Rabu, 22 Februari 2012
BAHAS TUNTAS MASALAH BID’AH
1. MUKADDIMAH
Firman Allah ta’ala : بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
”(Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah:117)
Firman Allah ta’ala : قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
”Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rosul-rosul.” (QS: Al-Ahqaf: 9)
Perkataan اِبتدع فلانٌ بدعة Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya.
Perkataan هذاأمرٌبديعٌ Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya.
Muhammad bin Abdul Wahhab mengutib sebuah hadits dalam kitabnya sbb:
أصول الإيمان الشيخ محمد بن عبد الوهاب، الجزء الأول
وعن أبي الدرداء مرفوعا قال: “ما أحل الله في كتابه فهو حلال، وما حرم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عافية، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئا {وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً} سورة مريم آية: 64. رواه اليزار وابن أبي حاتم والطبراني. ص -257
Dari Abu Darda ( marfu’) berkata, “Apa saja yg dihalalkan Alloh di dalam kitab-Nya maka halal, dan apa saja yg diharamkan, maka haram. Dan apa saja yg didiamkan darinya, maka itu DIMA’AFKAN. Maka terimalah kema’afan dari Alloh. Maka sesungguhnya Alloh tdk mungkin melupakan sesuatu {Dan tidaklah Tuhanmu itu lupa} QS. Maryam: 64 (HR. Al-Bazzar, Ibnu Hatim dan Ath-Thabrani) [Ushul Al-Iman juz I hal. 257].
وقوله: { وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا } أي: مهما أمركم به فافعلوه، ومهما نهاكم عنه فاجتنبوه، فإنه إنما يأمر بخير وإنما ينهى عن شر.
قال ابن أبي حاتم: حدثنا يحيى بن أبي طالب، حدثنا عبد الوهاب، حدثنا سعيد، عن قتادة، عن الحسن العوفي، عن يحيى بن الجزار، عن مسروق قال: جاءت امرأة إلى ابن مسعود فقالت: بلغني أنك تنهى عن الواشمة والواصلة، أشيء وجدته في كتاب الله أو عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال: بلى، شيء وجدته في كتاب الله وعن رسول الله صلى الله عليه وسلم. قالت: والله لقد تصفحت ما بين دفتي المصحف فما وجدت فيه الذي تقول!. قال: فما وجدت فيه: { وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا } ؟ قالت: بلى. قال: فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهى عن الواصلة والواشمة. قالت: فلعله في بعض أهلك. قال: فادخلي فانظري. فدخلت فَنَظرت ثم خرجَت، قالت: ما رأيتُ بأسا. فقال لها: أما حفظت وصية العبد الصالح: { وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ }
Firman Alloh:{“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” }yaitu selagi diperintahkan, maka kerjakanlah dan selagi dilarang, maka tinggalkanlah. Maka sesungguhnya apa yg diperintahkan itu baik dan apa yg dilarang itu buruk. [QS. Al-Hasyr: 7]
Ibnu Hatim berkata, mengatakan kepadaku Yahya bin Abi Tholib, mengatakan kepadaku Abdul Wahhab, mengatakan kepadaku Sa’id, dari Qotadah, dari Hasan Al-‘Aufi, dari Yahya bin Jazar, dari Masyruq ia berkata, “Datang seorang wanita kpd (Abdulloh) Ibnu Mas’ud dan berkata, ‘Sampaikan kpd ku bhw sesungguhnya engkau melarang bertato dan menyambung rambut, adakah sesuatu (larangan) engkau dapatkan di dlm kitab Alloh atau dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam?’ Ibnu Mas’ud menjawab, “Ya, itu sesuatu (yg dilarang) di dlm kitab Alloh dan dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam.” Wanitu itu berkata, ‘Demi Alloh, sungguh aku telah membaca mushaf dan tdk aku temukan seperti apa yg engkau katakan!’ Ibnu Mas’ud berkata, “Bukankah kamu menemukan di dalamnya (Al-Qur’an) {“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah?” }Wanita itu menjawab, ‘Ya’, Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya akau mendengar Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yg menyambung rambut, bertato.” Wanita itu berkata, ‘Itu semua dilakukan oleh sebagian keluargaku.’ Maka Ibnu Mas’ud berkata kepadanya, “Masuklah dan perlihatkan kepadaku,” maka wanita itu masuk dan mengeluarkan dan memperlihatkan (keluarganya) dan berkata, ‘Aku tidak melihat ini buruk.’ Maka Ibnu Mas’ud berkata kepadanya, “Tidakkah kamu mengingat wasiat unt org2 yg sholih {Tidaklah aku bermaksud unt dipertentangkan pada apa yg aku larang darinya} (Tafsir Ibnu Katsir juz VIII hal 66)
Abu Tsa’labah Al-khusyani Jurtsum bin Nasyir ra. meriwayatkan dari Rosulullah saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah swt telah menetapkan beberapa kewajiban, janganlah engkau menyepelekannya (meremehkannya), telah menentukan sanksi-sanksi hukum, janganlah engkau melanggar, telah pula mengharamkan beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh kedalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal –karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa– maka janganlah engkau mencari-carinya.” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ad-daruquthni, dll) (Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi hadits ke-30)
Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafy Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadits Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam yg sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواهمسلم)
"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).
Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafy Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadits.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul/pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari'at atau menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.
2. PENGERTIAN BID’AH
البدعة، لغةً تعني «إحداث شيء (مادّي أو معنوي) لم يكن موجوداً من قبل», ومنها اشتقت كلمة "إبداع", واصطلاحاً في الإسلام, كما عرّفها الشاطبي: «هي طريقة في الدّين مخترعة، تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبّد لله تعالى ^ الاعتصام، تأليف: الشاطبي، ج1، ص37.
Bid‘ah (Bahasa Arab: بدعة) dalam agama Islam berarti sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Hukum dari bid’ah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya. Imam Syathibi, bid'ah dalam agama adalah Satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah. [Al-I’tishom juz 1 hal. 37]
ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق
Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu. [Kitab Al-‘Itisham, I/36]
فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
Sedangkan menurut istilah, bid’ah berarti cara baru dalam agama (yang belum ada contoh sebelumnya) yang menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan dan berlebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Kitab Al-‘Itisham, I/37]
Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:
قال الإمام الشافعي- رحمه الله -: ((البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم)) واحتج بقول عمر في قيام رمضان:
“نعمت البدعة هذه” رواه أبو نعيم في”حلية الأولياء” (9/113
1. Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah dhalalah.
2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah mazmumah (tercela/buruk). Bidah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela dan buruk”. [Hilyah al-Auliya’, 9/113, dan Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15]
3. BATASAN PENGERTIAN BID’AH
وفي الحد ايضا معنى آخر مما ينظر فيه وهو ان البدعة من حيث قيل فيها انها طريقة في الدين مخترعة إلى آخره يدخل في عموم لفظها البدعة التركية كما يدخل فيه البدعة غير التركية فقد يقع الابتداع بنفس الترك تحريما للمتروك أو غير تحريم فان الفعل مثلا قد يكون حلالا بالشرع فيحرمه الانسان على نفسه أو يقصد تركه قصدا
فبهذا الترك اما ان يكون لأمر يعتبر مثله شرعا اولا فان كان لأمر يعتبر فلا حرج فيه اذ معناه انه ترك ما يجوز تركه أو ما يطلب بتركه كالذي يحرم على نفسه الطعام الفلاني من جهة أنه يضره في جسمه أو عقله أو دينه وما اشبه ذلك فلا مانع هنا من الترك بل ان قلنا بطلب التداوي للمريض فان الترك هنا مطلوب وان قلنا باباحة التداوي فالترك مباح
Batasan Arti Bid'ah
Dalam pembatasan arti bid'ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama, yaitu: bid'ah sesuai dengan pengertian yang telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yang baru diciptakan (dibuat-buat) —dan seterusnya—. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid'ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan bid'ah yang bukan tarkiyyah. Hal-hal yang dianggap bid'ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid'ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan — misalnya— menjadi halal karena ketentuan syar'i, namun ada juga manusia yang mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.
Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dengan meninggalkan perkara yang dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah. [Kitab Al-‘Itisham, I/42]
4. BID’AH MENURUT HADITS NABI
عن عائشة رضي الله عنها؛ قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد" [روه البخارى]
Dari Aisyah ra berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang membuat perkara baru yang tidak ada dalam urusan kami, maka dia tertolak.” [HR. Bukhari]
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه؛ عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "أما بعد, فإن خير الحديث كتاب الله, وخير الهدى هدى محمد, وشر الأمور محدثاتها, وكل بدعة ضلالة " [روه مسلم]
Dari Jabir bin Abdullah ra. Berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Maka sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah [Al-Qur’an], dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk-Ku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah sesat.” [HR. Muslim]
عن المنذر بن جرير عن أبيه؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من سَنَّ في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده؛ من غير أن ينقص من أجورهم شيء, ومن سَنَّ في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده, من غير أن ينقص من أوزارهم شيء" [روه مسلم]
Dari Munzhir bin Jarir dari bapaknya berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membuat tradisi baru dalam islam yang baik, maka dia mendapat pahalanya dan mendapat pula pahala orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat tradisi baru dalam islam yang buruk, maka dia mendapat dosaanya dan mendapat pula dosa orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi dosa orang-orang yang mengikutinya sedikit pun.” [HR. Muslim]
5. BID’AH MENURUT PARA ULAMA
قال النووي: قوله صلى الله عليه وسلم: "وكل بدعة ضلالة" هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع، قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل غير مثال سابق. قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرّمة ومكروهة والمباح
في حديث العرباض بن سارية، قول النبي صلى الله عليه وسلم: "وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة" رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه، وصححه الترمذي وابن حبان والحاكم.
قال الحافظ بن رجب في شرحه: "والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة" اهـ.
Imam Nawawi berkata: Sabda Rosululloh Shollaloohu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah itu sesat” ini adalah umum yg dikhususkan dan maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara-perkara baru, maka setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.
وفي صحيح البخاري عن ابن مسعود قال: "إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدى هدى محمد صلّى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها".
قال الحافظ بن حجر والمحدثات بفتح الدال جمع محدثه، والمراد بها ما أحدث وما ليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة، وما كان له أصل يدل عليه الشرع، فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث على غير مثال، يسمى بدعة سواء كان محمودا او مذموما اهـ.
Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh [al-Qur’an] dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yg baru [dlm agama].”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, lafazh “muhdatsat” dgn di fathah huruf “dal-nya” kata jama’ [plural] dari “muhdatsah”, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal [dasar]nya dlm syari’at. Dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah. Dan sesuatu yg memiliki asal [landasan] yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa. Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.
وروى أبو نعيم عن ابراهيم بن الجنيد، قال: سمعت الشافعي يقول: البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم.
وروى البيهقي في مناقب الشافعي عنه، قال: المحدثات ضربان: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنةً أو أثرا أو إجماعا، فهذه بدعة الضلالة.
وما أحدث من الخير لا خلاف فيه في واحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر في قيام رمضان: نعمة البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن، وإذا كانت، ليس فيها رد لما مضى.
Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim bin Al-Janid berkata: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Maka perkara baru yang sesuai sunnah, maka itu [bid’ah] terpuji. Dan perkara baru yang berlawanan dgn sunnah itu [bid’ah] tercela.”
Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i [biografi Syafi’i] Imam Syafi’i berkata: “Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah dhalalah.
Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar (sahabat) dan ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela. Dan Umar bin Khathab ra. berkata tentang qiyamu Romadhon [sholat tarawih] “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tdk ada [sebelumnya], dan ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sdh berlalu.
والمراد بقوله: "كل بدعة ضلالة" ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام اهـ.
وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء، في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة.
قال الامام الشافعي: "كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به" اهـ.
Dan yg dimaksud dgn sabda Rosul, “Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yg baru [dlm agama] yg tdk ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits] secara khusus maupun secara umum.
Imam Nawawi berkata dlm At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “Al-Bid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yg tdk ada dimasa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan dia terbagi menjadi dua baik dan buruk.
Imam Syafi’i berkata, “Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya)." . [Itqon Ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na Al-Bid’ah, Sayyid Al-Alamah Abdulloh bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini]
ليس كل ما أبدع منهيّاً عنه، بل المنهيّ عنه بدعة تضاد سنّة ثابتة وترفع أمراً من الشرع أبو حامد الغزالي فال:
إحياء علوم الدين، تأليف]: الغزالي، ج2، ص428.[
Abu Hamid Al-Ghozali: Tidak semua dari perkara baru [bid’ah] itu dilarang, tetapi yang dilarang adalah perkara baru yang bertentangan dengan sunnah dan menetapkandan mengangkat sesuatu perkara melebihi syari’at agama [menetapkan sesuatu melebihi kewajiban agama]. [Ihya’ ‘Ulumuddin hal. 428]
ابن رجب الحنبلي قال: والمراد بالبدعة ما أحدث مما ليس له أصل في الشريعة يدل عليه، وأما ما كان له أصل في الشرع يدلّ عليه فليس ببدعة، وإن كان بدعة لغة
] جامع العلوم والحكم، تأليف: ابن رجب الحنبلي، ص223.[
Ibnu Rajab: Bidah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bid’ah, walaupun bisa dikatakan bid’ah secara bahasa [Jami’ Al-‘Uluw hal. 223]
ابن الأثير قال: البدعة بدعتان؛ بدعة هدى وبدعة ضلالة،فما كان في خلاف ما أمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز الذمّ والإنكار، والبدعة الحسنة في الحقيقة سنّة، وعلى هذا التأويل يحمل حديث "كل محدثة بدعة" على ما خالف أصول الشريعة ولم يوافق السنة
النهاية، تأليف]: ابن الأثير، ج1، ص80، ط1328 هـ، المطبعة الخيرية.[
Ibnu Al-Atsir : Bid’ah terbagi dua yaitu, bid’ah petunjuk dan bid’ah sesat. Adapaun sesuatu [yang baru] yang perlawanan dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW, maka itu adalah bid’ah yang bid’ah yang tercela dan munkar. Dan bid’ah hasanah pada hakikatnya adalah sunnah. Dan pengertian dari hadits, “Setiap perkara baru [dalam agama] adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang berlawanan dengan pokok-pokok syari’at dan tidak didapat dari sunnah. [An-Nihayah hal. 80, Ibnu Al-Atsir]
ابن تيمية قال: ما رآه المسلمون مصلحة إن كان بسبب أمر حدث بعد النبي صلى الله عليه وسلم فها هنا يجوز إحداث ما تدعو الحاجة إليه.
اقتضاء الصراط المستقيم، تأليف]: ابن تيمية، ص258، دار الحديث.[
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: [Bid’ah] adalah apa yang dianggap suatu mashlahah [kebaikan] oleh kaum muslimin jika hal keberadaannya disebabkan oleh adanya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan hal ini dibolehkan mengadakan hal yang baru yang memang dibutuhkan. [Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim hal. 258]
Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”
Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”
Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AH adalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yangHALAL dan yang HARAM? LUCU kan sobat ?!
Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Dengan memperhatikan definisi-definisi ini akan nampak tanda-tanda yang mendasar bagi batasan bid’ah secara syariat yang dapat dimunculkan ke dalam beberapa point di bawah ini :
1. Bahwa bid’ah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama. Adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya maslahat duniawi seperti mengadakan perindustrian dan alat-alat sekedar untuk mendapatkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak dinamakan bidah.
2. Bahwa bid’ah tidak mempunyai dasar yang ditunjukkan syariat. Adapun apa yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at bukanlah bid’ah, walupun tidak ditentukan oleh nash secara khusus. Misalnya adalah apa yang bisa kita lihat sekarang: orang yang membuat alat-alat perang seperti kapal terbang,roket, tank atau selain itu dari sarana-sarana perang modern yang diniatkan untuk mempersiapkan perang melawan orang-orang kafir dan membela kaum muslimin maka perbuatannya bukanlah bidah. Bersamaan dengan itu syariat tidak memberikan nash tertentu dan rasulullah tidak mempergunakan senjata itu ketika bertempur melawan orang-orang kafir. Namun demikian pembuatan alat-alat seperti itu masuk ke dalam keumuman firman Allah taala,Dan persiapkanlah oleh kalian untuk mereka (musuh-musuh) kekuatan yang kamu sanggupi.Demikian pula perbuatan-perbuatan lainnya. Maka setiap apa-apa yang mempunyai asal dalam sariat termasuk bagian dari syariat bukan perkara bidah.
3. Bahwa bid’ah dalam agama kadang-kadang menambah dan kadang-kadang mengurangi syariat sebagaimana yang dikatakan oleh Suyuthi di samping dibutuhkan pembatasan yaitu apakah motivasi adanya penambahan itu agama,dalam hal ini berkaitan dengan masalah akidah atau ibadah mahzhoh. Adapun bila motivasi penambahan selain agama atau masalah agama yang bukan ibadah mahzhoh, bukanlah disebut bid’ah dalam maksud hadits Nabi tsb. Contohnya meninggalkan perkara wajib tanpa udzur, maka perbuatan ini adalah tindakan maksiat bukan bid’ah. Demikian juga meninggalkan satu amalan sunnah tidak dinamakan bid’ah.
Abu Tsa'labah Al-khusyani Jurtsum bin Nasyir ra. meriwayatkan dari Rosulullah saw, beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah swt telah menetapkan beberapa kewajiban, janganlah engkau menyepelekannya (meremehkannya), telah menentukan sanksi-sanksi hukum, janganlah engkau melanggar, telah pula mengharamkan beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh kedalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal --karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa-- maka janganlah engkau mencari-carinya." (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ad-daruquthni, dll) [Al-Arba’in Nawawi hadits ke-30]
Jadi, tidak semua yang didiamkan Allah dan Rasulnya [tidak diperintahkan] itu dilarang, tetapi itu merupakan “Rahmat Allah” yang bisa kita sikapi dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan bersandarkan ilmu agama. Wallahu a’lam bish_Shawab
Jumat, 17 Februari 2012
HUJJAH ANDALAN SALAFI WAHABI TERNYATA ATSAR SHAHABAT YANG LEMAH
‘Aliy bin Ja’d rahimahullah berkata :
وَسَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ يَمَانٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ، يَقُولُ: " الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةُ لا يُتَابُ مِنْهَا "
Dan aku telah mendengar Yahyaa bin Yamaan berkata : Aku mendengar Sufyaan (Ats-Tsauriy) berkata : “Bid’ah lebih disenangi Ibliis daripada maksiat. Maksiat dapat diharapkan bertaubat darinya, sedangkan bid’ah susah untuk diharapkan bertaubat darinya” [Al-Musnad hal. 748 no. 1885].
Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim:
حَدَّثَنَا الْقَاضِي أَبُو أَحْمَدَ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْجَارُودِ، ثنا أَبُو سَعِيدٍ، ثنا ابْنُ يَمَانٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ، يَقُولُ: " الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةُ لا يُتَابُ مِنْهَا "
dalam Hilyatul-Auliyaa’ 7/26, Al-Baihaqiy
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ، قَالَ: أنا أَبُو عَمْرِو ابْنُ السَّمَّاكِ، نا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو، سَمِعْتُ بَشَرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ يَمَانٍ، يَقُولُ: قَالَ سُفْيَانُ: " الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ "
dalam Syu’abul-Iimaan no. 9009, Al-Laalikaa’iy
أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ الْيَمَانِ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ: " الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةُ لا يُتَابُ مِنْهَا "
dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 238, Ibnu Basyraan
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مِنْجَابٍ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَعِيدٍ الْمَرْوَزِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ رِزْقِ اللَّهُ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ: " الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، لأَنَّ الْمَعْصِيَةَ يُتَابُ مِنْهَا، وَإِنَّ الْبِدْعَةَ لا يُتَابُ مِنْهَا "
dalam Al-Amaaliy no. 720, Ibnu ‘Asaakir
وَبِهِ إِلَى الأَنْصَارِيِّ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمُودٍ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّغُولِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُهَلَّبِ، ثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ يَمَانٍ، يَقُولُ: قَالَ سُفْيَانُ: الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ.زَادَ الأَشَجُّ: لأَنَّ الْمَعْصِيَةَ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةَ لا يُتَابُ مِنْهَا
dalam Jam’ul-Juyuusy no. 35, dan ‘Abdullah Al-Anshaariy
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمُودٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّغُولِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُهَلِّبِ، يَقُولُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ. ح وَأَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَالْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى، قَالَا: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، قَالَ: سَمِعْتُ يَحْيَى ابْنَ يَمَانٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ. ح وَأَخْبَرَنَاهُ الْقَاسِمُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عُمَرَ الْمُؤَمَّلِيُّ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الدَّقَّاقُ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو، سَمِعْتُ بِشْرَ بْنَ الْحَارِثِ، يَقُولُ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ الْيَمَانِ، يَقُولُ: قَالَ سُفْيَانُ: " الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسِ مِنَ الَمْعَصِيَّةِ، زَادَ الْأَشَجُّ: لَأَنَّ الْمَعْصِيَّةَ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةَ لَا يُتَابُ مِنْهَا "
dalam Dzammul-Kalaam wa Ahlih 5/120-121 no. 914; semuanya dari jalan Yahyaa bin Yamaan, dari Sufyaan Atsa-Tsauriy rahimahullaah.
Kelemahan atsar di atas terletak pada Yahyaa bin Yamaan.
Yahyaa bin Yamaan Al-‘Ijliy, Abu Zakariyyaa Al-Kuufiy (يحيى بن يمان العجلي ، أبو زكريا الكوفي); seorang yang shaduuq, namun banyak melakukan kekeliruan dan berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 189 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1070 no. 7729].
Riwayat atsar ini juga ada dalam kitab hadist lainnya , seperti dalam Hilyatul aAulia Abu Nu’aim, Syarhus Sunnah Imam Bugawi, dll.
Dan ternyata atsar di atas dari semua kitab hadits semuanya melalui
1 orang yaitu YAHYA BIN YAMAN.
Dan ternyata atsar di atas dari semua kitab hadits semuanya melalui
1 orang yaitu YAHYA BIN YAMAN.
يحيى بن يمان
YAHYA BIN YAMAN derajat beliau menurut para imam peneliti hadits
yang aya ambil dari kitab-kitab Rijalul Hadits Imam Zahabi, Imam Mizzi, Imam Ibnu Hajar:
yang aya ambil dari kitab-kitab Rijalul Hadits Imam Zahabi, Imam Mizzi, Imam Ibnu Hajar:
قال أحمد بن حنبل : ليس بحجة
Imam Ahmad bin Hambal berkata : hadits yang ia (Yahya bin Yaman) riwayatkan tidak bisa di jadikan hujjah.
وقال زكريا بن يحيى : ضعفه أحمد بن حنبل
Zakaria bin Yahya mengatakan : Imam Ahmad mendhoifkan Yahya bin Yaman.
وقال يحيى بن معين : ليس بثبت وكان يتوهم الحديث
Yahya bin Muin berkata: beliau (Yahya bin Yaman) bukan termasuk dipegang haditsnya, dan keadaanya meragukan dalam haditsnya.
وقال وكيع : هذه الأحاديث التي يحدث بها يحيى بن يمان ليس من أحاديث سفيان الثوري
Berkata Imam Waki : ini hadits yang diriwayatkan dengannya oleh Yahya bin Yaman, bukanlah hadits – hadits Sufyan Tsauri.
وقال النسائي : ليس بالقوي
Imam Nasa-i mengatakan : Beliau (Yahya bin Yaman) bukan trmasuk kuat dalam hapalan, dan tidak bisa dipegang.
Walhasil keputusan (kesimpulan) nya dari pembahasan di atas, bahwa hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah!
Jadi ayo kita teruskan Bid’ah Hasanah kita, apalagi sekarang sudah masuk bulan Maulid, yuk kita bermaulidan, bertahlilan, bertawassulan….
Oke… semuanya setuju kan? Wallahu a’lam bish-Shawab
Langganan:
Postingan (Atom)