Rabu, 08 April 2020
KAJIAN TENTANG MEMAKNAI HADITS TIDAK ADA PENYAKIT YANG MENULAR
Ada banyak cara untuk memutus mata rantai penularan virus Covid-19 yang kian mengancam Indonesia. Syaratnya, cuma butuh kerelaan dan komitmen bersama demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang kembali sehat dan tanpa kecemasan seperti hari-hari sebelumnya.
Pemerintah, instansi terkait, bahkan tokoh agama sudah mengimbau jauh-jauh hari untuk lebih banyak berdiam diri di rumah. Perkantoran dan lembaga-lembaga pendidikan pun menerapkan opsi merumahkan karyawan dan peserta didik untuk mengerjakan segala tanggung jawabnya di rumah.
Banyak hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan anjuran dan sikap terhadap wabah atau penyakit menular. Yang paling masyhur adalah instruksi Rasulullah kepada umatnya agar tidak memasuki sebuah wilayah yang sedang terserang wabah. Begitu pun sebaliknya, orang-orang yang berada di daerah tersebut, tidak disarankan untuk keluar demi mencegah persebaran penyakit yang memungkinkan kian parah.
Wabah juga pernah terjadi pada masa Rasulullah. Isolasi adalah salah satu cara beliau untuk meredam dampaknya bagi masyarakat. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar.
Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam. Beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
"Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut." (HR. al-Bukhari)
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan,
أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ. فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه.
Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).
Akan tetapi, ada satu sudut pandang lain dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa sejatinya, tidak ada penyakit menular, kecuali atas kehendak dan takdir Allah Ta'ala.
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Hisyam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), dan yang menakjubkanku adalah al fa'lu (optimis) yang baik yaitu kalimat yang baik." (HR. Bukhari no.5315)
Sekali waktu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
لا يُورَدُ مُمْرِضٌ على مُصِحٍّ
“Orang yang sakit tidak bisa menularkan penyakit pada orang yang sehat” (HR. Bukhari no. 5771, Muslim no. 2221).
Lantas, bertentangankah hadits-hadits yang berisi anjuran Nabi untuk menghindari penularan penyakit dengan redaksi hadits lain yang menyatakan tentang ketiadaan penyakit menular.
*Perantara dan antisipasi*
Para ulama terdahulu telah mengupayakan jalan tengah atas kesan pertentangan dari hadits-hadits tersebut. Ijtihad ini dilakukan dengan pegangan bahwa memang sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Berkehendak. Selain itu, demi menangkal bibit keraguan akan kebenaran pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam Fath Al-Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan, penafian adanya penyakit menular dimaknai secara umum dan mutlak. Artinya, tidak ada penularan penyakit sama sekali. Sementara perintah untuk lari dari penyakit kusta atau lepra, ini sebagai bentuk sadd adz-dzari’ah, alias sebuah tindakan preventif untuk menutup celah keburukan.
Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani berpendapat, bisa jadi ketika tidak menjauh dari penyakit menular, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menakdirkan terkena penyakit yang sama, maka timbullah keyakinan bahwa ada penyakit menular. Sehingga untuk mencegah timbulnya keyakinan ini, diperintahkan untuk menjauh dari penyakit menular. Oleh karena itu, semestinya tidak lazim mengatakan bahwa Si A telah tertular penyakit Si B.
Penjelasan ini muncul berdasarkan pertimbangan fakta bahwa orang Arab pra-Islam kerap meyakini bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya dengan sama sekali tidak melihat peran dan kuasa Allah.
Demi menghapus keyakinan itu, Imam Al-Baihaqi pun menceritakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencontohkan tetap bersalaman dan makan bersama penderita kusta. Akan tetapi, hadits tentang menjauhi penderita penyakit atau menghindari daerah terdampak adalah sebagai suatu usaha untuk menghalau kemungkinan buruk yang terjadi dengan tanpa menafikan kekuasaan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Selain itu, ulama lain berpendapat bahwa hadits peniadaan penyakit menular merupakan penjelasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang muncul sebagai respons tauhid. Alias sebuah penjelasan bahwa di balik musibah yang terjadi ada kuasa Allah di di dalamnya.
Hadits peniadaan penyakit menular juga merupakan sebuah redaksi yang memerlukan pemahaman secara komprehensif. Pertentangan tidak akan muncul ketika hadits tersebut dimaknai dengan penyertaan dalil dan konteks secara lebih menyeluruh.
Bahkan, salah satu ilmuan kedokteran Muslim Muhammad bin Abdullah bin Sa'id bin Abdullah bin Sa'id atau masyhur disebut Ibnu Al-Khatib menjelaskan, respons agama dan fakta lapangan di bidang terkait tidak bermakna tunggal dan tidak boleh dipertentangkan.
Dalam Muqni’at Al-Sa’il ‘an Al-Marad Al-Ha’il, beliau berkata, "Kepada orang yang berkata, 'Bagaimana kita bisa menerima kemungkinan penularan, sementara hukum agama menyangkalnya?' Kami menjawab bahwa keberadaan penularan telah dibuktikan sejumlah percobaan, penelitian, bukti-bukti indrawi, dan laporan-laporan terpercaya."
Beliau mengatakan, Fakta penularan menjadi jelas bagi para peneliti yang memperhatikan bahwa seseorang yang menjalin kontak dengan penderita maka akan menderita penyakit yang sama. Penularan bisa terjadi lewat pakaian, gelas minum, dan anting-anting.
Penjelasan rasional ini, menurut Ibnul Khatib menjadi penting ketika hendak melakukan tindak pencegahan atas suatu wabah menular. Ikhtiar dalam mengupayakan itu, kata dia, penting untuk menguatkan praktik keimanan seseorang kepada Tuhannya.
Dalam mengurai permasalahan pertentangan hadits, para ulama fikih setidaknya mengenalkan 3 metode, yakni nasakh (membatalkan atau menghapus dalil-dalil), tarjih (memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih), dan al-jam’u (mengkompromikan dalil-dalil).
Akan tetapi, kebanyakan ulama ahlul hadits memberi solusi dengan metode al-jam'u alias menggabungkan riwayat-riwayat yang ada atau menelaah kemungkinan nasikh-mansukh hadits, serta melakukan perbandingan kualitas antar-riwayat.
Metode al-jam'u juga digunakan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menyikapi hadis-hadis tentang wabah dan penyakit menular. Dia menjelaskan, pendapat yang sahih, diikuti lebih banyak ulama adalah tidak ada nasakh dalam riwayat hadis ini, melainkan keduanya mesti dipahami bersama sebagai perintah menjauhi penderita adalah cara yang dianjurkan dan langkah hati-hati, serta makan bersama, menunjukkan kebolehannya.
Terlebih lagi, dalam redaksi yang lain, Abu Hurairah berkata bahwa Nabi Bersabda, "Tidak ada 'adwa (penyakit menular), tidak ada shafar, dan tidak pula hammah. Lalu seorang Arab Badui berkata, 'Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan unta yang ada di padang pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang lalu datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?' Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Lalu siapakah yang menulari yang pertama?” Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan; Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah (unta) yang sakit dicampur-baurkan dengan yang sehat.”
Kata kunci penegasan bisa diambil dari kalimat terakhir, yakni "Siapakah yang menulari yang pertama?" Yang bisa diartikan bahwa kebaikan dan keburukan memang sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala, akan tetapi tidak mesti serta-merta terjadi dengan sendirinya tanpa perantara. Artinya, perantata penyakit datang itu bisa melalui interaksi dengan orang yang berpenyakit menular. Wallahu a'lam.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar