MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 17 April 2023

KAJIAN TENTANG HUKUM DOA IJAB QABUL ZAKAT FITRAH DAN ZAKAT MALL

Dalam sebuah video di medsos (TikTok) Ust. Badrussalam, LC (ustadz salafi wahabi) mengatakan bahwa tidak ada doa dan ijab qabul saat berzakat. Hal ini tentunya perlu ada penjelasan lebih lanjut dalam masalah tersebut.

Setiap umat Islam wajib hukumnya membayar zakat mall maupun zakat fitrah sesuai ketentuan dalam Islam. Ketika menyerahkan zakat mall atau zakat fitrah melalui amil zakat atau panitia zakat, ada ijab qabul yang hendaknya diucapkan sebagai tanda sahnya penerimaan zakat. Namun, tidak semua muslim mengucapkan ijab qabul pada saat menyerahkan maupun menerima zakat bilamana muzakki menyerahkannya langsung kepada mustahiq (penerima) zakat. 

Pembayaran zakat dilakukan selama bulan Ramadhan sampai pagi hari raya sebelum dilaksanakan shalat Idul Fitri. Zakat yang harus ditunaikan tidak sebatas pada zakat fitrah saja, tetapi ada pula jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan. Sebenarnya, bagaimanakah hukum doa ijab qabul zakat ini?

Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan,

أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟

Al-Hasan bin Ali mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulutnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “kuh.. kuh.. ayo keluarkan! Tidakkah Engkau tahu bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?” (HR. Muslim).

Imam Al-Hafidz Al-Iraqi, ulama besar madzhab Syafi’i menjelaskan hadits ini,

فيه أنه لا يشترط في كل من الهدية والصدقة الإيجاب والقبول باللفظ بل يكفي القبض وتملك به فإن سلمان رضي الله عنه اقتصر على مجرد وضعه والنبي صلى الله عليه وسلم إنما سأله ليتميز له الهدية المباحة عن الصدقة المحرمة عليه ولم يوجد من النبي صلى الله عليه وسلم لفظ في قبول الهدية ، وهذا هو الصحيح الذي عليه قرار مذهب الشافعي وقطع به غير واحد من الشافعية واحتجوا بهذا الحديث وغيره من الأحاديث التي فيها حمل الهدايا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فيقبلها ولا لفظ هناك قالوا وعلى هذا جرى الناس في الأعصار ولذلك كانوا يبعثون بها على أيدي الصبيان الذين لا عبارة لهم وفي المسألة وجه لبعض أصحابنا أنه يشترط فيها الإيجاب والقبول كالبيع والهبة والوصية وهو ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه

“Dalam hadits ini ada faidah bahwa tidak disyaratkan lafadz ijab-qabul pada hadiah dan sedekah. Bahkan cukup dengan menyerahkannya dan memindahkannya. Karena Salman radhi’allahu’anhu hanya sekedar meletakkan (kurma tersebut). Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya kepada Salman dalam rangka membedakan kurma tersebut hadiah yang mubah ataukah sedekah yang haram (bagi beliau).

Tidak ada lafadz qabul dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ketika menerimanya. Inilah yang shahih, yang dipegang oleh madzhab Asy Syafi’i dan ditegaskan oleh lebih dari satu ulama Syafi’iyyah, dan mereka berdalil dengan hadits ini. Dan juga hadits-hadits lain yang menceritakan tentang diberikannya hadiah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau menerimanya tanpa mengucapkan satu lafadz pun. Dan ini lah yang terjadi di masa Nabi ketika itu.

Oleh karena itu, mereka biasa memberikan sesuatu kepada anak kecil yang (lafadz ijab-qabul) tidak ada maknanya bagi mereka. Dan dalam masalah ini tidak benar sisi pandang sebagian ulama madzhab Syafi’i yang mensyaratkan lafadz ijab qabul seperti dalam jual beli, hibah dan wasiat. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Abu Hamid Al Ghazali dan murid-murid beliau” (Tharhu At-Tatsrib fi Syarh At-Taqrib 4/40).

Imam As-Suyuthi (ulama Syafi'iyah dalam karyanya tentang kaidah fikih, Al-Asybah wa An-Nadzair, membagi beberapa akad muamalah berdasarkan ada tidaknya ijab qabul menjadi 5 bagian. Beliau mengatakan,

تقسيم ثالث من العقود ما لا يفتقر إلى الإيجاب ، والقبول لفظا . ومنها : ما يفتقر إلى الإيجاب والقبول لفظا . ومنها : ما يفتقر إلى الإيجاب لفظا ، ولا يفتقر إلى القبول لفظا . بل يكفي الفعل . ومنها : ما لا يفتقر إليه أصلا ، بل شرطه : عدم الرد ومنها : ما لا يرتد بالرد . فهذه خمسة أقسام

“Pembeagian yang ketiga dalam akad;

1. Akad yang tidak membutuhkan ijab qabul dengan dilafalkan

2. Akad yang membutuhkan ijab qabul dengan dilafalkan

3. Akad yang membutuhkan ijab dengan dilafalkan dan tidak membutuhkan qabul dengan dilafalkan, namun cukup tindakan.

4. Akad yang tidak membutuhkan ijab qabul sama sekali, bahkan syaratnya, tidak bisa dibatalkan

5. Akad yang tidak bisa kembali, meskipun dibatalkan.

Itulah lima pembagian akad”

Kemudian beliau menyebutkan contohnya masing-masing. Diantara contoh yang beliau sebutkan,

فالأول منه : الهدية ، فالصحيح أنه لا يشترط فيها الإيجاب والقبول لفظا ، بل يكفي البعث من المهدي ، والقبض من المهدى إليه… ومنه : الصدقة قال الرافعي : وهي كالهدية ، بلا فرق

Contoh yang pertama, hadiah. Pendapat yang benar, tidak disyaratkan adanya ijab qabul dengan dilafalkan. Namun cukup memberikan hadiah dari si pemberi, dan diterima oleh orang yang mendapatkannya… termasuk juga; sedekah. Ar-Rafii mengatakan, ‘Sedekah seperti hadiah, tidak ada perbedaan.’ (Al-Asybah wa An-Nadzair, 1/468)

Berdasarkan keterangan di atas, zakat tidak dipersyaratkan harus ada ijab qabul, apalagi saling jabat tangan. Karena zakat termasuk akad searah, sebagaimana hadiah dan sedekah, seperti yang disebutkan As-Suyuthi. Sehingga statusnya sah dengan diserahkan kepada yang berhak, sekalipun tidak ada artinya muzakki (pemberi zakat) telah berniat maka zakatnya sah.

وقولهم يجوز دفعها لمن لم يعلم أنها زكاة ؛ لأن العبرة بنية المالك محله عند عدم الصارف من الآخذ أما معه كأن قصد بالأخذ جهة أخرى فلا ويؤيده

"Para Ulama berpendapat boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya adalah zakat. Alasannya, karena ketentuan penyertaan lafadh niat itu adalah tanggungan pemilik harta, dan hal itu bisa dilakukan saat tidak ada pihak penyalur (amil) yang menanganinya. Adapun, bila ada pihak penyalur, maka niat menagih bagian dari zakat kepada pemilik harta merupakan bentuk pendapat lain, sehingga tidak boleh tanpa adanya niat mengeluarkan zakat.” (Tuhfatu al-Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj wa Hawasy al-Syarwany, juz 3, hal. 242).

Terkait dengan mendoakan para muzakki (pemberi zakat) telah difirmankan Allah Ta'ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah : 103)

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا 

(Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka) dari dosa-dosa mereka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya 

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ 

(dan berdoalah untuk mereka).

إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ 

(Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenangan jiwa) rahmat

 لَهُمْ 

(bagi mereka) menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan سَكَنٌ ialah ketenangan batin lantaran tobat mereka diterima. 

وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

(Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). (Tafsir Jalalain QS. At-Taubah : 103)

Imam As-Sa'di dalam tafsirnya lebih lanjut menjelaskan ayat diatas,

وفيها‏:‏ استحباب الدعاء من الإمام أو نائبه لمن أدى زكاته بالبركة، وأن ذلك ينبغي، أن يكون جهرا، بحيث يسمعه المتصدق فيسكن اليه.

"Dan didalamnya (mengandung), keinginan (hal yang diharapkan) doa dari imam (amil zakat) atau wakilnya (panitia zakat) bagi mereka yang membayar zakat untuk keberkahan, dan ini harus dilakukan dengan jaher (lantang dilafazhkan), sehingga orang yang memberi sedekah mendengarnya dan menemukan kedamaian kepadanya."

ويؤخذ من المعنى، أنه ينبغي إدخال السرور على المؤمن بالكلام اللين، والدعاء له، ونحو ذلك مما يكون فيه طمأنينة، وسكون لقلبه‏.‏ وأنه ينبغي تنشيط من أنفق نفقة وعمل عملا صالحا بالدعاء له والثناء، ونحو ذلك‏

"Dari makna tersebut dapat dipahami bahwa kebahagiaan harus diberikan kepada seorang mukmin dengan kata-kata yang lembut, doa untuknya, dan hal-hal yang mendatangkan ketenteraman dan ketentraman di dalam hatinya, dan bahwa dia yang mengeluarkan suatu infaq dan beramal amalan shaleh hendaknya diberi energi dengan berdoa untuknya dan memujinya, dan seterusnya." (Tafsir As-Sa'di QS. At-Taubah : 103).

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa melafalkan niat melalui ijab qabul bukan menjadi syarat sahnya zakat jika disalurkan langsung kepada mustahiq tanpa melalui amil atau panitia zakat. Akan tetapi jika melalui amil atau panitia zakat maka melafalkan niat dan mendoakannya adalah ajaran syari'at agama sesuai QS. At-Taubah : 103 sebagaimana dijelaskan oleh ulama ahli tafsir. Adapun lafal ijab dan qabul yang ada selama ini yang kita adalah ijtihad para ulama. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar