MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 03 April 2020

KAJIAN TENTANG PERBEDAAN ANTARA NUBUAH, RAMALAN DAN PREDIKSI


Begitu banyaknya berita di medsos yang membingungkan sebagian umat islam terkait akan terjadinya kiamat di pertengahan ramadhan 2020 tahun ini, umur dunia hanya sampai 1500 tahun, telah suburnya tanah arab dan akan datangnya Imam Mahdi dan semisalnya yang semuanya dilandaskan pada hadits Nabi dengan penjelasan yang berbeda dari para dai.

Belum lagi berita prediksi puncak korban Covid 19 di indonesia terjadi di minggu terakhir bulan April 2020 yang diperkirakan menelan korban jiwa 1.800 ribu jiwa, atau ramalan akan terjadi kemarau panjang selama tiga tahun berturut-turut, gunung meletus dan kempa bumi serta bencana alam lainnya mendasari penulis untuk menyampaikan penjelasan tentang perbedaan antara nubuat (perkiraan kabar berita dari nabi sesuai wahyu), ramalan (perkiraan tanpa dasar) dan prediksi (perkiraan ilmiah).

Nubuat (Nubuah) artinya menyatakan lebih awal (dahulu) peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, biasanya melalui perantaraan ucapan seorang nabi atau lebih. Nubuat adalah kata umum untuk menegaskan akan pewahyuan Kehendak Ilahi akan terjadinya suatu peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari melalui perantara seorang nabi. Contoh sebagaimana prediksi nubuah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan tanda-tanda datangnya hari kiamat,

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ أَسِيدٍ الْغِفَارِيِّ قَالَ اطَّلَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأَجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنْ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ

“Dari Hudzaifah bin Asid Al Ghifari berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghampiri kami saat kami tengah membicarakan sesuatu. Ia bertanya, ‘Apa yang kalian bicarakan?’ Kami menjawab, ‘Kami membicarakan kiamat.’ Ia bersabda, ‘Kiamat tidaklah terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya.’ Rasulullah menyebut kabut, Dajjal, binatang (ad-dābbah), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa 'alaihissalam bin Maryam, Ya'juj dan Ma'juj, tiga gerhana; gerhana di timur, gerhana di barat dan gerhana di jazirah Arab dan yang terakhir adalah api muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka,” (HR. Muslim, lihat Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim An-Naisaburi, Al-Jāmi’us Ṣhaḥīḥ, [Beirut, Dārul Afaq Al-Jadidah: tanpa tahun], juz VIII, halaman 178).

Sedangkan Ramalan adalah prediksi seorang Kaahin (dukun) atau Al-'Arraf (peramal) mengenai peristiwa-peristiwa yang akan datang. Kata ramal diambil dari bahasa Arab yaitu raml yang artinya adalah suatu ilmu untuk menafsir, menilik, melihat atau memprediksi nasib seseorang, atau apa yang akan terjadi di masa depan.

Sejarah ramalan telah ada dari jaman dulu. Misalnya raja Fir’aun telah diberi peringatan oleh peramal bahwa akan ada seorang laki-laki yang kelak menjatuhkan tahta kepemimpinannya. Lalu dengan cepat Fir’aun merespon ramalan ini dengan membunuh setiap bayi laki-laki.

Terkait ramalan ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan kita sebagaimana hadits bahwa beberapa orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dukun-dukun, lalu beliau menjawab, “Mereka (para dukun) bukanlah apa-apa.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Terkadang apa yang mereka ceritakan adalah benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perkataan yang nyata (benar) itu adalah perkataan yang dicuri oleh jin, kemudian dia membisikkannya ke telinga walinya (dukun) lalu mereka mencampuradukkan bersama kebenaran itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Al-Bukhari no. 5762 dan Muslim no. 2228)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,

من أتى كاهنا أو عرافا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه و سلم

"Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun atau peramal, lalu dia percaya pada apa yang dikatakan maka dia telah mengingkari (kufur) syariah Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Ahmad)

عن معاويةَ بنِ الحكم السُّلمي رضي الله عنه قال: «قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ ! أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُهَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، كُنَّا نَأْتِي الكُهَّانَ قَالَ: فَلاَ تَأْتُوا الكُهَّانَ»

"Ya Rasulullah, dulu kami banyak melakukan sesuau di masa Jahiliyah. Dulu kami biasa datang ke tukang ramal. Nabi bersabda: Jangan datang ke dukun tukang ramal." (HR. Muslim no. 537)

Dalam kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, Hamisy Bughyatul Mustarsyidin, hal. 206 ; dijelaskan bahwa selagi tetap meyakini bahwa penentu untung dan sial itu hanya Allah, maka tidak apa-apa,

مسألة: إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات

"Jika seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Ibnul Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafi'i bahwa jika ahli astrologi berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi demikian di hari demikian sedangkan yang mempengaruhi adalah Allah. Maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk (bukan Allah)."

Berikut ini definisi Al-'Arraf (peramal) secara istilah syar’i, yang dimaksud dalam hadits-hadits:

Imam Al-Khathabi mengatakan,

الذي يزعم أنه يعرف الأمور، بمقدمات أسباب، يستدل بها على مواقعها، كالشيء يسرق فيعرف المظنون به السرقة

“Al-‘Arraf adalah orang yang mengetahui perkara-perkara, dengan pertanda-pertanda yang ia jadikan dalil (alasan) bahwa ia tahu perkara tersebut. Seperti ketika ada barang yang dicuri ia bisa meramal siapa pencurinya” (dinukil dari Al Alfazh Al Musthalahat Al Muta’alliqah bit Tauhid, 434)

Imam Al-Baghawi mengatakan,

العراف: الذي يدعي معرفة الأمور بمقدمات يستدل بها على المسروق ومكان الضالة

“Al-‘Arraf adalah orang yang mengklaim mengetahui perkara-perkara, dengan pertanda-pertanda yang ia jadikan dalil (alasan) bahwa ia tahu perkara tersebut, semisal mengetahui barang yang dicuri atau mengetahui letak barang yang hilang” (dinukil dari Kitab At Tauhid Ibnu Abdil Wahhab, 77)

Imam Ahmad mengatakan,

العراف طرف من السحر والساحر أخبث

“Al-‘Arraf adalah bagian dari sihir, namun tukang sihir lebih buruk dari al ‘arraf” (dinukil dari Taisirul Aziz Syarah Kitab At Tauhid, 352)

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,

والكهانة بفتح الكاف ويجوز كسرها، ادعاء علم الغيب، كالإخبار بما سيقع في الأرض، مع الاستناد إلى سبب، والأصل فيه استراق الجن السمع من كلام الملائكة، فيلقيه في أذن الكاهن. والكاهن لفظ يطلق على العراف

“Al-Kahaanah (perdukunan), dengan kaf di fathah atau boleh di kasrah, artinya mengklaim tahu ilmu gaib. seperti mengabarkan bahwa akan terjadi suatu hal di bumi dengan bersandarkan pada suatu sebab. Dan asal pengetahuan dia adalah dari jin yang mencuri dengan dari percakapan malaikat, kemudian jin tersebut membisikan ke telinga dukun. Dan Al-Kaahin (dukun) adalah lafadz yang di-mutlaq-kan (disamakan secara umum) kepada Al-‘Arraf” (dinukil dari Al Alfazh Al Musthalahat Al Muta’alliqah bit Tauhid, 429)

Mungkin sebagian orang juga kurang tahu bedanya antara ramalan dan prediksi. Karena perbedaannya tipis bagi yang belum tahu ilmunya, memang susah membedakan

Sebelumnya, perlu dipahami dulu penyebabnya, dalam pelajaran agama, faktor penyebab itu ada dua yaitu sebab Kauni dan sebab Syar’i. Kalau sebab kauni (keadaannya), ini adalah hukum sebab-akibat alam atau memang ada penelitian bahwa itu adalah sebabnya. Misalnya, api kalau terkena air akan padam, kertas terkena api terbakar dengan mudah, minum paracetamol demam jadi turun (menurut penelitian medis).

Kalau sebab syar’i yaitu sebab yang ditentukan oleh syariat menjadi penyebab sesuatu, meskipun bukan penyebab secara kauni. Misalnya,  Jika ingin dipanjangkan umur (berkah) dan dimudahkan rizki maka silaturahmi (silaturahmi penyebab mudah rizki)

Nah kalau sebuah ramalan itu perkataan/prediksi seseorang hanya menebak asal-asalan, tidak ada indikasi sebab kauni maupun sebab syar’i. Misalnya, Meramal 3 tahun lagi seseorang akan sukses, padahal tidak ada indikasinya, dia juga malas dan tidak ada usaha. Meramal seseorang akan menikah tahun sekian dan sekian (dari mana dia tahu?)

Kalau prediksi berarti ada indikasi atau tanda-tandanya, misalnya predikasi perlombaan kuda, kuda A bakal menang karena kuat, besar dan memang sering menang lemba sebelumnya. Bagaimana dengan “ramalan cuaca” masuk yang mana? Ramalan BMKG masuk katagori prediksi karena ada indikasi sebab kauni. Jadi bisa diperkirakan besok hujan atau tidak berdasarkan tanda-tanda alam dan sebagainya, tentu ini ada ilmunya.

Dalam pelajaran ilmu tauhid dibahas  juha mengenai Al-Fa’lu, ini terlihat mirip dengan ramalan tetapi ia berbeda, Al-Fa’lu positif serta menunjukkan prasangkan baik kepada Allah. Demikian juga Al-Fa’lu dengan hampir berbeda tipis dengan “Anggapan sial” (thiyarah) yang dilarang, karenanya dua pembahasan ini ada dalam satu konteks hadits,

ﻟَﺎ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻳُﻌْﺠِﺒُﻨِﻲ ﺍﻟْﻔَﺄْﻝُ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢُ ﺍﻟْﻜَﻠِﻤَﺔُ ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺔُ

“Tidak ada ‘adwa (keyakinan adanya penularan penyakit tanpa izin Allah), tidak ada thiyarah (anggapan sial). Dan yang menakjubkanku adalah al-fa’lu yang baik yaitu kalimat yang baik.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Fa’lu yaitu merasa optimis dan semangat (berhusnuzhan kepada Allah) ketika ada momentum yang dia bisa jadikan penyemangat bagi dirinya misalnya, ada kejadian yang baik, mendengar perkataan yang baik dan indah, atau melihat sesuatu yang baik.

Contoh Al-Fa'lu semisal ketika hari pertama masuk kuliah, cuaca sangat cerah dan udara segar, maka dia optimis kuliahnya akan lancar (berhusnuzhan kepada Allah). Ketika sedang ada masalah kemudian ada temannya datang bernama “untung” maka dia optimis, sepertinya ada jalan keluar dengan datangnya si Untung atas izin Allah, dan semisalnya.

Ini bukan meramal tetapi optimis dan berharap kepada Allah akan kebaikan, sedangkan meramal adalah “menebak-nebak dan memastikan” kejadian masa akan datang. Mengapa berprasangka harus baik? Karena sebagai hamba harus senantiasa berprasangka baik, dan Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya

Allah berfirman dalam hadits qudsi,

أنا عند ظنّ عبدي بي

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HR-Bukhari dan Muslim)

Dalam kajian Islam, kita mengenal hukum aqli (wajib [sesuatu yang pasti ada], mustahil [sesuatu yang pasti tidak ada], jaiz [sesuatu yang bisa jadi ada dan bisa jadi tidak ada]), hukum syari (wajib, sunah, haram, makruh, mubah, sah, batal), dan hukum adi (hukum kebiasaan).

Sebagaimana ramalan zodiak misalnya dan apapun bentuk sebab akibat merupakan hukum adi. Hukum adi secara utuh disebutkan oleh Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Yahya ketika mengulas akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam Kitab Sifat Dua Puluh berikut ini:

“Artinya hukum adi yaitu menetapkan suatu barang bagi suatu barang atau menafikan suatu barang pada suatu barang dengan lantaran berulang-ulang serta sah bersalahan dan juga dengan tiada memberi bekas salah suatu itu pada yang lain,” (Lihat Sayid Utsman bin Yahya, Kitab Sifat Dua Puluh [Indonesia, Syirkah Maktabah Al-Madaniyyah] halaman 4).

Dalam konteks hukum adi ini, bisa jadi ramalan zodiak itu lahir dari kebiasaan yang berulang-ulang dan terbukti sehingga kaitan antara nasib atau karakter tertentu dan bulan tertentu tampak sangat erat. Dalam hal ini kita boleh saja mempercayai ramalan tersebut sebagai sesuatu yang berulang-ulang dan sah bersalahan, sama halnya kita mempercayai bahwa parasetamol adalah obat yang bersifat menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan panas (KBBI). Hanya saja, kita perlu ingat bahwa hubungan keduanya sah bersalahan.

Artinya, ramalan itu bisa saja tidak terbukti sama sekali atau parasetamol itu tidak bekerja sama sekali dalam menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan panas. Dengan kata lain, kita tidak mempercayai bahwa hubungan bulan kelahiran dan nasib atau karakter kita itu bersifat mutlak. Kita tidak mempercayai bahwa hubungan parasetamol dan kesembuhan itu bersifat mutlak. Singkat kata, ramalan itu atau efek obat itu omong kosong belaka.

Guru kami almaghfurlah KHM. Syafi’i Hadzami mengambil contoh uang dalam masalah ini. “Umpamanya saja uang. Uang itu mempunyai khasiat, menggirangkan, dan melegakan hati. Orang yang banyak uangnya, kelihatan segar, gampang ridhanya. Dan orang yang tidak punya uang, kelihatannya lesu, gampang marahnya, sering uring-uringan. Itu namanya khasiat uang. Tentu saja tidak dimaksudkan bahwa uang itu mempunyai ta’tsir (pengaruh-red) demikian. Yang dimaksudkan adalah menurut adat atau kebiasaan saja, atau pada umumnya yang juga tentunya dapat bersalahan dari ketentuan tersebut,” (Lihat KHM. Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah: Seratus Masalah Agama [Kudus: Menara Kudus] juz III, halaman 38.

Lalu bagaimana kita menempatkan relasi sebab-akibat atau letak zodiak saat seseorang lahir dan nasibnya? Syekh Ibahim Al-Baijuri menyebut sedikitnya empat sikap manusia memandang relasi tersebut.

اعلم أن الفرق في هذا المقام أربعة الأولى تعتقد أنه لا تأثير لهذه الأشياء وانما التأثير لله مع إمكان التخلف بينها وبين آثارها وهذه هي الفرقة الناجية، الثانية تعتقد لا تأثير لذلك أيضا  لكن مع التلازم بحيث لا يمكن التخلف وهذه الفرقة جاهلة بحقيقة الحكم العادي وربما جرها ذلك إلى الكفر بأن تنكر ما خالف العادة كالبعث، الثالثة تعتقد أن هذه الأشياء مؤثرة بطعها وهذه الفرقة مجمع على كفرها، الرابعة تعتقد أنها مؤثرة بقوة أودعها الله فيها وهذه الفرقة في كفرها قولان والأصح انها ليست كافرة

“Perlu diketahui bahwa manusia dalam kedudukan ini terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa tidak ada pengaruh apapun pada benda-benda itu. Yang memberi pengaruh hanya Allah disertai kemungkinan bersalahan antara sebab dan akibatnya. Inilah kelompok yang selamat. Kedua, kelompok yang meyakini bahwa tidak ada pengaruh apapun pada benda-benda itu, tetapi meyakini kelaziman antara sebab dan akibat sekira tak ada kemungkinan bersalahan. Ini adalah kelompok yang tidak mengerti hakikat hukum adi, dan terkadang dapat membawa kelompok ini pada kekufuran di mana mereka mengingkari sesuatu yang bertentangan dengan adat, misalnya kebangkitan. Ketiga, kelompok yang meyakini bahwa segala benda itu dapat memberi pengaruh karena tabiatnya. Kekufuran kelompok ini disepakati ulama. Keempat, kelompok yang meyakini bahwa benda-benda itu memberi pengaruh karena kekuatan yang Allah titipkan di dalamnya. Perihal kekufuran kelompok ini, pendapat ulama terbelah menjadi dua. Pendapat lebih sahih menyatakan bahwa kelompok ini tidak kufur,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam [Indonesia: Darul Ihyail Kutubil Arabiyah] halaman 44).

Kesimpulannya, meyakini berita nubuat (nubuah) adalah wajib. Meyakini ramalan adalah haram (dilarang), meyakini prediksi adalah jawaz (boleh percaya boleh tidak). Artinya, percaya perkara yang bersandarkan pada hal-hal yang hissiyah (inderawi) atau prediksi ilmiah, maka ini bukan ilmu gaib. Walaupun orang-orang awam mengira ini adalah perkara gaib, dan mengklaim bahwa membenarkan hal seperti ini sebagaimana membenarkan dukun. Mengingkari perkara yang diketahui secara inderawi (prediksi ilmiah) adalah perbuatan yang buruk, sebagaimana dikatakan oleh As Safarini,

فكل معلوم بحس أو حجا ** فنكره جهل قبيح بالهجا

“Setiap perkara yang diketahui secara inderawi atau secara akal, mengingkarinya adalah sebuah kejahilan yang buruk terhadap bahasa.”

Maka hal-hal yang diketahui secara secara inderawi tidak mungkin mengingkarinya. Walau seseorang mengingkarinya dengan alasan syar’iat, maka justru itu merupakan perendahan terhadap syari’at. (Al Qaulul Mufid Syarah Kitab Tauhid, 1/531-532). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar