MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 20 April 2020

KAJIAN TENTANG KORBAN COVID 19 APAKAH TERMASUK MATI SYAHID?


Di tengah pandemi Covid-19 alias wabah Virus Corona, banyak orang meninggal dunia. Selain itu, juga ada yang meninggal dunia disebabkan penyakit lain, yang sebelumnya sudah diderita. Di tengah masalah tersebut, kini banyak orang membincangkan kematian orang yang disebabkan wabah Corona.

Syahid secara bahasa merupakan turunan dari kata sya-hi-da [arab: شهد] yang artinya bersaksi atau hadir. Saksi kejadian, artinya hadir dan ada di tempat kejadian.

Istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut orang yang meninggal di medan jihad dalam rangka menegakkan kalimat Allah.

Diantara maksud syahid (orang yang mati syahid) sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Ambari,

لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى وَمَلَائِكَته عَلَيْهِمْ السَّلَام يَشْهَدُونَ لَهُ بِالْجَنَّةِ . فَمَعْنَى شَهِيد مَشْهُود لَهُ

“Karena Allah Ta’ala dan malaikatnya ‘alaihimus salam menyaksikan orang tersebut dengan surga. Makna syahid di sini adalah disaksikan untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 2:142, juga disebutkan dalam Fath Al-Bari, 6:42).

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan syahid adalah malaikat menyaksikan bahwa mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir hidup yang baik). (Lihat Fath Al-Bari, 6:43)

Ulama berbeda pendapat tentang alasan mengapa mereka disebut syahid. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan sekitar 14 pendapat ulama tentang makna syahid. Berikut diantaranya,
1. Karena orang yang mati syahid hakekatnya masih hidup, seolah ruhnya menyaksikan, artinya hadir. Ini merupakan pendapat An-Nadhr bin Syumail.
2. Karena Allah dan para malaikatnya bersaksi bahwa dia ahli surga. Ini merupakan pendapat Ibnul Anbari.
3. Karena ketika ruhnya keluar, dia menyaksikan bahwa dirinya akan mendapatkan pahala yang dijanjikan.
4. Karena disaksikan bahwa dirinya mendapat jaminan keamanan dari neraka.
5. Karena ketika meninggal tidak ada yang menyaksikannya kecuali malaikat penebar rahmat.

Dan masih beberapa pendapat lainnya yang dirinci oleh ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari syarh Shahih Bukhari (6/42 – 43).

*Hukum Khusus untuk Jenazah Mati Syahid*

Ada 4 kewajiban kaum muslimin terhadap jenazah muslim yang lain: dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikubur.

Khusus untuk jenazah muslim yang mati syahid, ada 2 hukum khusus:

*1. Tidak boleh dimandikan*

Jenazah ini dibiarkan sebagaimana kondisi dia meninggal, sehingga dia dimakamkan bersama darahnya yang keluar.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terkait jenazaj korban perang Uhud,

لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ – أَوْ كُلَّ دَمٍ – يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jangan kalian mandikan mereka, karena setiap luka atau darah, akan mengelluarkan bau harum minyak misk pada hari kiamat.” (HR. Ahmad 14189).

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika perang Uhud,

ادْفِنُوهُمْ فِي دِمَائِهِمْ

“Kuburkan mereka bersama darah mereka.” Jabir mengatakan: “Mereka tidak dimandikan.” (HR. Bukhari 1346)

*2. Boleh tidak dishalatkan*

Artinya, jenazah korban perang fi sabilillah tidak wajib dishalatkan, dan boleh juga dishalatkan.

Jenazah yang meninggal di perang Uhud, dimakamkan tanpa dishalatkan. Jabir mengatakan,

وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar memakamkan mereka bersama dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. (HR. Bukhari 1343)

Sementara dalil bahwa mereka boleh dishalatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman beliau yang meninggal ketika perang Uhud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أنّ شهداء أُحد لم يغسّلوا، ودفنوا بدمائهم، ولم يُصَلَّ عليهم؛ غير حمزة

“Para syuhada perang Uhud tidak dimandikan, mereka dikuburkan bersama darahnya, tidak dishalatkan, selain Hamzah.” (Shahih Sunan Abu Daud no. 2688).

*Bukan Syahid tapi Mendapat Pahala Syahid*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa orang yang mati di selain medan jihad, namun beliau menggelarinya sebagai syahid.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah syahid menurut kalian?”

‘Orang yang mati di jalan Allah, itulah syahid.’ Jawab para sahabat serempak.

“Berarti orang yang mati syahid di kalangan umatku hanya sedikit.” Lanjut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Lalu siapa saja mereka, wahai Rasulullah?’ tanya sahabat.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang bergelar syahid,

مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915).

Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.” (HR. Bukhari 2480).

Dari Jabir bin Atik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

“Selain yang terbunuh di jalan Allah, mati syahid ada tujuh: mati karena tha’un syahid, mati karena tenggelam syahid, mati karena sakit tulang rusuk syahid, mati karena sakit perut syahid, mati karena terbakar syahid, mati karena tertimpa benda keras syahid, wanita yang mati karena melahirkan syahid.” (HR. Abu Daud 3111).

Mereka digelari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syahid, namun jenazahnya disikapi sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Artinya tetap wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan. Para ulama mengistilahkan dengan syahid akhirat. Di akhirat dia mendapat pahala syahid, namun di dunia dia ditangani sebagaimana umumnya jenazah.

Ketika mejelaskan hadits daftar orang yang mati syahid selain di medan jihad, Al-Hafidz Al-Aini mengatakan,

فهم شُهَدَاء حكما لَا حَقِيقَة، وَهَذَا فضل من الله تَعَالَى لهَذِهِ الْأمة بِأَن جعل مَا جرى عَلَيْهِم تمحيصاً لذنوبهم وَزِيَادَة فِي أجرهم بَلغهُمْ بهَا دَرَجَات الشُّهَدَاء الْحَقِيقِيَّة ومراتبهم، فَلهَذَا يغسلون وَيعْمل بهم مَا يعْمل بِسَائِر أموات الْمُسلمين

“Mereka mendapat gelar syahid secara status, bukan hakiki. Dan ini karunia Allah untuk umat ini, dimana Dia menjadikan musibah yang mereka alami (ketika mati) sebagai pembersih atas dosa-dosa mereka, dan ditambah dengan pahala yang besar, sehingga mengantarkan mereka mencapai derajat dan tingkatan para syuhada hakiki. Karena itu, mereka tetap dimandikan, dan ditangani sebagaimana umumnya jenazah kaum muslimin.” (Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/128).

*Macam-Macam Syahid*

Dari berbagai hadits yang menyebutkan tentang mati syahid, Al-Hafidz Al-Aini membagi syahid menjadi tiga macam. Beliau mengatakan dalam lanjutan penkelsannya,

وَفِي (التَّوْضِيح) : الشُّهَدَاء ثَلَاثَة أَقسَام: شَهِيد فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَة، وَهُوَ الْمَقْتُول فِي حَرْب الْكفَّار بِسَبَب من الْأَسْبَاب، وشهيد فِي الْآخِرَة دون أَحْكَام الدُّنْيَا، وهم من ذكرُوا آنِفا. وشهيد فِي الدُّنْيَا دون الْآخِرَة، وَهُوَ من غل فِي الْغَنِيمَة وَمن قتل مُدبرا أَو مَا فِي مَعْنَاهُ.

Dalam kitab ‘At-Taudhih’ disebutkan: Orang yang mati syahid ada 3:

1. Syahid dunia dan akhirat, merekalah orang yang terbunuh karena sebab apapun di medan perang melawan orang kafir.
2. Syahid akhirat, namun hukum di dunia tidak syahid. Mereka adalah orang yang disebut syahid, namun mati di selain medan perang.
3. Syahid dunia, dan bukan akhirat. Dialah orang yang mati di medan jihad, sementara dia ghulul (mencuri ghanimah), atau terbunuh ketika lari dari medan perang, atau sebab lainnya. (Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 14/128).

Untuk orang yang berstatus syahid dunia, namun bukan akhirat, karena ketika dia mati, kaum muslimin menyikapinya sebagaimana orang yang mati di medan perang, jasadnya tidak dimandikan. Namun mengingat orang ini melakukan pelanggaran ketika jihad, dia tidak mendapatkan pahala mati syahid di akhirat.

Macam-macam orang mati syahid ada tiga.

*Pertama, Syahid Dunia Akhirat*

Yaitu orang yang meninggal dalam perang di jalan Allah yang niatnya Karena menggapai ridla Allah. Orang ini tidak boleh dimandikan Dan dishalati. Tapi wajib dikafani Dan dikubur.

*Kedua, Syahid Dunia*

Yaitu orang yang meninggal dalam peperangan di jalan Allah, tapi tujuannya adalah mencari dunia (ghanimah-rampasan perang), bukan menggapai ridla Allah. Orang ini tidak boleh dimandikan Dan dishalati. Tapi wajib dikafani Dan dikubur.

*Ketiga, Syahid Akhirat*

Yaitu orang yang meninggal dalam banyak kondisi antara lain:
1. Perempuan yang meninggal dalam proses melahirkan anak, meskipun dari perbuatan zina.
2. Orang yang meninggal dalam keadaan tenggelam.
3. Orang yang meninggal dalam keadaan tertimbun tanah.
4. Orang yang meninggal dalam keadaan terbakar.
5. Orang yang meninggal dalam keadaan terisolasi-terasing.
6. Orang yang meninggal dalam posisi teraniaya.
7. Orang yang meninggal dalam posisi sakit perut (perut besar karena dizalimi orang).
8. Orang yang meninggal saat ada tha'un (wabah) yang dihadapi dengan sabar Dan mengharap ridla Allah.
9. Orang yang wafat dalam keadaan menuntut ilmu.
10. Orang yang meninggal dalam kondisi memendam rasa rindu dengan tetap menjaga diri, baik penglihatan atau yang lain dari hal-hal yang dilarang agama.
Orang-orang yang masuk syahid akhirat ini wajib dimandikan (atau gantinya Mandi, yaitu tayammum jika tidak mungkin karena alasan kesehatan), dikafani, dishalati, Dan dikubur. (Kitab Hasyiyah I'anatut Thalibin, Juz 2, h. 108).

*Apakah mati karena virus corona tergolong mati syahid?*

Pertama kali akan dikaji lebih dahulu, apakah virus corona masuk kategori ath-tha’un (wabah yang mematikan) ataukah tidak? Baru nanti akan dibahas apakah dapat dikatakan mati syahid jika ada yang mati karena corona? Lalu syarat disebut syahid apakah sama dengan syahid di medan perang?

Para ulama berbeda pendapat tentang pengeritan ath-tha’un dan al-waba’. Ada yang menganggap keduanya itu sama dan ada yang membedakan keduanya.

Menurut pakar bahasa arab dan pakar kesehatan, al-waba’ (wabah) adalah penyakit yang menular pada suatu wilayah, bisa penyebarannya cepat dan meluas. Sedangkan ath-tha’un adalah wabah yang menyebar lebih luas dan menimbulkan kematian. Inilah pengertian ath-tha’un menurut pakar bahasa dan ulama fikih.

Para ulama menganggap bahwa virus corona masuk dalam kategori ath-tha’un. Ulama saat ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (mufti ‘aam kerajaan Saudi Arabia), Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr (ulama besar di kota Madinah), juga Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily (ulama besar di kota Madinah).

Apalagi kalau kita melihat pandangan WHO bahwa virus corona sudah masuk pandemik, lebih jelas lagi kita menyebutnya sebagai ath-tha’un.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa syahid itu ada tiga macam:

1. Syahid yang mati ketika berperang melawan kafir harbi (yang berhak untuk diperangi). Orang ini dihukumi syahid di dunia dan mendapat pahala di akhirat. Syahid seperti ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
2. Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Contoh syahid jenis ini ialah mati karena melahirkan, mati karena wabah penyakit, mati karena reruntuhan, dan mati karena membela hartanya dari rampasan, begitu pula penyebutan syahid lainnya yang disebutkan dalam hadits shahih. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid jenis pertama.
3. Orang yang khianat dalam harta ghanimah (harta rampasan perang), dalam dalil pun menafikan syahid pada dirinya ketika berperang melawan orang kafir. Namun hukumnya di dunia tetap dihukumi sebagai syahid, yaitu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan di akhirat, ia tidak mendapatkan pahala syahid yang sempurna. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim, 2: 142-143).

Dari pembagian Imam Nawawi rahimahullah di atas, jika ada yang mati karena virus corona, makai a masuk dalam golongan syahid yang kedua.

*Syarat syahid adalah bersabar dan berharap pahala dari Allah*

Dari Yahya bin Ya’mar, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ath-tha’un (wabah yang menyebar dan mematikan), maka beliau menjawab,

كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، مَا مِنْ عَبْدٍ يَكُونُ فِى بَلَدٍ يَكُونُ فِيهِ ، وَيَمْكُثُ فِيهِ ، لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْبَلَدِ ، صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ

“Itu adalah adzab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat kepada orang beriman. Tidaklah seorang hamba ada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, ia tidak keluar dari negeri tersebut lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.” (HR. Bukhari, no. 6619)

Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud sebagai adzab adalah untuk orang kafir dan ahli maksiat. Sedangkan wabah itu jadi rahmat untuk orang beriman. Lihat Fath Al-Bari, 10:192. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar