MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 26 Januari 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM PERNIKAHAN SECARA ONLINE

Era globalisasi dan revolusi industri merupakan sebuah fenomena yang sangat luar biasa. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan canggih menjadikan semua hal menjadi instan, mulai dari transportasi, telekomunikasi, dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serba teknologi.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dan berkembang ada fenomena yang unik yaitu pernikahan lewat video call, bentuknya pun bisa beragam, ada yang antara wali dengan kedua mempelai terpisah, ada pula yang antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuannya saling berjauhan. Secara keseluruhan, dalam masalah tersebut, salah satu atau beberapa unsur pelaku akad tidak saling bertemu dalam satu tempat.

Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu rukun dan syarat pernikahan dalam Islam adalah suatu hal yang wajib dipenuhi, sebab memengaruhi sah atau tidaknya pernikahan menurut Islam. Adapun rukun dan syarat nikah terdiri dari lima hal, yaitu:

1. Ada mempelai pria

2. Ada mempelai wanita

3. Ada wali nikah

4. Dua orang saksi

5. Dilakukannya ijab Kabul

Dalam Pasal 2: 1 Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum agama dan keyakinannya masing-masing”. Dengan demikian, determinan valid / absennya suatu pernikahan muslim dapat ditelusuri dari ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) tentang hal tersebut. Dalam ketentuan fiqih terkenal yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara singkat dapat dikatakan bahwa perkawinan itu sah jika telah memenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon istri, wali, dua saksi, dan ijab qobul).

Salah satu diantara syarat sah nikah adalah adanya wali dan saksi dalam pernikahan. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama. (Fiqh Sunnah, 2/56)

Dan ini pendapat yang benar, berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ

"Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi orang yang adil." (HR. Ibnu Hibban 4075 & ad-Daruquthni 3579)

Kemudian ulama berbeda pendapat, apakah posisi kedua saksi harus berada di satu majlis yang sama secara hakiki bersama wali dan pengantin lelaki? Ataukah mereka boleh terpisah, selama masih memungkinkan untuk dianggap satu majlis secara hukum.

Mengingat ini masalah baru yang belum ada di masa silam, kita tidak bisa mencarinya di buku fiqh klasik. Jika mengacu pada buku fiqh klasik, para ulama mempersyaratkan, semua yang terlibat dalam akad (Pengantin, wali dan dua saksi), harus ada secara bersamaan di majlis akad. Karena di masa silam, jika tidak satu majlis akad, mereka tidak bisa melakukan komunikasi langsung. Komunikasi hanya melalui surat dan tentu saja itu tertunda.

Al-Buhuti dalam Kasyaf al-Qana’ menyatakan,

وإن تراخى القبول عن الإيجاب صح ما داما في المجلس ولم يتشاغلا بما يقطعه عرفا ولو طال الفصل

"Jika qabul tertunda sesaat, sehingga tidak langsung nyambung dengan ijab, hukumnya sah, selama dalam satu majlis. Dan pengantin tidak melakukan aktivitas yang memutus kesinambungan ijab qabul, meskipun ada jedah agak lama." (Kasyaf al-Qana’, 3/148)

Setelah ada fasilitas komunikasi modern, ulama berbeda pendapat, apakah persyaratan satu majlis ini tetap berlaku, ataukah boleh terpisah selama mereka bisa melakukan komunikasi secara langsung. Ada dua pendapat dalam hal ini,

[1] Harus satu tempat secara hakiki

Ini keputusan yang dikeluarkan Majma’ al-Fiqh al-Islami. Keputusan no. 52 (3/6) tentang hukum melakukan akad dengan media komunikasi zaman sekarang. Ada beberapa akad yang berlaku dan sah dilakukan secara jarak jauh, seperti jual beli. Selama memenuhi konsekuensi transaksi.

Kemudian Majma’ menyebutkan pengecualian,

إن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لاشتراط الإشهاد فيه

"Bahwa kaidah-kaidah tentang akad jarak jauh di atas, tidak berlaku untuk akad nikah. Karena disyaratkan harus ada saksi." (Qararat Majma’ al-Fiqh al-Islami)

[2] Boleh tidak satu tempat, selama mereka bisa komunikasi langsung

Selama saksi bisa memastikan bahwa orang yang bersangkutan adalah wali atau pengantin lelaki, dan dia yakin tidak ada penipuan dalam komunikasi jarak jauh ini, dan semua dilakukan dengan lancar tanpa terputus maka sudah bisa dihukumi satu majlis. 

Ini merupakan pendapat Dr. Abdullah al-Jibrin. Dalam syarh beliau untuk Umdatul Fiqh, beliau mengatakan,

ويجوز على الصحيح إجراء عقد النكاح مع تباعد اماكن تواجد الزوج والولي والشهود ، وذلك عن طريق الشبكة العالمية ( الإنترنت) ، فيمكن لأطراف العقد والشهود الاشتراك جميعاً في مجلس واحد حكماً وإن كانوا متباعدين في الحقيقة ، فيسمعون الكلام في نفس الوقت ، فيكون الإيجاب ، ويليه فوراً القبول ، والشهود يرون الولي والزوج ، ويسمعون كلامهما في نفس الوقت

"Boleh melakukanakad nikah, sekalipun di posisi berjauhan, yang melibatkan pengantin pria, wali, dan saksi. Dan itu dilakukan melalui internet. Sehingga memungkinkan untuk dilakukan akad dan persaksian dalam waktu bersamaan, dan dihukumi (dianggap) satu majlis.. Meskipun hakekatnya mereka berjauhan. Mereka bisa saling mendengar percakapan dalam satu waktu. Ijab pertama, lalu langsung disusul dengan qabul. Sementara saksi bisa melihat wali dan pengantin lelaki. Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam waktu yang sama. Akad ini shahiih."

Lalu beliau menegaskan,

فهذا العقد صحيح، لعدم إمكان التزوير أو تقليد الأصوات

"Akad ini sah, karena tidak mungkin ada penipuan atau tiru-tiru suara…"

Di Indonesia, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa bahwa akad nikah melalui telepon itu sah, dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Alasan yang digunakan adalah hadits riwayat Ummu Habibah. Selain itu, alasan lainnya adalah tidak adanya dalil qath’i yang mengatur tentang teknis akad nikah sehingga masalah teknis tersebut adalah masalah ijtihadiyah. Pengertian satu majelis, bukan mutlak harus majelis makni (satu tempat), akan tetapi juga bisa diartikan sebagai majelis zamani (satu waktu).

Namun apakah akad nikah yang dilakukan tanpa berjabat tangan yang dilakukan antara wali dan mempelai pria hukumnya sah, maka jawabannya adalah tetap sah. Sebab jabat tangan antara keduanya tidak termasuk dari rukun dan syarat nikah yang menjadi standar keabsahan akad nikah.  

فَصْلٌ فِي أَرْكَاِن النِّكَاِح وَغَيْرِهَا  (أَرْكَانُهُ) خَمْسَةٌ (زَوْجٌ وَزَوْجةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ. وشُرِّطَ فِيهَا) أَيْ فِي صِيغَتِهِ (مَا) شُرِّطَ (فِي) صِيغَةِ (الْبَيْعِ) وَقَدْ مَرَّ بَيَانُهُ وَمِنْهُ عَدَمُ التَّعْلِيقِ وَالتَّأْقِيتِ. 

“Pasal tentang Rukun nikah dan selainnnya. Rukun nikah ada lima (5), yaitu calon suami, calon istri, wali, dua saksi dan shighat. Dalam shigat nikah disyaratkan hal-hal yang disyaratkan dalam shighat akad jual beli, dan penjelasannya sudah lewat.” Di antaranya tanpa menggantungkan akad pada sesuatu yang lain (ta’liq) dan tanpa pembatasan waktu (ta’qit).” (Abu Yahya Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajit Thullab pada Hasyiyatus Syekh Sulaiman Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz IV, halaman 133).

Dalam tradisi yang berlaku selama ini, umumnya akad nikah dilakukan dengan jabat tangan keduanya. Dalam Islam, jabat tangan atau salaman merupakan perbuatan yang sangat disunnahkan (sunnah muakkadah) bahkan disepakati kesunnahannya untuk dilakukan di setiap pertemuan, sejalan dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ، إلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.  

“Tidaklah dua orang Muslim berjumpa kemudian saling berjabat tangan melainkan keduanya mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum mereka berpisah.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Al-Hafizh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi meriwayatkannya dari Al-Barra’. Hadits hasan). (Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Ma’rifah: 1379 H], juz XI, halaman 55).

Selain itu bersalaman juga dapat menumbuhkan mahabbah atau rasa cinta dan menjadi kesempurnaan penghormatan ucapan salam.

اَلْمُصَافَحَةُ الْأَخْذُ بِالْيَد وَهُوَ مِمَّا يُولِدُ الْمَحَبَّةَ 

“Mushafahah adalah berjabat tangan dan hal itu termasuk perbutan yang dapat melahirkan rasa cinta.” (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2001 M], juz XXII, halaman 392). 

مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ الْأَخْذُ بِالْيد) أَيْ إِذَا لَقِيَ الْمُسْلِمُ الْمُسْلِمَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَمِنْ تَمَامِ السَّلَامِ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ فِي يَدِهِ فَيُصَافِحُهُ فَإِنَّ الْمُصَافَحَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ 

“Maksud sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Di antara kesempurnaan penghormatan kepada orang lain adalah berjabat tangan’, adalah ketika seorang muslim bertemu muslim lain lalu mengucapkan salam kepadanya, maka di antara kesempurnaan salamnya adalah dengan meletakkan tangannya kepada muslim yang dijumpainya lalu berjabat tangan. Sebab berjabat tangan hukumnya sunnah muakkadah.” (Muhammad Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadi Syarh al-Jami’is Shagir min Ahaditsil Basyirin Nadzir, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M], ed. Ahmad Abdissalam, juz IV, halaman 15)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Status hukum pernikahan melalui media telepon merupakan suatu hal yang sah. Pernikahan dapat dilaksanakan dengan menggunakan media telepon atau video call, karena selain dapat mendengarkan suaranya dengan jelas, antara ijab dan qabul serta kedua saksi juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa yang melakukan ijab dan qabul itu adalah orang-orang yang berakad. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar