MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 17 November 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM SUAMI MENYUSU KEPADA ISTRINYA


Apakah jika suami menyusu pada istrinya sendiri menyebabkan mahram?

Ini kembali ke permasalahan persusuan. Persusuan sekali lagi bisa menyebabkan hubungan mahram sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ

“Persusun itu menjadikan mahram sebagaimana mahram disebabkan karena nasab.” (HR. Bukhari no. 3105 dan Muslim no. 1444).

Persusuan ini diistilahkan dengan rodho’ah. Dalam Fathul Qorib (2: 134), salah satu rujukan fikih dalam madzhab Syafi’i disebutkan, “Rodho’ah atau persusuan adalah sampainya air susu seorang wanita yang khusus ke dalam perut anak yang khusus dengan cara yang khusus.”

Dalam madzhab Syafi’i juga disebutkan bahwa wanita yang disusui (dihisap susunya) adalah masih hidup. Wanita yang disusui berumur 9 tahun, baik janda atau perawan, baik masih single ataukah sudah menikah.

Al-Qodhi Abu Syuja’ memberikan syarat untuk bisa persusuan menjadikan mahram :

1. Yang disusui berusia di bawah dua tahun.

2. Wanita tersebut menyesui sebanyak lima kali susuan secara terpisah.

3. Air susu tersebut sampai dalam perut dan standar jumlah persusuannya tersebut dilihat dari ‘urf (kebiasaan yang ada). Jika dianggap sudah satu kali persusuan atau beberapa kali, maka dianggap seperti itu. Jika yang disusui memutus persusuan diantara lima kali persusuan tersebut dengan melepas dari ambing susu, maka sudah dihitung beberapa kali susuan. (Lihat Fathul Qorib, 2: 135-137).

4. Dipersyaratkan dua tahun berdasarkan ayat,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah: 233).

5. Dipersyaratkan lima kali susuan berdasarkan hadits,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata berkata, “Ketika Al Quran diturunkan yang berlaku adalah sepuluh kali susuan sehingga bisa menjadi mahram. Kemudian perkara tersebut dihapus menjadi lima kali susuan. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia dan demikianlah yang berlaku dalam Al Quran (yaitu lima kali susuan, -pen).” (HR. Muslim no. 1452).

Jadi, dibolehkan bagi seorang suami untuk menghisap puting istrinya. Bahkan hal ini dianjurkan, jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak lelaki juga menginginkan agar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.

Adapun suami minum susu istri, para ulama membolehkan jika membutuhkan, semacam untuk berobat. Akan tetapi, jika tidak ada kebutuhan, ulama di kalangan madzhab Hanafi berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang me-makruh-kan.

Dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah (5/355) disebutkan,

وَفِي شُرْبِ لَبَنِ الْمَرْأَةِ لِلْبَالِغِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ اخْتِلَافُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَذَا فِي الْقُنْيَةِ

“Tentang hukum minum susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan. Demikian keterangan dalam  Al-Qunyah.”

Ada sebuah atsar dan hadits berikut. Alkisah diriwayatkan dalam al-Muwattha’ dan Sunan Abi Dawud, suatu ketika pada masa para sahabat ada seorang suami mendatangi Abu Musa Al-Asy’ari ra meminta fatwa karena telah menyusu istrinya. Lalu Abu Musa ra menghukumi Si Istri menjadi mahram suaminya itu karena telah menyusu kepadanya. Namun setelah mendapatkan keterangan lebih jelas dari Ibnu Mas’ud ra yang mengatakan secara tegas, “Tidak ada susuan yang menyebabkan (wanita yang menyusui) menjadi mahram kecuali susuan dalam usia bayi dua (2) tahun,” kemudian Abu Musa ra mencabut fatwanya. Bahkan sebagai apresiasi kepada Ibnu Mas’ud ra, ia secara jujur menyatakan,

لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهَرِكُمْ.

“Jangalah kalian bertanya (masalah hukum) apapun kepadaku selama ulama agung ini ada di antara kalian.” (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf as-Syirazi, al-Muhaddzab pada at-Takmilah min Kitab al-Majmu’, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tth.], juz XX, halaman 85); dan (al-Mula Ali al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz X, halaman 115).

Nah, kisah pencabutan fatwa Abu Musa Al-Asy’ari ra dan apresiasinya kepada Ibnu Mas’ud ra tentu mengandung teladan, hendaknya orang tidak mudah memutuskan hukum-hukum agama kecuali telah lengkap atau komprehensif sumber-sumber hukumnya, apalagi di lingkungan sekitar terdapat ulama lain yang lebih lengkap referensinya. Selain itu, kisah keteladanan ini juga menginspirasi orang agar tidak pelit mengapresiasi kelebihan orang lain.

Inilah kelengkapan hadits dalam atsar sahabat tersebut,

عَنِ ابْنٍ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلا كَانَ مَعَهُ امْرَأَتُهُ وَهُوَ فِي سَفَرٍ فَوَلَدَتْ فَجَعَلَ الصَّبِيُّ لا يَمُصُّ فَأَخَذَ زَوْجُهَا يَمُصُّ لَبَنَهَا وَيَمُجُّهُ حَتَّى وَجَدَ طَعْمَ لَبَنِهَا فِي حَلْقِهِ فَأَتَى أَبَا مُوسَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ” حُرِّمَتْ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ ” , فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُفْتِي هَذَا بِكَذَا وَكَذَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ “؟ 

Seorang putera Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa seorang suami membawa isterinya dalam sebuah perjalanan, dan isterinya melahirkan. Si bayi tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu isterinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya. Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al-Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Isterimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging." (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi no.15.653)

Maksudnya, persusuan hanya berpengaruh jika dilakukan saat anak masih kecil dan membutuhkan susu.  Kelemahan atsar ini tidak berpengaruh pada permasalahan kita, karena tidak ada dalil yang mengharamkan suami menyusu dan meminum susu isterinya. Sedangkan tidak berpengaruhnya persusuan di atas umur dua tahun di dukung oleh banyak dalil lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِn

“Penyusuan tidaklah menyebabkan jadi mahram kecuali susuan yang mengenyangkan perut, dan itu sebelum disapih.” (HR. Tirmidzi)

Kesimpulannya, boleh bagi suami untuk menyusu atau meminum susu istrinya, dan jika itu dilakukan, istrinya tetap menjadi istri yang sah dan halal baginya. Selamat menyusu wahai para suami !!!

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar