MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 26 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT SENDIRIAN DIBELAKANG SHAF

Biasanya di antara umat Islam ada yang ikut shalat jama'ah dari awal dan ada pula yang terlambat satu atau dua rakaat. Sehingga ketika ia terlambat jamaah, akibatnya ia tidak mendapatkan shaf atau barisan shalat dengan jamaah lainnya. Oleh sebab itu, ia pun akan berada di shaf belakang sendirian. Lalu bagaimana hukum shalatnya seseorang yang berada di shaf belakang sendirian?

Dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pernah bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ

“Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” (HR. Ahmad)

Menurut Syekh Ali Jum'ah sebagaimana termaktub di dalam Darul Ifta’ Al-Misriyah menyebutkan,

وصلاة المنفرد خلف الصف إذا كانت لعذر -كأن لم يجد من يصف معه- صحيحة، فإذا انتفى العذر، فإنها تكون صحيحة مع الكراهة.

"Shalatnya orang yang sendiri di belakang shaf jika karena uzur. Yakni tidak menemukan orang yang satu shaf dengannya, maka shalatnya sah. Jika tidak ada uzur, maka shalatnya sah disertai makruh."

Adapun dasarnya adalah hadits di dalam Shahih Al-Bukhari, riwayat Abu Bakrah ra. Bahwa ia suatu saat terlambat shalat berjamaah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Waktu itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah posisi ruku. Maka, Abu Bakrah ra. langsung melakukan ruku sebelum ia sampai di shaf (ia membuat shaf sendirian di belakang). Lalu peristiwa itu disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersabda,

زَادَكَ اللهُ حِرْصًا، وَلا تَعُدْ

“Allah telah memberikan kamu kesempatan. Kamu tidak perlu mengulangi shalatmu.” (HR. Bukhari)


Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentolelir sahabatnya yang berada di shaf belakang sendirian tanpa disuruh mengulangi shalatnya. Artinya shalatnya tetap sah.

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk tiga imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits diatas dimana ketika sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang terlambat shalat jama'ah, kemudian disebutkan,

فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ

“Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai di shaf, sambil berjalan menuju shaf.” (HR. Bukhari no. 784 dan Abu Dawud no. 684, lafadz hadits ini milik Abu Dawud)

Namun, ada hadits lain riwayat imam Al-Thabrani yang menyebutkan berbeda. Yakni informasi dari Wabishah bin Ma’bad ra,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلاةَ”

"Bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki yang sedang shalat di belakang shaf sendirian. Lalu beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya." (HR. At-Thabrani)

Menurut Syekh Ali Jum'ah, hadits yang kedua tersebut perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan wajib, tetapi sunah. Yakni beliau mencoba mengkrompomikan dua hadis yang seakan bertentangan tersebut. Sehingga, orang yang berada di shaf belakang sendirian saat jamaah itu tetap sah shalatnya. Baik disengaja atau tidak. Hanya saja, disunahkan mengulang shalatnya sebagaimana teks hadis yang kedua tersebut.

Sementara menurut ulama madzhab Hanbali, batal shalatnya orang yang shalat di belakang shaf jama'ah sendirian dengan tanpa adanya uzur alias disengaja. Dasar mereka adalah hadits riwayat Wabishah di atas.

Sedangkan jika kasusnya seseorang itu berada di shaf belakang karena tidak ada tempat lagi. Maka, ulama fiqih berbeda pendapat dalam hal ini.

Menurut ulama Malikiyyah dan salah satu dari pendapat ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa seseorang yang berada di shaf sendirian tersebut hendaknya tetap berdiri di belakang shaf. Dia tidak boleh menarik salah satu makmum di depannya untuk menemani dirinya berdiri di shaf belakang. Hal ini disebabkan karena otomatis orang yang berada di depan tersebut meninggalkan keutamaan shaf bagian depan.

Dalam fiqih Madzhab Syafi'i, salah satu literatur yang biasa dikaji kaum santri seperti kitab Fathul Mu'in juga tidak melewatkan membahas persoalan di atas. Syekh Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari, penulis kitab ini menyatakan dalam "Fasal Shalat Jama'ah" bahwa makmum yang memisahkan diri dari barisan jamaah padahal shaf ini masih longgar maka ia dihukumi makruh (dari sisi keutamaan barisan).

Lebih spesifik dinyatakan dalam Fathul Mu'in,

وكره لماموم انفراد عن الصف الذى من جنسه ان وجد فيه سعة

"Dihukumi makruh bagi makmum yang shalat berjamaah (berdirinya) menyendiri terpisah dari barisan shalat jamaah yang sejenis bila dalam shaf itu masih ada ruang yang tersisa". 

Dengan sedikit redaksi berbeda, Imam Jalaludin Al-Mahalli dalam Kanz Al-Raghibiin fi Syarhi Minhaji at-Talibin didapati keterangan senada di atas, 

ويكره وقوف الماموم فردا بل يدخل الصف ان وجد سعة 

Keterangan ini dijelaskan lebih lanjut dalam syarah I'anatu Thalibin oleh Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyati bahwa ketentuan ini berlaku bila antara makmum yang menyendiri dan jamaah shaf tersebut sama dalam status gendernya, misalnya semuanya sama-sama laki-laki atau sebaliknya. Jika antara makmum yang memisahkan diri dan barisan jamaahnya berlainan status gendernya, maka memisahkan diri shaf jamaah yang berlainan jenis justru disunahkan. 

Selanjutnya bila si makmum yang berdirinya memisahkan diri tersebut disebabkan karena sudah penuhnya barisan yang ada sehingga tidak muat ikut berbaris di dalamnya, maka ia disunahkan menarik salah satu orang dalam shaf yang penuh tersebut setelah melakukan takbiratul ihram. Hal ini sesuai dengan keterangan lanjutan dalam kitab Al-Mahalli (Kanz Al-Raghibiin) sebagai berikut,

والا فليجر شخصا بعد الإحرام وليساعده المجرور..... 

"Dan apabila di dalam shaf tersebut sudah tak ada ruang lagi, maka disunahkan makmum menarik seseorang (dari shaf yang penuh itu) setelah takbiratul ihram dan hendaknya orang yang ditarik membantu (berdiri sejajar bersama si makmum)". 

Namun ulama Malikiyyah menambahkan pendapat bahwa jika seseorang yang berada di belakang shaf tersebut menarik makmum yang berada di depannya, maka makmum tersebut boleh untuk menolaknya/tidak mentaati orang yang berada di saf belakang. Pendapat ini juga dipagang oleh salah satu ulama Hanafiyah yakni Al-Kamal bin Al-Hamam.

Adapun menurut ulama Hanafiyyah dan pendapat shahih dari ulama Syafi'iyyah, disunahkan baginya untuk menarik seseorang yang berada di shaf depannya untuk menemaninya di shaf belakang.

Tetapi dengan syarat orang yang ditarik itu dapat dipastikan (paham dengan isyarat kita dan) bersedia berpindah shaf ke belakang (dengan cara berjalan mundur satu langkah, satu langkah, tidak boleh langsung melakukan tiga langkah sekaligus, karena hal itu dapat membatalkannya. Disebabkan ia melakukan tiga gerakan berturut-turut). Jika ia tidak dapat dipastikan mau atau paham, maka tidak perlu menarik orang yang ada di depan shaf, khawatir justru malah menimbulkan fitnah.

Sedangkan menurut ulama Hanabilah, orang yang berada di shaf paling belakang tersebut hendaknya berdiri di samping imam jika memungkinkan. Jika tidak, maka ia memberi peringatan kepada seseorang untuk mau berdiri disampingnya. Jika tidak menemukan seseorang, maka ia shalat di belakang sendiri. Dan dimakruhkan untuk menarik seseorang yang ada di depan shafnya. Bahkan imam Ahmad dan Ishaq mengangap buruk hal itu.

Dengan demikian, maka orang yang berada di shaf paling belakang sendirian ketika berjamaah, shalatnya tetap sah menurut kesepakatan ulama fiqih. Dengan syarat ia tidak ada pilihan lain selain hal itu. Dan madzhab Hanafi dan Syafi'i memperbolehkan ia menarik seseorang yang berada di shaf depannya dengan syarat orang tersebut sudah setuju untuk mau ditarik ke belakang (misalnya memang temannya, dan dia paham jika hal itu diperbolehkan. Dan bukan orang yang tidak ia kenal).

Namun, jika ia tidak dapat memastikan orang yang berada di shaf depan dapat ditarik atau tidak, maka ia tidak perlu menarik teman dari shaf depan. Hal ini sebagai bentuk adab terhadap madzhab yang berpendapat tidak memperbolehkan menarik dari shaf depan serta menolak terjadinya fitnah. Wa Allahu a’lam bis Shawab.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar