau ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud 3641)

Sejak awal perkembangannya, Islam telah memiliki semacam atribut untuk mereka yang berdakwah mengajarkan agama kepada masyarakat. Atribut atau gelar tersebut di antaranya ulama, kyai, habib, ustadz, syekh dan semisalnya, yang tidak asal disematkan pada sembarang orang. Hanya kepada orang-orang yang kredibel gelar itu patut disematkan. 

KH. Mustofa Bisri atau yang dikenal dengan Gus Mus pernah mengungkapkan, istilah "kyai" telah digunakan salah kaprah karena sebenarnya kyai adalah sebuah istilah khas budaya Jawa yang mempunyai makna orang terhormat di tengah masyarakat yang selalu melihat umat dengan mata kasih sayang.

Beliau menjelaskan, dalam budaya Jawa sebutan kyai pada zaman dahulu tidak hanya menyangkut orang, tetapi juga benda yang dianggap terhormat seperti Kyai Nogososro, sebutan untuk sebuah keris, Kyai Plered  sebutan sebuah tombak, dan Kyai Slamet, seekor kerbau yang dikeramatkan. "Jadi sebutan itu memang khas dalam budaya Jawa," katanya.

Karena itu, Gus Mus sendiri merasa heran melihat segelintir Kyai dengan pakaian seperti layaknya Rasulullah tetapi sikap dan perilakunya justru bertolak belakang dengan rasa kasih sayang terhadap orang lain.

Dalam Kitab Al-Jami' Ash-Shaghir hadits nomor 56 disebutkan sebuah riwayat dari Sayidah Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

أَبْغَضُ الْعِبَادِ إِلَى ٱللهِ مَنْ كَانَ ثَوْبَاهُ خَيْرًا مِنْ عَمَلِهِ، أَنْ تَكُوْنَ ثِيَابُهُ ثِيَابَ الْأَنْبِيَاءِ وَعَلُهُ عَمَلَ الْجَبَّارِيْنَ

"Hamba yang paling dimurkai Allah adalah orang yang kedua pakaiannya (ijar dan rida`) lebih bagus daripada amalnya. Pakaiannya seperti pakaian para Nabi tetapi perbuatannya seperti perbuatan orang takabur." (HR `Uqaili dan Ad-Dailami)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ». رواه مسلم

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. (HR. Muslim).

Penyematan nama-nama sebutan tokoh agama biasanya berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki lebih banyak dibanding orang awam. Meskipun sering ditujukan pada orang dengan keilmuan agama di atas rata-rata, ada perbedaan di antara mereka, yakni sebagai berikut :

*Ustadz*

Ustadz berasal dari Bahasa Arab yang berarti guru atau pengajar. Di indonesia penamaan Ustad sering disematkan kepada pengajar agama islam atau penceramah. Seperti halnya Ustadz Abdul Somad (UAS), Ustadz Adi Hidayat (UAH), serta Ustadz Das’ad Latif.

*Kyai*

Kyai merupakan sebutan untuk alim ulama. Masyarakat Indonesia sudah familiar dengan penyebutan ini. Pada awalnya penyebutan kyai dipakai untuk sesuatu yang dihormati, dikeramatkan, dan disakralkan. Hal tersebut juga berlaku pada benda. Namun lambat laun penyebutan kyai sekarang dikhususkan untuk orang yang disegani dan dihormati. Bahkan di Indonesia orang yang memiliki pondok pesantren meskipun tidak seterkenal Ustadz Abdul Somad pun, memiliki gelar Kyai.

*Gus*

Gus merupakan panggilan untuk anak kyai atau orang terpandang. Seperti sebutan untuk putra mahkota yang mewarisi tahta. Penyebutan gus di beberapa tempat berbeda. Seperti di Madura sebutan gus menjadi lora. Namun ada pengecualian untuk penyebutan gus yang familiar di masyarakat. Selain karena anak kyai, sebutan gus juga disematkan untuk mereka yang memiliki pengetahuan agama dan pengetahuan umum yang luas.

Di Indonesia, penyebutan nama gus sering disematkan kepada pemuka agama yang berasal dari organisasi Nahdhatul Ulama. Seperti Gus Miftah, Gusdur, dan Gus Baha dan lainnya.

*Habib*

Habib merupakan panggilan untuk orang yang telah melalui pendidikan keagamaan, sekaligus juga mempunyai nasab dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di Indonesia, Habib dibagi dua ada habib yang berceramah dengan gaya lembut dan penuh kharismatik seperti Habib Lutfi, Habib Novel. Dan ada habib yang ceramah dengan gaya keras atau suara lantang. Seperti Habib Bahar, Habib Riziek Shihab.

*Syeikh*

Syeikh berasal dari Bahasa Persia yang berarti kepala suku, pemimpin, tetua, atau raja. Syeikh yang berasal dari kata syah memiliki bentuk superior syahansyah yang berarti raja diraja. Di Indonesia, nama Syeikh sering disematkan kepada orang yang berceramah yang berasal dari timur tengah. Seperti halnya Syeikh Ali Jaber.

*Wali*

Wali berasal dari bahasa Arab, yaitu al-waliy muannatsnya al- waliyyah dan bentuk jamaknya al-awliya‟ berasal dari kata walayali – walyan dan walayatan yang berarti mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh, dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang. Wali juga sering disebut ulama penerus para sahabat Nabi untuk menyebarkan agama islam. Di Indonesia nama wali populer dengan nama wali songo.

Dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 62-63, Allah telah menjelaskan definisi wali Allah,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”

Berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan sebuah kaidah,

والمؤمنون كلهم أولياء الرحمن، وأكرمهم عند الله أطوعهم وأتبعهم للقرآن

“Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al Qur’an. (Aqidah Thahawiyah).

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir mengatakan,

يخبر تعالى أن أولياءه هم الذين آمنوا وكانوا يتقون، كما فسرهم ربهم، فكل من كان تقيا كان لله وليا

“Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga setiap orang yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/278).

*Abuya atau Buya*

Buya atau Abuya adalah kata sapaan kekeluargaan untuk orang tua laki-laki, sama dengan sapaan “ayah”. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang bermakna “ayahku”, dengan kata dasar “abun” dan “ya”.

Di Sumatra, khususnya Minangkabau, gelar ini dapat pula merujuk kepada orang yang alim dalam ilmu agama. Seseorang dipanggil buya terutama disebabkan pemahamannya yang mendalam terkait pengetahuan agama. Istilah buya kerap diasosiasikan dengan kyai di Jawa. Namun, posisi buya di Minang tidak sesakral kyai. Di Jawa seorang santri sangat takut kepada kyainya, bahkan ketika kyai menjelaskan kitab, sangat jarang ditemukan santri yang mau mengkritik kiainya.

Di Indonesia, penamaan nama Buya seperti Buya Hamka, Buya Yahya, dan di Sumedang Abuya KH. Muhyidin Abdul Qadir Al-Manafi MA pimpinan Ponpes Internasional As-Syifa Walmahmudiyah Sumedang. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar