Zakat adalah salah satu rukun islam yang lima. Sehingga umat muslim terdapat kewajiban untuk memberikan sebagian harta untuk zakat sesuai dengan ketentuan agama islam. Zakat termasuk ibadah yang semua aturannya telah ditetapkan oleh syariat. Mulai dari jenis harta yang wajib dizakati, nilai minimal harta yang wajib dizakati (nishab), kapan waktu mengeluarkannya, sampai siapa yang berhak menerima zakat.
Allah telah menjelaskan dalam Al-Quran, semua golongan yang berhak menerima zakat. Yang berhak menerima ini telah ditetapkan, dan karena itu, tidak boleh memberikan zakat kepada selain mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah (sabilillah) dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60).
Dari ayat ini maka kita dapat memahami bahwa ada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Dan dari ke delapan golongan tersebut tak satu pun menyebutkan tentang masjid. Dari sini kemudian kita bisa mengerti kenapa zakat tidak boleh didistribusikan untuk pembangunan masjid. Inilah yang menjadi pendapat empat imam madzhab, yaitu imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
إِتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ لِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَوْ تَكْفِينِ مَيِّتٍ
“Imam empat madzhab telah sepakat bahwa tidak boleh mendistribusikan zakat untuk pembangunan masjid atau mengafani orang mati,” (Lihat Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra, Indonesia, Darul Kutub Al-Islamiyyah, juz II, halaman 13).
Namun kendati demikian, pendapat tersebut bukan berarti serta merta sepi dari penyangkalan. Ada saja kalangan yang menyatakan bahwa diperbolehkan untuk memberikan zakat ke masjid. Argumentasi yang dibangun untuk menguatkan padangan ini adalah terletak pada pemahaman makna “fi sabilillah” (untuk jalan Allah) dalam ayat di atas.
Menurut pandangan ini, firman Allah “fi sabilillah” dilihat dari sisi zhahirul lafzh-nya tidak hanya membatasi (al-qashar) pada orang-orang yang berperang. Maka atas dasar inilah, diajukan nukilan Al-Qaffal dari pendapat sebagaian pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa boleh mendistribusikan zakat kepada pelbagai sektor kebaikan, seperti mengafani orang mati, membangun benteng, dan memperbaiki masjid.
وَاعْلَمْ أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ فِي قَوْلِهِ : {وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ} لَا يُوجِبُ الْقَصْرَ عَلَى كُلِّ الْغُزَاةِ ، فَلِهَذَا الْمَعْنَى نَقَلَ الْقَفَّالُ فِي "تَفْسِيرِهِ" عَنْ بَعْضِ الْفَقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيعِ وُجَوهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِينِ الَمَوْتَى وَبِنَاءِ الْحُصُونِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ، لِأَنَّ قَوْلَهُ : {وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ} عَامٌّ فِي الْكُلِّ.
“Ketahuilah, bahwa zhahir lafazh dalam firman Allah SWT: “fi sabilillah” tidak mengandung kepastian hanya mencakup setiap orang yang berperang. Atas dasar pengertian ini, maka Al-Qaffal menukil pendapat (dalam tafsirnya) dari sebagian pakar hukum yang membolehkan mendistribusikan zakat ke semua sektor kebaikan seperti mengkafani orang mati, membangun benteng, dan memperbaiki masjid. Sebab, firman Allah swt: “fi sabilillah” adalah bersifat umum mencakup semuanya,” (Lihat Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1419 H/1998 M, juz X, halaman 127).
Berangkat dari penjelasan di atas maka dalam status hukum zakat ke masjid ada dua pendapat. Pendapat pertama yang dipegang oleh empat imam madzhab menyatakan tidak boleh zakat untuk pembangunan masjid. Sedangkan pendapat kedua ada memperbolehkannya.
Namun sayangnya Al-Qaffal sebagai ulama yang menukil dari sebagian fuqaha` tidak menyebutkan dengan jelas siapa para fuqaha` yang memiliki pendapat tersebut. Kendati demikian, pendapat ini dapat dipertimbangkan dalam kondisi tertentu semisal di suatu kampung tidak ada orang yang mau menyumbang untuk pembangunan masjid padahal masjid tersebut sudah tidak layak dan harus diperbaiki.
Sebagaimana juga disampaikan Dr. Khalid Al-Musyaiqih dosen fiqih kuliah syar'iyah jami'ah al-Qasim murid seorang ulama wahabi salafi Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Ali Baz (dikenal dengan sebutan Bin Baz) juga menantu dari ulama wahabi salafi Shaleh Al-Utsaimin menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang cakupan makna fi sabilillah,
وقوله جل وعلا: “وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ” اختلف العلماء رحمهم الله في تفسيره، فالإمام مالك رحمه الله يرى أن المراد به ما يتعلق بالجهاد على وجه العموم. والرأي الثاني: أن المراد بـ”وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ” هم المجاهدون الذين ليس لهم ديوان، أي ليس لهم راتب من بيت المال، وهذا ما ذهب إليه الإمام أحمد رحمه الله والشافعي. والرأي الثالث: أن طرق الخير كلها وسبله من الجهاد وغيره من بناء المساجد ومدارس التعليم وتعبيد الطرق وحفر الآبار وغير ذلك.
Makna firman Allah: ‘Fi sabilillah’ diperselisihkan ulama tentang tafsirnya.
(Pendapat pertama) Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa makna ‘fi sabilillah’ adalah semua yang terkait dengan jihad secara umum (baik personel maupun senjata). Pendapat kedua, makna ‘fi sabilillah’ adalah orang yang berangkat jihad, sementara mereka tidak mendapat gaji tetap dari negara atau baitul mal. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Imam As-Syafii rahimahullah. Pendapat ketiga, makna ‘fi sabilillah’ adalah semua kegiatan kebaikan, baik itu jihad maupun yang lainnya, seperti membangun masjid, sekolah islam, memperbaiki jalan, membuat sumur, atau lainnya.
Selanjutnya Dr. Al-Musyaiqih menguatkan pendapat bahwa ‘fi sabilillah’ tidak tepat jika dimaknai semua kegiatan kebaikan untuk umat, karena 2 alasan,
Jika zakat boleh diberikan untuk semua kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, mencetak buku, atau semacamnya, tentu akan ada banyak hak orang fakir miskin dan 6 golongan lainnya yang berkurang dan menjadi tersita.
Allah telah membatasi 8 golongan yang berhak mendapat zakat. Jika kalimat ‘fi sabilillah’ dimaknai seluruh jalan kebaikan, tentu cakupannya akan sangat luas. Karena kegiatan sosial keagamaan sangat banyak. Pemaknaan yang terlalu luas semacam ini akan menghilangkan fungsi pembatasan seperti yang disebutkan di surat At-Taubah di atas.
Dalam Tafsir Al-Jalalain hal. 420 menjelaskan terkait firman Allah Ta'ala QS. At-Taubah: 60 adalah :
وفي سبيل الله اي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو اغنياء
Maksudnya: “ (fi sabilillah artinya adalah orang orang yang melaksanakan jihad (peperangan membela agama Allah SWT) yang tidak mendapatkan harta fai’ (pembagian harta rampasan perang) sekalipun mereka kaya.”
Jadi, fi sabilillah hanya tertentu pada orang-orang yang melakukan peperangan membela agama Allah SWT. Oleh karena itu harta zakat tidak dapat diberikan untuk pembangunan masjid, madrasah dan semacamnya. Penggalangan dana untuk tujuan tersebut jangan sampai mengambil harta zakat, tetapi bisa dengan cara yang lain, seperti infaq dan shadaqah.
DR. Muhammad Bakr Isma’il dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Wadlih mengatakan,
والقول الاول الاصح وهو ما عليه اكثر الفقهاء
"Pendapat pertama (sabilillah diartikan dengan orang orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah SWT) adalah yang paling benar menirit kebanyakan ulama fiqih."
Pembangunan Masjid, madrasah, pemakaman dan lainnya bisa didanai dengan shadaqah sunnah, tidak dari harta zakat. Sebab pembagian zakat itu hanya tertentu pada delapan golongan yang telah disebutkan dalam ayat Al-Qur’an. (Al-Fiqh Al-Wadlih juz 1 hal 508-509)
Meskipun empat imam mazhab tersebut sepakat mengartikan kata sabilillah dengan jihad atau berperang, namun ulama lainnya, seperti Imam Ibnu Atsir, Imam Fakhrurrozi, Imam Ibnu Hajar, Imam Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutub, Sayyid Sabiq, dan Yusuf Al-Qhardawi, berpendapat bahwa sabilillah artinya tidak terbatas pada jihad dalam bentuk perang tetapi jihad dalam bentuknya yang bermacam-macam atau semua jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah dan pahala-Nya, seperti membangun jembatan, membangun madrasah, membangun masjid, dan semua kemaslahatan atau kebaikan dalam rangka taat kepada Allah atau untuk menegakkan kalimat Allah.
Mengingat adanya perbedaan pendapat tentang arti kata sabilillah sebagaimana dijelaskan di atas, maka sebaiknya zakat tidak disalurkan untuk pembangunan masjid. Pembangunan masjid dapat menggunakan dana lainnya seperti, infak, sedekah, wakaf, atau hibah. Namun, jika tidak dana selain harta zakat atau ada tapi tidak mencukupi, maka dapat menggunakan dana zakat dari asnaf fi sabilillah sesuai dengan pendapat ulama yang membolehkannya. Wallahu a’lam.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikam semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar