*Sholat wajib harus berdiri jika mampu*
Ulama sepakat, berdiri saat shalat fardhu adalah salah satu rukun shalat. Tidak sah shalat bagi orang yang mampu berdiri, kecuali dengan berdiri. Dasarnya, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada ‘Imran bin Husain yang mengalami wasir,
صَلِّ قَائِمًافَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَىجَنْبٍ
“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah dengan duduk, dan jika tidak mampu juga maka shalatlah dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhari)
Syaikh Al-Bassam dalam Taudhih Al-Ahkam berkata tentang hadits Imran di atas, “Hadits ini menunjukkan tentang urutan shalat fardhunya orang sakit. Ia wajib berdiri jika mampu melakukannya, karena berdiri salah satu rukun shalat fardhu, walaupun ia sambil bersandar atau bertumpu kepada tongkat, dinding, atau yang semisalnya.”
Seseorang tidak boleh berpindah dari satu urutan ke urutan berikutnya kecuali karena benar-benar tidak mampu atau sangat kepayahan sehingga menghilangkan kekhusyu’an, karena khusyu’ merupakan tujuan utama dari shalat.
Imam Al-Syaukani berkata,
وحديث عمران يدل على أنه يجوز لمن حصل له عذر لا يستطيع معه القيام أن يصلي قاعداً ولمن حصل له عذر لا يستطيع معه القعود أن يصلي على جنبه
“Hadits Imran menunjukkan bolehnya shalat dengan duduk bagi orang yang memiliki udzur tidak mampu berdiri, dan orang yang berudzur tidak mampu duduk boleh shalat dengan berbaring.” (Nailul Authar: 3/225)
Berdasarkan hadits ini juga, orang yang mengerjakan shalat fardhu dengan duduk padahal ia mampu berdiri, maka shalatnya batil.
*Shalat sunnah dengan duduk meski mampu berdiri*
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat sunnah di atas tunggangannya, menghadap ke arah mana saja tunggangannya menghadap. Dan beliau juga melakukan shalat witir di atasnya, namun beliau tidak pernah melakukan shalat wajib di atas tunggangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1098)
Dari Amir bin Rabiah radhiallahu anhu dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas hewan tunggangannya melakukan shalat sunnah dengan memberi isyarat dengan kepala beliau kearah mana saja hewan tunggangannya menghadap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan seperti ini untuk shalat wajib”. (HR. Al-Bukhari no. 1097 dan Muslim no. 701)
Dari Abdullah bin Syaqiq Al Uqaili dia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang shalat (sunnah) nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Aisyah radhiallahu anha menjawab:
كَانَ يُصَلِّي لَيْلًا طَوِيلًا قَائِمًا وَلَيْلًا طَوِيلًا قَاعِدًا وَكَانَ إِذَا قَرَأَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا
“Beliau biasa melakukan shalat malam sekian lama sambil berdiri, dan beliau juga biasa melakukan shalat malam sekian lama sambil duduk. Jika beliau membaca sambil berdiri, maka beliau ruku’ dengan berdiri, dan jika beliau membaca sambil duduk, maka beliau ruku’ sambil duduk.” (HR. Muslim no. 730)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda,
.مَنْ صَلَّى قَائِماً فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِداً فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِماً فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ
"Barangsiapa shalat dengan berdiri, maka itulah shalat yang paling utama, sedangkan seseorang yang shalat dengan duduk, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang shalat dengan berdiri. Dan barangsiapa shalat dengan berbaring, maka pahalanya setengah dari pahala orang yang shalat dengan duduk." (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Nawawi berkata,
وَهذَا الْحَدِيْثُ مَحْمُوْلٌ عَلَى صَلاَةِ النَّفْلِ قَاعِداً مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ فَهذَا لَهُ نِصْفُ ثَوَابِ الْقَائِمِ، وَأَمَّا إِذَا صَلَّى النَّفْلَ قَاعِداً لِعَجْزِهِ عَنِ الْقِيَامِ فَلاَ يَنْقُصُ ثَوَابُهُ بَلْ يَكُوْنُ كَثَوَابِهِ قَائِماً، وَأَمَّا الْفَرْضُ فَإِنَّ الصَّلاَةَ قَاعِداً مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْقِيَامِ لَمْ يَصِحَّ فَلاَ يَكُوْنُ فِيْهِ ثَوَابٌ بَلْ يَأْثَمُ بِهِ
Hadits ini ditujukan untuk shalat Sunnah yang dilakukan dengan duduk sedangkan ia sebenarnya mampu untuk berdiri, sehingga ia hanya mendapatkan pahala setengah pahala orang yang shalat Sunnahnya dengan berdiri.
Adapun seseorang yang shalat Sunnah dengan duduk karena ia tidak mampu berdiri, maka pahalanya tidak berkurang, ia akan mendapatkan pahala sama dengan orang yang shalat Sunnah dengan berdiri.
Sedangkan seseorang yang shalat wajib dengan duduk padahal ia mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah, ia tidak mendapatkan pahala, bahkan ia berdosa. (Lihat Yahyâ bin Syaraf An-Nawawî, Syarhul Muslim, Dârul Fikr, Juz.6, hal.8)
Sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
سقط رسول الله صلى الله عليه وسلم عن فرس فخُدِش أو جُحش شقه الأيمن فدخلنا عليه نعوده ، فحضرت الصلاة فصلى قاعدا ، وصلينا خلفه قعودا . متفق عليه .
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjatuh dari kuda sampai lecet kulitnya atau terluka sisi kanan tubuhnya, maka kami menjenguknya, pada saat tiba waktu shalat beliau mendirikannya dengan duduk, maka kami juga shalat dengan duduk di belakang beliau”. (HR. Muttaqun ‘Alaihi)
Meskipun memungkinkan seseorang untuk berdiri, namun dihawatirkan penyakitnya akan bertambah parah atau penyembuhannya menjadi lambat, atau merasakan kesulitan yang parah, maka dia boleh shalat dengan duduk, inilah pendapat Malik dan Ishak. Maimun bin Mahran berkata: “Jika seseorang tidak mampu berdiri dalam urusan dunianya, maka hendaknya dia shalat dengan duduk”. Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad dengan pendapat yang serupa.
Maksudnya adalah bagi siapa saja yang mampu berdiri untuk kemaslahatan dunianya, maka dia harus mendirikan shalat dengan berdiri dan tidak diperbolehkan duduk. Berdiri di shalat fardhu adalah rukun shalat. Tidak sah shalat tanpanya, yakni bagi yang mampu melakukannya. Siapa yang tak mampu berdiri, ia shalat sambil duduk dengan posisi yang dimampuinya. Tidak berdiri saat shalat fardhu adalah rukhsoh bagi yang tidak mampu. Dan rukhshoh tidak boleh dikerjakan kecuali saat adanya udzur yang membolehkan untuk melakukannya. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar