Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam, maka pembahasannya mulai dari dengan apa seorang muslim berzakat, siapa yang harus dia berikan zakat, kapan waktu mengeluarkan zakat, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan zakat telah diatur oleh syariat dan dijaga oleh para ulama.
Dikutip dari kitab Fathul Qorib karya Imam Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dijelaskan bahwa secara etimologi zakat adalah النماء (berkembang), adapun menurut terminologi yaitu,
اسمٌ لمال مخصوصٍ يُؤخذ من مال مخصوص على وجه مخصوص يُصرف لطائفة مخصوصة
"Nama untuk harta tertentu yang diambil dari harta tertentu dengan cara tertentu dan diberikan pada golongan tertentu,".
Karena itu, aturan-aturan yang sudah digariskan syariat perlu benar-benar diperhatikan. Termasuk tentang pihak yang berwenang menerima zakat dan waktu mengeluarkannya. Pendistribusian zakat sering kali kita berikan melalui amil zakat. Lantas siapakah amil zakat tersebut?
Amil merupakan salah satu dari 8 golongan (asnafus tsamaniyah) yang berhak menerima bagian, seperti yang disebutkan dalam QS. At-Taubah 60,
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ {٦٠}
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana," (QS At-Taubah; 60).
Pengertian amil zakat adalah orang atau kelompok orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menarik zakat dari orang yang membayar zakat (muzakki) dan menyalurkannya kepada yang berhak (mustahiq). Sebagaiman penjelasan Ibnul Qasim Al-Gazzi dalam Fathul Qarib,
وَالْعَامِلُ مَنِ اسْتَعْمَلَهُ الْإِمَامُ عَلَى أَخْذِ الصَّدَقَاتِ وَدَفْعِهَا لِمُسْتَحِقِّيهَا
“Amil adalah orang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerima”( Abu Abdullah Syams al-Din Muhammad bin Qasim al-Gazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, [Beirut: Darul-Hazm: 2005] halaman. 133).
Atau dalam kitab Fathul Mu'in karya Imam Zainuddin al-Malibary juga menyebutkan,
والعامل كساع وهو من يبعثه الامام لاخذالزكاة وقاسم وحاشر لاقاض
"Amil seperti Sa’i (orang yang mengurus), dia adalah seseorang yang diutus oleh Imam untuk mengambil, membagi, dan mengumpulkan zakat, dan bukan seorang Qadhi,".
Dari kedua definisi tersebut, dapat kita ketahui bahwa amil adalah seseorang yang diutus oleh imam (pemimpin) untuk mengelola zakat. Jadi, siapapun yang tidak diutus oleh imam (pemimpin) ia tidak dapat disebut amil. Dengan demikian, maka posisi antara panitia dan amil jelas mempunyai perbedaan.
Dalam referensi lain seperti Syarh Al-Yaqut Al-Nafis 299 juga dijelaskan terkait amil zakat ini
والعَامِلِيْنَ علَيْها) وَلَا يُعَيَّنُوْنَ إلَّا مِنْ جِهَّةِ الدَّولَةِ مِثْلُ الكَاتِبِ والحَاسِبِ والكَيَّالِ وغَيرِهِم فَيُعْطَى لَهُ أُجْرَةٌ أمَّا لو عُيِّنَ العامِلُ مِنْ قِبَلِ مَجْمُوعَةٍ مِنَ المُزَكِّيِيْنَ لا يُقَالُ عامِلٌ عَلَيْها
"Amil zakat tidak dibentuk kecuali dari pemerintah. Seperti sekretaris, tukang hitung, penimbang dll. Dan mereka semua digaji. Amil swasta yang dibentuk oleh kesepakatan masyarakat, tidak bisa dikategorikan sebagai amil yang berhak menerima zakat."
Sedangkan menurut Al-Qodhi Abdul Haq bin Ghalib Al-Andalusi Al-Maliki (481-543 H/1088-1147 M) dalam tafsirnya, Al-Muharrar Al-Wajiz, dijelaskan sebagai berikut,
وأمَّا العَامِلُ فَهُوَ الرَّجُلُ الّذِي يَسْتَنِيبُهُ الإمامُ في السَّعيِ في جَمْعِ الصَّدَقاتِ وكُلُّ مَنْ يَصْرِفُ مِنْ عَوْنٍ لا يُسْتَغْنَى عَنْهُ فَهْوَ مِنَ العَامِلِيْنَ
"Adapun amil adalah orang yang diangkat oleh imam untuk menjadi wakilnya dalam urusan memgumpulkan zakat. Setiap orang yang membantu amil yang mesti dibutuhkan maka ia termasuk amil."
Imam Nawawi juga menjelaskan permasalah amil dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh Muhadzab
(الرَّابِعَةُ) فِي بَيَانِ الْأَفْضَلِ قَالَ أَصْحَابُنَا تَفْرِيقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ تَفْرِيقِهِ بِخِلَافِ الْوَكِيلِ وَعَلَى تَقْدِيرِ خِيَانَةِ الْوَكِيلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنْ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيَدِهِ فَمَا لَمْ يَصِلْ الْمَالُ إلَى الْمُسْتَحِقِّينَ لَا تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلَافِ دَفْعِهَا إلَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنْ الْمَالِكِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ وَكَذَا الدَّفْعُ إلَى الْإِمَامِ أَفْضَلُ مِنْ التَّوْكِيلِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ
"Bahwa para ashabnya Imam Syafi'i berpendapat, bahwa menyerahkan zakat kepada mustahiq (pihak yang berhak menerima zakat) secara langsung itu lebih utama daripada mewakilkan kepada orang lain (Wakilu Al-Zakat) atau bisa disebut panitia zakat yang bukan amil dari pemerintah, dan pendapat ini tanpa adanya perkhilafan. Karena diri kita sendiri lebih terpercaya daripada diserahkan kepada wakil. Dan ketika wakil itu berkhianat (tidak menyerahkan zakat ke mustahiq), maka tidak gugur kewajiban orang yang berzakat dengan kata lain orang tersebut dihukumi sebagai orang yang belum membayar zakat. Berbeda dengan zakat yang kita salurkan kepada amil zakat maka gugurlah zakat kita. Imam Mawardi berkata, bahwasannya zakat yang kita serahkan pada imam atau disini amil itu lebih utama daripada kita wakilkan (diserahkan pada wakilu az-zakat)."
Secara perundang-undangan, pengelolaan zakat diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2011 tantang Pengelolaan Zakat yang dalam Pelaksanaannya diperkuat oleh Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2014, Fatwa MUI nomor 8 tahun 2011, dan peraturan BAZNAS nomor 1 tahun 2018. Sehingga dalam melaksanakan pengelolaan zakat Pemerintah Indonesia telah membentuk badan melalui SK Presiden RI No. 8 tahun 2001, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Oleh karena BAZNAS ditunjuk langsung oleh Imam, dalam hal ini Presiden. Maka BAZNAS tergolong kriteria amil zakat yang sesuai dengan ketentuan syariat.
Kemudian dalam Perbaznas No. 2 tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) disebutkan bahwa BAZNAS membentuk unit-unit pengumpulan zakat yang terbagi kepada beberapa instansi serta masjid-masjid yang merupakan kepanjangan tangan dari Baznas. Oleh karena itu, panitia zakat yang berada di instansi pendidikan, pemerintahan, ormas, masjid, ataupun surau, selama ia mendapatkan mandat dari BAZNAS atau lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya, maka ia masih tergolong amil yang memiliki otoritas untuk mengumpulkan, membagikan, dan mendapatkan bagian dari zakat fitrah. Lain halnya jika panitia tersebut tidak mendapatkan mandat dari BAZNAS atau lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya, maka tentu konsekuensi hukumnya pun akan berbeda.
Sampai disini kita telah memahami bahwa ternyata ada perbedaan antara panitia dan amil zakat, sederhananya amil bisa dipastikan sah dalam mengelola zakat, namun untuk panitia belum tentu sah selama ia tidak mempunyai bukti atas pengangkatan dirinya sebagai amil zakat baik oleh imam secara langsung, ataupun oleh BAZNAS dan atau oleh lembaga-lembaga pengelola zakat lainnya yang telah diangkat oleh imam.
Berikut beberapa perbedaan dan konsekuensi hukumnya menunaikan zakat pada amil dan panitia yang bukan amil.
1. Amil zakat mempunyai legalitas hukum dalam mengelola zakat, sedangkan panitia yang bukan amil tidak
Artinya, zakat yang diserahkan kepada amil zakat sudah dianggap sah secara syari'at, meski amil zakat belum mendistribusikan zakatnya pada mustahiq. Sementara zakat yang diserahkan kepada panitia yang bukan amil, baru bisa dianggap sah jika panitia tersebut telah mendistribusikan zakatnya kepada mustahiq zakat.
2. Amil merupakan wakil mustahik (penerima zakat), sedangkan panitia yang bukan amil adalah wakil dari muzakki (pemberi zakat)
Misalnya, setelah muzakki menyerahkan zakatnya kepada amil zakat, kemudian amil tersebut diketahui terdapat kesalahan dalam mendistribusikan zakatnya, maka zakat muzakki akan tetap sah dikarenakan status amil adalah wakil dari mustahiq zakat. Namun seandainya kesalahan itu dilakukan oleh panitia yang bukan amil, maka zakat muzakki akan dinyatakan tidak sah dan berpotensi dianggap belum menunaikan zakat fitrah.
Pada konteks permasalahan ini, Imam Nawawi telah memaparkan penjelasannya dalam kitab Majmu Syarh al-Muhadzdzab Juz 6 halaman 165 :
في بيان الأفضل قال أصحابنا تفريقه بنفسه أفضل من التوكيل بلا خلاف
"Dalam menjelaskan keutamaan, Ashabuna (para ulama mazhab Syafii) berkata bahwa memisahkan (penyaluran zakat) dengan sendiri lebih utama daripada mewakilkannya dengan tanpa adanya khilaf (perbedaan pendapat para ulama),".
3. Amil boleh mencampur beras zakat untuk dibagikan kepada para mustahik, Sedangkan panitia yang bukan amil tidak diperbolehkan
Jika yang mengumpulkan zakat para muzakki itu adalah amil, maka amil boleh mencampurkan hasil zakat untuk didistribusikan kepada para muzakki (seandainya muzakki tersebut adalah salah satu ashnaf mustahiq zakat). Namun jika hal tersebut dilakukan oleh panitia yang bukan amil, maka mencampurkan hasil zakat dari para muzakki, dan memberikan sebagian zakat muzakki pada muzakki itu tidak diperbolehkan. Sebagaimana penjelasan Imam Syafi'i dalam kitabnya al-Umm bahwa kembalinya sebagian zakat yang telah dikeluarkan itu tidak diperbolehkan, karena itu akan mempengaruhi keabsahan ibadah zakat fitrah.
4. Amil berhak mendapat bagian hasil zakat, sedangkan panitia yang bukan amil (bukan ashnaf) tidak diperbolehkan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa amil adalah salah satu ashnaf mustahik zakat (penerima zakat), sedangkan panitia yang bukan amil tidak menjadi bagian dari ashnaf mustahiq zakat. Jika panitia yang bukan amil membawa hasil zakat padahal dia bukan salah satu bagian dari ashnaf mustahik zakat, maka dia telah merampas hak golongan ashnaf mustahik zakat. Kecuali jika seandainya panitia yang bukan amil tersebut memang benar-benar faqir atau miskin (salah satu ashnaf mustahik zakat), maka dia berhak mendapatkan bagian zakat yang telah diatur oleh amil zakat atas nama kefakiran atau kemiskinannya (salah satu ashnaf), bukan karena atas nama panitia.
5. Amil boleh menggunakan biaya operasional dari hasil zakat, sedangkan panitia yang bukan amil tidak diperbolehkan
Dalam pelaksanannya, seandainya hasil zakat dari para muzakki ini harus dipindah tempatkan karena suatu alasan, maka amil boleh memakai biaya yang diambil dari hasil zakat sebagai biaya operasionalnya. Sementara panitia yang bukan amil, tidak boleh memakai biaya operasional dari hasil zakat.
Jadi petugas zakat yang tidak diangkat (tanpa legalitas) oleh pemerintah tidak dapat disebut amil, melainkan hanya panitia zakat biasa yang dibentuk oleh swakarsa masyarakat. Konsekuensinya adalah amil berhak menerima bagian dari zakat seukuran upah yang sesuai dengan pekerjaannya, sedangkan panitia zakat tidak berhak.
Mengelola zakat bisa dilakukan siapa saja baik yang berstatus amil atau panitia zakat. Tapi karena zakat adalah ibadah yang memiliki ketentuan syariat maka perlu diperhatikan aturan penyalurannya.
Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat 🙏
*والله الموفق الى أقوم الطريق*