Senin, 26 Agustus 2019
KEARIFAN DAKWAH RASULULLAH TERHADAP AGAMA LAIN JAUH BEDA DENGAN DAKWAH JAMAN AKHIR
Dalam Kitab Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairil 'Ibad dan Kitab At-Tabaqât karya Ibnu Sa’ad dikisahkan,
قال ابن إسحاق: وفد على رسول الله صلى الله عليه وسلم وفد نصارى نجران بالمدينة فحدثني محمد بن جعفر بن الزبير قال لما قدم وفد نجران على رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد كان وفد نصارى نجران ستين راكباً دخلوا عليه مسجده بعد صلاة العصر فحانت صلاتهم فقاموا يصلون في المسجد فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((دعوهم)) فاستقبلوا المشرق فصلوا صلاتهم
Ibnu Ishaq berkata, "bahwa ketika datang utusan Kristen dari Najran berjumlah enam puluh orang ke Madinah untuk menemui Nabi, Nabi menyambut mereka di Masjid Nabawi. Menariknya, ketika waktu kebaktian tiba, mereka melakukan kebaktian di masjid. Sementara itu, para sahabat berusaha untuk melarang mereka. Namun Nabi memerintahkan: da’ûhum ‘biarkanlah mereka’. Kemudian mereka (nasrani najran) beribadah menghadap ke timur."
Melalui perintah ini, sahabat memahami bahwa Nabi Shallallahu 'alaiji wa sallam mempersilahkan mereka untuk menggunakan Masjid Nabawi sebagai tempat kebaktian sementara. Mereka melakukan kebaktian dengan menghadap ke timur sebagai arah kiblat mereka. Peristiwa bersejarah yang menunjukkan sikap toleransi nabi ini terjadi di hari minggu setelah Asar tahun 10 H. (Peristiwa ini juga terekam dengan sangat baik dalam beberapa induk kitab sejarah seperti Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Sîrah Ibn Ishaq Sirah Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, II/158; Wahidi dalam Asbab al-Nuzul, h. 66 dan al-Rahiq al-Makhtum, h. 532-533).
Sebagian ahli tafsir modern mengaitkan kisah hadits diatas dengan Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 114 yang bunyi terjemahannya kira-kira demikian,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا أُولَٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Lalu, siapakah yang tepat dianggap lebih zalim daripada orang-orang yang berusaha melarang dan menghalang-halangi disebutnya nama Tuhan di tempat-tempat peribadatan serta berusaha menghancurkan tempat-tempat tersebut. Padahal mereka tidak berhak memasukinya kecuali dalam keadaan takut kepada Tuhan. Kelak mereka (yang menghancurkan tempat-tempat peribadatan) akan mendapatkan kesengsaraan di dunia dan siksaan yang berat di akhirat”. (QS. Al-Baqarah :114)
Imam At-Thabari dalam Jâmi al-Bayân fi Tafsîr ayat Min Ayatil Qur’ân menafsirkan ayat di atas sebagai ‘Siapa lagi orang yang lebih ingkar kepada Allah dan menyalahi segala aturannya selain dari orang yang menghalang-halangi disebutnya nama-Nya di tempat-tempat peribadatan dan berusaha menghancurkannya.’ Melalui pandangan ini, jelaslah bahwa Imam At-Tabari mengkategorikan orang-orang yang tidak menghargai tempat peribadatan sebagai orang yang paling ingkar terhadap eksistensi Allah.
يجوز لكافر دخول المسجد بإذن مسلم إن رجي منه إسلام لأنه -صلى الله عليه وسلم- قدم عليه وفد أهل الطائف، فأنزلهم في المسجد قبل إسلامهم
"Boleh bagi orang kafir untuk masuk masjid dengan izin dari seorang muslim, jika diharapkan dia masuk Islam. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu dari Thaif, dan beliau menyuruh mereka untuk singgah di dalam masjid, dan mereka belum masuk islam " (Mathalib Uli An-Nuha, 2:617).
Al-Khatib Asy-Syarbini mengatakan,
وثبت أنه – صلى الله عليه وسلم – أدخل الكفار مسجده، وكان ذلك بعد نزول ” براءة “، فإنها نزلت سنة تسع، وقدم الوفد عليه سنة عشر وفيهم وفد نصارى نجران، وهم أول من ضرب عليهم الجزية فأنزلهم مسجده وناظرهم في أمر المسيح وغيره
Terdapat riwayat yang shahih, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah, surat ini turun di tahun 9 hijriyah. Sementara beliau menerima banyak tamu pada tahun 10 hijriyah, dan diantara mereka ada orang nasrani Najran. Dan mereka suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang Al-Masih dan yang lainnya. (Mughni al-Muhtaj, 6:68).
Kisah yang dikutip dari kitab At-Tabaqat karya Ibnu Sa’ad di atas dan kaitanya dengan QS. al-Baqarah: 114 menunjukan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerjemahkan secara langsung semangat Al-Qur'an untuk menghormati segala bentuk tempat peribadatan dalam praksis nyata. Hal demikian juga semakin dipertegas dengan kenyataan bahwa beliau selalu memerintahkan para sahabat untuk tidak merusak tempat-tempat peribadatan dalam peperangan. Ini artinya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menghormati dan menghargai tempat-tempat peribadatan agama lain meski secara keimanan sangat berbeda secara amat mendasar. Bahkan pasca perang Hunain, ketika menemukan lembaran kitab Taurat di sela-sela harta rampasan perang, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengembalikan lembaran kitab tersebut kepada kaum Yahudi.
Sebenarnya Nabi sudah memberikan tauladan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan agama. Beliau adalah maha guru toleransi beragama. Ia tidak hanya berbicara dalam tatararan wacana, tapi sudah mempraktekkannya dalam banyak hal. Fakta sejarah menunjukan, kebanyakan sahabat masuk Islam bukan karena merasa terancam dan terpaksa, tetapi lebih kepada kesadaran dan ketakjuban melihat etika dan kearifan yang ada pada diri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Menghormati dan menghargai perbedaan memang tidaklah mudah. Setiap orang pasti memiliki ego, ambisi, dan kecenderungan untuk mengajak orang agar sesuai dengan keyakinan dan pikirannya. Oleh sebab itu, ego dan sikap ambisius itu perlu dinetralisir dan diminimalisir dengan belajar pada kearifan dan tauladan yang sudah dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semasa hidupnya. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar