MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 19 Juli 2021

KAJIAN HUKUM SHALAT IDUL FITRI DAN IDUL ADHA DI RUMAH DI MASA PANDEMI COVID 19

Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah diantara ibadah shalat sunnah yang sangat dianjurkan. Adapun hukum kedua shalat Ied tersebut dinilai berbeda pada beberapa ulama, ada yang mengatakan sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.

Jadi para ulama telah sepakat shalat dua hari raya disyariatkan dalam Islam.

Dalil yang menganjurkan shalat Ied adalah firman Allah Ta'ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah" (QS. Al-Kautsar : 2).

Berkata Qotadah: "dia adalah sholat ‘idul adha" (Tafsir Abdur Rozzaq). 

Sedangkan dalil dari sunnah (hadits) diantaranya hadits Ummu 'Athiyyah,

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نخرج في العيدين العواتق وذوات الخدور ، وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى المسلمين

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat sholat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat sholat" (HR. Bukhari No.1/93 dan Muslim No.890)

Dalam riwayat lain disebutkan, “Kami diperintahkan untuk keluar. Para budak maupun wanita yang berada dalam pingitan pun juga diperintahkan demikian.” (HR. Muslim)

*Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha Menurut Para Ulama*

Dalam Islam, dikenal dua macam shalat, yakni shalat wajib atau shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat wajib adalah shalat lima waktu yang jika ditinggalkan maka akan berdosa. Sedangkan shalat sunnat adalah shalat tambahan di luar shalat wajib yang jika dikerjakan berpahala dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan para Ulama : 

1. Shalat ‘Ied hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama termasuk dalam madzab Imam Syafi'i rahimahullah. Adapun dalilnya hukum shalat di Hari Raya adalah sunnah muakkadah karena Rasulullah tidaklah mewajibkan shalat kecuali shalat lima waktu. Dari Tholhah Bin Ubaidillah radhiyallahu 'anhu, ketika datang seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan tentang Islam, Rasulullah pun menjawab,

خمس صَلَواتٍ في اليوم واللَّيلة» فقال: هل عليَّ غَيْرُهَا؟ قال: «لا، إلا أن تَطَّوَّعَ

"Shalat lima waktu di setiap sehari semalam, lalu lelaki itu bertanya kembali, "Apakah ada selainnya yang diwajibkan untukku?" Beliau pun menjawab, "Tidak, kecuali jika engkau melakukan yang sunnah." (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat ‘Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali. 

Adapun pendukung pendapat kedua ini, yakni berpendapat bahwa shalat ‘Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat ‘Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat ‘Ied juga merupakan syi’ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah" (QS. Al-Kautsar : 2).

Berkata Qotadah: "dia adalah sholat ‘idul adha" (Tafsir Abdur Rozzaq). 

3. Fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad. 

Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil dan Syeikh Ibnu Taimiyah salah seorang ulama yang diikuti kelompok salafi wahabi mendukung pendapat ini. Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa shalat ‘Ied adalah) wajib ‘Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat ‘Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi. Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat ‘Ied termasuk jenis shalat Jum’at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat ‘Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum’at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khusus untuk istisqa’. Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat ‘Ied itu sunnah, tentu sahabat Ali bin abi thalib tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi sahabat Ali bin Abi Thalib tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib, sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya. [Lihat Majmu’ Fatawa XXIV/179-183].

Dari dalil tersebut, terlihat jelas bahwa setiap orang diperintahkan untuk mengerjakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di tanah lapang secara berjama'ah. 

Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Ied dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Padahal shalat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].

*Namun bagaimana hukum shalat idul fitri dan Idul Adha dilaksanakan di rumah tidak dengan berjama'ah ?*

Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Mukti Ali Qusyairi menuturkan terkait pelaksanaan shalat Idul Adha 1442 H tahun ini, “Mungkin sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa shalat Idul Adha harus berjama'ah, padahal itu tidak. Karena hukum shalat Idul Adha sendiri adalah sunnah muakkadah, itu menurut pendapat Imam Syafi'i. Jadi, pelaksanaannya boleh dilakukan secara munfarid (sendiri), yakni tidak berjamaah, shalatnya tetap sah meskipun 

munfarid (sendirian tidak berjama'ah). Kemudian dia juga mendapat pahala karena berusaha untuk tidak membahayakan orang lain dan dirinya sendiri,” tutur Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta ini. 

Meskipun Fatwa MUI membolehkan shalat Ied tidak dengan berjama'ah yang katanya mengutip pendapat Imam Syafi'i, maka perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i dalam kitabnya, Al-Umm, mengatakan

وَلِلتَّطَوُّعِ وَجْهَانِ صَلَاةٌ جَمَاعَةً وَصَلَاةٌ مُنْفَرِدَةً وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ مُؤَكَّدَةٌ وَلَا أُجِيزُ تَرْكَهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا بِحَالٍ وَهُوَ صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ وَكُسُوفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالِاسْتِسْقَاءِ

Shalat sunnah terbagi dua, yakni yang dilaksanakan berjamaah dan yang sendiri-sendiri. Adapun shalat sunnah yang sangat dianjurkan berjamaah tidak diperkenankan untuk meninggalkannya bagi yang mampu melaksanakannya, yaitu shalat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan, serta shalat istisqa. (Al-Umm)

Abu Hasan Ali al-Bagdadi seorang ulama bermadzab Syafi'i dalam kitab al-Iqna’ fil fiqh Asy-Syafi’i mengatakan,

وَيُصلي العيدان فِي الْحَضَر وَالسّفر جمَاعَة وفرادى

Dan hendaklah melaksanakan shalat dua hari raya dalam keadaan hadir maupun bepergian, baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu,

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ: مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

Abdullah bin Mas’ud berkata “Barangsiapa yang luput dari shalat Id maka hendaklah ia shalat empat rakaat” (HR. Thabrani)

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang lebih dekat kepada madzhab Hanbali  mengatakan,

فإن فاته جميع صلاة العيد استحب له قضاؤها وهو مخير في ذلك بين أن يصلي أربعا كصلاة الضحى بغير تكبير أو بتكبير كهيئتها، فيجمع أهله وأصحابه كل ذلك إليه، وله بذلك فضل كثير

“Bila luput seluruh rangkaian shalat Ied, seseorang dianjurkan mengqadha shalat Ied. Ia boleh memilih shalat empat rakaat seperti shalat Dhuha dengan beberapa takbir sunah (setelah takbiratul ihram) atau tanpa takbir sunah (setelah takbiratul ihram) seperti lazimnya shalat Dhuha.

Lalu ia mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan sahabatnya. Dengan demikian ia akan mendapatn keutamaan yang banyak,” (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Guniyah, [Tanpa keterangan tempat, Darul Kutub Al-Islamiyyah: tanpa catata tahun], juz II, halaman 128).

Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid mengatakan,

واختلفوا فيمن تفوته صلاة العيد مع الإمام فقال قوم: يصلي أربعا وبه قال أحمد والثوري وهو مروي عن ابن مسعود. وقال قوم: بل يقضيها على صفة صلاة الإمام ركعتين يكبر فيهما نحو تكبيره ويجهر كجهره وبه قال الشافعي وأبو ثور. وقال قوم: بل ركعتين فقط لا يجهر فيهما ولا يكبر تكبير العيد. وقال قوم: إن صلى الإمام في المصلى صلى ركعتين وإن صلى في غير المصلى صلى أربع ركعات. وقال قوم: لا قضاء عليه أصلا وهو قول مالك وأصحابه.

“Ulama berbeda pendapat perihal orang yang luput shalat Id bersama imam. Sebagian ulama mengatakan, orang itu melakukan shalat empat rekaat. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad dan Ats-Tsauri berdasarkan riwayat dari sahabat Ibnu Mas‘ud radhiyallahu 'anhu. Sebagian ulama mengatakan, ia harus mengqadha shalat dua rakaat dengan cara yang dilakukan imam, baca takbir dan baca surat dengan lantang (jahar) seperti yang dilakukan imam.

Pendapat ini dipegang oleh Imam As-Syafi’i dan Abu Tsaur. Ulama lain mengatakan, ia cukup shalat dua rekaat tanpa lantang (jahar) baca surat dan tanpa takbir sunah. Ulama lain mengatakan, jika imam shalat Ied di mushalla, maka ia shalat Ied dua rekaat. Tetapi jika imam shalat di luar mushalla, maka ia shalat Ied empat rekaat.

Ada lagi ulama mengatakan, ia tidak perlu mengqadha shalat Ied sama sekali. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan pengikutnya,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 204).

وحكى ابن المنذر عنه مثل قول الشافعي فمن قال أربعا شبهها بصلاة الجمعة وهو تشبيه ضعيف ومن قال ركعتين كما صلاهما الإمام فمصير إلى أن الأصل هو أن القضاء يجب أن يكون على صفة الأداء ومن منع القضاء فلأنه رأى أنها صلاة من شرطها الجماعة والإمام كالجمعة فلم يجب قضاؤها ركعتين ولا أربعا إذ ليست هي بدلا من شيء وهذان القولان هما اللذان يتردد فيهما النظر: أعني قول الشافعي وقول مالك. وأما سائر الأقاويل في ذلك فضعيف لا معنى له لأن صلاة الجمعة بدل من الظهر وهذه ليست بدلا من شيء فكيف يجب أن تقاس إحداهما على الأخرى في القضاء وعلى الحقيقة فليس من فاتته الجمعة فصلاته الظهر قضاء بل هي أداء لأنه إذا فاته البدل وجبت هي والله الموفق للصواب

“Ibnul Mundzir menghikayatkan seperti pandangan Imam As-Syafi’i. Pendapat yang menyatakan shalat Ied sendirian berjumlah empat rekaat karena menganalogikan shalat Ied dengan shalat Jum’at didasarkan pada analogi yang lemah. Sedangkan ulama yang mengatakan bahwa shalat Ied sendirian berjumlah dua rekaat seperti yang dikerjakan imam merujuk pada prinsip bahwa qadha wajib dilakukan sesuai dengan sifat atau cara yang dilakukan secara tunai (adâ’an).

Sementara ulama yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak perlu diqadha memandang bahwa pengerjaan shalat Ied disyaratkan berjamaah dan bersama imam seperti shalat Jum'at sehingga bila luput maka tidak ada ceritanya mengqadha dua maupun empat rekaat. Pasalnya, shalat id bukan gantian dari shalat lain (sebagaimana Jum’at dan zhuhur). Dua pandangan ini yang patut dipertimbangkan, yaitu pandangan Imam As-Syafi’i dan Imam Malik.

Sedangkan pandangan selain keduanya lemah sekali, tidak ada maknanya. Shalat Jum’at merupakan substitusi atau gantian dari shalat zhuhur. Sedangkan shalat Ied bukan substitusi dari shalat manapun sehingga bisa dianalogikan antara keduanya (shalat Ied dan shalat Jum'at) perihal qadhanya?

Dan benar, orang yang luput shalat Jum'at bukan melakukan shalat zhuhur dengan niat qadha, tetapi tunai (adâ’an) karena logikanya bila luput sesuatu harus diqadha sebagaimana adanya. Semoga Allah memberikan jalan menuju kebenaran,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 204).

Itulah hukum shalat Idul fitri dan Idul Adha yang dilaksanakan di rumah dimasa pandemi covid-19 dengan tidak berjama'ah yang perlu diketahui. 

Demikian Asimun Mas'ud memyampaikan semoga bermanfaat dan artikel ini bisa menambah wawasan dan keimanan kita semua. Aamiin

 *والله الموفق الى أقوم الطريق*

🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻