MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 23 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MELAFAZHKAN NIAT DALAM SHALAT

Hukum Melafazhkan Niat Menurut Jumhur Ulama Adalah Sunnah dan Niat Di Dalam Hati Bersama’an Takbiratul Ikhram Adalah Wajib.

Melafazhkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh.

Melafazhkan niat (Talaffuzh bi an-Niyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafazhkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kesempatan melafazhkan niat yaitu pada ibadah Haji.

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)

“Dari sahabat Anas ra berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan, “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji.” (HR. Imam Muslim)

Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafazhnya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)

2. Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.

3. Fardliyah (الفرضية) maksudnya adalah menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. 

Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ain),

وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله

“Menurut pendapat (qaul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir.”

وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة

“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”

*Pendapat para ulama tentang melafazhkan niat*

Berkata as-Syekh Wahbah az-Zuhaili (w 1436 H),

محل التعيين هو القلب بالاتفاق، ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية، والأولى تركه في صلاة أو غيرها

“Tempatnya niat adalah hati menurut kesepakatan ulama, sedangkan melafadzkannya dengan lisan adalah mandub (dianjurkan) menurut mayoritas ulama selain madzhab Maliki, madzhab Maliki mengatakan, ”boleh melafadzkan niat tetapi meninggalkannya lebih utama, baik itu dalam sholat maupun lainnya.” (Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (1/613).

Berkata al-Imam Fakhruddin ‘Utsman az-Zaila’i al-Hanafi (w 743 H),

وأما التلفظ بها فليس بشرط ولكن يحسن لاجتماع عزيمته

“Adapun melafazhkan niat maka bukan merupakan syarat sah shalat tetapi hal ini bagus dilakukan agar terkumpul azamnya (untuk sholat)” (Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq (1/262).

Berkata al-Imam ‘Alau ad-Din al-Hashfakiy al-Hanafi (w 1088 H),

والجمع بين نية القلب وفعل اللسان هذه رتبة وسطى بين من سن التلفظ بالنية ومن كرهه لعدم نقله عن السلف

“Menggabungkan niat dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan merupakan posisi yang adil antara pihak yang menjadikannya sunah dan pihak yang memakruhkannya dengan alasan tidak ada contoh dari ulama salaf.” (Hasyiah Rad al-Mukhtar (1/137).

Berkata Ibn ‘Abidin al-Hanafi (w 1252 H) menjelaskan perkataan beliau,

وهذه أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوباً لا سنة ولا مكروهاً

“Dan ini merupakan pendapat imam al-Hashfaki yang menjadikan melafadzkan niat ini merupakan sesuatu yang mandub (dianjurkan) bukan sunah bukan juga makruh.” (Hasyiah Rad al-Mukhtar (1/137).

Berkata al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w 679 H),

النية الواجبة في الوضوء هي النية بالقلب ولا يجب اللفظ باللسان معها، ولا يجزئ وحده وإن جمعهما فهو آكد وأفضل، هكذا قاله الأصحاب واتفقوا عليه

“Niat yang wajib ketika berwudhu adalah niat di dalam hati, tidak wajib melafadzkannya dengan lisan dan tidak sah bila niat hanya di lisan saja (tanpa ada niat dalam hati), dan apabila niat dalam hati digabung dengan melafadzkannya dengan lisan maka itu lebih kuat dan lebih afdhol, seperti inilah pendapat ualma Syafi’i dan mereka sepakat tentang ini.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (2/246).

Beliau juga berkata,

ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف ولا يكفي عن نية القلب بلا خلاف ولكن يستحب التلفظ مع القلب

“Tempatnya niat adalah hati dan tidak disyaratkan melafadzkannya dengan lisan sebagaimana telah disepakati, dan tidak sah melafadzkan niat tanpa ada niat dalam hati sebagaimana sudah disepakati, tetapi dianjurkan melafadzkan niat dengan lisan disertai niat dalam hati.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (6/289).

Berkata al-Imam al-Mardawi al-Hanbali (w 885 H),

يستحب التلفظ بها سراً وهو المذهب ،... قال الزركشي : هو الأولى عند كثير من المتأخرين

“Disunahkan melafadzkan niat secara sirr (pelan) dan ini adalah pendapat madzhab (Hanbali), berkata al-Imam az-Zarkasyi al-Hanbali (w 794 H). Pendapat ini adalah pendapat yang paling utama menurut mayoritas mutaakhirin (ulama Hanbali).” (Al-Inshaf (1/142).

Berkata al-Imam al-Buhuti al-Hanbali (w 1051 H) mengomentari Abu Naja al-Hanbali (w 968 H),

واستحبه أي التلفظ بالنية سرا مع القلب كثير من المتأخرين ليوافق اللسان القلب

“Mayoritas ulama mutaakhirin madzhab Hanbali sangat menganjurkan melafadzkan niat karena kesesuaian antara hati dan lisan." (Kisyaf al-Qina’ ‘An Matni al-Iqna’ (1/87).

Itulah pendapat para ulama lintas madzhab tentang hukum melafadzkan niat, tampak bahwa masalah ini adalah masalah yang luas, yang dimungkinkan untuk adanya perbedaan pendapat, karena tidak adanya nash qath’i baik dari al-Qur’an maupun dari sunah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun memaksakan sebuah pendapat untuk masalah ini adalah sikap yang kurang baik yang lahir dari sifat fanatik berlebihan.

*Lalu kita pilih yang mana?*

Adapun untuk memilih pendapat mana, maka kita harus melihat beberapa pertimbangan, diantaranya;

1. Kita melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah punya alat ijtihad ? apabila sudah ada, maka kita boleh memilih yang benar sesuai ijtihad kita, tetapi bila belum mampu mencapai derajat mujtahid, maka hendaknya kita mengikuti saja ulama yang ‘alim yang terpercaya.

2. Ulama itu  banyak sekali, tetapi mereka semua bergabung dalam kumpulan-kumpulan besar, yang dimana kumpulan ini memiki kaidah-kaidah dan aturan-aturan tersendiri dalam mengeluarkan hukum, kumpulan besar ini sudah ada sejak dahulu, sudah mengalami berbagai fase dan tantangan dari zaman ke zaman, hingga yang tersisa hanya 4 saja, kumpulan ini sering disebut sebagai Madzhab.

3. Kita boleh mengikuti Madzhab yang mana saja, selama kita bisa belajar Madzhab tersebut, ada kitab-kitabnya dan ada gurunya, agar pemahaman kita benar tentang madzhab yang kita ikuti, serta tau bagaimana aturan dan metode Madzhab yang kita ikuti itu dalam mengeluarkan hukum, sehingga tidak muncul sikap taklid buta.

Kebetulan di Indonesia, mayoritas umat Islam bermadzhab Syafi’i, maka merupakan sikap bijak untuk memilih dan mengikuti Madzhab mayoritas sebuah negri, dan ini tidak berarti mengikuti madzhab lain adalah tercela.

Madzhab Syafi’i sendiri mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah mustahab (dianjurkan) seperti disebutkan diatas, maka boleh bagi kita untuk melafadzkannya, baik dalam wudhu, sholat maupun ibadah lain. Bila merasa tidak perlu, maka tidak melafadzkannya pun tidak apa-apa.

Namun bila mewajibkan atau mengharuskan melafadzkan niat, maka ini keliru, baik dalam madzhab Syafi’i maupun yang lainnya, ini seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah (w 728 H) :

أن التلفظ بالنية لا يجب عند أحد من الأئمة : ولكن بعض المتأخرين خرج وجها في مذهب الشافعي بوجوب ذلك وغلطه جماهير أصحاب الشافعي

“Sesungguhnya melafadzkan niat tidak wajib menurut seluruh ulama, tetapi beberapa ulama mutaakhirin madzhab Syafi’i berpendapat bahwa melafadzkan niat adalah wajib, dan mayoritas ulama Syafi’i telah mengoreksi kesalahnnya.” (Majmu’ al-Fatawa (22/221).

Perlu diluruskan bahwa yang dimaksud Ibnu Taimiyah dengan ulama mutaakhirin adalah Abu Abdillah az-Zubairi (w 317 H), dan ini telah dibantah oleh al-Imam an-Nawawi, beliau rahimahullah berkata,

قال أصحابنا : غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير

“Berkata ulama kami (madzhab Syafi’i) telah salah orang yang berpendapat seperti ini, bukanlah maksud Imam Syafi’i mewajibkan melafadzkan niat, tetapi yang dimaksud adalah wajib melafadzkan takbir.” (Al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab (4/257).

Ibnu Taimiyah kemudian melanjutkan ucapannya,

ولكن التلفظ بها هل هو مستحب ؟ أم لا ؟ هذا فيه قولان معروفان للفقهاء

“Akan tetapi masalah melafadzkan niat, apakah itu mustahab atau tidak ? dalam masalah ini ada dua pendapat yang ma’ruf di kalangan fuqaha.” (Majmu’ al-Fatawa (22/221).

Jelas sudah masalah tentang melafadzkan niat ini, mudah-mudahan kita selalu mampu melihat setiap permasalahan secara objektif dan adil, sehingga terlahir sikap tasamuh diantara kita, bila ini terlaksana, ketentraman dan ketenangan dalam beribadah dan muamalah akan terwujud. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق* 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar