MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 02 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGHANCURKAN SEBUAH BANGUNAN KUBURAN DI PEMAKAMAN UMUM



Teringat sekitar tahun 2010-an saya pernah mengkonter tulisan Ust. Firanda Andirja, Lc. di www.firanda.com mengenai tulisannya bahwa dianjurkan penghancuran bangunan yang ada makam dengan mengutip kitab Al-Uum Imam Syafi'i dengan penggalan dari ucapan Imam Asy-Syafi'i, 

قال الشافعي وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك

"Asy-Syafi'i berkata: "Saya telah melihat para penguasa menghancurkan bangunan yang didirikan di atas kuburan di Mekah dan saya tidak melihat para fuqaha (ahli fiqih) mengingkari tindakan itu." (Al-Uum, Imam Syafi'i juz 2 hal.631)

Sementara ibarot hujjah yang disampaikan oleh Ust. Firanda Andirja hanya potongan dari perkataan Imam Asy-Syafi'i dan kemudian saya kutipan lanjutannya,

فإن كانت القبور في الأرض يملكها الموتى في حياتهم أو ورثتهم بعدهم لم يهدم شيء أن يبنى منها وإنما يهدم أن هدم ما لا يملكه أحد فهدمه لئلا يحجر على الناس موضع القبر فلا يدفن فيه أحد فيضيق ذلك بالناس 

"Dan jika kubur itu berada di tanah yang dimiliki oleh orang yang meninggal atau ahli warisnya, maka tidak boleh menghancurkan bangunan di atas kubur itu. Namun, jika kubur itu berada di tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka boleh menghancurkan bangunan di atasnya agar tidak mempersempit ruang untuk penguburan orang lain." (Al-Uum, Imam Syafi'i juz 2 hal.631)

Kemudian tulisan Ust. Firanda Andirja dihapus permanen dari websitenya.

Akhir-akhir ini banyak beredar video pembongkaran sebuah bangunan makam khususnya yang baru-baru ini terjadi di wilayah Pasuruan Jawa Timur yang menurut informasi yang ada di medsos hal itu terjadi disebabkan adanya makam seorang kyai yang tergusur sehingga berada dipinggiran tembok bangunan. Namun setelah bangunan hancur memicu kemarahan dari pihak yang mungkin merasa dirugikan sebagaimana video yang beredar pula.

Pemakaman atau kuburan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, terutama kuburan muslim. Di negeri ini, kuburan seringkali ditembok atau dihiasi dengan bangunan, baik yang megah maupun yang sederhana.

Fenomena ini tidak hanya terbatas pada kalangan ulama, melainkan juga diadopsi oleh warga biasa. Perlu dicatat bahwa kebiasaan ini berbeda dengan praktik pemakaman di Timur Tengah atau Arab Saudi, di mana kuburan cukup ditandai dengan batu nisan atau benda lain sebagai penanda lokasi pemakaman.

Bagaimanakah hukum yang mengatur tradisi ini? Apakah diperbolehkan menembok atau membangun struktur di atas kuburan atau makam? 

Dalam konteks hukum Islam, tradisi menembok atau membangun bangunan di atas kuburan tidak memiliki dasar yang jelas dalam ajaran agama. Sebagian ulama menyatakan bahwa tindakan ini dapat dianggap sebagai bid'ah (inovasi dalam agama) jika tidak memiliki dasar syar'i yang kuat. 

Muslim indonesia yang mayoritas bermadzab Syafi'i sudah selayaknya mengikuti hujjah beliau sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Uum sebagai berikut,

باب  ما يكون بعد الدفن 

قال الشافعي وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك فإن كانت القبور في الأرض يملكها الموتى في حياتهم أو ورثتهم بعدهم لم يهدم شيء أن يبنى منها وإنما يهدم أن هدم ما لا يملكه أحد فهدمه لئلا يحجر على الناس موضع القبر فلا يدفن فيه أحد فيضيق ذلك بالناس 

قال الشافعي وإن تشاح الناس ممن يحفر للموتى في موضع من المقبرة وهي غير ملك لأحد حفر الذي يسبق حيث شاء وان جاءوا معا اقرع الوالي بينهم وإذا دفن الميت فلي لأحد حفر قبره حتى يأتى عليه مدة يعلم أهل ذلك البلد أن ذلك قد ذهب وذلك يختلف بالبلدان فيكون في السنة وأكثر فإن عجل أحد بحفر قبره فوجد ميتا أو بعضه أعيد عليه التراب وإن خرج من عظامه شيء أعيد في القبر 

قال وإذا كانت أرض لرجل فأذن بأن يقبر فيها ثم أراد أخذها فله أخذ ما لم يقبر فيه وليس له أخذ ما قبر فيه منها وإن قبر قوم في أرض لرجل بلا إذنه فأردا تحويلهم عنها أو بناءها أو زرعها أو حفرها آبارا كرهت ذلك له وإن شح فهو أحق بحقه وأحب لو ترك الموتى حتى يبلوا 

قال وأكره وطء القبر والجلوس والاتكاء عليه إلا أن لا يجد الرجل السبيل إلى قبر ميته إلا بأن يطأه فذلك موضع ضرورة فأرجو حينئذ أن يسعه إن شاء الله تعالى وقال بعض أصحابنا لا بأس بالجلوس عليه وإنما نهى عن الجلوس عليه للتغوظ قال الشافعي وليس هذا عندنا كما قال وإن كان نهى عنه للمذهب فقد نهى عنه وقد نهى عنه مطلقا لغير المذهب أخبرنا الربع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا إبراهيم بن محمد عن أبيه عن جده قال تبعت جنازة مع أبي هريرة فلما كان دون القبور جلس أبو هريرة ثم قال لأن أجلس على جمرة فتحرق ردائي ثم قميصي ثم إزاري ثم تفضي إلى جلدي أحب إلى من أن أجلس على قبر امريء مسلم 

قال وأكره أن يبنى على القبر مسجد وأن يسوى أو يصلى عليه وهو غير مسوى أو يصلى إليه قال وإن صلى إليه أجزأه وقد أساء أخبرنا مالك أن رسول الله قال قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد لا يبقى دينان بأرض العرب 

قال كره هذا للسنة والآثار وأنه كره والله تعالي أعلم أن يعظم أحد من المسلمين يعني يتخذ قبره مسجدا ولم تؤمن في ذلك الفتنة والضلال على من يأتى بعد فكره والله أعلم لئلا يوطأ فكره والله أعلم لأن مستودع الموتى من الأرض ليس بأنظف الأرض وغيره 

*Bab tentang apa yang dilakukan setelah penguburan.*

Asy-Syafi'i berkata: "Saya telah melihat para penguasa menghancurkan bangunan yang didirikan di atas kuburan di Mekah dan saya tidak melihat para fuqaha (ahli fiqih) mengingkari tindakan itu. Dan jika kubur itu berada di tanah yang dimiliki oleh orang yang meninggal atau ahli warisnya, maka tidak boleh menghancurkan bangunan di atas kubur itu. Namun, jika kubur itu berada di tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka boleh menghancurkan bangunan di atasnya agar tidak mempersempit ruang untuk penguburan orang lain."

Asy-Syafi'i berkata: "Jika orang-orang berebut untuk menggali kubur di tempat yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka orang yang lebih dulu datang memiliki hak untuk menggali kubur di tempat yang diinginkan. Jika mereka datang bersamaan, maka penguasa harus melakukan undian di antara mereka. Setelah jenazah dikuburkan, tidak ada yang boleh mengganggu kubur tersebut sampai waktu yang lama, sehingga masyarakat sekitar tidak lagi mengetahui bahwa ada jenazah yang dikuburkan di sana. Waktu yang lama ini berbeda-beda tergantung pada keadaan di setiap daerah, bisa jadi satu tahun atau lebih. Jika seseorang tergesa-gesa menggali kubur dan menemukan jenazah atau sebagian darinya, maka tanah harus dikembalikan ke tempat semula. Jika ada tulang-belulang yang keluar dari kubur, maka tulang-belulang tersebut harus dikembalikan ke dalam kubur."

Asy-Syafi'i berkata: "Jika seseorang memiliki tanah dan memberikan izin untuk menguburkan jenazah di sana, kemudian dia ingin mengambil kembali tanahnya, maka dia boleh mengambil bagian tanah yang tidak ada kubur di atasnya. Namun, dia tidak boleh mengambil bagian tanah yang ada kubur di atasnya.

Jika sekelompok orang menguburkan jenazah di tanah seseorang tanpa izin, kemudian pemilik tanah ingin memindahkan jenazah-jenazah tersebut atau membangun di atas tanah itu, maka hal itu tidak disukai dan sebaiknya pemilik tanah membiarkan jenazah-jenazah itu sampai mereka hancur."

Asy-Syafi'i berkata: "Saya tidak menyukai menginjak kubur, duduk, atau bersandar di atasnya. Namun, jika seseorang tidak memiliki pilihan lain untuk mendekati kubur keluarganya kecuali dengan menginjaknya, maka saya berharap hal itu tidak menjadi masalah baginya, insya Allah." Sebagian pengikut kami berkata: "Tidak masalah duduk di atas kubur, karena larangan duduk di atas kubur hanya berlaku jika untuk buang air besar."

Asy-Syafi'i berkata: "Pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kami. Jika ada larangan duduk di atas kubur karena khawatir dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan, maka larangan itu juga berlaku dalam situasi lain." Ar-Rabi' mengabarkan kepada kami dari Asy-Syafi'i, dia berkata: Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: "Saya mengikuti jenazah bersama Abu Hurairah. Ketika kami berada di dekat kuburan, Abu Hurairah duduk dan berkata: 'Saya lebih suka duduk di atas bara api yang membakar pakaian dan kulit saya daripada duduk di atas kubur seorang Muslim.'"

Asy-Syafi'i berkata: "Saya tidak menyukai membangun masjid di atas kubur, meratakan kubur, atau shalat di atasnya jika kubur itu tidak rata. Saya juga tidak menyukai shalat menghadap kubur. Jika seseorang shalat menghadap kubur, shalatnya tetap sah, namun dia telah berbuat buruk."

Malik mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah bersabda: "Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah."

Asy-Syafi'i berkata: "Saya tidak menyukai hal ini karena alasan syariat dan atsar (riwayat) dari para ulama terdahulu. Mereka tidak menyukai jika kuburan seorang Muslim diagungkan dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, karena khawatir akan menimbulkan fitnah dan kesesatan bagi orang-orang yang datang kemudian."

Asy-Syafi'i berkata: "Tanah yang digunakan sebagai tempat penguburan bukanlah tanah yang paling bersih, dan tidak ada keutamaan bagi tanah tersebut dibandingkan dengan tanah lainnya." (Al-Uum, Imam Syafi'i, juz 2 [Bab tentang apa yang dilakukan setelah penguburan] hal.631-632)

Ulama sepakat bahwa larangan ini jika dilakukan di pemakaman umum yang mempersempit area pemakaman atau bahkan merusak makam yang telah ada sebelumnya, berbeda jika tanah makam milik pribadi. Terlebih memiliki tujuan yang lebih dalam, yaitu menghindari praktik-praktik yang keliru atau bahkan dapat dianggap sebagai bentuk penyembahan makam. Dalam literatur ulama, ditegaskan bahwa tindakan seperti mengkultuskan, mengagungkan, atau meminta pertolongan kepada makam adalah tindakan yang harus dihindari. Larangan ini, dengan demikian, bertujuan menjaga keikhlasan dalam ibadah dan menjaga umat dari segala bentuk kesalahan yang mungkin timbul. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 30 September 2025

KAJIAN TENTANG KISAH PERTANYAAN MUNKAR NAKIR, "MAN RABBUKA" DIJAWAB, "HABIBI ABDULLAH BA'ALAWI



Beberapa waktu yang lalu saya memposting sebuah penggalan video dari WAG dimana terlihat Habib Ahmad bin Ali Assegaf menyampaikan (terlihat beliau membaca kitab) bahwa ada seorang yang meninggal dunia ketika ditanya oleh malaikat (Munkar Nakir), "Man Robbuka (siapa tuhanmu), dia menjawab, "Habibi Abdullah Ba'alwi (kekasihku adalah Abdullah Ba'alwi)." Dan ketika ditanya malaikat, "Wa Man Nabiyuka (dan siapa nabimu)," dia menjawab, "Habibi Abdullah Ba'alwi (kekasihku adalah Abdullah Ba'alwi)."

Dari sanalah saya terobsesi mencari rujukan kitab apa kira-kira yang menyampaikan kisah aneh bin ajaib tersebut. Syahdan, akhirnya saya dapatkan kitab Jami' Karamat Al-Auliya' karya Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani  juz 2 hal.244-245 terdapat kisah yang mirip dengan apa disampaikan Habib Ahmad bin Ali Assegaf sebagaimana dalam video tersebut meskipun redaksinya sedikit berbeda sebagaimana berikut,

(عبد الله بن علوى ابن الأستاذ الأعظم) 

إمام العلماء العاملين وقدوة الأولياء العارفين ، وهو شيخ الشريعة والحقيقة ، وشيخ مشايخ الطريقة و من كراماته : أنه أنكر على رجل بمكة المشرفة شرب الخمر ، فقال له :رجل خياط أستعين بذلك على صنعتى ، فقال : إن أغناك الله عن ذلك تعاهدني على أن لا تعود لشربه ؟ فقال نعم ، فدعا رضى الله عنه ربه أن يتوب عليه وأن يغنيه عنه فتاب وحسنت توبته وأغناه الله ، وعاهده ثلاث ليال لئلا ينقض توبته ، رأى السيد عبد الله المذكور كأن قائلا يقول : احفروا لفلان في محل كذا مد البصر ، ومن صلى عليه غفر له ، فاستيقظ وسأل عنه فإذا هو قد مات فصلى عليه .

ومنها : أن رجلا أنشد أبياتا تتعلق بالبعث والحساب ، فتواجد صاحب الترجمة وخر مغشيا عليه ، فلما أفاق قال للرجل : أعد الأبيات ، فقال الرجل : بشرط تضمن لى الجنة ، فقال : ليس ذلك إلى ولكن اطلب ماشئت من المال, فقال الرجل : ما أريد إلا الجنة وإن حصل لنا شيء ما كرهنا فدعا له بالجنة ، فحسنت حالة الرجل وانتقل إلى رحمة الله ، وشيعه السيد عبد الله المذكور وحضر دفنه ، وجلس عند قبره ساعة فتغير وجهه ثم ضحك واستبشر ، فسئل عن ذلك

فقال : إن الرجل لما سأله الملكان عن ربه قال : شيخي عبد الله باعلوى ، فتعبت لذلك ، فسألاه أيضا فأجاب بذلك ، فقالا : مرحبا بك وبشيخك عبد الله باعلوى. قال بعضهم : هكذا ينبغي أن يكون الشيخ يحفظ مريده حتى بعد موته .

(Abdullah bin Alawi bin Al-Ustadz Al-A'zham) 

Adalah Imam para ulama yang beramal dan teladan para wali. Ia adalah guru syariat dan hakikat, serta guru dari para syaikh tarekat. Di antara karamatnya adalah ketika ia menegur seorang pria di Mekkah yang sedang minum khamar. Pria itu berkata, "Saya adalah seorang tukang jahit yang mengandalkan itu untuk pekerjaan saya." Abdullah bertanya, "Jika Allah memberikanmu kecukupan, maukah engkau berjanji untuk tidak kembali meminum khamar?" Pria itu menjawab, "Ya." Maka Abdullah berdoa kepada Allah agar pria tersebut bertaubat dan diberikan kecukupan, dan Allah mengabulkan doanya. Pria tersebut bertaubat dengan baik, dan Abdullah mengikat janji selama tiga malam agar taubatnya tidak terputus.

(Suatu ketika), Abdullah melihat seolah-olah ada yang berkata, "Galilah (kubur) untuk si fulan di tempat yang terlihat, dan barang siapa yang menshalatkan atasnya, akan diampuni." Ia terbangun dan menanyakan tentang orang itu, dan ternyata ia telah meninggal, lalu Abdullah menshalatkan atasnya.

Di lain waktu, seorang pria melantunkan syair tentang kebangkitan dan perhitungan amal, sehingga Abdullah merasa terharu dan pingsan. Ketika ia sadar, ia meminta pria itu untuk mengulangi syairnya. Pria itu menjawab, "Dengan syarat engkau menjamin saya surga." Abdullah menjawab, "Itu bukan urusanku, tetapi mintalah apa pun yang kau inginkan dari harta." Pria itu berkata, "Saya tidak ingin selain surga, dan jika kami mendapatkan sesuatu, kami tidak keberatan." Abdullah mendoakan pria itu agar mendapatkan surga. Keadaan pria itu membaik dan ia pun berpulang kepada rahmat Allah (meninggal dunia). Abdullah mengantarkan jenazahnya dan hadir dalam pemakamannya. Ia duduk di dekat kuburnya sejenak, wajahnya berubah, lalu ia tertawa dan bersuka cita. Ketika ditanya tentang itu, ia berkata, "Ketika malaikat bertanya kepada pria itu tentang Tuhannya, ia menjawab, 'Guru saya Abdullah Alawi,' dan saya merasa lelah karena itu. Mereka bertanya lagi, dan ia menjawab dengan hal yang sama, lalu mereka berkata, 'Selamat datang kepadamu dan gurumu Abdullah Alawi.'" Sebagian orang berkata, "Begitulah seharusnya seorang guru menjaga muridnya bahkan setelah ia meninggal." (Jami' Karamat Al-Auliya' karya Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani  juz 2 hal.244-245). Wallahu a'lam bis-Shawab 🙏 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG LARANGAN BERBUAT GHULLU (BERLEBIHAN) TERHADAP KUBURAN





Adanya fenomena di kalangan umat Islam saat ini yang perlu perhatian khusus dalam rangka untuk meluruskan dari kesalahan terkait bagaimana tata cara berziarah, karena semakin maraknya kita jumpai kuburan-kuburan yang dikeramatkan yang dihias sedemikian indahnya dengan berbagai macam bunga sehingga seperti sebuah perlombaan oleh sebagain orang, dan menjadi tempat yang lebih ramai dari destinasi-destinasi wisata. Mereka berduyun-duyun datang dari berbagai daerah hingga dari manca negara untuk meraih berbagai hajatnya masing-masing. Tidak sedikit yang menjadikan kuburan sebagai tempat paling memberi keberkahan dan menjanjikan terkabulnya hajat dan doa mereka, bahkan bersujud di kuburan yang bisa jatuh pada perbuatan musyrik.

Hal tersebut biasanya bisa kita lihat di pemakaman Habaib, Ulama, Kyai atau tokoh terkenal dimana para pemimpin (ustadz) dan jamaahnya berbuat ghullu terhadap kuburan. Bagaimana  ajaran para Salaf Alawiyyin (habaib) terdahulu terkait pengagungan kuburan?

Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf menjelaskan dalam kitabnya Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah berikut,

ونعود إلى الموضوع فنقول بأن العلويين قد لا يوافقون على ما هو أقل من وضع التابوت, فقد ذكر ابن عبيدالله في الجزء الثاني من مخطوطة بضائع التابوت أن شيخه العلامةالجليل عبدالرحمن بن محمد المشهور ابتنى في حدود سنة ١٣١٠ ه سقيفة على أعمدة دقيقة من الخشب, تظلل زائري سيدي الفقيه المقدم ومن حوله من  الشمس, فاشتد فى إنكارها شيخنا العلامة علوي بن عبدالرحمن المشهور, ولكن لم يسمع له كلام, ثم ابتنى الفاضل السيد عبدالقادر بن أحمد الحداد سقيفة أخرى على مقبرة الحداد آل فأنكر عليه الصالح التقي السيد عبدالرحمن بن عبدالله خرد, فلم يكن لصوته صدى, غير أن السقيفتين لم تأخذا إلا قدر ما يمسك قوائمهها من الأرض, ولا أثر عليها للمباهاة أو للتعظيم كما يشاهد من هيئتهما وكيفيتهما. 

هذا ولم يقبر احد من العلويين فى مسجد ولا اوصى احد منهم أن تبنى على قبره قبة وذكر ابن عبيدالله قبر العلامة الجيل السيد علي بن عبدالله بن عبدالرحمن بن عقيل السقاف فقال: إنه توفي سنة بيجانب ١١٨١ ه وقبر بجانب مسجده بدون وصية منه, بل قيل له في مرض موته أين تحب أن يكون قبرك فقال حيثما يريده الله.

Kita kembali ke topik pembahasan dan mengatakan bahwa Ba'alawi mungkin tidak setuju dengan sesuatu yang kurang dari pemasangan tabut.

Ibnu 'Ubaidillah menyebutkan dalam jilid kedua manuskrip "Bada'i' At-Tabut" bahwa gurunya, seorang ulama besar bernama 'Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, membangun sebuah bangunan kecil di atas makam Sayyid Al-Faqih Al-Muqaddam dan makam-makam di sekitarnya pada sekitar tahun 1310 H.

Bangunan itu memiliki tiang-tiang kayu yang halus untuk melindungi pengunjung dari sinar matahari. Namun, Syaikh 'Alawi bin 'Abdurrahman Al-Masyhur sangat keras mengingkari tindakan tersebut, tetapi tidak ada yang mendengarkan peringatannya.

Kemudian, seorang yang mulia bernama Sayyid 'Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad membangun bangunan kecil lain di atas makam keluarga Al-Haddad.

Syaikh yang shaleh dan bertakwa, Sayyid 'Abdurrahman bin Abdullah Khurd, mengingkari tindakan tersebut, tetapi tidak ada yang menghiraukannya.

Kedua bangunan kecil itu hanya menempati sebagian kecil tanah dan tidak ada unsur kesombongan atau pengagungan yang berlebihan seperti yang terlihat dari bentuk dan strukturnya.

Tidak ada seorang pun dari Ba'alawi yang dimakamkan di dalam masjid, dan tidak ada yang mewasiatkan agar dibangun kubah di atas makamnya.

Ibnu 'Ubaidillah menyebutkan makam seorang ulama besar dari kalangan Ba'alawi, Sayyid 'Ali bin Abdullah bin 'Abdurrahman bin 'Aqil As-Segaf, yang wafat pada tahun 1181 H dan dimakamkan di samping masjidnya tanpa ada wasiat dari beliau untuk itu.

Bahkan, dikatakan bahwa ketika beliau sedang sekarat, beliau ditanya di mana beliau ingin dimakamkan, dan beliau menjawab bahwa beliau serahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah." (Al-Istizadah min Akhbar  As-Sadah, Habib Ali bin Muhsin As-Segaf juz 1 hal.453-454)

وقال الشيخ عبدالله باسودان لسان حال العلويين: كما أن نسبة العوام الضر والنفع إلى الأولياء كما هو عادتهم ذنب عظيم, ولاسيما إذا كان مع اعتقاد التأثير منهم في ذلك بدون تقييد أنه بإذن الله ومشيئته وقضائه وقدره, وليتحقق الموفق أن الله غيور أن يشرك به شيئافى عباده أو غيرها, وأن الكبرياء رداؤه والعظمة إزاره فمن نازعه فيهما قصمه

Syaikh Abdullah Basudan berkata, mewakili pandangan Ba'alawi, "Sungguh, mengaitkan mudarat dan manfaat kepada para wali, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam, adalah dosa besar.

Terutama jika hal itu diyakini sebagai pengaruh langsung dari para wali tanpa mengaitkannya dengan izin, kehendak, ketentuan, dan takdir Allah.

Orang yang diberi taufik oleh Allah harus menyadari bahwa Allah sangatlah cemburu jika ada sesuatu yang dipersekutukan dengan-Nya, baik dalam hal hamba-Nya maupun yang lainnya.

Ke-Esa-an dan keagungan adalah milik Allah, dan siapa pun yang menentang-Nya dalam hal ini, Allah akan menghancurkannya." (Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah, Habib Ali bin Muhsin As-Segaf juz 1 hal.458)

هذا ولا يوافق علماء العلويين على ما يفعله بعض العامة والجهلاء من التمسح بالقبور, كما يدل على ذلك ما ذكره الجد العلامة الفقيه علوي بن عبدالله السقاف حين قال: أخيرني الوالد النجيب حسين بن محمد بن هادي السقاف أنه حضر مجلس فقه بمسجد طه يتصدره الأخ عبد القادر الروش, فجرى البحث في تقبيل القبور والتمسح بها, وأن ابن حجر يقول :كراهيته, ثم ذكر أنني لم أطلع على كلام الرملي إلا من الروش, ثم راجعته ووجدت الشبراملسي علق عليه بأن لا يفعله من يقتدي به, خوفاً من أن يعتقده العامة ويغالون فيه, كما الواقع وقال حسين إن والده الحبيب محمذ بن هادي السقاف (١٢٩١-١٣٨٣) على قبر مشهده في الرجال وحسن اعتقاده فيهم لا يعمل شيئاً من التقبيل والتمسح بقبورهم مهمابلغ صيتهم, اعتمادا لما قاله الفقهاء؛ وأنه زار معه مرات المهاجر وغيره منفرداً ومع جماعه فلم يره يعمل شيئاً من ذالك

Hal ini menunjukkan bahwa para ulama Ba'alawi tidak menyetujui tindakan sebagian orang awam dan bodoh yang mengusap-usapkan diri mereka ke kuburan.

Hal ini terlihat dari apa yang disebutkan oleh kakek, seorang ulama besar dan ahli fiqih, 'Alawi bin Abdullah As-Segaf, yang berkata: "Ayahku yang mulia, Husain bin Muhammad bin Hadi As-Segaf, mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah menghadiri majelis fiqih di Masjid Thaha yang dipimpin oleh saudara 'Abdul Qadir Al-Rusyi.

Dalam majelis itu, mereka membahas tentang hukum mencium kuburan dan mengusap-usapkannya.

Ibnu Hajar berpendapat bahwa perbuatan itu makruh. Kemudian disebutkan bahwa saya tidak mengetahui adanya komentar dari Ar-Ramli tentang masalah ini kecuali dari Al-Rusyi.

Setelah saya meneliti lebih lanjut, saya menemukan bahwa Asy-Syibramallisi memberikan komentar bahwa orang yang diikuti sebaiknya tidak melakukan hal itu, agar tidak menimbulkan anggapan yang berlebihan di kalangan orang awam, seperti yang sering terjadi.

Husain juga mengatakan bahwa ayahnya, Habib Muhammad bin Hadi As-Segaf (1291-1383 H), yang memiliki kedudukan tinggi dan keyakinan yang baik terhadap para wali Allah, tidak pernah melakukan ciuman atau usapan pada kuburan mereka, meskipun beliau sangat terkenal.

Hal ini berdasarkan pada pendapat para ahli fiqih. Beliau juga mengatakan bahwa dia beberapa kali mengunjungi makam Al-Muhajir dan makam lainnya, baik sendirian maupun bersama orang lain, dan tidak pernah melihat ayahnya melakukan hal seperti itu." (Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah, Habib Ali bin Muhsin As-Segaf juz 1 hal.460). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat.  Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 29 September 2025

KAJIAN TENTANG KITAB "SYARH AL-'AINIYAH" YANG MENGANDUNG BID'AH DILARANG DICETAK DI MAKKAH TAHUN 1347 H.






Masih ingatkah tentang kisah karomah Syeikh Al-Faqih Al-Muqaddam yang mi'raj 70 kali dalam semalam? Al-Faqih Muqaddam adalah julukan yang ditujukan kepada Syeikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath, pendiri Tarekat Alawiyyin dan leluhur dari para keturunan Alawiyyin yang tersebar di Indonesia. Al-Faqih Muqaddam dilahirkan di Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 574 H/1176 M dan wafat tahun 653 H.

Terkait kisah mi'rajnya Al-Faqih Muqaddam 70 kali dalam satu malam dan karomah lainnya terdapat dalam kitab diantaranya Al-Jauhar Asy-Syafaf, Syarh Al-'Ainiyah dan Al-Ustadz Al-A'zham Al-Faqih Al-Muqaddam sebagai berikut,

رواية الخطيب في الجوهر الشفاف: ومن جملة ما كتب إليه شيخ شيوخنا محمد بن علي بن أبي علوي أنه عرج بي إلى سدرة المنتهى سبع مرات في ليلة واحدة، وفي رواية سبع وعشرين، وفي رواية سبعين مرة، وذكر أن رجلًا من أهل السريات الصادقات، والكرامات الخارقات أتى من دمشق يقال له الفضل، فلما قدم أتى إلى الشيخ الجليل شيخ شيوخنا الفقيه محمد بن علي بن أبي علوي وقال له: ما أتيت إليك إلا لأعلمك أني ما وجدت جاثمًا على قلبك إلا الشيخ عبدالرحمن المقعد، وأنت تحكم له، فهو رجل مكتسب، وأنت صاحب نسبة، فقال شيخ شيوخنا: وما هذه النسبة؟ قال: سدرة المنتهى، وقال أيضًا: لو اجتمع أهل المشرق والمغرب على أن يفكوا قفلك لما قدروا«

Dalam riwayat Al-Khatib di Al-Jauhar Asy-Syafaf: "Di antara yang ditulis kepada kami oleh Syekh Syekh kami, Muhammad bin Ali bin Abi Alawi, adalah bahwa aku diangkat ke Sidrat Al-Muntaha tujuh kali dalam satu malam. Dalam riwayat lain disebutkan tujuh puluh kali, dan dalam riwayat lain lagi tujuh puluh kali. Ia menyebutkan bahwa seorang laki-laki dari kalangan para wali yang ikhlas dan memiliki karamah luar biasa datang dari Damaskus, yang dikenal dengan nama Al-Fadhil. Ketika ia tiba, ia mendatangi syekh yang mulia, Syekh Syekh kami, Faqih Muhammad bin Ali bin Abi Alawi, dan mengatakannya: 'Aku datang kepadamu hanya untuk memberitahumu bahwa aku tidak menemukan sesuatu yang menghalangimu kecuali Syekh Abdul Rahman yang terkurung, dan kamu harus memberikan keputusan untuknya, karena dia adalah orang yang berusaha, dan kamu adalah orang yang memiliki nasab.' Maka Syeikh-Syeikh kami bertanya: 'Apa nasab ini?' Ia menjawab: 'Sidrat Al-Muntaha,' dan ia juga berkata: 'Seandainya orang-orang dari timur dan barat berkumpul untuk membukakan kunci hatimu, mereka tidak akan mampu.'" (Jauhar Asy-Syafaf juz 1 hal. 79)

Sementara di dalam kitab Syarh Al-'Ainiyah dijelaskan sebagai berikut,

وكان من جملة ما كتب به إلى الشيخ سعد، أنه قال: عرج بي إلى سدرة المنتهى سبع مرات. وفى رواية سبعة وعشرين مرة فى ليلة واحدة.  وفي رواية سبعين مرة. ومن جملة ما كتب به الشيخ سعد بن علي: بعد  ما عرف تمكينه وتأبيدو وحراسته عن الزيغ : أني أقول قول الناصح محب المشفق, فلا يكون قلبك متعلقا بكرامات ولا غيرها, ولا تلتفت اليها,ولو ظهرت لك اى ظهور, واليكم قلبك متعلقا بمحبة الله, وإلزام حالك الذي انت عليه, ولو قامت عليك القيامة, ولو رأين اى هول فلا يهولنك,  وكلما عرض عليك شيئ, فزانه بميزان الشرع وكتاب الله, فما وافق الحق فاتبعه. ومالم يوفق الحق فاتركه. وأنت بافقيه! أهدى من ان تهدى إنشاء الله, وأعلم بالشريعة والحقيقة.

Di antara apa yang ditulis oleh Syaikh (Al-Faqih Muqaddam) kepada Syaikh Sa'ad adalah: "Aku telah diangkat ke Sidratul Muntaha sebanyak tujuh kali." Dalam riwayat lain disebutkan sebanyak 27 kali dalam satu malam, dan dalam riwayat lain sebanyak 70 kali."

Di antara apa yang ditulis oleh Syaikh Sa'ad bin 'Ali setelah dia mengetahui keteguhan dan kekuatan iman Syaikh (Al-Faqih Muqaddam), serta perlindungan Allah dari penyimpangan,adalah: "Aku katakan dengan penuh nasihat dan kasih sayang, Janganlah hatimu terikat dengan karamah atau hal-hal lainnya, dan janganlah kamu memperhatikannya, meskipun karamah itu tampak jelas bagimu.

Hubungkanlah hatimu dengan cinta kepada Allah dan tetaplah dalam keadaanmu yang sekarang, meskipun kiamat sudah terjadi dan kamu melihat kejadian yang sangat menakutkan, janganlah hal itu membuatmu gentar.

Setiap kali ada sesuatu yang muncul di hadapanmu, timbanglah dengan timbangan syariat dan kitab Allah. Apa yang sesuai dengan kebenaran, ikutilah. Dan apa yang tidak sesuai dengan kebenaran, tinggalkanlah.

Kamu, insya Allah lebih mendapat petunjuk dan lebih mengetahui tentang syariat dan hakikat." (Syarh Al-'Ainiyah, Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, cetakan Dar Al-Ulum Al-islamiyah hal.158)

Lantas ada peristiwa yang diketahui oleh Al-Habib Muhammad bin Hadi As-Segaf pada tahun 1347 H saat menunaikan ibadah haji ternyata kitab Syarh Al-'Ainiyah yang mengkisahkan karamah Syeikh Faqih Al-Muqaddam dilarang di cetak di Makkah pada masa pemerintahan Asy-Syarif Aun, 

وفي رحلة الحبيب محمد بن هادي السقاف ١٣٤٧ ه للحج سنة ذكر له السيد حسن بن محمد فدعق ما كان من المكانة والمنزلة للشيخ محمد سعيد بابصيل عند الشريف عون؛ حتى أنه جعله وزيراً للمعارف بمكة؛ فلا يطبع كتاب إلا بموافقته فرغب مديرو الطباعة طباعة رسائل فيها شيء من البدعء فلم يأذن لهم الشيخ فطبعوها دون إذنى فاشتكاهم للشريف. فوبخهم وأمر بإحراقها, فحقدوا على الشيخ

محمد وبحثوا عن الكتب التي طبعوها بإذن الشيخ؛ حتى عثروا على كتاب شرح العينية للحبيب أحمد بن زين الحبشيفوجدوا فيه ذكر كرامات لسيدنا الفقيه المقدم فاحضروها للشريف. تعصبه واشتكوا له للحضارم؛ فغضب الشريف وأرسل للشيخ محمد ليعنفه. وقال له: ما كنت أدري أنك متعصب إلى هذا الحد فأطرق الشيخ ساعة, ثم تذكر أنه لم يوقع على ورقة الإذن بالطباعةفقال للشريف إن هذا الكتاب طبعوه دون إذني, فاطلب منهم أن يأتوا بالسند الذي أذنت هم فيه بالطبع فطلبه الشريف ففتشوا ولم يجدوه فلامهم الشريف وعظم قدر الشيخ عنده 

هذا وينبغي لمن يتعرض لكتابة سير السلف الصالح في هذه الأيام سواءً كانوا من العلويين غيرهم. أو من أن يعتبروا بتغير الزمان وأهله« وأن يعلموا أن الإكثار من ذكر يسيء الكرامات قد إلى السلف من حيث ظن رواتها أنهم يمجدونهم, خصوصاً وأن بعض المريدين كما قال الأستاذ الشاطري قد يخلطون أحياناً بين الرؤيا المنامية وبين الكرامة فيثبتون ما يسمعون منها في باب الكرامة« وعليهم بيان ما كان عليه السلف من الأخلاق العظيمة والمجاهدات التعبدية الشديدة حتى تتتبع الأجيال الجديدة أعمالهم وتقتفي آثارهم وتسير سيرتهم.

إلا أن أي مسلم يؤمن الله وبرسوله وكتابه لا يستطيع أن ينفي ما يجريه الله على يد بعض عباده من خوارق العادات وإلا ما تقول فى نبي الله موسى الذي لم يكلم الله بشرا كلامآ مباشراً سواه, ومع هذه جمعه الله بعبد من عباده الصالحين؛ أعطاه الله فوق ما أعطى نبيه موسى, قال تعالى في سورة الكهف آية ٦٥: فوجد عبدا من عبادنا اتيته رحمة من من عندنا وعلمناه من لدنا علما.

قال الشيخ محمد متولي الشعراوي في تفسيره هذ الاية فقال فقد تكلم العلماء معنى الرحمة هنا فقالوا: الر حمة وردت في القرآن بمعتى النبوة,  ومطلق الرحمة تأتي عاى يد جبريل عليه السلام وعلى يد الرسل, أما هذه الرحمة فمن عندنا مباشرة دون واسطة الملك.

ثم يقول الحق سبحانه وتعالى بعدها: وعلمناه من لدنا علما, أى من عندنا لا واسطة الرسل, لذلك يسمونه العلم اللدني, كأنه لا حرج على الله تعالى أن يختار عبداً من عباده وينعم عليه بعلم خاص من وراء النبوة.

إذن علينا أن نفرق بين علم وفيوضات تأتى من الله تعالى مبشرة لمن إختاره من عباده, لأن الرسول يأتي بأحكام ظاهرية تتعلق بالتكاليف : أفعل كذا, ولا تفعل كذا, ولكن هناك أحكام أخرى غير ظاهرة, لها علل فوق العلل الظاهرية, وهذه هي التي اختص الله بها هذا لعبد الصالح (الحضر) كما سماه النبي صلى الله عليه وسلم, والدليل على ذالك أن النبي يأتي بأحكام تحرم القتل, ويحرم إتلاف مال غيره, فأتى الحضر وأتلف السفينة, وقتل الغلام, وقد اعترض موسى عليه السلام على هذه الاعمال لأنه لا علم بعلتها, ولو ان موسى عليه السلام علم العلة فى خرق السفينة لبادر هو ال. خرقها.

إذن فعلم موسى غير علم الخضر لذلك قال له: انك لن تستطيع معي صَبرا وكيف تصبر على مالم تخط به خيرا. (الكهف : ٦٧-٦٨ 

فهذا علم ليس عندك؛ فعلمي من كيس الولاية, وعلمك من كيس الرسل, وهما في الحقيقة لا يتعارضان, وإن كان لعلم الولاية علل باطنة, ولعلم الرسالة علل الظاهرة. إنتهى كلام الشيخ الشعراوي 

ثم يعلق الشيخ الشعراوي على حوار الذي دار بين موسى والخضر عليهم السلام في هذه الآيات فيقول: ونلحظ في هذا الحوار أدب الحوار, واختلاف الرأي بين طريقتين, طريقة الأحكام الظاهرية وطريقة ما خلف الأحكام الظاهرية: وأن كلاً منهم يثبت رأي الآخر ويحترمه. ولا يعترض عليه أو ينكره؛ كما نرى أصحاب المذاهب المختلفة ينكر بعضهم على بعض, ويكفر بعضهم بعض, فإذا رأوا مثلاً عبداً من عباد الله بشيء اختاره الله من الفيوضات فكانت له طريقة وإتباع نرى من ينكر عليه, وربها وصل الأمر إلى الشتائم والتجريح بل والتكفير.

Dalam perjalanan haji Al-Habib Muhammad bin Hadi As-Segaf pada tahun 1347 H, yang telah menyebutkan tentangnya Sayyid Hasan bin Muhammad Fad'aq semasa kedudukan dan posisi Syaikh Muhammad Sa'id Babasil di sisi Syarif Aun. Syaikh Muhammad Sa'id bahkan diangkat sebagai Menteri Pendidikan di Mekah, dan tidak ada buku yang dicetak kecuali dengan persetujuannya.

Para pengelola percetakan ingin mencetak buku-buku yang mengandung bid'ah, tetapi Syaikh tidak mengizinkannya. Mereka kemudian mencetak buku-buku itu tanpa izinnya dan melaporkannya kepada Syarif. Syarif pun memarahi mereka dan memerintahkan agar buku-buku itu dibakar.

Mereka menyimpan dendam terhadap Syaikh Muhammad dan mencari buku yang telah dicetak dengan izinnya. Mereka menemukan kitab Syarah Al-'Ainiyah karya Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi yang menyebutkan karamah-karamah Al-Faqih Al-Muqaddam.

Mereka membawa kitab itu kepada Syarif dan mengadukan Syaikh Muhammad kepadanya. Syarif marah dan mengirim utusan untuk memarahi Syaikh Muhammad.

Syaikh Muhammad menundukkan kepalanya sejenak, lalu teringat bahwa dia tidak menandatangani izin cetak kitab tersebut.

Dia berkata kepada Syarif: "Kitab ini dicetak tanpa izin saya. Minta mereka untuk menunjukkan surat izin yang saya tandatangani."

Syarif meminta mereka untuk menunjukkan surat izin, tetapi mereka tidak menemukannya. Syarif pun memarahi mereka dan mengagungkan kedudukan Syaikh Muhammad di hadapannya.

Bagi mereka yang ingin menulis tentang biografi ulama salaf yang saleh di zaman sekarang, baik dari kalangan Ba 'Alawi atau lainnya, penting untuk mempertimbangkan perubahan zaman dan manusianya.

Mereka juga perlu menyadari bahwa terlalu banyak menyebutkan karamah-karamah salaf bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan sebenarnya, terutama jika perawi karamah tersebut berniat untuk memuji mereka secara berlebihan.

Terutama karena sebagian pengikut sufi terkadang mencampuradukkan antara mimpi dengan karamah, sehingga mereka memasukkan apa yang mereka dengar ke dalam kategori karamah.

Oleh karena itu, penting untuk menjelaskan bagaimana salaf memiliki akhlak yang mulia dan melakukan mujahadah yang kuat dalam ibadah, sehingga generasi baru dapat mengikuti jejak mereka dan meneladani perbuatan mereka.

Namun, setiap Muslim yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya tidak dapat menyangkal bahwa Allah memberikan karamah-karamah luar biasa kepada sebagian hamba-Nya.

Seperti yang dikatakan dalam Al-Qur'an tentang Nabi Musa yang bertemu dengan seorang hamba saleh yang diberi rahmat dan ilmu langsung dari Allah tanpa perantara malaikat.

Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa rahmat yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah rahmat khusus yang diberikan Allah kepada hamba-Nya tanpa perantara.

Syaikh Asy-Sya'rawi juga menjelaskan perbedaan antara ilmu yang dimiliki Nabi Musa dan ilmu yang dimiliki Nabi Khidir.

Nabi Musa memiliki ilmu tentang hukum-hukum syariat yang tampak, sedangkan Nabi Khidir memiliki ilmu tentang hukum-hukum yang tersembunyi dan memiliki hikmah yang dalam.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa ada ilmu yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang tidak dimiliki oleh para nabi, dan bahwa karamah-karamah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya tidak bertentangan dengan ilmu yang dibawa oleh para rasul.

Syaikh Asy-Sya'rawi juga menekankan pentingnya menghormati perbedaan pendapat dan memahami bahwa setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda-beda.

Dia juga mengkritik orang-orang yang mengingkari karamah-karamah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya dan yang mengkafirkan orang lain karena perbedaan pendapat." (Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah, Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf, juz 1 hal.428-430). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG NASEHAT HABIB ABDULLAH BIN HUSAIN BIN THAHIR UNTUK MENGINGKARI KARAMAH YANG MENYALAHI AKAL




Akhir-akhir ini umat islam mendapat suguhan cerita kisah-kisah karamah para wali melalui video di medsos yang menyalahi akal sehat dan menyelisihi ajaran islam sehingga banyak yang mengingkari cerita-cerita karamah yang sering disampaikan oleh para habaib. Namun ternyata ada juga seorang habib yaitu Sayyid yang mulia Usman bin Abdullah bin Yahya yang mengingkari keberadaan karamah para wali, bahkan Habib Abdullah bin Husain bin Thahir menasehati Ba'alawi terkait kepemilikan karamah sebagaimana dijelaskan oleh Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf dalam kitab karyanya Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah,

ومن المنكرين للكرامات من العلويين السيد الجليل عثمان بن عبدالله بن يحي حفيد العلامة الفاضل الجليل عقيل بن عمر بن يحيى المتوى بجاوا سنة  ١٣٣٠ ه قال ابن عبيدالله في إدام القوت: (ولقد جاء ذكر الكرامات بين يديه فأنكر مجازفة إنكاراً المغرورين فيها إنكارا شديداً وقال: لقد كنت مختصاً بخالي وسيدي عبدالله بن حسين بن طاهر وهو من لا تدفع ولايته وجالسته زمناً طويلاً, فلم أر منه إلا كرامتين؛ ليس فيها خرق عادة وإنما أولاهما: أنه خرج يصلي العصر وعليه رداء فتنني وتمنيت أن لو كان لي مثله« ومرت صلاتي وأنا أفكر فيه وما كاد ينفتل من صلاته حتى دعاني؛ وقال لي: هذا الرداء لك وأعطاني مفتاحه الخاص لآتيه برداء آخر وصفه لي« ولولا أنه تفرس ما في خاطري ما نخالف عادته من عدم الكلام إلا بعد فراغه من ورده. والأخرى أن السيدين محمد وعمر ابني السيد عبدالله بن عمر بن يحيى عزما على الانتقال سراً من المسيلة وتكتما الأمر عنه حتى لا يمنعهم, قال فلما صلينا العشاء وفرغ من ورده ونافلته قال لي: ادعهم لي فدعوتهما, فقال لهما إذا عزمتما على امر فشاوراني فيه. فعندي ما ليس عندكما من العقل وقد جربت الزمان وأهله. لم يزد على ذلك فسكتا, ولكنهما انصرفا عما كانا نوياه من السفر, وأنا على يقين أنه لم يكن إلا عن فراسة وصادقه إذلم تعلم حتى ثيابهم بما كانوا يبيتون

Di antara orang-orang yang mengingkari karamah dari kalangan Ba'alawi adalah Sayyid 'Utsman bin Abdullah bin Yahya, cucu dari seorang ulama besar yang mulia, 'Aqil bin 'Umar bin Yahya, yang wafat di Jawa pada tahun 1330 H.

Ibnu 'Ubaidillah berkata dalam kitabnya "Idam Al-Qut": "Ketika karamah disebutkan di hadapannya, beliau sangat keras dalam mengingkarinya dan tidak membiarkan orang-orang yang terpedaya oleh karamah tersebut.

Beliau berkata: 'Aku pernah berguru dan berkumpul dengan Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir, yang tidak diragukan lagi tentang kewaliannya, dalam waktu yang lama. Namun, aku hanya melihat dua karamah darinya yang tidak termasuk dalam kategori melanggar adat kebiasaan.'

Karamah pertama: Suatu hari, Sayyid Abdullah keluar untuk shalat 'Ashar dengan mengenakan selimut. Aku sangat menginginkannya dan berangan-angan memiliki selimut seperti itu. Setelah aku selesai shalat dan masih memikirkannya, beliau memanggilku dan berkata: 'Selimut ini untukmu.'

Beliau juga memberikan kunci khusus untukku agar aku bisa mengambil selimut lain yang beliau gambarkan. Jika beliau tidak memiliki firasat tentang keinginan dalam hatiku, beliau tidak akan berbicara sebelum selesai dari wiridnya.

Karamah kedua: Dua orang anak Sayyid Abdullah bin 'Umar bin Yahya, yaitu Sayyid Muhammad dan Sayyid 'Umar, berniat untuk pergi secara diam-diam dari Al-Musailah dan merahasiakan rencana mereka agar tidak ada yang menghalangi mereka.

Setelah kami shalat 'Isya dan beliau selesai dari wirid dan shalat sunnahnya, beliau berkata kepadaku: 'Panggillah mereka untukku.' Ketika mereka datang, beliau berkata: 'Aku tahu apa yang kalian rencanakan, dan aku memiliki pengetahuan yang tidak kalian miliki. Aku telah merasakan zaman dan orang-orangnya.'

Beliau tidak mengatakan lebih dari itu, namun keduanya membatalkan rencana perjalanan mereka. Aku yakin bahwa ini tidak terjadi kecuali karena firasat beliau yang jujur, karena beliau mengetahui apa yang ada di hati mereka meskipun tidak ada tanda-tanda fisik yang menunjukkan rencana mereka." (Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah, Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf, juz 1 hal.425).

Sementara itu Al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir mengingkari sekaligus menasehati Ba'alawi terkait adanya karamah yang tidak sesuai dengan akal sebagai berikut,

إلا أن الحبيب عبدالله  بن حسين بن طاهر (١١٩١-١٢٧٢) يقول في كلامه ينبغي للإنسان أن ينكر كرامات الصالحين ولا مواجيدهم وأحواهم وأذواقهم. وإن خرجتعن مقتضى عقله وبعدت عن درك فهمه؛ ولا يستبعد ذلك ولا يستحيله فان الله تعالى يختتص برحمته من يشاء؛ ويؤتي الحكمة من يشاء؛ وينزل الروح من أمره على من يشاء.

ومن الطرائف أن الحبيب أحمد بن حسن العطاس جمع القبائل في نفحون ليصلح بينهم؛ واخذ يراودهم أياماً معهم فلم ينصاعواء فتوعدهم أنهم إذا لم يقبلوا الصلح فستصيبهم مصائب. وكان معه الحبيب حسين بن أحمد بن عبدالله العطاس فقال له الحبيب أحمد بن حسن: قم يا حسين بن أحمد كلم الجماعة فقام الحبيب حسين بن أحمد وقال للقبائل: اقبلوا الصلح وإلا شوه بايكفر مائة سيد إذا احد أصابه شيء منككمء بايقولون تصرف فيهم أحمد بن حسن وباينسون الله.

وبعد أن عرفنا كراهية كبار العلويين نسبة الكرامات لهم ورأي الكثير منهم فى الكرمات بما ينفي ما يقوله أعداؤهم عنهم. فإننا نستطيع أن نرد أيضاً على من يرم العلويين بأخمم يوهمون العامة بقدرتهم على التشفع بغفران الذنوب أو ضان الجنة لمن يريدون.ويتضح ذلك جلياً من القصة المشهورة للسلطان عبدالله بن عمر الكثيري الذي تولى السلطنة بعد أبيه سنة ١٠٢١ مع الحسين بن أبي بكر بن سالم فقد مكث هذا السلطان في السلطنة ثلاث سنوات ثم قرر سنة ١٠٢٤ التوبة والهجرة الى مكة؛ فاتجه إلى الحبيب الحسين بن أبي بكر بن سالم بعينات وطلب منه أن يخلفه في السلطنة فلم يرض الحبيب بقبولها وقاضاها حتى لخادمي, ثم طلب منه السلطان أن يدعوا له بثلاثة حصال.  الأول: أن يغفر الله ذنوبه. والثانية: أن يموت بمكة أو المدينة أو بعينات. والثالثة: أن يكون مع الحبيب الحسين في الجنة. فقال الحبيب الحسين: أما الأولى إليها فلا سبيل لأنك وليت أمرالناس سنوات وحقوق العباد ما تترك ولا تسامح إلا بردها, وأما الموت فكل يعود إلى طينت وأمر ذلك إلى الله تعالى قال سبحانه: وما تَدَرِى نَفْسن بِأيّ أَرْضٍ تَمُوتٌ صدق الله العظيم. وكذلك الجنة لا تدرك إلا برحمة الله وما يدريك أن نكون نحن فى النار.

وعلى مثل ذلك تصرف الحبيب عيدروس بن عمر الحبشى (١٢٣٧-١٣١٤) فقد مسألة ذكر ابن عبيدالله أنه اختصم مرة بعض جيران الحبيب عيدروس من قبائل بلاده في دين فلماحمى الجدال وأزف القتال قصد ال حبيب عيدروس الدائن وكان به مرض فاستنزلهالحبيب عيدروس عن بعض الدين وكان كثيراً ”فقال الرجل سأنزل لك عن جميع الدين بشرط أن تضمن لي الجنة فاربد وجه الحبيب عيدرروس وقال: لا أدري ما يفعل بي ولا بك ولا أملك لنفسي ولا غيري وزجره عن مثل ذلكء وعرفه بأنه لايسوغ له فألح الحاضرون على الحبيب عدروسلبوارب بعبارة موهمة لحسم الفتنة, فلم يرضى لأنه رأى الجراءة في مثل ذلك أعظم خطراً من شر الفتنة, وبعد طول المراجعة اكتفى الدائن من الحبيب عيدروس بالدعاء وابرأ المدين.

Namun sesungguhnya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir (1191-1272 H) berkata dalam perkataannya bahwa seseorang seharusnya mengingkari karamah orang-orang shaleh dan pengalaman spiritual mereka jika itu tidak sesuai dengan akal dan pemahaman mereka.

Namun, dia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terjadi, karena Allah Ta'ala memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menurunkan ruh dari perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Ada sebuah kisah menarik tentang Habib Ahmad bin Hasan Al-'Attas yang mengumpulkan berbagai suku di Nafahun untuk mendamaikan mereka. Setelah beberapa hari mencoba membujuk mereka, mereka masih enggan menerima perdamaian.

Maka Habib Ahmad mengancam bahwa jika mereka tidak menerima perdamaian, mereka akan ditimpa musibah. Ketika Habib Ahmad meminta Habib Husain bin Ahmad bin Abdullah Al-'Attas untuk berbicara kepada mereka, Habib Husain berkata: "Terimalah perdamaian, atau jika salah satu dari kalian terkena musibah, seratus sayyid akan mengkafirkan kami dan mengatakan bahwa Ahmad bin Hasan yang menyebabkan hal itu terjadi dan mereka akan melupakan Allah."

Setelah mengetahui bahwa banyak dari kalangan Ba'alawi yang tidak menyukai ketika karamah dikaitkan dengan mereka dan melihat bagaimana mereka memandang karamah dengan cara yang menolak apa yang dikatakan musuh-musuh mereka tentang mereka, kita dapat membantah tuduhan bahwa Ba'alawi mengaku memiliki kemampuan untuk memberikan syafaat pengampunan dosa atau jaminan surga bagi siapa saja yang mereka inginkan.

Hal ini terlihat jelas dari kisah terkenal tentang Sultan Abdullah bin 'Umar Al-Kathiri yang menjadi sultan setelah ayahnya pada tahun 1021 H bersama Habib Husain bin Abi Bakr bin Salim.

Sultan ini memerintah selama tiga tahun dan kemudian memutuskan untuk bertobat dan hijrah ke Mekah pada tahun 1024 H. Dia meminta Habib Husain untuk menggantikannya sebagai sultan, tetapi Habib Husain menolak dan mengatakan bahwa dia tidak akan menerima jabatan itu bahkan jika ditawarkan kepada pelayannya.

Kemudian Sultan meminta Habib Husain untuk mendoakan tiga hal: pertama, agar Allah mengampuni dosa-dosanya; kedua, agar dia meninggal di Mekah atau Madinah atau di 'Ainath; dan ketiga, agar dia bersama Habib Husain di surga.

Habib Husain menjawab bahwa mengenai pengampunan dosa, itu tidak mungkin karena sultan telah memerintah selama beberapa tahun dan hak-hak orang lain tidak dapat diabaikan kecuali jika dikembalikan.

Mengenai kematian, itu adalah urusan Allah dan setiap orang akan kembali ke tanah sesuai dengan asalnya. Mengenai surga, itu tidak dapat dicapai kecuali dengan rahmat Allah dan Habib Husain tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan Sultan di akhirat.

Demikian pula, Habib Idrus bin 'Umar Al-Habsyi (1237-1314 H) pernah diminta oleh seseorang untuk menjamin surga bagi orang yang berutang kepadanya jika dia membebaskan utangnya.

Habib Idrus menolak dan mengatakan bahwa dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan orang lain di akhirat dan tidak memiliki kemampuan untuk menentukan nasib seseorang di akhirat.

Dia hanya bersedia mendoakan orang tersebut dan membebaskan sebagian utangnya. Ini menunjukkan bahwa Ba'alawi tidak mengklaim memiliki kemampuan untuk memberikan jaminan surga atau pengampunan dosa bagi siapa saja." (Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah, Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf, juz 1 hal.425-427). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG KISAH SEORANG HABIB YANG MENGINGKARI KARAMAH


Sikap yang wajib diambil oleh seorang muslim Aslussunnah wal Jama'ah terhadap karamah para wali Allah adalah sikap moderat, tidak berlebihan dan tidak meremehkan. Seorang muslim harus memahami bahwa karamah bukanlah syarat mutlak bagi setiap wali Allah, karena tidak ada hubungan langsung antara kewalian dan munculnya karamah atau kejadian luar biasa.

Seorang muslim juga harus memahami bahwa karamah yang paling utama adalah konsistensi dalam mengikuti jalan dan syariat Allah, serta berpegang teguh pada petunjuk dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ada yang katanya karamah tetapi menyalahi Al-Qur'an dan As-Sunnah wajib ditolak.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama diantaranya,

وقد قال يونس بن عبد الأعلى الصدفي: قلت للشافعي: كان الليث بن سعد يقول: إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء ويطير في الهواء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة، فقال الشافعي: قصر الليث رحمه الله، بل إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء ويطير في الهواء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة"

Yunus bin Abd Al-A'la As-Shadafi berkata: "Aku berkata kepada Imam Syafi'i: 'Al-Laits bin Sa'ad berkata: Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah kalian tertipu olehnya sampai kalian meneliti urusannya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.'

Maka Imam Syafi'i berkata: 'Al-Laits telah mempersingkat pembicaraan, seharusnya beliau mengatakan: Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah kalian tertipu olehnya sampai kalian meneliti urusannya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.'" (Siyar A'lam An-Nubala, Adz-Dzahabi juz 10 hal.23 / Syarh Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah, Ali bin Muhammad Abu Al-'Uzza Ad-Damsiqi, juz 2 hal.769)

فالخوارق إذاً قد تجري على يد الأنبياء، فتكون من المعجزات، وقد تجري على يد الصالحين فتكون من الكرامات، وقد تجري على يد المشعوذين والسحرة فتكون من الشعوذة والحالات الشيطانية، فالعبرة في استقامة الشخص وتمسكه بدينه.

قال المؤلف رحمه الله تعالى: [وقد قال يونس بن عبد الأعلى الصدفي: قلت للشافعي: كان الليث بن سعد يقول: إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء، ويطير في الهواء، فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة.

فقال الشافعي: قصر الليث رحمه الله، بل إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء ويطير في الهواء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة.

وقد حكى الرازي وغيره قولين للعلماء: هل المأمور بالسجود لآدم خاص بملائكة الأرض أو عام في ملائكة السموات والأرض؟ وقد رجح كلاً من القولين طائفة، وظاهر الآية الكريمة العموم: ﴿فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ إِلَّا إِبْلِيسَ﴾ [الحجر: ٣٠] فهذه أربعة أوجه مقوية للعموم، والله أعلم].

Peristiwa luar biasa dapat terjadi melalui tangan para nabi sebagai mukjizat, melalui tangan orang-orang saleh sebagai karamah, dan melalui tangan para penyihir dan dukun sebagai sihir dan tipu daya setan.

Oleh karena itu, yang penting adalah konsistensi dan keteguhan seseorang dalam menjalankan agamanya.

Penulis (rahimahullah) menyebutkan bahwa Yunus bin Abd Al-A'la As-Shadafi berkata: "Aku berkata kepada Imam Syafi'i: 'Al-Laits bin Sa'ad berkata: Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah kalian tertipu olehnya sampai kalian meneliti urusannya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.'

Maka Imam Syafi'i berkata: 'Al-Laits telah mempersingkat pembicaraan, seharusnya beliau mengatakan: Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah kalian tertipu olehnya sampai kalian meneliti urusannya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.'"

Imam Ar-Razi dan lainnya menyebutkan dua pendapat ulama tentang perintah sujud kepada Adam, apakah khusus untuk malaikat di bumi atau umum untuk semua malaikat di langit dan bumi.

Setiap pendapat memiliki pendukungnya masing-masing. Namun, ayat Al-Qur'an menunjukkan makna umum: "Maka bersujudlah para malaikat semuanya, kecuali Iblis." (QS. Al-Hijr: 30)

Ada empat aspek yang memperkuat makna umum ini, wallahu a'lam." (Syarh Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 28 hal.5)

Maksudnya adalah bahwa seseorang tidak bisa dianggap sebagai wali Allah atau memiliki karamah hanya karena melakukan hal-hal luar biasa, sampai kita mengetahui bahwa tindakannya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Imam Syafi'i sepertinya ingin menekankan pentingnya memeriksa kesesuaian tindakan seseorang dengan Al-Qur'an dan Sunnah sebelum menilai kebenarannya. Dengan demikian, kita tidak mudah tertipu oleh penampilan luar, tetapi memastikan bahwa tindakan tersebut dilandasi oleh keimanan dan ketaatan yang benar.

Adapun keterangan tentang seorang habib yang menolak karamah dijelaskan oleh Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf dalam kitab karyanya Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah,

ومن المنكرين للكرامات من العلويين السيد الجليل عثمان بن عبدالله بن يحي حفيد العلامة الفاضل الجليل عقيل بن عمر بن يحيى« المتوى بجاوا سنة  ١٣٣٠ ه قال ابن عبيدالله في إدام القوت: (ولقد جاء ذكر الكرامات بين يديه فأنكر مجازفة إنكاراً المغرورين فيها إنكارا شديداً وقال: لقد كنت مختصاً بخالي وسيدي عبدالله بن حسين بن طاهر وهو من لا تدفع ولايته وجالسته زمناً طويلاً, فلم أر منه إلا كرامتين؛ ليس فيها خرق عادة وإنما أولاهما: أنه خرج يصلي العصر وعليه رداء فتنني وتمنيت أن لو كان لي مثله« ومرت صلاتي وأنا أفكر فيه وما كاد ينفتل من صلاته حتى دعاني؛ وقال لي: هذا الرداء لك وأعطاني مفتاحه الخاص لآتيه برداء آخر وصفه لي« ولولا أنه تفرس ما في خاطري ما نخالف عادته من عدم الكلام إلا بعد فراغه من ورده. والأخرى أن السيدين محمد وعمر ابني السيد عبدالله بن عمر بن يحيى عزما على الانتقال سراً من المسيلة وتكتما الأمر عنه حتى لا يمنعهم, قال فلما صلينا العشاء وفرغ من ورده ونافلته قال لي: ادعهم لي فدعوتهما, فقال لهما إذا عزمتما على امر فشاوراني فيه. فعندي ما ليس عندكما من العقل وقد جربت الزمان وأهله. لم يزد على ذلك فسكتا, ولكنهما انصرفا عما كانا نوياه من السفر, وأنا على يقين أنه لم يكن إلا عن فراسة وصادقه إذلم تعلم حتى ثيابهم بما كانوا يبيتون

Di antara orang-orang yang mengingkari karamah dari kalangan Ba 'Alawi adalah Sayyid 'Uthman bin Abdullah bin Yahya, cucu dari seorang ulama besar yang mulia, 'Aqil bin 'Umar bin Yahya, yang wafat di Jawa pada tahun 1330 H.

Ibnu 'Ubaidillah berkata dalam kitabnya "Idam al-Qut": "Ketika karamah disebutkan di hadapannya, beliau sangat keras dalam mengingkarinya dan tidak membiarkan orang-orang yang terpedaya oleh karamah tersebut.

Beliau berkata: 'Aku pernah berguru dan berkumpul dengan Sayyid Abdullah bin Husain bin Tahir, yang tidak diragukan lagi tentang kewaliannya, dalam waktu yang lama. Namun, aku hanya melihat dua karamah darinya yang tidak termasuk dalam kategori melanggar adat kebiasaan.'

Karamah pertama: Suatu hari, Sayyid Abdullah keluar untuk shalat 'Ashar dengan mengenakan selimut. Aku sangat menginginkannya dan berangan-angan memiliki selimut seperti itu. Setelah aku selesai shalat dan masih memikirkannya, beliau memanggilku dan berkata: 'Selimut ini untukmu.'

Beliau juga memberikan kunci khusus untukku agar aku bisa mengambil selimut lain yang beliau gambarkan. Jika beliau tidak memiliki firasat tentang keinginan dalam hatiku, beliau tidak akan berbicara sebelum selesai dari wiridnya.

Karamah kedua: Dua orang anak Sayyid Abdullah bin 'Umar bin Yahya, yaitu Sayyid Muhammad dan Sayyid 'Umar, berniat untuk pergi secara diam-diam dari Al-Musailah dan merahasiakan rencana mereka agar tidak ada yang menghalangi mereka.

Setelah kami shalat 'Isya dan beliau selesai dari wirid dan shalat sunnahnya, beliau berkata kepadaku: 'Panggillah mereka untukku.' Ketika mereka datang, beliau berkata: 'Aku tahu apa yang kalian rencanakan, dan aku memiliki pengetahuan yang tidak kalian miliki. Aku telah merasakan zaman dan orang-orangnya.'

Beliau tidak mengatakan lebih dari itu, namun keduanya membatalkan rencana perjalanan mereka. Aku yakin bahwa ini tidak terjadi kecuali karena firasat beliau yang jujur, karena beliau mengetahui apa yang ada di hati mereka meskipun tidak ada tanda-tanda fisik yang menunjukkan rencana mereka." (Al-Istizadah min Akhbar As-Sadah, Al-Habib Ali bin Muhsin As-Segaf, juz 1 hal.425).

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 28 September 2025

KAJIAN TENTANG KARAMAH SYEIKH ABDUL QADIR AL-JILANI DENGAN MALAIKAT MAUT




Dalam sebuah video di medsos ada seorang habib yang berkisah ada seorang anak mau berziarah ke makam orang tuanya hanya saja lupa dimana makamnya sehingga dibantu oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani mencarinya dengan cara menghidupkan satu persatu penghuni makam sampai diketemukan orang yang dicari anaknya. Namun kisah tersebut terdapat dalam keterangan kitab apa penulis belum menemukannya meskipun sudah membaca hikayah kisah karamah beliau dari 1-50 dalam kitab Ar-Raudh Az-Zahir fi Manaqib Syeikh Abdul Qadir karya Syeikh Imam Burhanuddin Ibrahim bin Ali Ad-Diri Al-Qadri cetakan Dar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon tahun 1971.

Riwayat hidup Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani berikut karamahnya yang terdapat dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi (w. 748 H/1374 M), cet. Muassasah Ar-Risalah juz 20 dari halaman 439-451 tidak ada penjelasan karamah beliau tentang menghidupkan orang mati sampai satu kuburan dan belum menemukan keterangan kitab yang menjelaskan karamah beliau tersebut.

Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi dalam Siyar A'lam An-Nubala menyampaikan pengakuan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani memiliki karamah melebihi para Syeikh besar, namun banyak riwayat terkait karamah beliau yang tidak benar dan bahkan diantaranya mustahil terjadi sebagaimana keterangan berikut,

قلت: ليس في كبار المشايخ من له أحوال وكرامات أكثر من الشيخ عبد القادر، لكن كثيرا منها لا يصح، وفي بعض ذلك أشياء مستحيلة.

قال الجبائي: كان الشيخ عبد القادر يقول: الخلق حجابك عن نفسك، ونفسك حجابك عن ربك.

عاش الشيخ عبد القادر تسعين (1) سنة، وانتقل إلى الله في عاشر ربيع الآخر سنة إحدى وستين وخمس مئة، وشيعه خلق لا يحصون، ودفن بمدرسته رحمه الله تعالى

Aku (Adz-Dzahabi) berkata: "Di kalangan para syaikh besar, tidak ada yang memiliki pengalaman spiritual (ahwal) dan karamah lebih banyak daripada Syaikh Abdul Qadir, namun banyak di antaranya yang tidak shahih. Bahkan, ada beberapa di antaranya yang mustahil terjadi."

Al-Juba'i berkata: Syaikh Abdul Qadir pernah berkata: "Manusia adalah hijab (tabir) bagimu dari dirimu sendiri, dan dirimu sendiri adalah hijab bagimu dari Tuhanmu."

Syaikh Abdul Qadir hidup selama 90 tahun dan wafat pada tanggal 10 Rabiul Akhir tahun 561 H. Banyak orang yang tidak terhitung jumlahnya mengantarkan jenazahnya, dan beliau dimakamkan di madrasah beliau, semoga Allah merahmatinya.(Siyar A'lam An-Nubala, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bis Utsman Adz-Dzahabi (w. 748 H/1374 M), cet. Muassasah Ar-Risalah juz 20 hal.450)

Sementara terkait dengan kisah karamah Syeikh Abdul Al-Jilani berebut ruh-ruh yang dibawa malaikat maut (Izrail) ada dalam keterangan kitab Al-Ghadir fi Al-Kitab wa As-Sunnah wa Al-Adab, 

عبد القادر و ملك الموت

عن‌السيّد الشيخ الكبير أبي العبّاس أحمد الرفاعي قال:توفّي أحد خدّام الشيخ عبد القادر الكيلاني،و جاءت زوجته إليه فتضرّعت و التجأت إليه و طلبت حياة زوجها.فتوجّه الشيخ إلى المراقبة فرأى في عالم الباطن أنَّ ملك الموت عليه السلام يصعد إلى السماء و معه الأرواح المقبوضة في ذلك اليوم،فقال:يا ملك الموت قف

 و اعطني روح خادمي فلان،و سمّاه باسمه،فقال ملك الموت:إنّي أقبض الأرواح بأمرٍ إلهيٍّ و أؤدّيها إلى باب عظمته،كيف يمكنني أن أعطيك روح الذي قبضته بأمر ربّي؟ فكرّر الشيخ عليه إعطاء روح خادمه إليه،فامتنع من إعطائه،و في يده ظرفٌ معنويٌّ كهيئة الزنبيل فيه الأرواح المقبوضة في ذلك اليوم،فبقوّة المحبوبيّة جرَّ الزنبيل و أخذه من يده،فتفرّقت الأرواح و رجعت إلى أبدانها،فناجى ملك الموت عليه السلام ربّه و قال:يا رب أنت أعلم بما جرى بيني و بين محبوبك و وليّك عبد القادر،فبقوّة السلطنة و الصولة أخذ منّي ما قبضته من الأرواح في هذا اليوم.فخاطبه الحقّ جلَّ جلاله:يا ملك الموت إنَّ الغوث الأعظم محبوبي و مطلوبي لِمَ لا أعطيته روح خادمه؟ و قد راحت الأرواح الكثيرة من قبضتك بسبب روح واحد،فتندّم هذا الوقت

Dari Sayyid Syaikh Agung Abu Al-Abbas Ahmad Ar-Rifa'i, beliau berkata: "Salah satu pembantu Syaikh Abdul Qadir Al-Kilani wafat. Istrinya datang kepada Syaikh Abdul Qadir, memohon dengan sangat dan meminta beliau untuk menghidupkan kembali suaminya."

Maka Syaikh Abdul Qadir memusatkan perhatiannya dan melihat dalam alam ghaib bahwa Malaikat Maut sedang naik ke langit dengan membawa ruh-ruh yang telah dicabutnya pada hari itu. Syaikh Abdul Qadir berkata: "Wahai Malaikat Maut, berhentilah dan berikan kepadaku ruh pembantuku si Fulan," sambil menyebut namanya.

Malaikat Maut menjawab: "Aku mencabut ruh-ruh dengan perintah Allah dan menyerahkannya ke pintu keagungan-Nya. Bagaimana mungkin aku memberikan kepadamu ruh yang telah aku cabut dengan perintah Tuhanku?"

Syaikh Abdul Qadir mengulangi permintaan untuk memberikan ruh pembantunya, namun Malaikat Maut menolak untuk memberikannya. Di tangan Malaikat Maut ada sebuah wadah spiritual yang berbentuk seperti keranjang yang berisi ruh-ruh yang telah dicabut pada hari itu.

Dengan kekuatan cinta dan kehendak yang kuat, Syaikh Abdul Qadir menarik wadah itu dan mengambilnya dari tangan Malaikat Maut. Maka, ruh-ruh itu pun berhamburan dan kembali ke jasad-jasad mereka.

Malaikat Maut kemudian bermunajat kepada Tuhannya dan berkata: "Wahai Tuhan, Engkau lebih mengetahui apa yang terjadi antara aku dan kekasih-Mu dan wali-Mu, Abdul Qadir.

Dengan kekuatan dan kekuasaan, dia mengambil dari tanganku apa yang telah aku cabut berupa ruh-ruh pada hari ini." Maka, Allah Ta'ala berfirman: "Wahai Malaikat Maut, sesungguhnya Al-Ghauts Al-A'zham (Abdul Qadir) adalah kekasih-Ku dan yang dicintai-Ku. Mengapa Aku tidak memberikannya ruh pembantunya?

Banyak ruh yang telah kembali karena satu ruh saja." Maka, Malaikat Maut pun menyesal pada saat itu." (Al-Ghadir Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah Wa Al-Adab, Syeikh Abdul Husein Ahmad Al-Amin An-Najafi, cet. Muassasah Al-A'lami Lil Mathbu'at Beirut Libanon juz 11 hal.204)

Memang dalam kitab Al-Lujjain Ad-Dani fi Dzikr Manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dijelaskan beliau bisa menghidupkan ayam yang sudah menjadi tulang belulang juga karamahnya yang lain yang umum sudah diketahui. Oleh karenanya besar harapan para pembaca bisa memberikan hujjah terkait video dimaksud. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*