Kamis, 14 November 2019
KAJIAN TENTANG MAKAN SAMBIL NGOBROL DAN HUKUM CUKA
Dalam menyantap makanan terdapat beberapa adab yang telah diatur dalam ajaran Islam. Dengan menjaga dan mengamalkan adab tersebut, seseorang tak hanya mendapat pahala tapi juga akan mendapat kesan yang baik di mata orang lain. Salah satu adab yang dianjurkan untuk dilakukan oleh seseorang yang menyantap makanan adalah memuji makanan yang ia makan. Dalam hal ini Rasulullah pernah memuji makanan yang ia makan walau hanya sebatas lauk cuka yang bisa dibilang termasuk lauk paling sederhana. Hal tersebut dijelaskan dalam hadits riwayat sahabat Jabir ra,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ « نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ »
“Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab: ‘Kami tidak memiliki apa pun kecuali cuka’. Nabi pun tetap meminta cuka dan beliau pun makan dengan (campuran) cuka, lalu beliau bersabda: ‘Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk yang paling baik adalah cuka’.” (HR Muslim)
Cuka termasuk makanan yang thoyyib (baik). Tidak ada dalil yang mengharamkan cuka sehingga cuka dihukumi halal sebagaimana asalnya. Dalil yang mendukung cuka adalah makanan yang thoyyib adalah hadits dari ‘Aisyah berikut, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَ الأُدُمُ – أَوِ الإِدَامُ – الْخَلُّ
“Sebaik-baik bumbu dan lauk adalah cuka” (HR. Muslim no. 2051).
Juga ada hadits dari Jabir bin ‘Abdillah diatas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka lantas menjawab bahwa tidak di sisi mereka selain cuka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ
“Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” (HR. Muslim no. 2052).
*Rincian Hukum Cuka dari Mana Cuka Berasal*
Ada beberapa rincian hukum cuka dari mana cuka berasal sebagai berikut :
1- Jika cuka berasal dari khomr (segala sesuatu yang memabukkan), lalu diolah dengan tangan manusia menjadi cuka, maka tidaklah halal. Hadits yang mendukung hal ini,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوا خَمْرًا قَالَ « أَهْرِقْهَا ». قَالَ أَفَلاَ أَجْعَلُهَا خَلاًّ قَالَ « لاَ »
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Tholhah pernah bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai anak yatim yang diwarisi khomr. Lantas beliau katakan, “Musnahkan khomr tersebut.” Lalu Abu Tholhah bertanya, “Bolehkah aku mengolahnya menjadi cuka?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh.” (HR. Abu Daud no. 3675)
2- Jika khomr berubah dari cuka dengan sendiri (secara alami). Maka ini kembali ke hukum asal cuka yang telah diulas, yaitu suci dan halal. Imam Malik rahimahullah sampai-sampai mengatakan, “Aku tidak suka seorang muslim mewariskan khomr lantas khomr tersebut diolah (dengan tangan) lantas menjadi cuka. Namun jika khomr tersebut menjadi cuka dengan sendirinya, maka tidak mengapa untuk disantap.”
3- Jika alkohol bukan aslinya dari khomr, maka tidak ada masalah. Seperti yang kita lihat dari proses saat ini yang berlaku, cuka (asam asetat) diproduksi bukan dari khomr, tetapi dari proses fermentasi tetes tebu, yang diolah menjadi alkohol, lalu aldehid dan menjadi asam asetat.
*Benarkah sebaik-baik lauk adalah cuka?*
Tentu saja tidak, karena di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada makanan lain yang lebih enak, seperti daging, roti, keju, dsb. Tapi mengapa Nabi mengatakan sebaik-baik lauk adalah cuka?
*Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan demikian untuk menjaga perasaan istrinya. Perhatikan kembali hadits tersebut. Para istri beliau sebelumnya berkata, “Kita tidak punya apa-apa selain cuka”. Maka Rasulullah berusaha menjaga perasaan mereka dengan memuji makanan yang ada, walaupun yang tersedia hanyalah cuka !*
Secara ilmiah, cuka terbukti memiliki banyak sekali manfaat. Sesendok cuka dapat mengurangi lemak bila dicampur dengan kuah salathoh (sejenis lalap yang biasa dimakan dengan roti), lalu disantap dengan roti. Dengan cara seperti itu cukup dapat menghilangkan lemak. Hal ini dapat terjadi karena cuka merupakan asam asetat yang berhubungan dengan protein, lemak dan karbohidrat, atau yang biasa disebut dengan asetoasetat (acetoacetate).
*Hukum Makan Sambil Ngobrol*
Dalam hadits Imam Muslim diatas mengenai cuka disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta istrinya untuk diambilkan lauk. Namun kata mereka, ‘Kami tidak punya lauk apapun selain cuka.’
Beliau tetap minta diambilkan cuka, dan makan dengan lauk cuka dan mengatakan,
نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
Sebaik-baik lauk adalah cuka… sebaik-baik lauk adalah cuka… (HR. Muslim 2052)
Imam An-Nawawi menjelaskan hadis di atas,
وَفِيهِ اِسْتِحْبَاب الْحَدِيث عَلَى الْأَكْل تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ
Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berbicara ketika makan, untuk membuat suasana akrab bagi orang-orang yang ikut makan. (Syarh Shahih Muslim, 7/14)
Berdasarkan hadits ini pula, para ulama menganjurkan untuk berbicara ketika makan. Terutama pembicaraan yang isinya pujian terhadap makanan dan pujian kepada Allah yang memberi makan.
Jika ditelisik secara mendalam, rupanya pujian yang dilontarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas beliau ucapkan pada saat sedang beraktivitas menyantap makanan. Atas dasar ini, berbicara pada saat menyantap makanan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, bahkan merupakan anjuran tersendiri, sebab merupakan salah satu adab dalam menyantap makanan.
Isi pembicaraan yang baik diucapkan pada saat menyantap makanan tidaklah mencakup semua pembicaraan, tapi hanya tertentu pada pembicaraan-pembicaraan yang baik, seperti bercerita tentang orang-orang saleh, pembicaraan yang dapat menyenangkan orang-orang yang makan, dan hal-hal lainnya. Sebagaimana disampaikan Imam An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar,
بابُ استحباب الكَلامِ على الطَّعام. فيه حديث جابر الذي قدَّمناه في ” باب مدح الطعام “.قال الإِمام أبو حامد الغزالي في ” الإِحياء ” من آداب الطعام أن يتحدَّثوا في حال أكله بالمعروف، ويتحدّثوا بحكايات الصالحين في الأطعمة وغيرها
“Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar, hlm. 234)
Namun anjuran berbicara pada saat menyantap makanan hendaknya tidak dilakukan pada saat seseorang sedang mengunyah, sebab hal ini dikhawatirkan akan membuat makanan yang sedang dikunyah jatuh pada makanannya dan mengotori makanan tersebut, penjelasan tentang hal ini seperti yang dijelaskan dalam syarah kitab Ihya’ Ulum ad-Din, yakni kitab Ittihaf as-Sadat al-Muttaqiin,
ـ (ويتحدثون بحكايات الصالحين في الأطعمة وغيرها) ليعتبروا بذلك ولكن لا يتكلم وهو يمضغ اللقمة فربّما يبدو منها شيء فيقذر الطعام
“Bercerita tentang kisah orang-orang saleh dalam hal (menyikapi) makanan dan hal-hal lainnya supaya orang-orang dapat mengambil teladan atas kisah tersebut, akan tetapi (hendaknya) seseorang tidak berbicara saat ia mengunyah makanan, terkadang jatuh dari (mulutnya) sedikit makanan dan mengotori makanan yang dimakan.” (Muhammad bin Muhammad al-Husaini Az-Zabidi, Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, juz 5, hal. 229)
Berdasarkan dalil di atas maka baiknya pembicaraan saat menyantap makanan diucapkan pada saat makanan sudah selesai dikunyah dan tidak lagi tersisa makanan dalam mulutnya, agar potongan-potongan makanan yang masih di dalam mulut tidak terjatuh dalam santapan makanannya.
Dengan demikian, makan sambil berbicara bukanlah sesuatu yang dilarang, justru dianjurkan, asal dilakukan dalam waktu yang tepat dan dengan materi pembicaraan yang baik dan bermanfaat, seperti menggembirakan orang lain, menambah keakraban, dan lain-lain. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar