MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 30 November 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM PANGGILAN HAJI BAGI ORANG YANG BELUM BERHAJI DAN BARU MENUNAIKAN UMRAH

Orang yang sedang melakukan haji, disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan sebutan Haji. Allah berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. At-Taubah: 19).

Dr. Bakr Abu Zaid mengatakan,

وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج . وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون

"Kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat islam (dimasa Rasulullah dan para sahabat)."

Ada juga riwayat hadits mursal mawqûf dalam Sunan al-Baihaqî yang disandarkan pada sahabat, Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan,

وَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إِنِّى حَاجٌّ فَإِنَّ الْحَاجَّ هُوَ الْمُحْرِمُ

*Tidak pantas di antara kalian mengatakan saya adalah Haji karena Haji adalah muhrim (orang yang ihram)." (HR. Baihaqi)

Imam An-Nawawi mengatakan,

يجوز أن يقال لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ، وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم : إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع

Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus." (Al-Majmu’, 8/281).

olehkan? Sebab sebelum masa beliau gelar Haji sudah dikenal, khususnya pada ayahanda beliau sendiri:

ﻭﻓﻴﻬﺎ (٦٨٢) ﻛﺎﻧﺖ ﻭﻓﺎﺓ: اﻟﺤﺎﺝ ﺷﺮﻑ اﻟﺪﻳﻦ اﺑﻦ ﻣﺮﻯ، ﻭاﻟﺪ اﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻴﻲ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ.

"Pada tahun 682 wafat Haji Syarofuddin, ayahnya Syekh Muhyiddin An-Nawawi rahimahullah (Ibnu Katsir, Al Hidayah wan Nihayah 13/363)."

Panggilan “haji” atau “hajah” pada umumnya disematkan kepada orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Tetapi, panggilan penghormatan ini juga seringkali diberikan kepada orang yang belum berhaji. Lantas, bagaimana hukum memanggil “haji” terhadap orang yang belum berhaji?

Dalam Islam, terdapat anjuran untuk saling menghargai dengan cara memanggil nama yang disenangi. Perbuatan ini juga merupakan salah satu dari beberapa adab berteman yang baik.

Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman 444 berikut,

آداب الإخوان: الاستبشار بهم عند اللقاء، والابتداء بالسلام، والمؤانسة والتوسعة عند الجلوس، والتشييع عند القيام، والإنصات عند الكلام، وتكره المجادلة في المقال، وحسن القول للحكايات، وترك الجواب عند انقضاء الخطاب، والنداء بأحب الأسماء

“Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului ber uluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”

*Hukum Memanggil Haji Bagi yang Belum Haji*

Namun demikian, panggilan penghormatan “haji” atau “hajah” terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta.

Tetapi kalau “haji” atau “hajah” diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan. ‘Sebagaimana dalam kitab Hasiyah jamal, juz 2, halaman 372 berikut,

وقع السؤال مما يقع كثيرا فى مخاطبة الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام ام لا

"Terdapat suatu pertanyaan tentang kejadian yang banyak terjadi berkenaan dengan panggilan sebagian orang kepada yang lainnya berupa perkataan mereka, “Wahai Haji Fulan” untuk memuliakan padahal i belum belum melakukan haji, apakah ini haram atau tidak?"

والجواب عنه ان الظاهر الحرمة لانه كذب الى ان قال نعم ان اراد بيا حاج فلان المعنى اللغوى وقصد به معنى صحيحا كان اراد بيا حاج يا قاصد التوجه الى كذا كالجماعة او غيرها فلا حرمة.

"Jawabannya, secara dzahir hukumnya haram karena orang itu telah berdusta. (Sampai pada perkataan) Ya, tetapi jika dengan ungkapan “Wahai Haji Fulan bertujuan berdasarkan makna bahasa, seperti ia bermaksud dengan ucapan “Wahai Haji” dengan “Wahai orang yang sengaja untuk menuju tempat tertentu, seperti perkumpulan orang atau yang lainnya, maka tidak haram." (Hasyiyah al-Jamal, Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal Juz II hal: 372).

Menurut Syekh Ali Syibramalisi, panggilan penghormatan “haji” atau “hajah” dalam arti ibadah haji terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta. Tetapi kalau “haji” atau “hajah” diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan.  

نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا ، كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ 

“Tetapi jika panggilan ‘pak haji’ dimaksudkan maknanya secara harfiah, (bukan secara istilah) dan diniatkan dengan pengertian harfiah yang benar, (seperti panggilan ‘pak haji’ dimaksudkan ‘pak yang hendak menuju shalat berjamaah atau lainnya) maka tidak haram,” (Syekh Ali Syibramlisi, Hasyiyah Ali Syibramalisi ala Nihayatil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2003 M/1424 H], juz III, halaman 242).

*Panggilan Haji/Hajjah bagi yang telah umroh* 

Dalam penjelasan hadits nabi bahwa haji dan umroh keduanya adalah kewajiban, maka hukumnya sah-sah saja menyebut panggilan haji/hajjah kepada orang yang baru menjalankan ibadah umroh. Bahkan di arab saudi para askar memanggil orang yang sedang umroh dengan panggilan haji/hajjah.

Dalam satu riwayat, Aisyah rah bertanya kepada Rasulullah,

يا رسول الله, هل على النّساء جهاد؟ قال نعم جهاد لا قتال فيه : الحج و العمرة

“Ya Rasulallah, adakah atas perempuan kewajiban jihad? Beliau menjawab iya, jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni haji dan umrah.”

Abu Ruzain pernah mendatangi Rasulullah dan bertanya tentang permasalahan ayahnya,

يا رسول الله, انّ ابي شيخ كبير لا يستطيع الحج و العمرة ولا الظعن؟ قال حج عن ابيك واعتمر

“Ya Rasulallah, sesungguhnya ayahku adalah orang yang sangat tua dan tidak bisa berangkat haji dan umrah serta tidak bisa berjalan. Nabi menjawab: Berhajilah sebagai ganti ayahmu dan berumrahlah.”

Hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Jabir, 

الحج والعمرة فريضتان

“Haji dan umrah adalah wajib keduanya.” (At-Tirmisyi: 8-9)

Sementara dalil yang mengatakan ibadah umroh sebagai ibadah sunnah adalah hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Jabir bin Abdulllah,

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العمرة أ واجبة هي؟ قال لا وان تعتمر فهو افضل

“Rasulullah Saw ditanya, apakah umrah itu hukumnya wajib? Rasulullah menjawab: Tidak. Jika kamu melaksanakanya itu lebih utama.” (HR. At-Tirmidzi)

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 24 November 2022

KAJIAN TENTANG TATA CARA DAN ETIKA BERDO'A (MEMOHON) KEPADA ALLAH TA'ALA

Dalam sebuah video viral tentang penyampaian tata cara berdoa kepada Allah Ta'ala oleh seorang ustadz kondang bahwasanya berdoa itu boleh dengan cara iseng, bahkan terucap kata-kata bahwa Allah ngaco menjadi tuhan, Na'udzubillah.

Dia juga mengatakan, "boleh ga ngomong gitu sama Alah? Boleh, sama manusia yang ga boleh mah banyak aturan, ama Allah mah ga ada aturan." Astaghfirullah.

Islam adalah agama yang mengatur segala sesuatu berlandaskan syariat dan akhlak terlebih dalam berdoa kepada Allah Ta'ala.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam Ghunyatul Thalibin menjelaskan, 

أن يمد يديه ويحمد الله تعالى ويصلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يسأله الله حاجته ولا ينظر إلى السماء في حاله دعائه، وإذا فرغ يديه مسح يديه على وجهه، لما روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: سلوا الله ببطون أكفكم 

“Dianjurkan pada saat berdoa membentangkan kedua tangan, mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian baru setelah itu mengutarakan permintaan dan permohonan. Jangan menghadap langit pada saat berdoa. Ketika selesai berdo'a usaplah kedua tangan ke wajah. Dalam sebuah riwayat disebutkan Rasulullah berkata, ‘Mintalah kepada Allah dengan batin telapak tangan.’  

Dari penjelasan Syekh Abdul Qadir di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat berdoa adalah membentangkan kedua telapak tangan pada saat berdoa, seperti orang yang sedang memohon dan meminta.

Inilah diantara adab dan cara berdoa dalam Islam, berikut dalil keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

*Pertama,* berdoa dengan suara lembut dan merendah (jika berdoa sendirian). Firman Allah, 

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55).

*Kedua,* diawali memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, 

عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ، فَقَالَ رَسُوْلَُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّيْ إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِاللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَيَّ ثُمَّ ادْعُهُ قَالَ ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ فَحَمِدَ اللهَ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا الْمُصَلِّي ادْعُ تُجَبْ.

Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a, ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’ Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’ Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat dia berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a, berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi (no. 3476) dan Abu Dawud (no. 1481)

Imam An-Nawawi berkata tentang ini,

أجمع العلماءُ على استحباب ابتداء الدعاء بالحمد لله تعالى والثناء عليه، ثم الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكذلك تختم الدعاء بهما

“Para ulama sepakat akan mustahabnya memulai doa dengan memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya kemudian bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga menutup doa dengan keduanya.” (Al-Adzkar lin Nawawi hal: 117)

*Ketiga,* menghadap kiblat. Abdullah bin Zaid al-Mazini ra., menuturkan, “Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari beliau keluar untuk shalat istisqa, beliau membelakangi manusia dan menghadap kiblat untuk berdoa.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Umar bin Khottob bercerita kepadanya dalam sebuah hadits yang panjang,

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ، وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا، فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ، ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ، فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ: «اللهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ»، فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ، مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ……

“Saat perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kaum musyrikin. Jumlah mereka seribu orang. Sedangkan para sahabat berjumlah 319 orang. Maka Nabiyullah shallallah ‘alaihi wasallam pun menghadap kiblat, lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya Allah, aku memohon pada-Mu agar berkenan menunaikan janji-Mu untukku. Ya Allah, karuniakanlah untukku apa yang telah Kau janjikan. Ya Allah, seandainya Engkau membinasakan pasukan kaum muslimin, niscaya Engkau tidak lagi disembah di muka bumi”. Beliau terus memohon kepada Allah, seraya mengangkat kedua tangannya menghadap kiblat……” (HR. Muslim no. 1763)

*Keempat,* mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah. Tenang saja ini bukan bid’ah. Dijelaskan dalam Bulughul Maram. Dari Umar ra., berkata, “Apabila Nabi mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, Nabi tidak akan mengembalikan kedua tangannya sehingga mengusapkan pada wajahnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra, 

إذا دعوت الله فادع بباطن كفيك ولا تدع بظهورهما فاذا فرغت فامسح بهما  وجهك (رواه ابن ماجه)

"Apabila engkau memohon kepada Allah, maka bermohonlah dengan bagian dalam kedua telapak tanganmu, dan jangan dengan bagian luarnya. Dan ketika kamu telah usai, maka usaplah mukamu dengan keduanya." (HR. Ibnu Majah)

*Kelima,* mengucap lafadz ‘Amin’ di akhir doa. Rasulullah 

Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ketika kalian membaca ‘amin’, dan malaikat membaca ‘amin’ di langit, ketika keduanya saling bersamaan, maka dosa pengucapnya yang terdahulu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari).

*Keenam,* memerhatikan waktu dan tempat. Ini terkait dengan waktu-waktu mustajab dalam berdoa. Misalnya ketika turun hujan, waktu antara adzan dan iqamat, ketika tahajjud atau di sepertiga malam terakhir hingga ketika hari Arafah. “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi).

*Ketujuh,* Bersungguh-sungguh dalam berdo'a.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ وَلاَيَقُوْلَنَّ اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ.

‘Apabila salah seorang di antara kalian berdo’a maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata, ‘Ya Allah, apabila Engkau sudi, maka kabulkanlah do’aku ini,’ karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. al-Bukhari (no. 6338) dan Muslim.

Itulah diantara adab dalam berdoa yang perlu diketahui. Dengan berdoa sesuai adabnya, maka mudah-mudahan Allah akan mengabulkan doa-doa kita.

Demikian Ibnu Mas'ud At-Ta'addudi menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 16 November 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMAKAI CINCIN EMAS, PERAK DAN BATU MULIA BAGI PRIA

Memakai perhiasan emas sudah lumrah bagi perempuan. Emas dipakai sebagai aksesoris, seperti kalung, anting, cincin, gelang, dan lain sebagainya. Emas juga dijadikan sebagai investasi, aset, dan simpanan di rumah. Bagaimana dengan hukum memakai emas bagi lelaki? 

Emas adalah logam mulia yang disukai oleh banyak orang. Emas memiliki fungsi sebagai alat tukar dan perhiasan. Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan hukum emas sebagai perhiasan.

Sahabat Abu Hurairah ra. meriwayatkan,

أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ

"Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk memakai cincin emas." (HR. Muslim no. 2089).

Ulama hadits mazhab Syafi'i, Imam Al-Munawi menjelaskan bahwa hadits ini berlaku hanya kepada laki-laki berdasarkan sabda Rasulullah 

Shalallahu 'alaihi wa sallam. Suatu saat, beliau mengambil sutera lalu meletakkannya di salah satu tangan beliau, dan emas di tangan lainnya. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي

"Sesungguhnya kedua barang ini haram bagi laki-laki dari umatku." (HR. Abu Dawud no. 4057; Imam Nawawi menilai hadits ini hasan).

Dalam riwayat Imam Tirmidzi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menambahkan,

وَأُحِلَّ لإِنَاثِهِمْ

"Dan (emas dan sutra ini) halal bagi para perempuan (dari umatku)." (HR. Tirmidzi no. 1720, Imam Nawawi menilai hadits ini hasan shahih).

Sahabat Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihat cincin emas dipakai oleh seorang laki-laki. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mencabut lalu membuang cincin itu dari tangan lelaki itu.

Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda,

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ

"Salah seorang dari kalian telah sengaja mengambil batu api neraka dan meletakkannya di tangannya." (HR. Muslim no. 2090).

Ulama fikih dan hadits mazhab Maliki, Al-Qadhi ‘Iyadh, menjelaskan bahwa hadits diatas adalah dalil keharaman memakai emas bagi kaum lelaki. Hadits ini sekaligus menghapus kebolehan menggunakan cincin emas sebelumnya, di mana Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melakukannya langsung di mimbar agar dilihat oleh seluruh sahabat. Dan larangannya sudah jelas melalui perkataan dan perbuatan beliau.

Imam Nawawi juga berpendapat bahwa laki-laki haram memakai cincin emas berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama fikih empat mazhab. Begitu pula jika cincin itu terbuat dari sebagian emas dan sebagian perak. Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menyatakan,

وكذا لو كان بعضه ذهبا وبعضه فضة حتى قال أصحابنا : لو كانت سن الخاتم ذهبا ، أو كان مموها بذهب يسير ، فهو حرام لعموم الحديث الآخر في الحرير والذهب ( إن هذين حرام على ذكور أمتي حل لإناثها

"Bagitu juga haram memakai cincin yang sebagian bahannya terbuat dari emas dan sebagiannya lagi dari perak. Kalangan ulama Syafi'i mengatakan: Apabila pada cincin terbuat dari emas, atau dilapisi dengan sedikit emas maka hukumnya haram karena keumuman hadits yang melarang pemakaian sutra dan emas." (Syarh Shahih Muslim, 14/32)

Ulama fikih telah menyepakati  bahwa hukum memakai emas diharamkan bagi lelaki, dan diperbolehkan bagi perempuan. Keharaman memakai emas bagi lelaki itu berupa emas kuning yang umun dijual di pasar atau toko emas. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat,  prodosen emas menciptakan inovasi baru, dengan menggarap emas putih,  sehingga emas putih bersaingan di pasaran dengan emas kuning.

*Hukum Memakai Cincin Emas Putih Bagi Pria*

Mutfi Asal Mesir  Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad rahimahullah memberikan rekomendasi kebolehan bagi laki-laki untuk memakai emas putih (platinum). Beliau menyatakan pendapatnya yang termuat di lembaga fatwa Mesir Dar Al-ifta’ Al-Misriyah (hlm. 115) sebagai berikut,

وقد يطلق الذهب الأبيض على السبيكة المكونة من خليط الذهب الأصفر مع البلاديوم أو غيره، وهذا قد انقسم أهل العلم فيه إلى مبيح ومانع، والأورع ترك استعمال الرجال له؛ إلحاقًا له بالذهب الأصفر المعروف.  وعليه:  فإذا كان المقصود بالذهب الأبيض البلاتين فهو حلالٌ بالإجماع، وإن كان المقصود سبيكة البلاديوم أو غيره مع الذهب الأصفر فالأورع تركه للرجال

"Terkadang, nama emas putih juga digunakan untuk menyebut campuran antara emas kuning dan platinum atau unsur lainnya. Untuk model emas putih yang terakhir ini, para ulama berbeda pendapat antara membolehkan dan melarangnya. Yang terbaik adalah bersikap hati-hati dengan tidak memakainya, karena menganggapnya sama dengan emas kuning. Maka jika yang dimaksud dengan emas putih dalam pertanyaan adalah platinum, maka berdasarkan ijma’ ia halal untuk dipakai oleh lelaki. Namun, jika yang dimaksud adalah campuran antara platinum (atau lainnya) dan emas kuning, maka sebaiknya tidak dipakai oleh laki-laki sebagai implementasi dari sikap wara’."

Emas putih bahan pembuatannya berbeda dengan emas kuning, tetapi label penamaannya tetaplah emas. Walaupun fatwa Syaikh Ali Jum’ah Muhammad membolehkan, tapi alangkah baiknya lelaki tidak memakainya sebagai bentuk kehati-hatian (wara’) karena ulama sudah menyepakati keharaman memakai emas bagi laki laki.

*Hukum Cincin Perak bagi Pria*

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa cincin perak dibolehkan bagi pria. Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَتَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كِتَابًا – أَوْ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ – فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لاَ يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلاَّ مَخْتُومًا . فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis atau ingin menulis. Ada yang mengatakan padanya, mereka tidak membaca kitab kecuali dicap. Kemudian beliau mengambil cincin dari perak yang terukir nama ‘Muhammad Rasulullah’. Seakan-akan saya melihat putihnya tangan beliau.” (HR. Bukhari no. 65 dan Muslim no. 2092)

Dalam Al-Muntaqo Syarh Muwatho’ (2/90), disebutkan bahwa perak bagi pria dibolehkan dalam tiga penggunaan, yaitu pedang, cincin dan mushaf.

Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata,

ويجوز التختم بنحو الحديد والنحاس والرصاص بلا كراهة وخبر مالي أرى عليك حلية أهل النار لرجل وجده لابسا خاتم حديد ضعيف لكن حسنه بعضهم فالأولى ترك ذلك

"Boleh mengenakan cincin dari besi, tembaga, kuningan tanpa makruh. Adapun hadits seperti diatas (yang melarang memakai cincin dari besi, tembaga dan kuningan) adalah dha’if (lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah) namun sebagian ulama menilai sebagai hadits hasan. Maka yang terbaik adalah tidak mengenakannya." (Al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’)

Lantas bagaimana hukumnya Pria memakai cincin batu mulia? Menurut Imam Syafi’i hukum memakai batu mulia atau batu akik seperti batu yaqut, zamrud dan lainnya adalah mubah sepanjang tidak untuk berlebih-lebihan dan menyombongkan diri.

قَالَ الشَّافِعِيُّ- وَلَا أَكْرَهُ لِلرِّجَالِ لُبْسَ اللُّؤْلُؤِ إلَّا لِلْأَدَبِ وَأَنَّهُ مِنْ زِيِّ النِّسَاءِ لَا لِلتَّحْرِيمِ وَلَا أَكْرَهُ لُبْسَ يَاقُوتٍ أَوْ زَبَرْجَدٍ إِلَّا مِنْ جِهَةِ السَّرَفِ وَالْخُيَلَاءِ

“Imam Syafii berkata dalam kitab al-Umm, saya tidak memakruhan laki-laki memakai mutiara kecuali karena terkait dengan etika dan mutiara itu termasuk dari aksesoris perempuan, bukan karena haram. Dan saya tidak memakrukan (laki-laki, pent) memakai yaqut atau zamrud kecuali jika berlebihan dan untuk menyombongkan (diri)”. (Muhammad Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Bairut-Dar al-Ma’rifah, 1393 H, juz, 1, h. 221)

*Kajian Ilmiah Pengaruh Emas Pada Sistem Reproduksi Pria.*

Ada pertanyaan kenapa Pria dilarang menggunakan perhiasan emas dalam islam? Suatu pertanyaan sederhana yang memerlukan penjelasan ilmiah dalam menjawabnya, maka perlu pencarian alasan ilmiah terkait larangan penggunaan emas pada Pria tersebut.

Secara medis, laki-laki yang mengenakan perhiasan emas dalam jangka waktu lama akan berpotensi terkena Alzheimer, yaitu semacam penyakit yang mengakibatkan turunnya kemampuan fisik dan ingatan.

Hal ini disebabkan oleh migrasi emas yang terjadi karena meresapnya atom emas ke dalam lapisan kulit sehingga atom tersebut dapat ditemukan dalam jumlah melebihi kadarnya dan terkandung di dalam urine.

Sedangkan pada wanita, tumpukan atom emas tersebut dapat dikeluarkan bersamaan dengan haid, sehingga tidak membahayakan kesehatan.

Penelitian berkaitan dengan pengaruh emas terhadap sistem reproduksi Pria telah dilakukan sejak lama dan telah terpublikasi pada beberapa jurnal penelitian dimana penelitian-penlitian tersebut menunjukan efek negative dari emas terhadap sistem reproduksi pria Adapun penelitian tersebut diantaanya :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Wiwanitkit, dkk pada 2009 dilakukan studi invitro dimana dicampurkannya nano partikel emas pada sperma setelah 15 menit pencampuran terjadi penurunan motilitas (pergerakan) sperma sebesar 25% dibandingkan dengan kelompok yang tidak dicampur dengan nano partikel emas tersebut sehingga dari penelitian ini disimpulkan adanya resiko spermatoksisitas dari nano partikel emas ini.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Ciftci, dkk pada tahun 2012 dimana pada penelitian ini hewan uji diberikan emas yang dikompleks dengan N-heterocyclic carbanes (NHCs) menunjukan penurunan secara bermakana dari beberapa parameter yang bermakna secara statistik, adapaun parameter yang berubah adalah penurunan jumlah sperma hewan uji, penurunan motilitas sperma, penurunan kadar testosteron uji, serta adanya kerusakan secara histopathologi pada testis tikus.

3. Hasil Review yag dilakukan oleh Chandel, dkk tahun 2014 menyatakan bahwa logam berat memiliki efek negatif bagi tubuh salah satunya terhadap sistem reproduksi, dimana pada reproduksi pria dapat menyebabkan gangguan pada proses pembentuka sperma, penurunan jumlah sperma, gangguan motilitas, gangguan pada kadar testosteron dan penurunan libido serta kesuburan, salah satu logam berat yang dinyatakan dalam rivew artikel ini adalah emas dimana dapat merubah morpologi sperma dan menurunkan motilitasnya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله  الموفق  الى أقوم  الطريق*

Minggu, 13 November 2022

KAJIAN TENTANG POSISI IMAM DAN POSISI KEPALA SAAT MENSHALATKAN JENAZAH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Salah satu kewajiban orang yang masih hidup terhadap orang yang telah meninggal adalah menshalatkannya. Saat menjadi imam shalat jenazah, seseorang harus memiliki ilmu yang cukup karena makmum di belakangnya adalah tanggung jawabnya.

Hal yang harus diperhatikan saat menjadi imam shalat jenazah adalah posisi imam. Sebab, letak posisi imam saat menshalati jenazah perempuan berbeda dengan jenazah laki-laki.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang posisi imam yang benar ketika shalat jenazah, simak uraian berikut.

*Posisi Imam Shalat menurut hadits nabi*

Jika mayitnya adalah seorang wanita, maka imam berdiri *disisi tengah mayit.*

Samurah bin Jundub radliyallahu anhu berkata,

صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا

“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.” (HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602, an-Nasa’i: 390, at-Tirmidzi: 956, Abu Dawud: 2780 dan Ibnu Majah: 2780).

Dan jika si mayit adalah orang laki-laki, maka imam berdiri *disisi kepalanya.*

Abu Ghalib al-Khayyath berkata,

شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا

“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati atas jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalati atasnya!” Maka beliau pun menshalatinya dan berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah (pelajaran ini)!” (HR. Ahmad: 12640, at-Tirmidzi: 955 dan ia menilai hadits hasan, Abu Dawud: 2779 dan Ibnu Majah: 1483. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (4/453): “Perawi sanadnya adalah orang-orang tsiqat").

*Perbedaan Pandangan*

Pada hadits di atas tidak dijelaskan apakah posisi kepala jenazah berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia) ataukah di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia). Dari sinilah muncul perbedaan pandangan para ulama.

*Ulama Hanafiyah*

Menurut al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah, ulama bermadzab Hanafi yang wafat tahun 1252 H. Beliau menyatakan,

(قَوْلُهُ وَصَحَّتْ لَوْ وَضَعُوا إلَخْ) كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، وَفَسَّرَهُ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ مَعْزِيًّا لِلتَّتَارْخَانِيَّةِ بِأَنْ وَضَعُوا رَأْسَهُ مِمَّا يَلِي يَسَارَ الْإِمَامِ ا هـ فَأَفَادَ أَنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ رَأْسِهِ مِمَّا يَلِي يَمِينَ الْإِمَامِ كَمَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ ، وَلِهَذَا عَلَّلَ فِي الْبَدَائِعِ لِلْإِسَاءَةِ بِقَوْلِهِ لِتَغْيِيرِهِمْ السُّنَّةَ الْمُتَوَارَثَةَ

“(Ucapan pemilik matan “Dan shalat jenazahnya tetap sah jika mereka meletakkan…dst”): maksudnya (sebagaimana dalam al-Bada’i (Bada’ius Shana’i karya Al-Kasani), dan ditafsirkan dalam Syarh Al-Maniyyah)… adalah meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam. Selesai. Maka keterangan ini memberikan faedah bahwa as-Sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i  memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam) dengan ucapannya “karena mereka telah mengubah as-Sunnah yang turun temurun.” (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/282).

*Ulama Malikiyah*

Menurut penukilan al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Abdari rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 897 H. Beliau menukilkan,

(رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ) ابْنُ عَرَفَةَ : يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ فَلَوْ عَكَسَ فَقَالَ سَحْنُونَ وَابْنُ الْقَاسِمِ: صَلَاتُهُمْ مُجْزِئَةٌ عَنْهُمْ . ابْنُ رُشْدٍ : فَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ .

“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di sisi kiri), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka telah mencukupi (tidak usah diulang). Ibnu Rusyd (penulis Bidayatul Mujtahid) berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam).” (At-Taj wal Iklil Syarh Mukhtashar Khalil: 2/352).

Lain lagi menurut al-Allamah ad-Dasuqi rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 1230 H. Beliau berkata,

وَ( قَوْلُهُ رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ ) جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ مِنْ إمَامٍ وَ ( قَوْلُهُ إلَّا فِي الرَّوْضَةِ الشَّرِيفَةِ ) أَيْ فَإِنَّهُ يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَلَى يَسَارِ الْإِمَامِ جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ

“Dan ucapan matan (Kepala mayit di sebelah kanan imam) adalah jumlah yang menjadi hal dari imam. Dan ucapan matan (kecuali -jika mayit dishalatkan- di Raudlah yang mulia), maksudnya adalah bahwa kepala mayit diletakkan di kiri imam pada arah kuburan ar-Rasul yang mulia.” (Hasyiyah ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir: 4/149).

*Ulama Syafi’iyah*

Menurut al-Allamah Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 1221 H. Beliau menyatakan,

وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ

“Dan kepala mayit laki-laki diletakkan di sisi kiri imam dan sebagian besar tubuhnya di sisi kanannya, dengan menyelisihi apa yang dilakukan manusia sekarang. Adapaun mayit wanita dan banci, maka imam berdiri pada sisi pantatnya dan kepalanya di sisi kanannya, sesuai dengan kebiasaan manusia sekarang.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Minhaj: 4/500).

Begitu pula menurut penukilan al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 974 H. Beliau menukilkan,

وَفِي هَامِشِ الْمُغْنِي لِصَاحِبِهِ وَالْأَوْلَى كَمَا قَالَ السَّمْهُودِيُّ فِي حَوَاشِي الرَّوْضَةِ جَعْلُ رَأْسِ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ لِيَكُونَ مُعْظَمُهُ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ ا هـ

“Dan di dalam catatan kaki Al-Mughni (Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini) (terdapat keterangan) bahwa yang lebih utama sebagaimana pendapat as-Samhudi dalam Hasyiyah Ar-Raudlah (Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam. Selesai.” (Tuhfatul Muhtaj Syarh Minhajith Thalibin: 11/186).

*Ulama Hanabilah*

Menurut al-Allamah Abdullah bin al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, ulama Nejd terdahulu. Beliau berkata,

وأما صفة موضعهم بين يدي الإمام للصلاة عليهم، فتجعل رؤوسهم كلهم عن يمين الإمام، وتجعل وسط المرأة حذا صدر الرجل، ليقف الإمام من كل نوع موقفه، لأن السنة أن يقف عند صدر الرجل ووسط المرأة.

“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena menurut as-Sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Ad-Durarus Sunniyyah fil Kutubin Najdiyyah: 5/83).

*Ulama Salafiyyah Masa Kini*

Menurut asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ulama Madinah masa kini. Beliau ditanya,

السؤال: هل ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جعل رأس الميت في صلاة الجنازة عن يسار الإمام، ورأس المرأة عن يمينه؟ الجواب: كلهم يكونون عن يمينه، مثل وضعهم في القبر، ومثله لو صلى عليهم وهم في القبر، فإن الميت يكون في القبر مستقبل القبلة، وما نعرف شيئاً يدل على خلاف ذلك.

Pertanyaan: “Apakah terdapat keterangan yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam dan kepala mayit wanita di sebelah kanan imam?” Jawab: “Semua kepala mayit diletakkan di sebelah kanan imam seperti ketika diletakkan di kuburan. Demikian pula ketika menshalati mereka ketika mereka sudah dikubur. Maka si mayit di kuburannya menghadap kiblat dan kami tidak mengetahui keterangan yang menyelisihi ini.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 17/159).

Imam Bujairamy dalam kitab Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khathîb (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1996), jilid II, halaman 536 mengutip keterangan dari Syekh Ali Syibramalisy, sebagaimana pic screenshot (SS) dijelaskan,

وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ

“Kepala mayit laki-laki diletakkan di sebelah kiri imam -kaprahnya di sebelah kanan imam- berbeda dengan pengamalan orang saat ini. Adapun mayit perempuan dan khuntsa (orang yang berkelamin ganda) maka imam berdiri di sisi pantatnya sedangkan kepalanya ada di sebelah kanan imam sebagaimana pengamalan orang saat ini.” 

Dalam Kitab Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram juz 2 hal.228-229 Imam 'Alawi Abbas Al-Maliki dan Imam Hasan Sulaiman An-Nuri, menjelaskan,

إتفق العلماء على جواز وقوف الامام من الميت عند الصلاة عليه حيث شاء واختلفوا فى موقفه الأفضل وهذا الحديث يدل على المخالفة بين الرجل والمرأة فالأفضل أن يقف من المرأة عند وسطها ومن الرجل عند رأسه أما الواجب فهو إستقبال جزء من الميت رجلا كان أو إمرأة.

"Ulama sepakat akan kebolehan posisi imam berdiri dimana pun dia menghendaki dari mayit saat menshalatkannya. Perbedaan mereka dalam masalah posisi nya (imam) yang paling utama. Dan hadits ini menunjukkan perbedaan akan keutamaan jenazah laki-laki dan perempuan. Dan yang utama posisi (imam) berdiri untuk jenazah wanita ditengah-tengah dan untuk jenazah laki-laki di kepalanya. Adapun yang wajib adalah menghadap sebagian dari tubuh mayit laki-laki maupun perempuan."  Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم  الطريق*