Kajian kali ini membahas mengenai syarat penyembelihan yang dapat membuat hewan halal untuk dikonsumsi. Syarat ini terbagi menjadi tiga: [1] Syarat yang berkaitan dengan hewan yang akan disembelih, [2] Syarat yang berkaitan dengan orang yang akan menyembelih, dan [3] Syarat yang berkaitan dengan alat untuk menyembelih. Setelah itu kami akan mengutarakan pula syarat tambahan [4] tentang Adab ketika penyembelihan hewan. (Tulisan kali ini kami olah dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/357-366, Al Maktabah At Taufiqiyah).
*SYARAT HEWAN YANG AKAN DISEMBELIH*
Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai.” (QS. Al Baqarah: 173)
Jika hewan untuk qurban atau aqiqah syaratnya sebagai berikut,
أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى
"Ada empat macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan qurban, yaitu yang matanya buta (picek), fisiknya dalam keadaan sakit, kakinya pincang, dan badannya kurus lagi tak berlemak (HR. At-Tirmidzi: 1417 hasan shahih dan Abu Dawud: 2420).
Dijelaskan dalam Bulughul Marom hadits no. 1360 berikut ini,
وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ” – رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (kambing berusia satu tahun masuk tahun kedua). Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah (domba berusia 6 bulan menuju 1 tahun) dari domba.” (HR. Muslim no. 1963).
Untuk sapi untuk berqurban berusia 2 tahun dan onta berusia 5 tahun sebagai syarat hewan untuk qurban.
*SYARAT ORANG YANG AKAN MENYEMBELIH*
Pertama: Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz. Sehingga dari sini, tidak sah penyembelihan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Begitu pula orang yang mabuk, sembelihannya juga tidak sah.
Kedua: Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani). Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena selain muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika menyembelih.
Sedangkan ahlul kitab masih dihalalkan sembelihan mereka karena Allah Ta’ala berfirman,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.” (QS. Al Ma-idah: 5).
Makna makanan ahlul kitab di sini adalah sembelihan mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan Al Bashri, Makhul, Ibrahim An Nakho’i, As Sudi, dan Maqotil bin Hayyan. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 3/40, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H).
Namun yang mesti diperhatikan di sini, sembelihan ahul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal berdasarkan firman Allah Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)
Ketiga: Menyebut nama Allah (dan berdoa) ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah (padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan), maka hasil sembelihannya tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil sembelihannya boleh dimakan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)
Begitu juga hal ini berdasarkan hadits Rofi’ bin Khodij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ
“Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan.” (HR. Bukhari no. 2488).
Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (menyebut nama Allah atau basmalah). Sedangkan Imam Asy-Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah (dianjurkan). Mereka beralasan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ « سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ » . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .
Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.' (HR. Bukhari no. 5507).
Namun pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini, sebelum dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih dahulu.
Keempat: Tidak disembelih atas nama selain Allah. Maksudnya di sini adalah mengagungkan selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak. Maka hasil sembelihan seperti ini diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)
*SYARAT ALAT UNTUK MENYEMBELIH*
Ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu:
Pertama: Menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong. Karena maksud dari menyembelih adalah memotong urat leher, kerongkongan, saluran pernafasan dan saluran darah.
Kedua: Tidak menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang bernama Ethiopia).” (HR. Bukhari no. 2488).
*ADAB DALAM PENYEMBELIHAN HEWAN*
Pertama: Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)
Dari Syadad bin Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.” (HR. Muslim no. 1955).
Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan pisau di hadapan hewan yang akan disembelih.
Ibnu Umar ra. berkata,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,
أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا
”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah diasah sebelum engkau membaringkannya.” (HR. Al Hakim (4/257), Al Baihaqi (9/280), ‘Abdur Rozaq no. 8608. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari. Adz Dzahabi dalam At Talkhis mengatakan bahwa sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam At Talkhis Al Habir (4/1493) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 2265 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Kedua: Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih
Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ ».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan, “Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya. (HR. Muslim no. 1967).
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut, tetapi yang tepat adalah dalam keadaan berbaring. Cara seperti ini adalah perlakuan terbaik bagi kambing tersebut. Hadits-hadits yang ada pun menuntunkan demikian. Juga hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Juga berdasarkan kesepakatan ulama dan yang sering dipraktekan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi kirinya. Cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri.” (Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/122, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H).
Ketiga: Meletakkan kaki di sisi leher hewan
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,
ضَحَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .
“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.” (HR. Bukhari no. 5558).
Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan qurban. Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki si penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah untuk menyembelih dan mudah mengambil pisau dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah memegang kepala hewan tadi dengan tangan kiri.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy Asy Syafi’i, 10/18, Darul Ma’rifah, terbit 1379 H).
Keempat: Menghadapkan hewan ke arah kiblat
Dari Nafi’ menyampaikan bahwa,
أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ.
“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.” (HR. ‘Abdur Razaq no. 8585 dengan sanad yang shahih).
Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan menjelaskannya. Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan). (Shahih Fiqh Sunnah, 2/364).
Kelima: terputusnya kerongkongan dan urat leher
يجب أن تكون التذكية في محل الذبح، وأن يقطع المريء والودجان، أو أحدهما
"Penyembelihan harus dilakukan pada bagian tempat pemotongan leher), dan harus terpotong kerongkongan dan dua urat leher atau salah satu urat leher." (Fatwa Lajnah Daimah no. 21165)
Keenam: Tidak diperbolehkan memotong hewan lebih dari satu kali (mengangkat pisau lebih satu kali dalam jeda yang lama)
Syekh Ibrahim Al-Bajuri seorang ulama Syafi'iyah dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri Ala Ibni Qasim yang merupakan anotasi dari Kitab Fathul Qarib menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut:
قوله: (ويكون قطع ما ذكر) أي من الحلقوم والمريء. وقوله: (دفعة واحدة لا في دفعتين) أي إذا لم توجد الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية، أما إذا وجدت الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية فيحل المذبوح حينئذ. ومثل الدفعة الثانية غيرها كالثالثة، فالشرط وجود الحياة المستقرة في ابتداء الوضع آخر مرة، ومحل ذلك عند طول الفصل، وإلا فلو رفع السكين وأعادها فورًا أو ألقاها لكونها كالة وأخذ غيرها فورًا أو سقطت منه وأخذ غيرها حالًا أو قبلها وقطع بها ما بقي حل المذبوح وإن لم توجد الحياة المستقرة المرة الأخيرة لأن جميع المرات عند عدم طول الفصل كالمرة الواحدة
"Dan harus memotong yang telah disebutkan (yaitu al-hulqum, saluran pernafasan dan al-mari', saluran makanan) dengan sekali potong, bukan dua kali potong. Maksudnya, jika tidak ada kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) pada potongan kedua, namun jika ada kehidupan yang stabil pada potongan kedua, maka hewan yang disembelih menjadi halal. Begitu juga potongan ketiga dan seterusnya, syaratnya adalah adanya kehidupan yang stabil pada awal potongan terakhir, dan hal ini berlaku jika ada jeda yang panjang antara potongan-potongan tersebut. Tetapi jika pisau diangkat dan digunakan kembali segera, atau dilempar karena tumpul dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau jatuh dan mengambil pisau yang lain dengan segera, atau diangkat dan digunakan untuk memotong sisa yang ada, maka hewan yang disembelih menjadi halal meskipun tidak ada kehidupan yang stabil pada potongan terakhir, karena semua potongan dianggap satu kali jika tidak ada jeda yang panjang." (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri Ala Ibnu Qasim [Jeddah, Darul Minhaj: 2016] juz IV halaman 323).
Senada dengan penjelasan Syekh Ibrahim Al-Bajuri di atas, Imam Al-Bujairimi menegaskan:
وَلَا يَضُرُّ رَفْعُ السِّكِّينِ وَإِعَادَتُهَا فَوْرًا وَلَا قَلْبُهَا لِيَأْخُذَ عَلَيْهَا مَا بَقِيَ مِنْ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ وَلَا إلْقَاؤُهَا لِيَأْخُذَ غَيْرَهَا وَلَا يُشْتَرَطُ فِيمَا ذُكِرَ حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ وَإِنَّمَا يُشْتَرَطُ قِصَرُ الْفَصْلِ عُرْفًا اهـ
"Dan tidak mengapa mengangkat pisau dan mengembalikannya segera, atau membaliknya untuk memotong yang tersisa dari tenggorokan (al-hulqum) dan kerongkongan (al-mari'), atau melemparkannya untuk mengambil pisau lain. Tidak disyaratkan adanya kehidupan yang stabil (al-hayat al-mustaqirrah) dalam hal-hal yang telah disebutkan, tetapi yang disyaratkan adalah singkatnya jeda waktu menurut kebiasaan." (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: t.t], juz IV, halaman 295).
Imam Ad-Dirdir ulama Malikiyah juga mengatakan,
فإن عاد عن قرب أكلت رفع يده اختيارا أو اضطرارا، والقرب والبعد بالعرف، فالقرب مثل أن يسن السكين أو يطرحها ويأخذ أخرى من حزامه أو قربه
Jika penyembelih segera mengulang penyembelihan, maka hewannya halal. Baik dia mengangkat tangannya sengaja atau tidak sengaja. Cepat dan lama ukurannya adalah urf (sesuai yang dipahami masyarakat). Yang dekat seperti mengasah pisau, atau menggantinya dengan pisau yang lain, yang dia ikat di sabuknya atau di dekatnya. (as-Syarh al-Kabir, 2/99)
Sayid Sabiq juga menjelaskan yang semisal. Beliau menuliskan,
وإذارفع المذكي يده قبل تمام الذكاة ثم رجع فورا وأكمل الذكاة فإن هذا جائز لأنه جرحها ثم ذكاها بعد وفيها الحياة فهي داخلة في وقول الله تعالى {إلا ما ذكيتم}.
Apabila orang yang menyembelih mengangkat tangannya sebelum penyembelihan sempurna, lalu dia segera kembali menyempurnakan sembelihannya, ini dibolehkan. Karena yang terjadi, dia melukai hewan itu, kemudian dia sembelih dan ketika itu hewan masih hidup. Sehingga termasuk dalam cakupan firman Allah, (yang artinya), kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (Fiqhus Sunah, 3/304)
Ketujuh: Menahan pisau/golok sampai hewan mati
Tahan pisau sesaat setelah melakukan penyembelihan jangan terburu mengangkat pisau dan mengoleskan pisau ke kulit badan hewan yang dipotong karena hal itu dimakruhkan dan biarkan hewan bergerak ketika telah berlangsung proses penyembelihan. Artinya dianjurkan untuk tidak langsung melepaskan pisau dari bekas sebatan pada leher hewan tersebut dan tahan dulu, biarkan hewan bergerak-gerak sampai dipastikan sudah mati. Itulah yang menjadikan makruh mengangkat pisau kemudian mengusapkannya ke badan hewan.
Kedelapan: Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir dilanjutkan doa
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar“, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik di atas. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun bacaan takbir (Allahu akbar) para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan doa:
Hadza minka wa laka/wa ilaika.” (HR. Abu Dawud 2795) atau hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” Wallahu a’lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*