MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 05 Desember 2022

MOHONLAH KETEGUHAN HATI DALAM IMAN DAN ISLAM KEPADA ALLAH TA'ALA

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan." (QS. Al-Anfaal : 24)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولُ: " يَا مُقَلِّب الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ". قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ، فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ تَعَالَى يُقَلِّبُهَا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut, "Wahai (Tuhan) yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu." Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu kami bertanya, 'Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau sampaikan, maka apakah engkau merasa khawatir terhadap iman kami?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Ya, sesungguhnya hati manusia itu berada di antara dua jari kekuasaan Allah Ta'ala. Dia membolak-balikkannya'.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Syahr bin Hawsyab berkata bahwa ia berkata pada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah,

يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ مَا كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَانَ عِنْدَكِ

“Wahai Ummul Mukminin, apa do’a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berada di sisimu?”

Ummu Salamah menjawab,

كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ « يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ ».

“Yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, ’Ya muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’.”

Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’. ”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.”

Setelah itu Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadits ini) membacakan ayat,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi, no. 3522; Ahmad, 6: 315. At-Tirmidzi)

*Kisah Kehidupan Syeikh Adil Al-Kalbani*

Syeikh Adil bin Salim bin Sa'id al-Kalbani (عادل بن سالم بن سعيد الكلباني‎) atau lebih dikenal dengan Adil al-Kalbani (lahir di Riyadh, 25 Ramadhan 1378 H/3 April 1959) adalah Imam salat tarawih di Masjidil Haram, Mekkah pada tahun 1429 H sebelumnya ia menjadi Imam di Masjid Jami Raja Khalid di Riyadh.

Mantan imam Masjidil Haram, Mekkah al-Mukarramah, Arab Saudi, Syeikh Adil al-Kalbani, menyampaikan “fatwa” yang membolehkan tarian atau joget dan bernyanyi pada acara-acara pesta.

Dalam sebuah penggalan video yang viral di kalangan netizen Arab terlihat al-Kalbani membacakan pertanyaan dari seseorang yang meminta fatwa kepadanya, “Manakah yang lebih baik antara berjoget/menari (raqs) dan bersorak sorai (tashfiq) saat menghadiri acara-acara pesta (haflah)?”

Dia lantas menjawab, “Laki-laki atau perempuan dituntut untuk berbuat apa yang dapat dia lakukan dengan baik, jika Anda dapat berjoget maka silakan berjoget, jika Anda dapat bersorak maka bersoraklah, dan jika Anda dapat bernyanyi maka bernyanyilah.” Na'udzubillahi min dzalik

Pernyataan al-Kalbani mengundang kontroversi dan kecaman di tengah netizen Arab. Sebagian netizen menyebutkan bahwa dia tak layak berfatwa karena seorang qari dan imam masjid. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق *

Minggu, 04 Desember 2022

KAJIAN TENTANG ORANG YANG BERHAK MENJADI IMAM SHALAT

Dalam pelaksanaan shalat berjama'ah peran seorang imam sangatlah penting, karena sah atau tidaknya shalat berjama'ah tergantung kepada sang imam. Kita pernah menemukan kondisi seperti bacaan imam yang salah atau kurang fasih, kemudian terdapat urutan-urutan shalat yang tidak tertib dikarenakan lupa atau ketidak tahuan imam, terdapat gerakan shalat yang dirasa aneh, dan sebagainya.

Untuk menjadi seorang imam dalam shalat, Islam telah mengatur syarat-syarat seorang menjadi imam shalat. Syarat menjadi imam shalat perlu kita pahami, agar kita tidak bermudah-mudah ketika menjadi seorang imam. Imam Shalat merupakan posisi yang sangat mulia, karena tidak semua orang bisa dijadikan imam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiripun memberikan kriteri-kriteria khusus bagi seorang yang akan dijadikan imam.

Walaupun imam dalam shalat merupakan posisi yang mulia, akan tetapi disana ada tanggung jawab besar yang dipikulnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

الإِمَامُ ضَامِنٌ

“Fungsi imam adalah sebagai penjamin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah)

Jika ia bisa memimpin shalat dengan baik, maka baginya dan para makmum pahala yang sempurna, akan tetapi jika imam ada kesalahan, maka kesalahan tersebut ditanggung oleh imam sendiri dan bagi makmum pahala yang sempurna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan petuah,

يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ [ولهم]، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Jika para imam yang shalat dengan kalian itu benar maka pahala bagi kalian semua, akan tetapi jika mereka melakukan kesalahan, bagi kalian pahalanya, kesalahannya hanya ditanggung oleh para imam tersebut.” (HR. Bukhari no.653)

Oleh karena itu mengetahui apa saja syarat menjadi imam shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, dan jangan sampai ada seorang yang bodoh, bacaan Al-Qur'annya rusak tidak tahu-menahu tentang hukum-hukum yang ada dalam shalat jama’ah kemudian dengan beraninya maju menjadi imam.

Atau seorang yang tidak tahu tentang rukun, kewajiban dan sunnah-sunnah shalat. saat ia meninggalkan satu rukun, misalkan sujud, dia bingung apa yang harus dilakukan, maka ini juga jangan berani-berani menjadi imam, apalagi disana ada seorang yang lebih faham dengan seluk-beluk terkait imam. Tetap pilihlah seorang yang paling tahu dikalangan jamaah.

Demikian halnya orang yang singgah di suatu masjid atau orang yang statusnya bukan imam tetap, hendaknya tidak bermudah-mudah maju menjadi imam shalat jama’ah di suatu masjid atau di suatu shalat jama’ah. Rasulullah Shallallahu’alaihi  wa sallam bersabda,

وَلا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ , وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ

“Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673).

Hadits ini menunjukkan terlarangnya seorang pendatang di suatu masjid atau tempat untuk maju padahal ada yang lebih berhak yaitu imam tetap atau pemilik tempat. Walaupun pendatang tersebut merasa lebih baik bacaan Qur’annya atau merasa lebih paham agama. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan,

مَعْنَاهُ : مَا ذَكَرَهُ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ : أَنَّ صَاحِب الْبَيْت وَالْمَجْلِس وَإِمَام الْمَسْجِد أَحَقّ مِنْ غَيْره ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْغَيْر أَفْقَه وَأَقْرَأ وَأَوْرَع وَأَفْضَل مِنْهُ وَصَاحِب الْمَكَان أَحَقّ فَإِنْ شَاءَ تَقَدَّمَ ، وَإِنْ شَاءَ قَدَّمَ مَنْ يُرِيدهُ

“Maknanya, sebagaimana disebutkan para ulama madzhab kami, bahwa pemilik rumah, atau pemilik majelis, atau imam (tetap) masjid, lebih berhak untuk menjadi imam daripada yang lain. Walaupun ada orang lain yang lebih alim (berilmu agama), lebih pandai membaca Al Qur’an dan lebih utama darinya. Dan pemilik tempat lebih berhak untuk menjadi imam. Ia bisa memilih apakah ia yang maju atau mempersilahkan orang lain untuk maju” (Syarah Shahih Muslim, 5/147).

Namun dibolehkan orang pendatang untuk menjadi imam jika diizinkan oleh imam tetap atau oleh pemilik tempat. Asy Syaukani  mengatakan,

وأكثر أهل العلم أنه لا بأس بإمامة الزائر بإذن رب المكان ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم في حديث أبي مسعود رضي الله عنه : ( إلا بإذنه )

“Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa orang yang sedang berkunjung menjadi imam DENGAN IZIN pemilik tempat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Ibnu Mas’ud; [kecuali diizinkan olehnya]” (Nailul Authar, 3/170).

Atau dibolehkan juga pendatang menjadi imam ketika imam tetap atau pemilik tempat ada udzur sehingga tidak bisa mengimami. Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan, 

وَحرم ان يؤم قبل راتب الا بِإِذْنِهِ اَوْ عذره اَوْ عدم كَرَاهَته

“Diharamkan seseorang menjadi imam sebelum imam ratib (tetap) datang, kecuali atas izin darinya atau ia ada udzur atau ia tidak membencinya” (Akhsharil Mukhtasharat, 120).

Hendaknya imam adalah orang yang alim (paham ilmu agama) bukan sekedar punya hapalan surat dalam Al-Qur'an. Terlepas dari penjelasan di atas, masyarakat terutama para pengurus masjid hendaknya memilih imam tetap shalat jama’ah dari orang-orang yang alim (paham agama) dan paling baik bacaan Al Qur’annya. Kriteria pemilihan imam telah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan,

يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه قال الأشجُّ في روايتِه ( مكان سِلمًا ) سِنًّا

“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”.

Dalam riwayat Al Asyaj (bin Qais) disebutkan: “yang paling tua usianya” untuk menggantikan: “yang paling dahulu masuk Islam” (HR. Muslim no. 673).

Imam rawatib (tetap) lebih berhak menjadi imam shalat.

Ini kriteria-kriteria pemilihan imam yang hendaknya diperhatikan oleh masyarakat dan para pengurus masjid. Namun andaikan orang yang lebih paham agama atau lebih baik bacaan Qur’annya datang ke suatu masjid yang ada imam ratib (tetap) di sana, maka imam ratib tersebut lebih berhak menjadi imam sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Dijelaskan dalam kitab fiqih Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, 

وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِمَنْ لَا يُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ وَالْمُرَادُ بِعَدَمِ إِحْسَانِ الْقِرَاءَةِ الَّذِي الْكَلَامُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ يُبَدِّلُ حَرْفًا بِآخَرَ أَوْ يَلْحَنُ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى أَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ فَلَا يَمْنَعُ الْوُجُوبَ. 

“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berjamaah dengan imam yang tidak baik bacaan Al-Qur’annya. Yang dimaksud dengan ‘Tidak baik bacaan Al-Qur’annya’ dalam pembahasan ini adalah sekiranya ia mengganti suatu huruf dengan huruf yang lain, atau ia membaca lahn (keliru) yang mengubah terhadap makna kata. Adapun selain ketentuan di atas, maka tetap tidak mencegah terhadap wajibnya (berjamaah shalat jum’at)” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 152) 

Ironisnya, keadaan masjid yang bacaan imamnya banyak yang keliru, sering ditemukan di banyak tempat. Bagi orang yang mengerti tentang ketentuan hukum ini, bermakmum pada imam tersebut adalah sebuah masalah tersendirian.

Dalam hal ini, tindakan yang paling maslahat baginya adalah tetap mengikuti shalat di masjid dengan imam yang bacaannya keliru, namun shalatnya ia niati shalat sendirian (munfarid), bukan niat berjamaah pada imam yang bacaannya keliru tersebut. Hal ini terus ia lakukan sambil berkompromi dengan pihak takmir masjid agar mengupayakan figur yang menjadi imam masjid bisa diganti dengan orang lain yang bacaan Al-Qur’annya benar, sehingga shalat para makmum yang shalat di masjid menjadi sah secara syara’. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat.  Aamiin

*والله الموفق  الى أقوم الطريق*

Kamis, 01 Desember 2022

EDISI KHUTBAH JUM'AT DALAM MEMAKNAI MUSIBAH SEBAGAI UJIAN, TEGURAN ATAU ADZAB

*Khutbah Pertama*

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ، 

أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ، 

فقد قال الله فى كتابه الكريم وهو أصدق القائلين :

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ . وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْقَدِيْرِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر: ١٠) 

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,*

Dunia adalah ‘arena’ bagi manusia untuk berlomba-lomba mengumpulkan amalan shaleh untuk bekal kehidupan akhirat kelak. Namanya lomba sudah pasti tak akan lepas dari yang namanya ‘halangan’ dan ‘rintangan.’ Dalam kehidupan nyata, rintangan ini adalah ujian yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji kesabaran dan ketaatannya.

Namun, Allah SWT tak hanya menurunkan ujian tapi juga menurunkan musibah (teguran) dan adzab. Lalu, apa perbedaan dari ketiga istilah tersebut?

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,*

Ujian yang secara bahasa berarti ikhtibar (penyelidikan) dan imtihan (percobaan), baik berupa kesulitan maupun kesenangan, kebaikan maupun keburukan. Allah SWT memberikan ujian kepada manusia dengαn tujuan menguji siapa hamba-Nya yang bersyukur atas ujian nikmat yang diperoleh dan siapa yang bersabar atas kesulitan yang menimpanya, agar diketahui siapa diantara hambaNya yang paling baik paling amalnya.

Untuk mengetahui tujuan diberikan ujian, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah 155-156,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ. اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS. Al-Baqarah : 155-156)

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,*

Musibah secara bahasa identik dengan teguran atau peringatan yαng sudah menjadi ketentuan Allah SWT terjadi karena kesalahan yαng kita perbuat. Apabila Allah menghendaki kebaikan, maka Allah SWT menyegerakan hukumannya dengan cara ‘ditegur’ di dunia sehingga ia menjadi lebih baik dan suci dari dosa. Namun apabila Allah SWT tidak mencintai hamba-Nya, ia akan tunda hukumannya akibat perbuatan dosa-dosanya dan akan ditunaikan di akhirat kelak.

Allah berfirman,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi." (QS. An-Sa' : 79)

Sudah sangat jelas bahwa musibah datang dari diri sendiri. Dengan musibah sesungguhnya Allah hendak membersihkan kita dari tumpukan dosa.

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,*

Adapun adzab adalah siksaan yang Allah berikan kepada orang-orang kafir baik di dunia maupun akhirat berupa musibah dan adzab di dunia sementara adzab yαng lebih besar menanti di akhirat.

Sementara turunnya adzab dikarenakan, “diuji tidak lulus, ditegur tidak sadar-sadar. Maka dikirimlah adzab.” Na'udzubillah

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرٰى حَتّٰى يَبْعَثَ فِيْٓ اُمِّهَا رَسُوْلًا يَّتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهْلِكِى الْقُرٰىٓ اِلَّا وَاَهْلُهَا ظٰلِمُوْنَ

“Allah tidak akan mengazab suatu kota, sehingga Allah kirimkan Rasul yang menyampaikan ayat-ayat Allah kepada mereka, dan Allah mengazab suatu kota kalau mereka berbuat dzalim,” (QS. Al-Qashash : 59)

*Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,*

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ      

*Khutbah Kedua*

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.  أَمَّا بَعْدُ، 

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، 

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. 

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Rabu, 30 November 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM PANGGILAN HAJI BAGI ORANG YANG BELUM BERHAJI DAN BARU MENUNAIKAN UMRAH

Orang yang sedang melakukan haji, disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan sebutan Haji. Allah berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. At-Taubah: 19).

Dr. Bakr Abu Zaid mengatakan,

وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج . وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون

"Kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat islam (dimasa Rasulullah dan para sahabat)."

Ada juga riwayat hadits mursal mawqûf dalam Sunan al-Baihaqî yang disandarkan pada sahabat, Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan,

وَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إِنِّى حَاجٌّ فَإِنَّ الْحَاجَّ هُوَ الْمُحْرِمُ

*Tidak pantas di antara kalian mengatakan saya adalah Haji karena Haji adalah muhrim (orang yang ihram)." (HR. Baihaqi)

Imam An-Nawawi mengatakan,

يجوز أن يقال لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ، وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم : إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع

Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus." (Al-Majmu’, 8/281).

olehkan? Sebab sebelum masa beliau gelar Haji sudah dikenal, khususnya pada ayahanda beliau sendiri:

ﻭﻓﻴﻬﺎ (٦٨٢) ﻛﺎﻧﺖ ﻭﻓﺎﺓ: اﻟﺤﺎﺝ ﺷﺮﻑ اﻟﺪﻳﻦ اﺑﻦ ﻣﺮﻯ، ﻭاﻟﺪ اﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻴﻲ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ.

"Pada tahun 682 wafat Haji Syarofuddin, ayahnya Syekh Muhyiddin An-Nawawi rahimahullah (Ibnu Katsir, Al Hidayah wan Nihayah 13/363)."

Panggilan “haji” atau “hajah” pada umumnya disematkan kepada orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Tetapi, panggilan penghormatan ini juga seringkali diberikan kepada orang yang belum berhaji. Lantas, bagaimana hukum memanggil “haji” terhadap orang yang belum berhaji?

Dalam Islam, terdapat anjuran untuk saling menghargai dengan cara memanggil nama yang disenangi. Perbuatan ini juga merupakan salah satu dari beberapa adab berteman yang baik.

Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman 444 berikut,

آداب الإخوان: الاستبشار بهم عند اللقاء، والابتداء بالسلام، والمؤانسة والتوسعة عند الجلوس، والتشييع عند القيام، والإنصات عند الكلام، وتكره المجادلة في المقال، وحسن القول للحكايات، وترك الجواب عند انقضاء الخطاب، والنداء بأحب الأسماء

“Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului ber uluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”

*Hukum Memanggil Haji Bagi yang Belum Haji*

Namun demikian, panggilan penghormatan “haji” atau “hajah” terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta.

Tetapi kalau “haji” atau “hajah” diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan. ‘Sebagaimana dalam kitab Hasiyah jamal, juz 2, halaman 372 berikut,

وقع السؤال مما يقع كثيرا فى مخاطبة الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام ام لا

"Terdapat suatu pertanyaan tentang kejadian yang banyak terjadi berkenaan dengan panggilan sebagian orang kepada yang lainnya berupa perkataan mereka, “Wahai Haji Fulan” untuk memuliakan padahal i belum belum melakukan haji, apakah ini haram atau tidak?"

والجواب عنه ان الظاهر الحرمة لانه كذب الى ان قال نعم ان اراد بيا حاج فلان المعنى اللغوى وقصد به معنى صحيحا كان اراد بيا حاج يا قاصد التوجه الى كذا كالجماعة او غيرها فلا حرمة.

"Jawabannya, secara dzahir hukumnya haram karena orang itu telah berdusta. (Sampai pada perkataan) Ya, tetapi jika dengan ungkapan “Wahai Haji Fulan bertujuan berdasarkan makna bahasa, seperti ia bermaksud dengan ucapan “Wahai Haji” dengan “Wahai orang yang sengaja untuk menuju tempat tertentu, seperti perkumpulan orang atau yang lainnya, maka tidak haram." (Hasyiyah al-Jamal, Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal Juz II hal: 372).

Menurut Syekh Ali Syibramalisi, panggilan penghormatan “haji” atau “hajah” dalam arti ibadah haji terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta. Tetapi kalau “haji” atau “hajah” diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan.  

نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا ، كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ 

“Tetapi jika panggilan ‘pak haji’ dimaksudkan maknanya secara harfiah, (bukan secara istilah) dan diniatkan dengan pengertian harfiah yang benar, (seperti panggilan ‘pak haji’ dimaksudkan ‘pak yang hendak menuju shalat berjamaah atau lainnya) maka tidak haram,” (Syekh Ali Syibramlisi, Hasyiyah Ali Syibramalisi ala Nihayatil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2003 M/1424 H], juz III, halaman 242).

*Panggilan Haji/Hajjah bagi yang telah umroh* 

Dalam penjelasan hadits nabi bahwa haji dan umroh keduanya adalah kewajiban, maka hukumnya sah-sah saja menyebut panggilan haji/hajjah kepada orang yang baru menjalankan ibadah umroh. Bahkan di arab saudi para askar memanggil orang yang sedang umroh dengan panggilan haji/hajjah.

Dalam satu riwayat, Aisyah rah bertanya kepada Rasulullah,

يا رسول الله, هل على النّساء جهاد؟ قال نعم جهاد لا قتال فيه : الحج و العمرة

“Ya Rasulallah, adakah atas perempuan kewajiban jihad? Beliau menjawab iya, jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni haji dan umrah.”

Abu Ruzain pernah mendatangi Rasulullah dan bertanya tentang permasalahan ayahnya,

يا رسول الله, انّ ابي شيخ كبير لا يستطيع الحج و العمرة ولا الظعن؟ قال حج عن ابيك واعتمر

“Ya Rasulallah, sesungguhnya ayahku adalah orang yang sangat tua dan tidak bisa berangkat haji dan umrah serta tidak bisa berjalan. Nabi menjawab: Berhajilah sebagai ganti ayahmu dan berumrahlah.”

Hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Jabir, 

الحج والعمرة فريضتان

“Haji dan umrah adalah wajib keduanya.” (At-Tirmisyi: 8-9)

Sementara dalil yang mengatakan ibadah umroh sebagai ibadah sunnah adalah hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Jabir bin Abdulllah,

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العمرة أ واجبة هي؟ قال لا وان تعتمر فهو افضل

“Rasulullah Saw ditanya, apakah umrah itu hukumnya wajib? Rasulullah menjawab: Tidak. Jika kamu melaksanakanya itu lebih utama.” (HR. At-Tirmidzi)

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 24 November 2022

KAJIAN TENTANG TATA CARA DAN ETIKA BERDO'A (MEMOHON) KEPADA ALLAH TA'ALA

Dalam sebuah video viral tentang penyampaian tata cara berdoa kepada Allah Ta'ala oleh seorang ustadz kondang bahwasanya berdoa itu boleh dengan cara iseng, bahkan terucap kata-kata bahwa Allah ngaco menjadi tuhan, Na'udzubillah.

Dia juga mengatakan, "boleh ga ngomong gitu sama Alah? Boleh, sama manusia yang ga boleh mah banyak aturan, ama Allah mah ga ada aturan." Astaghfirullah.

Islam adalah agama yang mengatur segala sesuatu berlandaskan syariat dan akhlak terlebih dalam berdoa kepada Allah Ta'ala.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam Ghunyatul Thalibin menjelaskan, 

أن يمد يديه ويحمد الله تعالى ويصلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يسأله الله حاجته ولا ينظر إلى السماء في حاله دعائه، وإذا فرغ يديه مسح يديه على وجهه، لما روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: سلوا الله ببطون أكفكم 

“Dianjurkan pada saat berdoa membentangkan kedua tangan, mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian baru setelah itu mengutarakan permintaan dan permohonan. Jangan menghadap langit pada saat berdoa. Ketika selesai berdo'a usaplah kedua tangan ke wajah. Dalam sebuah riwayat disebutkan Rasulullah berkata, ‘Mintalah kepada Allah dengan batin telapak tangan.’  

Dari penjelasan Syekh Abdul Qadir di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat berdoa adalah membentangkan kedua telapak tangan pada saat berdoa, seperti orang yang sedang memohon dan meminta.

Inilah diantara adab dan cara berdoa dalam Islam, berikut dalil keterangan dari kitab suci Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

*Pertama,* berdoa dengan suara lembut dan merendah (jika berdoa sendirian). Firman Allah, 

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55).

*Kedua,* diawali memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, 

عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ، فَقَالَ رَسُوْلَُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّيْ إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِاللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَيَّ ثُمَّ ادْعُهُ قَالَ ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ فَحَمِدَ اللهَ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا الْمُصَلِّي ادْعُ تُجَبْ.

Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a, ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’ Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’ Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat dia berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a, berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi (no. 3476) dan Abu Dawud (no. 1481)

Imam An-Nawawi berkata tentang ini,

أجمع العلماءُ على استحباب ابتداء الدعاء بالحمد لله تعالى والثناء عليه، ثم الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكذلك تختم الدعاء بهما

“Para ulama sepakat akan mustahabnya memulai doa dengan memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya kemudian bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga menutup doa dengan keduanya.” (Al-Adzkar lin Nawawi hal: 117)

*Ketiga,* menghadap kiblat. Abdullah bin Zaid al-Mazini ra., menuturkan, “Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari beliau keluar untuk shalat istisqa, beliau membelakangi manusia dan menghadap kiblat untuk berdoa.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Umar bin Khottob bercerita kepadanya dalam sebuah hadits yang panjang,

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ، وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا، فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ، ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ، فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ: «اللهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ»، فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ، مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ……

“Saat perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandang kaum musyrikin. Jumlah mereka seribu orang. Sedangkan para sahabat berjumlah 319 orang. Maka Nabiyullah shallallah ‘alaihi wasallam pun menghadap kiblat, lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya Allah, aku memohon pada-Mu agar berkenan menunaikan janji-Mu untukku. Ya Allah, karuniakanlah untukku apa yang telah Kau janjikan. Ya Allah, seandainya Engkau membinasakan pasukan kaum muslimin, niscaya Engkau tidak lagi disembah di muka bumi”. Beliau terus memohon kepada Allah, seraya mengangkat kedua tangannya menghadap kiblat……” (HR. Muslim no. 1763)

*Keempat,* mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah. Tenang saja ini bukan bid’ah. Dijelaskan dalam Bulughul Maram. Dari Umar ra., berkata, “Apabila Nabi mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, Nabi tidak akan mengembalikan kedua tangannya sehingga mengusapkan pada wajahnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra, 

إذا دعوت الله فادع بباطن كفيك ولا تدع بظهورهما فاذا فرغت فامسح بهما  وجهك (رواه ابن ماجه)

"Apabila engkau memohon kepada Allah, maka bermohonlah dengan bagian dalam kedua telapak tanganmu, dan jangan dengan bagian luarnya. Dan ketika kamu telah usai, maka usaplah mukamu dengan keduanya." (HR. Ibnu Majah)

*Kelima,* mengucap lafadz ‘Amin’ di akhir doa. Rasulullah 

Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ketika kalian membaca ‘amin’, dan malaikat membaca ‘amin’ di langit, ketika keduanya saling bersamaan, maka dosa pengucapnya yang terdahulu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari).

*Keenam,* memerhatikan waktu dan tempat. Ini terkait dengan waktu-waktu mustajab dalam berdoa. Misalnya ketika turun hujan, waktu antara adzan dan iqamat, ketika tahajjud atau di sepertiga malam terakhir hingga ketika hari Arafah. “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi).

*Ketujuh,* Bersungguh-sungguh dalam berdo'a.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ وَلاَيَقُوْلَنَّ اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ.

‘Apabila salah seorang di antara kalian berdo’a maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata, ‘Ya Allah, apabila Engkau sudi, maka kabulkanlah do’aku ini,’ karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. al-Bukhari (no. 6338) dan Muslim.

Itulah diantara adab dalam berdoa yang perlu diketahui. Dengan berdoa sesuai adabnya, maka mudah-mudahan Allah akan mengabulkan doa-doa kita.

Demikian Ibnu Mas'ud At-Ta'addudi menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 16 November 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MEMAKAI CINCIN EMAS, PERAK DAN BATU MULIA BAGI PRIA

Memakai perhiasan emas sudah lumrah bagi perempuan. Emas dipakai sebagai aksesoris, seperti kalung, anting, cincin, gelang, dan lain sebagainya. Emas juga dijadikan sebagai investasi, aset, dan simpanan di rumah. Bagaimana dengan hukum memakai emas bagi lelaki? 

Emas adalah logam mulia yang disukai oleh banyak orang. Emas memiliki fungsi sebagai alat tukar dan perhiasan. Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan hukum emas sebagai perhiasan.

Sahabat Abu Hurairah ra. meriwayatkan,

أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ

"Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk memakai cincin emas." (HR. Muslim no. 2089).

Ulama hadits mazhab Syafi'i, Imam Al-Munawi menjelaskan bahwa hadits ini berlaku hanya kepada laki-laki berdasarkan sabda Rasulullah 

Shalallahu 'alaihi wa sallam. Suatu saat, beliau mengambil sutera lalu meletakkannya di salah satu tangan beliau, dan emas di tangan lainnya. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي

"Sesungguhnya kedua barang ini haram bagi laki-laki dari umatku." (HR. Abu Dawud no. 4057; Imam Nawawi menilai hadits ini hasan).

Dalam riwayat Imam Tirmidzi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menambahkan,

وَأُحِلَّ لإِنَاثِهِمْ

"Dan (emas dan sutra ini) halal bagi para perempuan (dari umatku)." (HR. Tirmidzi no. 1720, Imam Nawawi menilai hadits ini hasan shahih).

Sahabat Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihat cincin emas dipakai oleh seorang laki-laki. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mencabut lalu membuang cincin itu dari tangan lelaki itu.

Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda,

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ

"Salah seorang dari kalian telah sengaja mengambil batu api neraka dan meletakkannya di tangannya." (HR. Muslim no. 2090).

Ulama fikih dan hadits mazhab Maliki, Al-Qadhi ‘Iyadh, menjelaskan bahwa hadits diatas adalah dalil keharaman memakai emas bagi kaum lelaki. Hadits ini sekaligus menghapus kebolehan menggunakan cincin emas sebelumnya, di mana Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melakukannya langsung di mimbar agar dilihat oleh seluruh sahabat. Dan larangannya sudah jelas melalui perkataan dan perbuatan beliau.

Imam Nawawi juga berpendapat bahwa laki-laki haram memakai cincin emas berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama fikih empat mazhab. Begitu pula jika cincin itu terbuat dari sebagian emas dan sebagian perak. Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menyatakan,

وكذا لو كان بعضه ذهبا وبعضه فضة حتى قال أصحابنا : لو كانت سن الخاتم ذهبا ، أو كان مموها بذهب يسير ، فهو حرام لعموم الحديث الآخر في الحرير والذهب ( إن هذين حرام على ذكور أمتي حل لإناثها

"Bagitu juga haram memakai cincin yang sebagian bahannya terbuat dari emas dan sebagiannya lagi dari perak. Kalangan ulama Syafi'i mengatakan: Apabila pada cincin terbuat dari emas, atau dilapisi dengan sedikit emas maka hukumnya haram karena keumuman hadits yang melarang pemakaian sutra dan emas." (Syarh Shahih Muslim, 14/32)

Ulama fikih telah menyepakati  bahwa hukum memakai emas diharamkan bagi lelaki, dan diperbolehkan bagi perempuan. Keharaman memakai emas bagi lelaki itu berupa emas kuning yang umun dijual di pasar atau toko emas. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat,  prodosen emas menciptakan inovasi baru, dengan menggarap emas putih,  sehingga emas putih bersaingan di pasaran dengan emas kuning.

*Hukum Memakai Cincin Emas Putih Bagi Pria*

Mutfi Asal Mesir  Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad rahimahullah memberikan rekomendasi kebolehan bagi laki-laki untuk memakai emas putih (platinum). Beliau menyatakan pendapatnya yang termuat di lembaga fatwa Mesir Dar Al-ifta’ Al-Misriyah (hlm. 115) sebagai berikut,

وقد يطلق الذهب الأبيض على السبيكة المكونة من خليط الذهب الأصفر مع البلاديوم أو غيره، وهذا قد انقسم أهل العلم فيه إلى مبيح ومانع، والأورع ترك استعمال الرجال له؛ إلحاقًا له بالذهب الأصفر المعروف.  وعليه:  فإذا كان المقصود بالذهب الأبيض البلاتين فهو حلالٌ بالإجماع، وإن كان المقصود سبيكة البلاديوم أو غيره مع الذهب الأصفر فالأورع تركه للرجال

"Terkadang, nama emas putih juga digunakan untuk menyebut campuran antara emas kuning dan platinum atau unsur lainnya. Untuk model emas putih yang terakhir ini, para ulama berbeda pendapat antara membolehkan dan melarangnya. Yang terbaik adalah bersikap hati-hati dengan tidak memakainya, karena menganggapnya sama dengan emas kuning. Maka jika yang dimaksud dengan emas putih dalam pertanyaan adalah platinum, maka berdasarkan ijma’ ia halal untuk dipakai oleh lelaki. Namun, jika yang dimaksud adalah campuran antara platinum (atau lainnya) dan emas kuning, maka sebaiknya tidak dipakai oleh laki-laki sebagai implementasi dari sikap wara’."

Emas putih bahan pembuatannya berbeda dengan emas kuning, tetapi label penamaannya tetaplah emas. Walaupun fatwa Syaikh Ali Jum’ah Muhammad membolehkan, tapi alangkah baiknya lelaki tidak memakainya sebagai bentuk kehati-hatian (wara’) karena ulama sudah menyepakati keharaman memakai emas bagi laki laki.

*Hukum Cincin Perak bagi Pria*

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa cincin perak dibolehkan bagi pria. Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَتَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كِتَابًا – أَوْ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ – فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لاَ يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلاَّ مَخْتُومًا . فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis atau ingin menulis. Ada yang mengatakan padanya, mereka tidak membaca kitab kecuali dicap. Kemudian beliau mengambil cincin dari perak yang terukir nama ‘Muhammad Rasulullah’. Seakan-akan saya melihat putihnya tangan beliau.” (HR. Bukhari no. 65 dan Muslim no. 2092)

Dalam Al-Muntaqo Syarh Muwatho’ (2/90), disebutkan bahwa perak bagi pria dibolehkan dalam tiga penggunaan, yaitu pedang, cincin dan mushaf.

Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata,

ويجوز التختم بنحو الحديد والنحاس والرصاص بلا كراهة وخبر مالي أرى عليك حلية أهل النار لرجل وجده لابسا خاتم حديد ضعيف لكن حسنه بعضهم فالأولى ترك ذلك

"Boleh mengenakan cincin dari besi, tembaga, kuningan tanpa makruh. Adapun hadits seperti diatas (yang melarang memakai cincin dari besi, tembaga dan kuningan) adalah dha’if (lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah) namun sebagian ulama menilai sebagai hadits hasan. Maka yang terbaik adalah tidak mengenakannya." (Al-Iqna’ Fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’)

Lantas bagaimana hukumnya Pria memakai cincin batu mulia? Menurut Imam Syafi’i hukum memakai batu mulia atau batu akik seperti batu yaqut, zamrud dan lainnya adalah mubah sepanjang tidak untuk berlebih-lebihan dan menyombongkan diri.

قَالَ الشَّافِعِيُّ- وَلَا أَكْرَهُ لِلرِّجَالِ لُبْسَ اللُّؤْلُؤِ إلَّا لِلْأَدَبِ وَأَنَّهُ مِنْ زِيِّ النِّسَاءِ لَا لِلتَّحْرِيمِ وَلَا أَكْرَهُ لُبْسَ يَاقُوتٍ أَوْ زَبَرْجَدٍ إِلَّا مِنْ جِهَةِ السَّرَفِ وَالْخُيَلَاءِ

“Imam Syafii berkata dalam kitab al-Umm, saya tidak memakruhan laki-laki memakai mutiara kecuali karena terkait dengan etika dan mutiara itu termasuk dari aksesoris perempuan, bukan karena haram. Dan saya tidak memakrukan (laki-laki, pent) memakai yaqut atau zamrud kecuali jika berlebihan dan untuk menyombongkan (diri)”. (Muhammad Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Bairut-Dar al-Ma’rifah, 1393 H, juz, 1, h. 221)

*Kajian Ilmiah Pengaruh Emas Pada Sistem Reproduksi Pria.*

Ada pertanyaan kenapa Pria dilarang menggunakan perhiasan emas dalam islam? Suatu pertanyaan sederhana yang memerlukan penjelasan ilmiah dalam menjawabnya, maka perlu pencarian alasan ilmiah terkait larangan penggunaan emas pada Pria tersebut.

Secara medis, laki-laki yang mengenakan perhiasan emas dalam jangka waktu lama akan berpotensi terkena Alzheimer, yaitu semacam penyakit yang mengakibatkan turunnya kemampuan fisik dan ingatan.

Hal ini disebabkan oleh migrasi emas yang terjadi karena meresapnya atom emas ke dalam lapisan kulit sehingga atom tersebut dapat ditemukan dalam jumlah melebihi kadarnya dan terkandung di dalam urine.

Sedangkan pada wanita, tumpukan atom emas tersebut dapat dikeluarkan bersamaan dengan haid, sehingga tidak membahayakan kesehatan.

Penelitian berkaitan dengan pengaruh emas terhadap sistem reproduksi Pria telah dilakukan sejak lama dan telah terpublikasi pada beberapa jurnal penelitian dimana penelitian-penlitian tersebut menunjukan efek negative dari emas terhadap sistem reproduksi pria Adapun penelitian tersebut diantaanya :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Wiwanitkit, dkk pada 2009 dilakukan studi invitro dimana dicampurkannya nano partikel emas pada sperma setelah 15 menit pencampuran terjadi penurunan motilitas (pergerakan) sperma sebesar 25% dibandingkan dengan kelompok yang tidak dicampur dengan nano partikel emas tersebut sehingga dari penelitian ini disimpulkan adanya resiko spermatoksisitas dari nano partikel emas ini.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Ciftci, dkk pada tahun 2012 dimana pada penelitian ini hewan uji diberikan emas yang dikompleks dengan N-heterocyclic carbanes (NHCs) menunjukan penurunan secara bermakana dari beberapa parameter yang bermakna secara statistik, adapaun parameter yang berubah adalah penurunan jumlah sperma hewan uji, penurunan motilitas sperma, penurunan kadar testosteron uji, serta adanya kerusakan secara histopathologi pada testis tikus.

3. Hasil Review yag dilakukan oleh Chandel, dkk tahun 2014 menyatakan bahwa logam berat memiliki efek negatif bagi tubuh salah satunya terhadap sistem reproduksi, dimana pada reproduksi pria dapat menyebabkan gangguan pada proses pembentuka sperma, penurunan jumlah sperma, gangguan motilitas, gangguan pada kadar testosteron dan penurunan libido serta kesuburan, salah satu logam berat yang dinyatakan dalam rivew artikel ini adalah emas dimana dapat merubah morpologi sperma dan menurunkan motilitasnya. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله  الموفق  الى أقوم  الطريق*

Minggu, 13 November 2022

KAJIAN TENTANG POSISI IMAM DAN POSISI KEPALA SAAT MENSHALATKAN JENAZAH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Salah satu kewajiban orang yang masih hidup terhadap orang yang telah meninggal adalah menshalatkannya. Saat menjadi imam shalat jenazah, seseorang harus memiliki ilmu yang cukup karena makmum di belakangnya adalah tanggung jawabnya.

Hal yang harus diperhatikan saat menjadi imam shalat jenazah adalah posisi imam. Sebab, letak posisi imam saat menshalati jenazah perempuan berbeda dengan jenazah laki-laki.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang posisi imam yang benar ketika shalat jenazah, simak uraian berikut.

*Posisi Imam Shalat menurut hadits nabi*

Jika mayitnya adalah seorang wanita, maka imam berdiri *disisi tengah mayit.*

Samurah bin Jundub radliyallahu anhu berkata,

صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا

“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.” (HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602, an-Nasa’i: 390, at-Tirmidzi: 956, Abu Dawud: 2780 dan Ibnu Majah: 2780).

Dan jika si mayit adalah orang laki-laki, maka imam berdiri *disisi kepalanya.*

Abu Ghalib al-Khayyath berkata,

شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا

“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati atas jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalati atasnya!” Maka beliau pun menshalatinya dan berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah (pelajaran ini)!” (HR. Ahmad: 12640, at-Tirmidzi: 955 dan ia menilai hadits hasan, Abu Dawud: 2779 dan Ibnu Majah: 1483. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (4/453): “Perawi sanadnya adalah orang-orang tsiqat").

*Perbedaan Pandangan*

Pada hadits di atas tidak dijelaskan apakah posisi kepala jenazah berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia) ataukah di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia). Dari sinilah muncul perbedaan pandangan para ulama.

*Ulama Hanafiyah*

Menurut al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah, ulama bermadzab Hanafi yang wafat tahun 1252 H. Beliau menyatakan,

(قَوْلُهُ وَصَحَّتْ لَوْ وَضَعُوا إلَخْ) كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، وَفَسَّرَهُ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ مَعْزِيًّا لِلتَّتَارْخَانِيَّةِ بِأَنْ وَضَعُوا رَأْسَهُ مِمَّا يَلِي يَسَارَ الْإِمَامِ ا هـ فَأَفَادَ أَنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ رَأْسِهِ مِمَّا يَلِي يَمِينَ الْإِمَامِ كَمَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ ، وَلِهَذَا عَلَّلَ فِي الْبَدَائِعِ لِلْإِسَاءَةِ بِقَوْلِهِ لِتَغْيِيرِهِمْ السُّنَّةَ الْمُتَوَارَثَةَ

“(Ucapan pemilik matan “Dan shalat jenazahnya tetap sah jika mereka meletakkan…dst”): maksudnya (sebagaimana dalam al-Bada’i (Bada’ius Shana’i karya Al-Kasani), dan ditafsirkan dalam Syarh Al-Maniyyah)… adalah meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam. Selesai. Maka keterangan ini memberikan faedah bahwa as-Sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i  memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam) dengan ucapannya “karena mereka telah mengubah as-Sunnah yang turun temurun.” (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/282).

*Ulama Malikiyah*

Menurut penukilan al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Abdari rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 897 H. Beliau menukilkan,

(رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ) ابْنُ عَرَفَةَ : يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ فَلَوْ عَكَسَ فَقَالَ سَحْنُونَ وَابْنُ الْقَاسِمِ: صَلَاتُهُمْ مُجْزِئَةٌ عَنْهُمْ . ابْنُ رُشْدٍ : فَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ .

“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di sisi kiri), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka telah mencukupi (tidak usah diulang). Ibnu Rusyd (penulis Bidayatul Mujtahid) berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam).” (At-Taj wal Iklil Syarh Mukhtashar Khalil: 2/352).

Lain lagi menurut al-Allamah ad-Dasuqi rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 1230 H. Beliau berkata,

وَ( قَوْلُهُ رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ ) جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ مِنْ إمَامٍ وَ ( قَوْلُهُ إلَّا فِي الرَّوْضَةِ الشَّرِيفَةِ ) أَيْ فَإِنَّهُ يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَلَى يَسَارِ الْإِمَامِ جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ

“Dan ucapan matan (Kepala mayit di sebelah kanan imam) adalah jumlah yang menjadi hal dari imam. Dan ucapan matan (kecuali -jika mayit dishalatkan- di Raudlah yang mulia), maksudnya adalah bahwa kepala mayit diletakkan di kiri imam pada arah kuburan ar-Rasul yang mulia.” (Hasyiyah ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir: 4/149).

*Ulama Syafi’iyah*

Menurut al-Allamah Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 1221 H. Beliau menyatakan,

وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ

“Dan kepala mayit laki-laki diletakkan di sisi kiri imam dan sebagian besar tubuhnya di sisi kanannya, dengan menyelisihi apa yang dilakukan manusia sekarang. Adapaun mayit wanita dan banci, maka imam berdiri pada sisi pantatnya dan kepalanya di sisi kanannya, sesuai dengan kebiasaan manusia sekarang.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Minhaj: 4/500).

Begitu pula menurut penukilan al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 974 H. Beliau menukilkan,

وَفِي هَامِشِ الْمُغْنِي لِصَاحِبِهِ وَالْأَوْلَى كَمَا قَالَ السَّمْهُودِيُّ فِي حَوَاشِي الرَّوْضَةِ جَعْلُ رَأْسِ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ لِيَكُونَ مُعْظَمُهُ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ ا هـ

“Dan di dalam catatan kaki Al-Mughni (Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini) (terdapat keterangan) bahwa yang lebih utama sebagaimana pendapat as-Samhudi dalam Hasyiyah Ar-Raudlah (Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam. Selesai.” (Tuhfatul Muhtaj Syarh Minhajith Thalibin: 11/186).

*Ulama Hanabilah*

Menurut al-Allamah Abdullah bin al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, ulama Nejd terdahulu. Beliau berkata,

وأما صفة موضعهم بين يدي الإمام للصلاة عليهم، فتجعل رؤوسهم كلهم عن يمين الإمام، وتجعل وسط المرأة حذا صدر الرجل، ليقف الإمام من كل نوع موقفه، لأن السنة أن يقف عند صدر الرجل ووسط المرأة.

“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena menurut as-Sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Ad-Durarus Sunniyyah fil Kutubin Najdiyyah: 5/83).

*Ulama Salafiyyah Masa Kini*

Menurut asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ulama Madinah masa kini. Beliau ditanya,

السؤال: هل ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جعل رأس الميت في صلاة الجنازة عن يسار الإمام، ورأس المرأة عن يمينه؟ الجواب: كلهم يكونون عن يمينه، مثل وضعهم في القبر، ومثله لو صلى عليهم وهم في القبر، فإن الميت يكون في القبر مستقبل القبلة، وما نعرف شيئاً يدل على خلاف ذلك.

Pertanyaan: “Apakah terdapat keterangan yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam dan kepala mayit wanita di sebelah kanan imam?” Jawab: “Semua kepala mayit diletakkan di sebelah kanan imam seperti ketika diletakkan di kuburan. Demikian pula ketika menshalati mereka ketika mereka sudah dikubur. Maka si mayit di kuburannya menghadap kiblat dan kami tidak mengetahui keterangan yang menyelisihi ini.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 17/159).

Imam Bujairamy dalam kitab Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khathîb (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1996), jilid II, halaman 536 mengutip keterangan dari Syekh Ali Syibramalisy, sebagaimana pic screenshot (SS) dijelaskan,

وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ

“Kepala mayit laki-laki diletakkan di sebelah kiri imam -kaprahnya di sebelah kanan imam- berbeda dengan pengamalan orang saat ini. Adapun mayit perempuan dan khuntsa (orang yang berkelamin ganda) maka imam berdiri di sisi pantatnya sedangkan kepalanya ada di sebelah kanan imam sebagaimana pengamalan orang saat ini.” 

Dalam Kitab Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram juz 2 hal.228-229 Imam 'Alawi Abbas Al-Maliki dan Imam Hasan Sulaiman An-Nuri, menjelaskan,

إتفق العلماء على جواز وقوف الامام من الميت عند الصلاة عليه حيث شاء واختلفوا فى موقفه الأفضل وهذا الحديث يدل على المخالفة بين الرجل والمرأة فالأفضل أن يقف من المرأة عند وسطها ومن الرجل عند رأسه أما الواجب فهو إستقبال جزء من الميت رجلا كان أو إمرأة.

"Ulama sepakat akan kebolehan posisi imam berdiri dimana pun dia menghendaki dari mayit saat menshalatkannya. Perbedaan mereka dalam masalah posisi nya (imam) yang paling utama. Dan hadits ini menunjukkan perbedaan akan keutamaan jenazah laki-laki dan perempuan. Dan yang utama posisi (imam) berdiri untuk jenazah wanita ditengah-tengah dan untuk jenazah laki-laki di kepalanya. Adapun yang wajib adalah menghadap sebagian dari tubuh mayit laki-laki maupun perempuan."  Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم  الطريق*

Kamis, 27 Oktober 2022

MENELADANI 4 SIFAT RASULULLAH SAW

Setiap tahun umat Islam memperingati Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan beragam cara. Mulai budaya dziba’an, burdahan, khotmil Qur’an, dan deretan kegiatan lainnya. Semua itu merupakan representasi dari bentuk kecintaan umat pada sosok teladan Rasulullah SAW. Lebih dari itu, esensi terpenting dari spirit peringatan maulid Nabi adalah semangat mencontoh pribadi Rasulullah. 

Dalam sebuah istilah disebut dengan “living tradition” yang dimaknai upaya menghidupkan tradisi Rasulullah yang tertuang dalam Hadits maupun sejarah Rasulullah. Tradisi atau sunnah Rasulullah pada dasarnya beragam dan menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Baik seputar individu hingga sosial. 

Empat sifat Rasulullah bukan hanya istilah yang cukup dihafal saja. Akan tetapi perlu dihidupkan atau diaplikasikan dalam bentuk sikap nyata. Shiddiq, secara bahasa diartikan jujur. Namun menurut KH. Quraish shihab, pada awalnya shiddiq itu menunjukkan makna kekuatan. Dimana memiliki korelasi keduanya, kejujuran atau kebenaran mengandung suatu kekuatan. Serta dari jiwa yang kuat akan muncul kejujuran. 

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا

"Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi." (QS. Maryam : 41)

Amanah secara bahasa dimaknai dapat dipercaya. Namun bila ditelusuri ternyata kata tersebut merupakan derivasi dari kata iman dan aman.  Dimana amanah merupakan suatu sikap dan buah keimanan (kepercayaan) yang berusaha mencipatakan suatu kondisi aman. Sehingga unsur amanah meliputi komitmen, kerja keras, dan konsistensi. 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Q.S. Al-Anfal : 27)

Tabligh, secara bahasa diartikan menyampaikan. Selain itu tabligh juga memiliki makna keterbukaan atau transparansi. Dalam hal ini seperti sikap Rasulullah ketika menyampaikan pesan-pesan dari Allah. Semua pesan tersebut disampaikan kepada umat, meskipun ada pesan yang berisi teguran pada Rasulullah. Hal itu juga disampaikan kepada umat.

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّـهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

"Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. Al-Maidah : 67)

Selanjutnya Fathanah, yang berarti cerdas. Cerdas berkaitan dengan fungsi serta peran yang diemban. Dalam ranah makna luasnya, tidak hanya sebatas lingkup kecerdasan intelektual semata. Akan tetapi mencakup kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial. 

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan al-hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendakinya. Barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu ia benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang yang berakallah (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah.” (Q.S. Al-Baqarah :269)

Dengan mengkaji kembali sifat-sifat Rasulullah tersebut, besar harapan generasi umat Islam dapat meneladani dan mencontohnya. Dengan spirit “living tradition”, atau menghidupkan tradisi atau sikap mulia dari Rasulullah. Menjadikan sikap atau karakter Rasulullah sebagai sikap dalam pribadi sehari-hari. Semoga kita semua termasuk umat yang kelak mendapat Syafa’at Rasulullah. Semangat memperingati Maulid Nabi, Muhammad Nabi kita, Muhammad teladan dalam hidup kita. Salam rindu kami padamu ya Rasulullah.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 03 Oktober 2022

PEDOMAN ADMINISTRASI ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA

 


PEDOMAN ADMINISTRASI ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA

Pasal 1

Peraturan Administrasi ini adalah aturan-aturan administrasi di lingkungan NU sebagai pijakan kerja pengurus di bidang kesekretariatan.

Pasal 2

JENIS SURAT

  1. Surat rutin: Surat-surat yang dikirim dan diterima tanpa kekhususan tertentu.
  2. Surat khusus: Surat-surat yang dikeluarkan oleh organisasi karena keperluan khusus yakni:
    1. Surat Keputusan : Surat-surat yang dikeluarkan organisasi berdasarkan keputusan rapat atau konfrensi yang berkaitan dengan kebijaksanaan organisasi.
    2. Surat Pengesahan : Surat-surat yang mempunyai kekuatan hukum untuk mengesahkan susunan pengurus atau perangkat organisasi.
    3. Surat Pengangkatan : Surat-surat yang dikeluarkan oleh organisasi untuk mengangkat seseorang dalam suatu jabatan tertentu.
    4. Surat Rekomendasi : Surat-surat organisasi yang memberikan persetujuan terhadap suatu kepentingan.
  3. Surat Perjanjian : Surat-surat yang berisi perjanjian antara organisasi dan pihak-pihak lain.
  4. Surat Instruksi : Surat-surat perintah tentang kebijakan organisasi yang harus dilaksanakan.
  5. Surat Mandat : Surat-surat yang memberikan kuasa kepada pihak lain atau perorangan atas nama organisasi untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dengan batas waktu.
  6. Surat Pengantar : Surat-surat yang berfungsi sebagai pengantar pengiriman.
  7. Surat Pernyataan : Surat-surat yang berisi pernyataan sikap organisasi terhadap suatu masalah.
  8. Surat Keterangan : Surat-surat yang berisi keperluan organisasi tentang keberadaan perorangan, program, dan lain-lain.

 

Pasal 3

KLASIFIKASI SURAT

  1. Surat Biasa Syuriyah : Surat biasa yang hanya berkaitan dengan ke syuriyah an.
  2. Surat Biasa Tanfidziyah : Surat biasa yang hanya berkaitan dengan ke tanfidziyah an.
  3. Surat Penting : Surat yang berisi masalah-masalah organisasi yang tidak menyangkut kebijaksanaan.
  4. Surat Sangat Penting : Surat yang berisi kebijaksanaan.

Pasal 4

FORMAT SURAT

  1. Kertas yang dipakai untuk surat organisasi ukuran folio atau A 4 dan berwarna putih.
  2. Bentuk surat adalah lurus (block style), dengan aturan:
    1. Semua bagian surat diketik mulai dari margin kiri yang sama.
    2. Batas-batas bagian surat diketik dengan menambahkan spasi.

Pasal 5

KEPALA SURAT

a. Kop/Kepala surat ditulis dengan huruf cetak warna hijau. Pada kop/kepala surat tertera:

  1. Lambang Nahdlatul Ulama yang tercetak dibagian atas sebelah kiri berwarna putih di atas dasar hijau persegi empat tanpa huruf latin NU.
  2. Tulisan pengurus Nahdlatul Ulama sesuai dengan tingkatannya terletak sejajar dengan lambang Nahdlatul Ulama.
  3. Alamat kantor/secretariat di bawah tulisan Pengurus Nahdlatul Ulama.
  4. Garis tebal panjang yang melintang berwarna hijau berada di bawah alamat kantor/secretariat.

b. Ketentuan mengenai kop/kepala surat seperti pada angka “a” 1,2,3,4 berlaku juga untuk amplop.

 

Pasal 6

NOMOR, LAMPIRAN DAN PERIHAL

a. Nomor surat adalah nomor urut pada buku agenda surat keluar beserta kode-kode yang telah ditetapkan untuk itu.

b. Nomor surat terdiri dari enam kolom, yaitu : (dipisah dengan garis miring)

  1. Pengurus Cabang diatur oleh Pengurus Wilayah.
  2. Pengurus Majelis Wakil Cabang diatur oleh Pengurus Cabang
  3. Pengurus Ranting diatur oleh Majelis Wakil Cabang

c. Nomor surat Syuriyah dan Tanfidziyah tidak sendiri-sendiri

d. Letak nomor surat rutin di bawah kepala surat sebelah kiri sedangkan letak nomor selain surat rutin berada di tengah di bawah judul surat.

e. Lampiran, diisi jika memang terdapat lampiran yang disertakan bersama surat tersebut sebagai tambahan/penjelasan. Tetapi jika tidak mempunyai kaitan langsung ataupun tidak langsung, bukan merupakan lampiran surat tersebut.

f. Jumlah lampiran ditulis dengan angka dan huruf.

g. Perihal, ditulis isi atau pokok persoalan yang dimaksud.

h. Nomor, lampiran dan perihal tidak perlu dicetak permanen.

 

CONTOH NOMOR INDEK PROV. JAWA BARAT

NOMOR INDEKS CABANG SE-JAWA BARAT

D-01: Kab. Bogor

D-14: Kab. Karawang

D-02: Kota Bogor

D-15: Kab. Purwakarta

D-03: Kota Depok

D-16: Kab. Subang

D-04: Kab. Sukabumi

D-17: Kab. Bandung

D-05: Kota Sukabumi

D-18: Kota Bandung

D-06: Kab. Cianjur

D-19: Kota Cimahi

D-07: Kab. Cirebon

D-20: Kab. Sumedang

D-08: Kota Cirebon

D-21: Kab. Garut

D-09: Kab. Kuningan

D-22: Kab. Tasikmalaya

D-10: Kab. Majalengka

D-23: Kota Tasikmalaya

D-11: Kab. Indramayu

D-24: Kab. Ciamis

D-12: Kab. Bekasi

D-25: Kota Banjar

D-13: Kota Bekasi

NOMOR INDEKS MWC SE-KABUPATEN BANDUNG

D-01: MWC Arjasari

D-17: MWC Kertasari

D-02: MWC Banjaran

D-18: MWC Kutawaringin

D-03: MWC Baleendah

D-19: MWC Majalaya

D-04: MWC Bojongsoang

D-20: MWC Margahayu

D-05: MWC Cangkuang

D-21: MWC Margaasih

D-06: MWC Cicalengka

D-22: MWC Nagreg

D-07: MWC Cikancung

D-23: MWC Pacet

D-08: MWC Cilengkrang

D-24: MWC Pameungpeuk

D-09: MWC Cileunyi

D-25: MWC Pangalengan

D-10: MWC Cimaung

D-26: MWC Paseh

D-11: MWC Cimeunyan

D-27: MWC Pasirjambu

D-12: MWC Ciparay

D-28: MWC Rancabali

D-13: MWC Ciwidey

D-29: MWC Rancaekek

D-14: MWC Dayeuhkolot

D-30: MWC Solokanjeruk

D-15: MWC Ibun

D-31: MWC Soreang

D-16: MWC Katapang

 

Contoh Surat Pengurus Cabang

Nomor          : 014/PC/A.1/D-17/03/2012

014                 : surat keluar yang ke-14 sejak pergantian pengurus

PC                   : yang mengirim adalah Pengurus Cabang

A.1                  : klasifikasi surat penting

D-17               : kode pengirim surat (Cabang Kabupaten Bandung)

03                   : surat dibuat pada bulan Maret

2012              : surat dibuat pada tahun 2012

 

Contoh Surat Pengurus Majelis Wakil Cabang

Nomor          : 010/MWC/A.1/D-17.23/02/2012

010                 : surat keluar yang ke-10 sejak pergantian pengurus

MWC               : yang mengirim adalah Pengurus MWC

A.1                  : klasifikasi surat penting

D-17.23        : kode pengirim surat (MWC Pacet, Kabupaten Bandung)

02                   : surat dibuat pada bulan Februari

2012              : surat dibuat pada tahun 2012

 

Pasal 7

TANGGAL, ALAMAT DAN TUJUAN SURAT

  1. Menggunakan tanggal hijriyah sebelah atas dan miladiyah di bawahnya, tahun ditulis lengkap. Terletak di sudut kanan atas sejajar dengan nomor surat dan didahului dengan nama daerah dikeluarkannya surat.
  2. Alamat tujuan surat terletak di sebelah kiri di bawah perihal
  3. Alamat ditulis lengkap

 

Pasal 8

PEMBUKA ALINEA DAN PENUTUP SURAT

  1. Setiap surat rutin dibuka dengan kalimat “Assalamu’alaikum wr.wb.” berada di bawah alamat tujuan surat.
  2. Setiap surat ditutup dengan kalimat “Wallahul muwaffiq ila aqwami thariq”, dan untuk surat rutin ditambah kalimat “Wassalam wr.wb.” yang berada di bawahnya.

 

Pasal 9

PENGIRIM DAN TANDA TANGAN

a. Setiap surat harus menyebut dengan jelas pengirimnya (organisasi yang mengirim).

b. Penanda tangan surat :

  1. Surat Biasa Syuriyah, ditandatangani oleh Rois/Wakil Rois dengan Katib/Wakil Katib.
  2. Surat Biasa Tanfidziyah, ditandatangani oleh Ketua/Wakil Ketua dengan Sekretaris/Wakil Sekretaris.
  3. Surat Penting, ditandatangani oleh salah seorang unsur Syuriyah (Rois, Wakil Rois, Katib, Wakil Katib), dengan unsur Tanfidziyah (Ketua/Wakil Ketua dan Sekretaris/Wakil Sekretaris).
  4. Surat Sangat Penting, ditandatangani oleh 4 orang: Rois/Wakil Rois, Katib/Wakil Katib, Ketua/Wakil Ketua dan Sekretaris/Wakil Sekretaris.

c. Penulisan nama penandatangan dengan huruf besar semua tanpa tanda baca diberi garis bawah dan di bawahnya dicantumkan Nomor Induk Anggota (NIA).

d. Penulisan jabatan di atas nama penandatangan.

 

Pasal 10

TEMBUSAN SURAT

a. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Pengurus Ranting harus memberikan tembusan kepada Pengurus Majelis Wakil Cabang dan Pengurus Cabang.

b. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Pengurus Majelis Wakil Cabang harus memberikan tembusan kepada Pengurus Cabang.

c. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Pengurus Cabang harus memberikan tembusan kepada Pengurus Wilayah dan Pengurus Besar.

d. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Pengurus Wilayah harus memberikan tembusan kepada Pengurus Besar.

e. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom harus memberikan tembusan kepada Pengurus Nahdlatul Ulama sesuai tingkatannya.

f. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Lembaga kepada Lembaga setingkat di bawahnya, harus memberikan tembusan kepada Pengurus Nahdlatul Ulama yang setingkat di bawahnya, bila ada masalah yang terkait dengan Nahdlatul Ulama.

g. Setiap surat yang dikeluarkan oleh Kepanitiaan yang dibentuk Nahdlatul Ulama dan perangkatnya di semua tingkatan, harus memberikan tembusan kepada pengurus yang membentuknya.

h. Pada tembusan surat tidak perlu dicantumkan kata arsip/simpanan/pertinggal dan hanya ditutup dengan sebuah garis.

 

Pasal 11

PENYIMPANAN SURAT

  1. Setiap surat keluar dan masuk setelah diagenda harus diarsip.
  2. Surat keluar dibendel dalam satu file.
  3. Surat masuk dibendel sesuai dengan asal surat.
  4. Surat Keputusan dibendel tersendiri.

 

Pasal 12

LEMBAR DISPOSISI

a. Setiap surat masuk sebelum diagenda, diberi lampiran lembar disposisi yang dibuat dengan ukuran kertas setengah folio.

b. Lembar disposisi diperlukan:

  1. Untuk menuliskan pertimbangan-pertimbangan atau penjelasan-penjelasan terhadap surat yang diterima.
  2. Agar tidak mengotori surat asli.

c. Lembar disposisi dibuat dengan ketentuan isi:

  1. Kop/Kepala surat diketik menurut tingkatannya.
  2. Tanggal terima.
  3. Nomor agenda.
  4. Pengirim surat.
  5. Ruang catatan/disposisi.

 

Pasal 13

KELENGKAPAN ADMINISTRASI

a. Buku Agenda, untuk mencatat keluar masuk surat.

Ketentuan kolom-kolomnya sebagaimana ketentuan umum.

b. Buku Notulen, untuk mencatat jalannya setiap rapat.

Yang memuat kolom-kolom hari tanggal dan waktu rapat, tempat rapat, peserta yang hadir, acara rapat, pendapat dan usulan

peserta rapat dan keputusan rapat.

c. Buku Ekspedisi, untuk mencatat setiap pengiriman surat. Terdapat dua macam ekspedisi:

1. Berbentuk buku, dengan kolom-kolom:

– Tanggal pengiriman surat

– Nomor urut

– Tanggal dan nomor surat

– Isi Pokok Surat

– Tujuan surat

– Tanda tangan penerima.

2. Berbentuk lembar tanda terima, dibuat dengan ukuran setengah folio, dengan kolom:

– Asal surat

– Nomor dan tanggal surat

– Tujuan

– Perihal

– Tanda tangan penerima, tanggal terima.

d. Buku Tamu, untuk mencatat setiap tamu, dengan ketentuan kolom:

– Tanggal kedatangan

– Nomor urut

– Nama tamu

– Jabatan/pekerjaan

– Maksud kunjungan

– Diterima oleh

– Catatan

– Tanda tangan

e. Buku daftar inventaris, untuk mencatat semua barang kekayaan yang dimiliki oleh organisasi, dengan kolom-kolom:

– Nomor urut

– Tanggal pembukuan

– Kode barang

– Keterangan barang

– Kwantitas atau jumlah

– Nama satuan

– Tahun pembuatan

– Asal barang

– Kelengkapan dokumen dan tanggal penyerahan/perolehan barang

– Keadaan barang

– Harga

– Keterangan.

f. Buku Kas, untuk mencatat keluar masuk uang organisasi. Dengan kolom-kolom:

– Tanggal penerimaan/pengeluaran uang

– Uraian

– Kode mata anggaran

– Jumlah uang.

g. Buku Kegiatan Harian, untuk mencatat segala kegiatan yang dilakukan oleh pengurus/organisasi, dengan kolom-kolom:

– Waktu dan tempat kegiatan

– Nama kegiatan

– Pelaksana kegiatan

– Keterangan.

h. Buku Induk Anggota, untuk mencatat nama anggota, dengan kolom-kolom:

– Nomor induk anggota

– Nama anggota

– Umur/tanggal lahir

– Alamat

– Pendidikan

– Nikah/belum

– Mulai menjadi anggota

– Jenis keanggotaan

– Keterangan.

 

KETENTUAN TENTANG ATRIBUT ORGANISASI DAN PEMAKAIANNYA

Sesuai dengan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Bab III Pasal 7, lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkar di atas garis khatulistiwa, yang terbesar di antaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah garis khatulistiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

Lambang organisasi Nahdlatul Ulama tersebut merupakan identitas resmi organisasi yang ada dalam atribut-atribut organisasi NU seperti:

  1. Bendera
  2. Stempel
  3. Kop Surat/Amplop
  4. Papan Nama
  5. Panji-panji
  6. Lencana
  7. Baju Seragam
  8. Lain-lain

a. Bendera

  1. Warna bendera hijau cerah, ditengahnya terdapat lambang Nahdlatul Ulama yang terlukis dengan warna putih, tanpa tambahan tulisan apapun.
  2. Ukuran bendera adalah 120 x 90 cm atau disesuaikan dengan jenis keperluan. Perbandingan panjang dengan lebar adalah 4 : 3.
  3. Penggunaan/pemakaian bendera NU harus dijaga kehormatannya, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan.
  4. Pemasangan bendera NU dalam ruang resepsi resmi, ruang rapat/ruang kerja di kantor atau pengibaran di halaman kantor NU harus disertai dengan bendera nasional Sang Saka Merah Putih dengan ukuran yang sama. Letak bendera NU di sebelah kiri dan bendera nasional di sebelah kanan.
  5. Pemasangan bendera NU di luar ruangan diutamakan dalam setiap kegiatan organisasi NU, pada upacara nasional, setiap tanggal 16 Rajab (Harlah NU di halaman kantor atau pusat kegiatan milik NU), dalam kegiatan peringatan hari besar Islam atau acara intern NU dan perangkatnya.
  6. Lembaga dan Lajnah tidak boleh membuat model bendera tersendiri yang berbeda dengan bendera NU.
  7. Badan Otonom sesuai dengan statusnya mempunyai bendera sendiri.

b. Stempel

  1. Stempel organisasi Nahdlatul Ulama berbentuk bulat dengan ukuran garis tengah 3,5 cm. Di tengahnya terdapat lambang NU, di luar garis yang melingkari lambang diisi tulisan tingkat kepengurusan NU, Lembaga/Lajnah.
  2. Lambang dalam stempel organisasi NU adalah lambang Nahdlatul Ulama, tanpa ada tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab.
  3. Lembaga dan Lajnah tidak boleh membuat bentuk/model stempel tersendiri yang berbeda dengan stempel organisasi NU.

c. Kop Surat,Amplop

  1. Kertas surat organisasi NU berwarna putih, berukuran folio atau A4.
  2. Amplop surat organisasi NU menggunakan jenis amplop panjang berwarna putih.
  3. Kertas surat dan amplop surat disertai kop yang memuat lambang organisasi sesuai AD – NU Pasal 7, tingkat kepengurusan NU, alamat jelas yang disertai kode pos dan nomor telepon/fax bila ada.
  4. Kop kertas surat/amplop dicetak dengan warna hijau cerah.

d. Papan Nama

  1. Papan nama merupakan tanda yang menunjukan keberadaan organisasi Nahdlatul Ulama dalam wilayah tertentu.
  2. Papan nama organisasi dapat dibuat dari bahan pelat baja, seng, kayu, atau bahan lainnya yang baik.
  3. Bentuk papan nama adalah empat persegi panjang, dengan panjang dan lebar empat berbanding tiga.
  4. Warna dasar papan nama adalah hijau cerah, gambar dan tulisan berwarna putih. Jenis huruf tulisan adalah huruf latin kapital tegak.
  5. Ukuran maksimum papan nama:

·         Pengurus Besar      : panjang 200 cm, lebar 150 cm.

·         Pengurus Wilayah : panjang 180 cm, lebar 135 cm.

·         Pengurus Cabang  : panjang 160 cm, lebar 120 cm.

·         Pengurus MWC      : panjang 140 cm, lebar 105 cm.

·         Pengurus Ranting : panjang 120 cm, lebar 90 cm.

  1. Papan nama memuat lambang NU sesuai AD-NU Bab III Pasal 7, tingkat kepengurusan NU, alamat kantor dan nomor telepon.
  2. Pemasangan papan nama ditempatkan pada alamat kantor NU atau tempat yang berdekatan, yang mudah dilihat. Pemasangan dapat menggunakan tiang yang dipancangkan, ditempelkan atau digantungkan.
  3. Pamasangan papan nama hendaknya mengindahkan ketentuan yang berlaku di daerah yang bersangkutan dan diberitahukan kepada instansi terkait.

e. Papan Data

  1. Setiap tingkatan organisasi perlu membuat papan data yang dipasang di kantor sekretariatnya.
  2. Ukuran papan data disesuaikan dengan kebutuhan.
  3. Papan data terdiri dari :

– Data pengurus berikut strukturnya

– Data potensi

– Kalender kegiatan organisasi

– Peta organisasi.

f. Panji-panji

  1. Panji-panji  organisasi seyogyanya dimiliki oleh kepengurusan NU tingkat Ranting, Majlis Wakil Cabang, Cabang, Wilayah dan Pengurus Besar sebagai atribut kehormatan organisasi.
  2. Panji-panji dipasang di kantor organisasi dengan cara digantung pada tiang atau tembok dengan tali warna kuning.
  3. Panji-panji berbentuk perisai yang dipinggirnya dilingkari rumbai-rumbai warna kuning. Ukuran panji-panji adalah 90 cm (tegak) X 60 cm (datar).
  4. Panji-panji dibuat dari bahan dasar beludru/velvet warna hijau cerah. Lambang NU dan tulisan kepengurusan disulam dengan benang warna kuning keemasan.

g. Lencana

  1. Lencana NU adalah kelengkapan atribut organisasi untuk disematkan pada ujung kerah leher baju/jas sebelah kiri, di atas kantong baju sebelah kiri, pada dasi atau peci.
  2. Lencana NU berbentuk bulat, dengan diameter garis tengah 3 cm, di bagian pinggir bulatan ada garis kecil melingkar berwarna kuning keemasan.
  3. Lencana dibuat dari bahan kuningan, stainles, atau jenis logam lain, vibreglass, coating, atau bahan lain yang baik, dengan warna dasar hijau cerah.
  4. Di atas dasar hijau terdapat lambang NU yang dilukis dengan warna kuning keemasan.

h. Baju Seragam

  1. Yang dimaksud dengan baju seragam dalam ketentuan ini adalah baju seragam batik yang menggunakan ornamen/hiasan lambang Nahdlatul Ulama.
  2. Baju seragam batik berlambang NU dibuat dari bahan dasar fiori, tetoron, katun, atau bahan lain yang baik.
  3. Lambang NU yang dicetak/dilukis dalam bahan dasar tersebut harus tampak nyata tercetak/tertulis sesuai dengan ketentuan AD-NU Bab III Pasal 7.

i. Lain-lain

  1. Lambang Nahdlatul Ulama juga bisa digunakan (dicetak/dilukis) pada benda-benda peraga atau atribut lain seperti; kaos, peci, stiker, vandel, cenderamata, buku, kalender, dll.
  2. Penggunaan lambang NU untuk keperluan pembuatan atribut intern organisasi harus diketahui oleh tingkat kepengurusan organisasi yang bersangkutan dan diawasi kualitas kelayakan serta akurasinya.
  3. Penggunaan lambang NU untuk keperluan komersial oleh perseorangan harus dengan idzin tertulis dari Pengurus Besar NU.