Teringat sekitar tahun 2010-an saya pernah mengkonter tulisan Ust. Firanda Andirja, Lc. di www.firanda.com mengenai tulisannya bahwa dianjurkan penghancuran bangunan yang ada makam dengan mengutip kitab Al-Uum Imam Syafi'i dengan penggalan dari ucapan Imam Asy-Syafi'i,
قال الشافعي وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
"Asy-Syafi'i berkata: "Saya telah melihat para penguasa menghancurkan bangunan yang didirikan di atas kuburan di Mekah dan saya tidak melihat para fuqaha (ahli fiqih) mengingkari tindakan itu." (Al-Uum, Imam Syafi'i juz 2 hal.631)
Sementara ibarot hujjah yang disampaikan oleh Ust. Firanda Andirja hanya potongan dari perkataan Imam Asy-Syafi'i dan kemudian saya kutipan lanjutannya,
فإن كانت القبور في الأرض يملكها الموتى في حياتهم أو ورثتهم بعدهم لم يهدم شيء أن يبنى منها وإنما يهدم أن هدم ما لا يملكه أحد فهدمه لئلا يحجر على الناس موضع القبر فلا يدفن فيه أحد فيضيق ذلك بالناس
"Dan jika kubur itu berada di tanah yang dimiliki oleh orang yang meninggal atau ahli warisnya, maka tidak boleh menghancurkan bangunan di atas kubur itu. Namun, jika kubur itu berada di tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka boleh menghancurkan bangunan di atasnya agar tidak mempersempit ruang untuk penguburan orang lain." (Al-Uum, Imam Syafi'i juz 2 hal.631)
Kemudian tulisan Ust. Firanda Andirja dihapus permanen dari websitenya.
Akhir-akhir ini banyak beredar video pembongkaran sebuah bangunan makam khususnya yang baru-baru ini terjadi di wilayah Pasuruan Jawa Timur yang menurut informasi yang ada di medsos hal itu terjadi disebabkan adanya makam seorang kyai yang tergusur sehingga berada dipinggiran tembok bangunan. Namun setelah bangunan hancur memicu kemarahan dari pihak yang mungkin merasa dirugikan sebagaimana video yang beredar pula.
Pemakaman atau kuburan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, terutama kuburan muslim. Di negeri ini, kuburan seringkali ditembok atau dihiasi dengan bangunan, baik yang megah maupun yang sederhana.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada kalangan ulama, melainkan juga diadopsi oleh warga biasa. Perlu dicatat bahwa kebiasaan ini berbeda dengan praktik pemakaman di Timur Tengah atau Arab Saudi, di mana kuburan cukup ditandai dengan batu nisan atau benda lain sebagai penanda lokasi pemakaman.
Bagaimanakah hukum yang mengatur tradisi ini? Apakah diperbolehkan menembok atau membangun struktur di atas kuburan atau makam?
Dalam konteks hukum Islam, tradisi menembok atau membangun bangunan di atas kuburan tidak memiliki dasar yang jelas dalam ajaran agama. Sebagian ulama menyatakan bahwa tindakan ini dapat dianggap sebagai bid'ah (inovasi dalam agama) jika tidak memiliki dasar syar'i yang kuat.
Muslim indonesia yang mayoritas bermadzab Syafi'i sudah selayaknya mengikuti hujjah beliau sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Uum sebagai berikut,
باب ما يكون بعد الدفن
قال الشافعي وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك فإن كانت القبور في الأرض يملكها الموتى في حياتهم أو ورثتهم بعدهم لم يهدم شيء أن يبنى منها وإنما يهدم أن هدم ما لا يملكه أحد فهدمه لئلا يحجر على الناس موضع القبر فلا يدفن فيه أحد فيضيق ذلك بالناس
قال الشافعي وإن تشاح الناس ممن يحفر للموتى في موضع من المقبرة وهي غير ملك لأحد حفر الذي يسبق حيث شاء وان جاءوا معا اقرع الوالي بينهم وإذا دفن الميت فلي لأحد حفر قبره حتى يأتى عليه مدة يعلم أهل ذلك البلد أن ذلك قد ذهب وذلك يختلف بالبلدان فيكون في السنة وأكثر فإن عجل أحد بحفر قبره فوجد ميتا أو بعضه أعيد عليه التراب وإن خرج من عظامه شيء أعيد في القبر
قال وإذا كانت أرض لرجل فأذن بأن يقبر فيها ثم أراد أخذها فله أخذ ما لم يقبر فيه وليس له أخذ ما قبر فيه منها وإن قبر قوم في أرض لرجل بلا إذنه فأردا تحويلهم عنها أو بناءها أو زرعها أو حفرها آبارا كرهت ذلك له وإن شح فهو أحق بحقه وأحب لو ترك الموتى حتى يبلوا
قال وأكره وطء القبر والجلوس والاتكاء عليه إلا أن لا يجد الرجل السبيل إلى قبر ميته إلا بأن يطأه فذلك موضع ضرورة فأرجو حينئذ أن يسعه إن شاء الله تعالى وقال بعض أصحابنا لا بأس بالجلوس عليه وإنما نهى عن الجلوس عليه للتغوظ قال الشافعي وليس هذا عندنا كما قال وإن كان نهى عنه للمذهب فقد نهى عنه وقد نهى عنه مطلقا لغير المذهب أخبرنا الربع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا إبراهيم بن محمد عن أبيه عن جده قال تبعت جنازة مع أبي هريرة فلما كان دون القبور جلس أبو هريرة ثم قال لأن أجلس على جمرة فتحرق ردائي ثم قميصي ثم إزاري ثم تفضي إلى جلدي أحب إلى من أن أجلس على قبر امريء مسلم
قال وأكره أن يبنى على القبر مسجد وأن يسوى أو يصلى عليه وهو غير مسوى أو يصلى إليه قال وإن صلى إليه أجزأه وقد أساء أخبرنا مالك أن رسول الله قال قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد لا يبقى دينان بأرض العرب
قال كره هذا للسنة والآثار وأنه كره والله تعالي أعلم أن يعظم أحد من المسلمين يعني يتخذ قبره مسجدا ولم تؤمن في ذلك الفتنة والضلال على من يأتى بعد فكره والله أعلم لئلا يوطأ فكره والله أعلم لأن مستودع الموتى من الأرض ليس بأنظف الأرض وغيره
*Bab tentang apa yang dilakukan setelah penguburan.*
Asy-Syafi'i berkata: "Saya telah melihat para penguasa menghancurkan bangunan yang didirikan di atas kuburan di Mekah dan saya tidak melihat para fuqaha (ahli fiqih) mengingkari tindakan itu. Dan jika kubur itu berada di tanah yang dimiliki oleh orang yang meninggal atau ahli warisnya, maka tidak boleh menghancurkan bangunan di atas kubur itu. Namun, jika kubur itu berada di tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka boleh menghancurkan bangunan di atasnya agar tidak mempersempit ruang untuk penguburan orang lain."
Asy-Syafi'i berkata: "Jika orang-orang berebut untuk menggali kubur di tempat yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka orang yang lebih dulu datang memiliki hak untuk menggali kubur di tempat yang diinginkan. Jika mereka datang bersamaan, maka penguasa harus melakukan undian di antara mereka. Setelah jenazah dikuburkan, tidak ada yang boleh mengganggu kubur tersebut sampai waktu yang lama, sehingga masyarakat sekitar tidak lagi mengetahui bahwa ada jenazah yang dikuburkan di sana. Waktu yang lama ini berbeda-beda tergantung pada keadaan di setiap daerah, bisa jadi satu tahun atau lebih. Jika seseorang tergesa-gesa menggali kubur dan menemukan jenazah atau sebagian darinya, maka tanah harus dikembalikan ke tempat semula. Jika ada tulang-belulang yang keluar dari kubur, maka tulang-belulang tersebut harus dikembalikan ke dalam kubur."
Asy-Syafi'i berkata: "Jika seseorang memiliki tanah dan memberikan izin untuk menguburkan jenazah di sana, kemudian dia ingin mengambil kembali tanahnya, maka dia boleh mengambil bagian tanah yang tidak ada kubur di atasnya. Namun, dia tidak boleh mengambil bagian tanah yang ada kubur di atasnya.
Jika sekelompok orang menguburkan jenazah di tanah seseorang tanpa izin, kemudian pemilik tanah ingin memindahkan jenazah-jenazah tersebut atau membangun di atas tanah itu, maka hal itu tidak disukai dan sebaiknya pemilik tanah membiarkan jenazah-jenazah itu sampai mereka hancur."
Asy-Syafi'i berkata: "Saya tidak menyukai menginjak kubur, duduk, atau bersandar di atasnya. Namun, jika seseorang tidak memiliki pilihan lain untuk mendekati kubur keluarganya kecuali dengan menginjaknya, maka saya berharap hal itu tidak menjadi masalah baginya, insya Allah." Sebagian pengikut kami berkata: "Tidak masalah duduk di atas kubur, karena larangan duduk di atas kubur hanya berlaku jika untuk buang air besar."
Asy-Syafi'i berkata: "Pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kami. Jika ada larangan duduk di atas kubur karena khawatir dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan, maka larangan itu juga berlaku dalam situasi lain." Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami dari Asy-Syafi'i, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: "Saya mengikuti jenazah bersama Abu Hurairah. Ketika kami berada di dekat kuburan, Abu Hurairah duduk dan berkata: 'Saya lebih suka duduk di atas bara api yang membakar pakaian dan kulit saya daripada duduk di atas kubur seorang Muslim.'"
Asy-Syafi'i berkata: "Saya tidak menyukai membangun masjid di atas kubur, meratakan kubur, atau shalat di atasnya jika kubur itu tidak rata. Saya juga tidak menyukai shalat menghadap kubur. Jika seseorang shalat menghadap kubur, shalatnya tetap sah, namun dia telah berbuat buruk."
Malik mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah bersabda: "Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah."
Asy-Syafi'i berkata: "Saya tidak menyukai hal ini karena alasan syariat dan atsar (riwayat) dari para ulama terdahulu. Mereka tidak menyukai jika kuburan seorang Muslim diagungkan dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, karena khawatir akan menimbulkan fitnah dan kesesatan bagi orang-orang yang datang kemudian."
Asy-Syafi'i berkata: "Tanah yang digunakan sebagai tempat penguburan bukanlah tanah yang paling bersih, dan tidak ada keutamaan bagi tanah tersebut dibandingkan dengan tanah lainnya." (Al-Uum, Imam Syafi'i, juz 2 [Bab tentang apa yang dilakukan setelah penguburan] hal.631-632)
Ulama sepakat bahwa larangan ini jika dilakukan di pemakaman umum yang mempersempit area pemakaman atau bahkan merusak makam yang telah ada sebelumnya, berbeda jika tanah makam milik pribadi. Terlebih memiliki tujuan yang lebih dalam, yaitu menghindari praktik-praktik yang keliru atau bahkan dapat dianggap sebagai bentuk penyembahan makam. Dalam literatur ulama, ditegaskan bahwa tindakan seperti mengkultuskan, mengagungkan, atau meminta pertolongan kepada makam adalah tindakan yang harus dihindari. Larangan ini, dengan demikian, bertujuan menjaga keikhlasan dalam ibadah dan menjaga umat dari segala bentuk kesalahan yang mungkin timbul. Wallahu a'lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*