MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 31 Juli 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMANJANGKAN RAMBUT BAGI LAKI-LAKI

Islam mengajarkan tentang keindahan dan kebersihan dan berpenampilan. Setiap manusia diwajibkan untuk selalu menjaga kebersihan tubuh, baik itu wanita maupun pria. Begitu pula dengan rambut. Rambut juga termasuk bagian tubuh yang harus dirapikan dan dibersihkan. Namun dalam menjaga kebersihan dan kerapian rambut,  ada pula aturannya.

Seorang pria maupun wanita harus rajin mencuci rambutnya paling tidak tiga kali dalam seminggu. Untuk urusan potongan atau gaya rambut,  seorang pria tidak boleh meniru rambut wanita,  begitu juga sebaliknya.

Lalu bagaimana dengan rambut panjang? Apakah rambut panjang diperbolehkan untuk laki-laki? Ternyata seorang pria diperbolehkan untuk memanjangkan rambutnya.

Rambut panjang bagi laki-laki, khususnya di Indonesia sering kali mengundang pro dan kontra. Hal ini terjadi karena rambut panjang bagi laki-laki di Indonesia dipandang kurang sopan oleh sebagian masyarakat tertentu, khususnya di desa. Bagi yang pro dengan hal tersebut berargumen bahwa rambut panjang merupakan sunnah rasul.

Sebagai umat Islam, sudah seyogianya bila meniru tindak-tanduk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebagai panutan dalam beragama, termasuk dalam hal menata rambut. Sedangkan bagi yang kontra, mereka berargumen bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki rambut panjang karena memang kebiasaan atau salah satu adat orang laki-laki Arab adalah berambut panjang. Dan itu bukan merupakan sunnah rasul yang dianjurkan bagi seluruh umatnya yang laki-laki.

Dalam hal ini, akan dibahas hadits tentang sifat rambut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta implementasi hadits tersebut. Berikut adalah hadits tentang sifat rambut nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ يَقُوْلُ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِيْ لِمَّةٍ أَحْسَنَ مِنْهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ

Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (HR. Muslim no. 2337)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ أنْبَأَنَا جَزِيْرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ شَعْرُ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَعْرًا رَجِلاً بَيْنَ أُذُنَيْهِ وَ مَنْكِبَيْهِ. رواه ابن ماجه

“Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah; dari Yazid bin Harun; dari Jazir bin Hazim; dari Qatadah; dari Anas: “Rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lurus ikal, dan terurai di antara kedua telinga dan bahunya”. (Sunan Ibnu Majah (Juz 4: 604)”

Dari redaksi hadits diatas, secara tekstual dapat dipahami bahwa panjang rambut Nabi adalah antara dua telinga dan dua bahunya. Namun, hal tersebut masih abstrak bila digunakan sebagai hujjah yang universal untuk melaksankan sunnah rasul.

Untuk mengetahui sabab al- wurud hadits di atas adalah melalui qaul para sahabat yang memang notabene nya mereka adalah saksi hidup dan berinteraksi langsung dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Salah satu nya adalah sahabat Anas bin Malik (khadim Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menjelaskan dalam riwayatnya.

Dalam hal ini, terdapat variasi riwayat Anas bin malik mengenai sifat rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik mengatakan bahwa panjang rambut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah antara dua telinga dan dua bahunya. Dalam riwayat lain, Anas bin Malik mengatakan bahwa panjang rambut Nabi melewati dua telinganya. Dan pada riwayat yang lain, Anas bin Malik mengatakan bahwa panjang rambut Nabi sampai dua bahunya.

Berdasarkan variasi riwayat Anas bin Malik, para ulama berpendapat bahwa adanya perbedaan riwayat tersebut disebabkan perbedaan waktu Anas bin Malik melihat rambut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi pernah memiliki panjang rambut dengan tiga variasi. Yakni, hingga telinga, melebihi telinga (antara dua telinga dan dua bahu), dan sampai pada dua bahu.

Hal ini memberikan pengertian bahwa Nabi merapikan atau memotong rambutnya sehingga tidak pernah melebihi dua bahunya. Bahkan Nabi juga pernah mencukur rambutnya setelah menunaikan ibadah umrah dan haji. “Faid al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, (Juz 5: 74)”. Namun, belum ditemukan riwayat yang menjelaskan kurun waktu pemotongan rambut Nabi. Apakah seminggu sekali ataukah sebulan sekali. Hanya saja dalam sebuah riwayat Anas bin Malik dikatakan,

وَقْتَ لَنَا فِى قَصِّ الشّارِبِ وَتَقْلِيْمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لاَنَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Kami diberi batasan dalam memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari 40 hari”. “Sahih Muslim: 258”

Riwayat Anas di atas digunakan oleh mayoritas ulama sebagai dasar batas memotongan rambut dan jenggot.

Abu Darda’ pernah meminta nasehat pada Sahl bin Al Hanzholiyyah, di mana Sahl kala itu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيْمٌ الأَسَدِىُّ لَوْلاَ طُولُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِهِ

“Sebaik-baik orang adalah Khuraim Al Asadi, seandainya rambutnya tidak panjang dan tidak memanjangkan sarungnya di bawah mata kaki.”

Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ternyata sampai kepada Khuraim. Lantas ia segera mengambil pisau, kemudian memotong rambutnya sampai kedua telinganya dan mengangkat sarungnya hingga pertengahan kedua betisnya. (HR. Abu Daud no. 4089 dan Ahmad 4: 179)

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Nabi pernah memendekkan rambutnya dan pernah memanjangkan rambutnya, namun tidak sampai melebihi dua bahunya. Dan bahkan Nabi pernah mencukur rambutnya. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi untuk merawat dan menjaga kebesihan dirinya.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa segala sesuatu yang datang dari Nabi merupakan sunnah. Namun, tidak semua sunnah Nabi wajib untuk diikuti. Terdapat sunnah Nabi yang tidak wajib untuk diikuti oleh seluruh umatnya. Yaitu sunnah jibiliyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kapasitas sebagaimana manusia biasa pada umumnya (Af'al Jibiliyah adalah perbuataan yang dilakukan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang manusia biasa. Seperti cara makan, bahan yang dimakan, tempat makan, piring tempat makanan, kapan, minum, tidur, cara berjalan, naik kendaraan, makan bagian tertentu dari daging kambing, dan sejenisnya).

Jumhur ulama mengatakan tidak wajib mengikuti perbuatan Nabi yang dilakukan secara fitrah kemanusiaannya. Sebagaimana dalam hal tatanan rambut. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tatanan rambut Nabi Muhammad menyesuaikan kebiasaan (adat) masyarakat Arab yang memang letak geografis tempat tinggal mereka adalah gurun pasir yang sangat panas sehingga mereka memilih berambut panjang untuk melindungi kepala mereka dari sengat terik matahari.

Implementasi hadits tentang panjang rambut Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam apabila dikontekstualisasikan kepada laki-laki Indonesia adalah seyogianya menjaga kerapian rambutnya dengan cara memotong atau mencukurnya dengan sopan dan sesuai kebiasaan yang berjalan di Indonesia, yakni batas rambut laki-laki adalah hingga kedua telinga. Serta tidak membiarkan rambutnya tidak dipotong melebihi 40 hari.

Sebagaimana yang kita ketahui, tekstur rambut laki-laki lebih cepat pertumbuhannya dibanding dengan tekstur rambut perempuan. Apabila laki-laki memiliki rambut yang panjangnya melebihi batas wajar rambut laki-laki dan menyerupai dengan panjang rambut perempuan maka hal tersebut dilarang oleh Nabi. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتُ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. (HR. Abu Daud no.4097). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar