MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 04 Desember 2022

KAJIAN TENTANG ORANG YANG BERHAK MENJADI IMAM SHALAT

Dalam pelaksanaan shalat berjama'ah peran seorang imam sangatlah penting, karena sah atau tidaknya shalat berjama'ah tergantung kepada sang imam. Kita pernah menemukan kondisi seperti bacaan imam yang salah atau kurang fasih, kemudian terdapat urutan-urutan shalat yang tidak tertib dikarenakan lupa atau ketidak tahuan imam, terdapat gerakan shalat yang dirasa aneh, dan sebagainya.

Untuk menjadi seorang imam dalam shalat, Islam telah mengatur syarat-syarat seorang menjadi imam shalat. Syarat menjadi imam shalat perlu kita pahami, agar kita tidak bermudah-mudah ketika menjadi seorang imam. Imam Shalat merupakan posisi yang sangat mulia, karena tidak semua orang bisa dijadikan imam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiripun memberikan kriteri-kriteria khusus bagi seorang yang akan dijadikan imam.

Walaupun imam dalam shalat merupakan posisi yang mulia, akan tetapi disana ada tanggung jawab besar yang dipikulnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

الإِمَامُ ضَامِنٌ

“Fungsi imam adalah sebagai penjamin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah)

Jika ia bisa memimpin shalat dengan baik, maka baginya dan para makmum pahala yang sempurna, akan tetapi jika imam ada kesalahan, maka kesalahan tersebut ditanggung oleh imam sendiri dan bagi makmum pahala yang sempurna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan petuah,

يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ [ولهم]، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Jika para imam yang shalat dengan kalian itu benar maka pahala bagi kalian semua, akan tetapi jika mereka melakukan kesalahan, bagi kalian pahalanya, kesalahannya hanya ditanggung oleh para imam tersebut.” (HR. Bukhari no.653)

Oleh karena itu mengetahui apa saja syarat menjadi imam shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, dan jangan sampai ada seorang yang bodoh, bacaan Al-Qur'annya rusak tidak tahu-menahu tentang hukum-hukum yang ada dalam shalat jama’ah kemudian dengan beraninya maju menjadi imam.

Atau seorang yang tidak tahu tentang rukun, kewajiban dan sunnah-sunnah shalat. saat ia meninggalkan satu rukun, misalkan sujud, dia bingung apa yang harus dilakukan, maka ini juga jangan berani-berani menjadi imam, apalagi disana ada seorang yang lebih faham dengan seluk-beluk terkait imam. Tetap pilihlah seorang yang paling tahu dikalangan jamaah.

Demikian halnya orang yang singgah di suatu masjid atau orang yang statusnya bukan imam tetap, hendaknya tidak bermudah-mudah maju menjadi imam shalat jama’ah di suatu masjid atau di suatu shalat jama’ah. Rasulullah Shallallahu’alaihi  wa sallam bersabda,

وَلا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ , وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ

“Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673).

Hadits ini menunjukkan terlarangnya seorang pendatang di suatu masjid atau tempat untuk maju padahal ada yang lebih berhak yaitu imam tetap atau pemilik tempat. Walaupun pendatang tersebut merasa lebih baik bacaan Qur’annya atau merasa lebih paham agama. Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan,

مَعْنَاهُ : مَا ذَكَرَهُ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ : أَنَّ صَاحِب الْبَيْت وَالْمَجْلِس وَإِمَام الْمَسْجِد أَحَقّ مِنْ غَيْره ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْغَيْر أَفْقَه وَأَقْرَأ وَأَوْرَع وَأَفْضَل مِنْهُ وَصَاحِب الْمَكَان أَحَقّ فَإِنْ شَاءَ تَقَدَّمَ ، وَإِنْ شَاءَ قَدَّمَ مَنْ يُرِيدهُ

“Maknanya, sebagaimana disebutkan para ulama madzhab kami, bahwa pemilik rumah, atau pemilik majelis, atau imam (tetap) masjid, lebih berhak untuk menjadi imam daripada yang lain. Walaupun ada orang lain yang lebih alim (berilmu agama), lebih pandai membaca Al Qur’an dan lebih utama darinya. Dan pemilik tempat lebih berhak untuk menjadi imam. Ia bisa memilih apakah ia yang maju atau mempersilahkan orang lain untuk maju” (Syarah Shahih Muslim, 5/147).

Namun dibolehkan orang pendatang untuk menjadi imam jika diizinkan oleh imam tetap atau oleh pemilik tempat. Asy Syaukani  mengatakan,

وأكثر أهل العلم أنه لا بأس بإمامة الزائر بإذن رب المكان ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم في حديث أبي مسعود رضي الله عنه : ( إلا بإذنه )

“Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa orang yang sedang berkunjung menjadi imam DENGAN IZIN pemilik tempat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Ibnu Mas’ud; [kecuali diizinkan olehnya]” (Nailul Authar, 3/170).

Atau dibolehkan juga pendatang menjadi imam ketika imam tetap atau pemilik tempat ada udzur sehingga tidak bisa mengimami. Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan, 

وَحرم ان يؤم قبل راتب الا بِإِذْنِهِ اَوْ عذره اَوْ عدم كَرَاهَته

“Diharamkan seseorang menjadi imam sebelum imam ratib (tetap) datang, kecuali atas izin darinya atau ia ada udzur atau ia tidak membencinya” (Akhsharil Mukhtasharat, 120).

Hendaknya imam adalah orang yang alim (paham ilmu agama) bukan sekedar punya hapalan surat dalam Al-Qur'an. Terlepas dari penjelasan di atas, masyarakat terutama para pengurus masjid hendaknya memilih imam tetap shalat jama’ah dari orang-orang yang alim (paham agama) dan paling baik bacaan Al Qur’annya. Kriteria pemilihan imam telah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan,

يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه قال الأشجُّ في روايتِه ( مكان سِلمًا ) سِنًّا

“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”.

Dalam riwayat Al Asyaj (bin Qais) disebutkan: “yang paling tua usianya” untuk menggantikan: “yang paling dahulu masuk Islam” (HR. Muslim no. 673).

Imam rawatib (tetap) lebih berhak menjadi imam shalat.

Ini kriteria-kriteria pemilihan imam yang hendaknya diperhatikan oleh masyarakat dan para pengurus masjid. Namun andaikan orang yang lebih paham agama atau lebih baik bacaan Qur’annya datang ke suatu masjid yang ada imam ratib (tetap) di sana, maka imam ratib tersebut lebih berhak menjadi imam sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Dijelaskan dalam kitab fiqih Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, 

وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِمَنْ لَا يُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ وَالْمُرَادُ بِعَدَمِ إِحْسَانِ الْقِرَاءَةِ الَّذِي الْكَلَامُ فِيهِ أَنْ يَكُونَ يُبَدِّلُ حَرْفًا بِآخَرَ أَوْ يَلْحَنُ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى أَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ فَلَا يَمْنَعُ الْوُجُوبَ. 

“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berjamaah dengan imam yang tidak baik bacaan Al-Qur’annya. Yang dimaksud dengan ‘Tidak baik bacaan Al-Qur’annya’ dalam pembahasan ini adalah sekiranya ia mengganti suatu huruf dengan huruf yang lain, atau ia membaca lahn (keliru) yang mengubah terhadap makna kata. Adapun selain ketentuan di atas, maka tetap tidak mencegah terhadap wajibnya (berjamaah shalat jum’at)” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 152) 

Ironisnya, keadaan masjid yang bacaan imamnya banyak yang keliru, sering ditemukan di banyak tempat. Bagi orang yang mengerti tentang ketentuan hukum ini, bermakmum pada imam tersebut adalah sebuah masalah tersendirian.

Dalam hal ini, tindakan yang paling maslahat baginya adalah tetap mengikuti shalat di masjid dengan imam yang bacaannya keliru, namun shalatnya ia niati shalat sendirian (munfarid), bukan niat berjamaah pada imam yang bacaannya keliru tersebut. Hal ini terus ia lakukan sambil berkompromi dengan pihak takmir masjid agar mengupayakan figur yang menjadi imam masjid bisa diganti dengan orang lain yang bacaan Al-Qur’annya benar, sehingga shalat para makmum yang shalat di masjid menjadi sah secara syara’. Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat.  Aamiin

*والله الموفق  الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar