MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 21 Januari 2019

KAJIAN TENTANG KEHARAMAN POLIANDRI


*Tanya*

Assalamu'alaikum Pak Ustadz, sepanjang pengetahuan saya, Islam membolehkan pria untuk menikahi wanita hingga 4 orang. Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk wanita. Pada zaman Rasulullah, mungkin hal itu tidak dimungkinkan karena apabila wanita tersebut mengandung, maka akan sukar ditentukan siapa bapak biologis si anak. Namun, pada zaman sekarang ini, dengan kemajuan teknologi di bidang medis, bapak biologis anak bisa ditentukan dengan penelitian sampel DNA si anak dan si bapak. Apakah dengan itu berarti wanita sudah boleh poliandri? Mohon pencerahan dari pak ustadz mengenai hal ini, supaya aqidah saya bisa tambah mantap. Terima kasih

*Jawab*

Wa'alaikumussalam wr.wb. Ukhti yang dimuliakan Allah Ta'ala.

Keharaman poliandri bukan semata-mata disebabkan karena khawatir akan terjadinya kerancuan keturunan. Tetapi memang semata-mata keharaman yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan.

Buktinya, poliandri tetap haram dilakukan oleh seorang wanita yang mandul. Kalau seandainya keharamannya hanya karena khawatir akan terjadi kerancuan dalam masalah keturunan, seharusnya wanita mandul boleh berpoliandri. Sebab dia tidak akan berketurunan, sehingga tidak akan timbul masalah kerancuan tersebut.

Demikian juga hal yang sama berlaku buat laki-laki mandul. Meski sudah bisa dipastikan tidak bisa mengakibatkan kehamilan pada diri seorang wanita, tetap saja dia diharamkan berzina. Sebab haramnya zina bukan semata-mata mengkhawatirkan lahirnya anak di luar nikah.

Dalam syariat Islam, jangankan poliandri, melamar wanita yang sedang dalam lamaran orang lain pun hukumnya haram. Termasuk melamar wanita yang sudah dicerai suaminya, selama masa iddah belum selesai, juga haram hukumnya. Apalagi sampai menikahi isteri orang, maka keharamannya dua kali lipat.

*Poliandri = Selingkuh = Zina*

Praktek poliandri di masa Nabi Shallaallahu 'alaihi wa sallam sudah ada dan diharamkan, namun sama sekali tidak berangkat dari khawatir terjadinya kerancuan nasab.

Ummul Mukminin Aisyah ra dalam salah satu hadits yangdiriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Daud, menyebutkan ada 4 macam macam pernikahan dalam masa jahiliah, yaitu:

قال يحيى بن سليمان حدثنا ابن وهب عن يونس ح وحدثنا أحمد بن صالح حدثنا عنبسة حدثنا يونس عن ابن شهاب قال أخبرني عروة بن الزبير أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أخبرته أن النكاح في الجاهلية كان على أربعة أنحاء فنكاح منها نكاح الناس اليوم يخطب الرجل إلى الرجل وليته أو ابنته فيصدقها ثم ينكحها ونكاح آخر كان الرجل يقول لامرأته إذا طهرت من طمثها أرسلي إلى فلان فاستبضعي منه ويعتزلها زوجها ولا يمسها أبدا حتى يتبين حملها من ذلك الرجل الذي تستبضع منه فإذا تبين حملها أصابها زوجها إذا أحب وإنما يفعل ذلك رغبة في نجابة الولد فكان هذا النكاح نكاح الاستبضاع ونكاح آخر يجتمع الرهط ما دون العشرة فيدخلون على المرأة كلهم يصيبها فإذا حملت ووضعت ومر عليها ليال بعد أن تضع حملها أرسلت إليهم فلم يستطع رجل منهم أن يمتنع حتى يجتمعوا عندها تقول لهم قد عرفتم الذي كان من أمركم وقد ولدت فهو ابنك يا فلان تسمي من أحبت باسمه فيلحق به ولدها لا يستطيع أن يمتنع به الرجل ونكاح الرابع يجتمع الناس الكثير فيدخلون على المرأة لا تمتنع ممن جاءها وهن البغايا كن ينصبن على أبوابهن رايات تكون علما فمن أرادهن دخل عليهن فإذا حملت إحداهن ووضعت حملها جمعوا لها ودعوا لهم القافة ثم ألحقوا ولدها بالذي يرون فالتاط به ودعي ابنه لا يمتنع من ذلك فلما بعث محمد صلى الله عليه وسلم بالحق هدم نكاح الجاهلية كله إلا نكاح الناس اليوم

Dari Ibnu Syihab, ia berkata : telah mengkhabarkan kepada saya ‘Urwah bin Zubair, sesungguhnya ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepadanya, bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam.
1). Pernikahan yang berlaku seperti sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada orang tuanya atau walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.

Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2). Seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu  telah suci dari haidl, “ pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpuli”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sama sekali sehingga telah jelas istrinya itu telah hamil dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdla’.

Kemudian bentuk yang lain, 3). Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari sepuluh orang berkumpul, lalu mereka masing-masing mencampuri seorang wanita tersebut. Apabila wanita telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “ sungguh anda semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai Fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak bisa menolaknya.

Dan bentuk ke-4). Yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Mereka itu adalah para wanita pelacur. Mereka memasang bendera-bendera di depan pintu mereka sebagai tanda. Maka siapa saja yang menginginkannya boleh masuk, kemudian apabila salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan telah melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi dikumpulkan di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang ahli qiyafah ( ahli memeriksa dan meneliti tanda-tanda pada manusia), lalu dihubungkalah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli qiyafah itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun di panggil sebagai anaknya, dan orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya. Kemudian Nabi Muhammad SAW di utus sebagai Rasul dengan membawa kebenaran, beliau menghapus pernikahan dengan model jahiliyah tersebut seluruhnya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR. Bukhari juz 6, hal. 132].

Singkatnya, dari keempat macam pernikahan itu, pernikahan nomor 2, 3 dan 4, disebut zina dan di masa sekarang ini disebut dengan poliandri.

*Hukum Poliandri*

Konsensus (Ijma') Ulama menetapkan hukum bahwa perkawinan dengan wanita yang sudah mempunyai suami, tidak sah dan dituntut hukuman rajam, bila terbukti sudah pernah berkumpul. Oleh karena itu, perkawinan tersebut hukumnya haram, karena berdasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits yang berbunyi:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)

"Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan maha bijaksana." (QS. An-Nisa' : 24)

Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir juga membawakan riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat diatas sbb :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَصَبْنَا نِسَاءً مِنْ سَبْيِ أَوْطَاسَ، وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَكَرِهْنَا أَنْ نَقَعَ عَلَيْهِنَّ وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَسَأَلْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هذه الآية: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} [قَالَ] فَاسْتَحْلَلْنَا فُرُوجَهُنَّ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami mendapat wanita dari suku Authas yang ditawan, para wanita itu memiliki suami lebih dari satu. Kami enggan bersetubuh dengan mereka karena mereka memiliki suami. Kamipun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, lalu turunlah ayat (yang artinya) ‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki‘. Dengan itu kami pun mengganggap mereka halal dicampuri” (Tafsir Ibni Katsir, 2/256)

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَلْيَوْمِ اْلاخِرِ فَلاَ يَسْقِى مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ. رواه التر مذى

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, maka ia tidak boleh menyiram air benih orang lain (maksudnya tidak boleh mengumpuli istri orang lain)” (H.R. At-Tirmidzi)

*Arti Poliandri*

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa po·li·an·dri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.

Poliandri secara etomoligis berasal dari bahasa Yunani yaitu polus: banyak; andros: laki-laki. Secara terminologis, poliandri diartikan dengan perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu. Dalam kehidupan masyarakat poligini (satu suami) lebih umum dikenal dari pada poliandri.

عَنْ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا

Dari Samrah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).

Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).

Berdasarkan dalalatul iqtidha`, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.

Dengan demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam

Demikian AAsimun Ibnu Mas'udmenjelaskan semoga bermanf'at. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar