MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 31 Januari 2022

HARLAH NU KE-96 MWC NU CIPAYUNG JAKARTA TIMUR

https://youtu.be/N8tIWSm9_7w

CIPAYUNG - Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 2022 merupakan peringatan yang ke 96. Berikut adalah sejarah singkat berdirinya NU.

Harlah NU sendiri diperingati dua kali dalam satu tahun, yakni pada 31 Januari dan 16 Rajab.

Alasan peringatan Hari Lahir NU diperingati sebanyak dua kali dalam setahun ada pada tanggal atau kalender yang digunakan.

Dimana Hari Lahir NU menurut tanggal masehi bertepatan pada 31 Januari, semenatara berdasarkan kalender Islam bertepatan pada 16 Rajab.

Hal itulah yang lantas menjadi alasan diperingatinya Hari Lahir NU sebanyak dua kali dalam setiap tahunnya.

Namun dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU sendiri beridii secara resmi dengan perhitungan hijriah. Artinya Hari Lahir NU yang ditetapkan adalah 16 Rajab.

Meski demikian bukan berarti peringatan Hari Lahir NU pada tanggal 31 Januari dilarang.

Sebagaimana yang dilakulan oleh Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Cipayung Jakarta Timur di Masjid Mahatma Pondok Ranggon Cipayung menggelar acara peringatan Harlah NU yang Ke-96 yang dimeriahkan dengan berbagai kegiatan diantaranya : Bazar 40 stand, Lomba mewarnai PAUD/TK 96 Peserta, Lomba Hadrah 9 Tim, Lomba Marawis 6 Tim, Lomba Tumpeng 9 (8 R + 1 MWC), Dzikir Tahlil dan Ratib, Dialog Kebangsaan, Santunan Yatim 96 Anak, dan Hadiah Peralatan Shalat (9 + 6).

Dalam acara yang dimulai dari hari Minggu, 30 Januari 2022 pukul : 08.00 sampai pukul : 23.30 wib. Diawali dengan dibukanya acara harlah oleh Ketua PCNU Jakarta Timur Gus Azaz Rulyaqien yang dilanjutkan dengan lomba mewarnai logo NU oleh anak-anak PAUD dan TK kemudian dilanjutkan dengan lomba hadrah dan lomba marawis dan pembagian hadiah bagi para pemenang.

Malam hari selepas maghrib diadakan dzikir tahlil dan pembacaan ratib dilanjutkan selepas isya' dengan lomba tumpeng, santunan 96 anak yatim sebagai simbol harlah NU yang ke-96 dan rangkaian kegiatan cxdiakhiri dengan dialog kebangsaan dan sejarah NU dari masa ke masa yang disampaikan oleh KH. Taufiq Dammas PWNU DKI Jakarta.

Hadir dalam acara Katib Syuriah PCNU Jakarta Timur KH. Khozin Mahmud yang sangat mengapresiasi acara harlah yang diadakan oleh MWC NU Cipayung untuk dicontoh oleh MWC NU lainnya..

Acara tersebut juga dihadiri oleh jajaran aparatur pemerintahan dan aparatur negara yaitu Camat Cipayung dan beberapa Lurah di wilayah Cipayung, Polsek Cipayung, Koramil Cipayung dan KUA Cipayung serta tokoh agama dan tokoh masyarakat sekitar.

Disamping bebarapa bazar dan lomba dari Pegadaian membuka pendaftaran tabungan logam mulia guna pembiayaan haji dari para pengurus NU dan warga masyarakat luas.

Selamat Harlah NU yang ke-96. Semangat nasionalisme dan keislaman harus senantiasa kita junjung untuk mewujudkan NKRI harga mati. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa beri kekuatan. Tebarkanlah kedamaian kepada siapa pun, dimana pun, dan kapan pun. (Asimun Mas'ud)

Kamis, 27 Januari 2022

KAJIAN TENTANG MAKNA HIJRAH

Belakangan ini kata “hijrah” menjadi bahasa yang khas digunakan oleh sebagian muslim perkotaan yang berusaha mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, taat dan bertakwa. Dalam ajaran Islam, praktik seperti ini bukan disebut dengan “hijrah”, melainkan “taubat”.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tobat (taubat) diartikan sebagai perilaku sadar dan menyesal akan dosa-dosa yang diperbuat dan berniat untuk memperbaiki perilaku yang dilakukannya. Begitupun arti lebih luas taubat, menurut Imam Al ‘Alamah Jamaluddin Abi Fadhil Muhammad bin Makram bin Mandur al-Anshari dalam  “lisaan al ‘arab” adalah kembali kepada agama dan jalan yang benar.

Sementara hijrah itu adalah meninggalkan sesuatu yang baik, karena tidak jalan (stagnan lingkungan tidak kondusif) maka kemudian pindah ke tempat yang lain agar kebaikan itu jalan. Kalau sekarang kan istilah hijrah itu dipakai untuk orang yang baru bertaubat.

Jadi, hijrah itu usaha yang sudah membawa kebenaran menuju kebenaran yang lebih realistis namanya. Kalau orang yang dari dunia hitam terus kemudian masuk ke dunia yang bagus itu namanya taubat. Taubat dulu baru menuju hijrah.

Pengertian Hijrah dalam Kajian Tasawuf merupakan fase penting seseorang untuk memperbaiki diri. Hijrah yang secara harfiah berarti “meninggalkan” merupakan roh yang menjiwai gerakan seorang Muslim. Hijrah kemudian sering kali dimaknai sebagai perpindahan atau peralihan dari satu ke lain kondisi.  

Hijrah sendiri sering diambil dari hadits terkenal. Esensi hadits hijrah ini ditangkap oleh ulama fiqih sebagai pesan penting Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal niat seseorang dalam berbuat baik. Hal ini tidak jauh dari pemahaman kalangan sufi yang menempatkan hijrah sebagai kebulatan tekad untuk Allah dan rasul-Nya sebagaimana keterangan Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berkut ini,   

وانظر إلى قوله صلى الله عليه وسلم فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه فافهم قوله عليه الصلاة والسلام وتأمل هذا الأمر إن كنت ذا فهم 

“Perhatiknlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.” 

Syekh Ibnu Abbad mengatakan bahwa hijrah kepada Allah dan rasul-Nya adalah tuntutan secara eksplisit terhadap manusia untuk membulatkan hati semata-mata untuk Allah dan larangan secara implisit untuk memberikan hati untuk segala hal duniawi.      

فقوله فهجرته إلى الله ورسوله هو معنى الارتحال من الأكوان الى المكون وهو المطلوب من العبد وهو مصرح به غاية التصريح وقوله فهجرته إلى ما هاجر إليه هو البقاء مع الأكوان والتنقل فيها وهو الذي نهى عنه وهو مشار به غير مصرح. فليكن المريد عالي الهمة والنية حتى لا يكون له التفات إلى غير ولا كون ألبتة

“Kata ‘maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya’ mengandung pengertian berpindah dari alam kepada Penciptanya. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Tuntutan ini diungkapkan dengan sangat eksplisit. Sedangkan kata ‘maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya’ mengandung pengertian kebersamaan dengan alam dan hanya berpindah-pindah di dalamnya. Ini yang dilarang dari seorang hamba. Larangan ini diisyaratkan secara implisit. Oleh karena itu, seorang murid hendaknya memiliki semangat dan cita-cita yang muia sehingga tidak lagi berpaling sama sekali kepada yang lain dan alam.” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya,  2012], juz I, halaman 37). 

Pemahaman ulama fiqih dan para sufi terhadap hadits ini tidak berbeda jauh. Niat menjadi landasan perbuatan baik. Bahkan para sufi mengingatkan untuk tidak terpedaya dengan sesuatu yang secara kasatmata adalah nikmat dan syariat Allah.

وقال الشبلي رضي الله تعالى عنه احذر مكره ولو في قوله كُلُوا وَاشْرَبُوا يريد لا تستغرق في الحظ ولتكن في شيئ به لا بنفسك فقوله كُلُوا وَاشْرَبُوا وإن كان ظاهره إكراما وإنعاما فإن في بطنه ابتلاء واختبارا حتى ينظر من هو معه ومن هو مع الحظ 

“As-Syibli ra. berpesan, waspadalah dengan tipu daya-Nya meskipun dalam firman-Nya dikatakan ‘Makan dan minumlah kalian,’ (QS. Al-Baqarah ayat 60). Ini maksudnya adalah pesan ‘Janganlah kalian tenggelam di dalam keinginan. Hendaklah kalian tetap bersama-Nya dalam setiap hal, bukan bersama nafsumu.’ Perintah ‘makan dan minumlah,’ meskipun secara kasatmata adalah bentuk penghormatan dan pemberian nikmat, tetapi secara batin adalah ujian dan cobaan sehingga seseorang dapat melihat siapakah dirinya ketika bersama Allah dan siapakah dirinya saat bersama nafsu,” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2012], juz I, halaman 37). 

Dapat dikatakan bahwa hijrah bagi para sufi adalah upaya keras untuk memberikan hati semata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Ini yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam dengan mengutip Surat An-Najm ayat 42,

لا ترحل من كون إلى كون فتكون كحمار الرحى يسير والمكان الذي ارتحل إليه هو الذي ارتحل منه ولكن ارحل من الأكوان إلى المكون (وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى 

“Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm ayat 42).” 

Jadi kata “hijrah” dalam Al-Qur'an digunakan sebagaimana makna kebahasaannya, yaitu meninggalkan sesuatu, orang atau keadaan yang buruk. Keburukan di sini bukan berada pada orang yang melakukan hijrah, melainkan berada di luar dirinya, baik itu seorang maupun orang banyak atau masyarakat.

Lalu apa istilah yang tepat untuk menunjukkan praktik meninggalkan perbuatan maksiat atau dosa dan berusaha mengubah diri menjadi pribadi yang baik? Praktik demikian dalam ajaran Islam disebut dengan “taubat”. Dalam QS. At-Tahrim 8 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman diperintahkan untuk bertaubat dengan sebaik-baiknya (tuubuu ilallaah taubatan nashuuhaa).

Walhasil, hijrah tidak dimaknai perpindahan dalam arti fisik, geografis, atau perilaku yang kasatmata. Hijrah bagi para sufi dan juga ulama fiqih sebagai kekuatan batin dalam menyisihkan segala sesuatu selain Allah dari dalam hatinya. Wallahu a‘lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan se.oga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 26 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT SENDIRIAN DIBELAKANG SHAF

Biasanya di antara umat Islam ada yang ikut shalat jama'ah dari awal dan ada pula yang terlambat satu atau dua rakaat. Sehingga ketika ia terlambat jamaah, akibatnya ia tidak mendapatkan shaf atau barisan shalat dengan jamaah lainnya. Oleh sebab itu, ia pun akan berada di shaf belakang sendirian. Lalu bagaimana hukum shalatnya seseorang yang berada di shaf belakang sendirian?

Dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pernah bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ

“Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” (HR. Ahmad)

Menurut Syekh Ali Jum'ah sebagaimana termaktub di dalam Darul Ifta’ Al-Misriyah menyebutkan,

وصلاة المنفرد خلف الصف إذا كانت لعذر -كأن لم يجد من يصف معه- صحيحة، فإذا انتفى العذر، فإنها تكون صحيحة مع الكراهة.

"Shalatnya orang yang sendiri di belakang shaf jika karena uzur. Yakni tidak menemukan orang yang satu shaf dengannya, maka shalatnya sah. Jika tidak ada uzur, maka shalatnya sah disertai makruh."

Adapun dasarnya adalah hadits di dalam Shahih Al-Bukhari, riwayat Abu Bakrah ra. Bahwa ia suatu saat terlambat shalat berjamaah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Waktu itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah posisi ruku. Maka, Abu Bakrah ra. langsung melakukan ruku sebelum ia sampai di shaf (ia membuat shaf sendirian di belakang). Lalu peristiwa itu disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersabda,

زَادَكَ اللهُ حِرْصًا، وَلا تَعُدْ

“Allah telah memberikan kamu kesempatan. Kamu tidak perlu mengulangi shalatmu.” (HR. Bukhari)


Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentolelir sahabatnya yang berada di shaf belakang sendirian tanpa disuruh mengulangi shalatnya. Artinya shalatnya tetap sah.

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk tiga imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits diatas dimana ketika sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang terlambat shalat jama'ah, kemudian disebutkan,

فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ

“Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai di shaf, sambil berjalan menuju shaf.” (HR. Bukhari no. 784 dan Abu Dawud no. 684, lafadz hadits ini milik Abu Dawud)

Namun, ada hadits lain riwayat imam Al-Thabrani yang menyebutkan berbeda. Yakni informasi dari Wabishah bin Ma’bad ra,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلاةَ”

"Bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki yang sedang shalat di belakang shaf sendirian. Lalu beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya." (HR. At-Thabrani)

Menurut Syekh Ali Jum'ah, hadits yang kedua tersebut perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan wajib, tetapi sunah. Yakni beliau mencoba mengkrompomikan dua hadis yang seakan bertentangan tersebut. Sehingga, orang yang berada di shaf belakang sendirian saat jamaah itu tetap sah shalatnya. Baik disengaja atau tidak. Hanya saja, disunahkan mengulang shalatnya sebagaimana teks hadis yang kedua tersebut.

Sementara menurut ulama madzhab Hanbali, batal shalatnya orang yang shalat di belakang shaf jama'ah sendirian dengan tanpa adanya uzur alias disengaja. Dasar mereka adalah hadits riwayat Wabishah di atas.

Sedangkan jika kasusnya seseorang itu berada di shaf belakang karena tidak ada tempat lagi. Maka, ulama fiqih berbeda pendapat dalam hal ini.

Menurut ulama Malikiyyah dan salah satu dari pendapat ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa seseorang yang berada di shaf sendirian tersebut hendaknya tetap berdiri di belakang shaf. Dia tidak boleh menarik salah satu makmum di depannya untuk menemani dirinya berdiri di shaf belakang. Hal ini disebabkan karena otomatis orang yang berada di depan tersebut meninggalkan keutamaan shaf bagian depan.

Dalam fiqih Madzhab Syafi'i, salah satu literatur yang biasa dikaji kaum santri seperti kitab Fathul Mu'in juga tidak melewatkan membahas persoalan di atas. Syekh Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari, penulis kitab ini menyatakan dalam "Fasal Shalat Jama'ah" bahwa makmum yang memisahkan diri dari barisan jamaah padahal shaf ini masih longgar maka ia dihukumi makruh (dari sisi keutamaan barisan).

Lebih spesifik dinyatakan dalam Fathul Mu'in,

وكره لماموم انفراد عن الصف الذى من جنسه ان وجد فيه سعة

"Dihukumi makruh bagi makmum yang shalat berjamaah (berdirinya) menyendiri terpisah dari barisan shalat jamaah yang sejenis bila dalam shaf itu masih ada ruang yang tersisa". 

Dengan sedikit redaksi berbeda, Imam Jalaludin Al-Mahalli dalam Kanz Al-Raghibiin fi Syarhi Minhaji at-Talibin didapati keterangan senada di atas, 

ويكره وقوف الماموم فردا بل يدخل الصف ان وجد سعة 

Keterangan ini dijelaskan lebih lanjut dalam syarah I'anatu Thalibin oleh Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyati bahwa ketentuan ini berlaku bila antara makmum yang menyendiri dan jamaah shaf tersebut sama dalam status gendernya, misalnya semuanya sama-sama laki-laki atau sebaliknya. Jika antara makmum yang memisahkan diri dan barisan jamaahnya berlainan status gendernya, maka memisahkan diri shaf jamaah yang berlainan jenis justru disunahkan. 

Selanjutnya bila si makmum yang berdirinya memisahkan diri tersebut disebabkan karena sudah penuhnya barisan yang ada sehingga tidak muat ikut berbaris di dalamnya, maka ia disunahkan menarik salah satu orang dalam shaf yang penuh tersebut setelah melakukan takbiratul ihram. Hal ini sesuai dengan keterangan lanjutan dalam kitab Al-Mahalli (Kanz Al-Raghibiin) sebagai berikut,

والا فليجر شخصا بعد الإحرام وليساعده المجرور..... 

"Dan apabila di dalam shaf tersebut sudah tak ada ruang lagi, maka disunahkan makmum menarik seseorang (dari shaf yang penuh itu) setelah takbiratul ihram dan hendaknya orang yang ditarik membantu (berdiri sejajar bersama si makmum)". 

Namun ulama Malikiyyah menambahkan pendapat bahwa jika seseorang yang berada di belakang shaf tersebut menarik makmum yang berada di depannya, maka makmum tersebut boleh untuk menolaknya/tidak mentaati orang yang berada di saf belakang. Pendapat ini juga dipagang oleh salah satu ulama Hanafiyah yakni Al-Kamal bin Al-Hamam.

Adapun menurut ulama Hanafiyyah dan pendapat shahih dari ulama Syafi'iyyah, disunahkan baginya untuk menarik seseorang yang berada di shaf depannya untuk menemaninya di shaf belakang.

Tetapi dengan syarat orang yang ditarik itu dapat dipastikan (paham dengan isyarat kita dan) bersedia berpindah shaf ke belakang (dengan cara berjalan mundur satu langkah, satu langkah, tidak boleh langsung melakukan tiga langkah sekaligus, karena hal itu dapat membatalkannya. Disebabkan ia melakukan tiga gerakan berturut-turut). Jika ia tidak dapat dipastikan mau atau paham, maka tidak perlu menarik orang yang ada di depan shaf, khawatir justru malah menimbulkan fitnah.

Sedangkan menurut ulama Hanabilah, orang yang berada di shaf paling belakang tersebut hendaknya berdiri di samping imam jika memungkinkan. Jika tidak, maka ia memberi peringatan kepada seseorang untuk mau berdiri disampingnya. Jika tidak menemukan seseorang, maka ia shalat di belakang sendiri. Dan dimakruhkan untuk menarik seseorang yang ada di depan shafnya. Bahkan imam Ahmad dan Ishaq mengangap buruk hal itu.

Dengan demikian, maka orang yang berada di shaf paling belakang sendirian ketika berjamaah, shalatnya tetap sah menurut kesepakatan ulama fiqih. Dengan syarat ia tidak ada pilihan lain selain hal itu. Dan madzhab Hanafi dan Syafi'i memperbolehkan ia menarik seseorang yang berada di shaf depannya dengan syarat orang tersebut sudah setuju untuk mau ditarik ke belakang (misalnya memang temannya, dan dia paham jika hal itu diperbolehkan. Dan bukan orang yang tidak ia kenal).

Namun, jika ia tidak dapat memastikan orang yang berada di shaf depan dapat ditarik atau tidak, maka ia tidak perlu menarik teman dari shaf depan. Hal ini sebagai bentuk adab terhadap madzhab yang berpendapat tidak memperbolehkan menarik dari shaf depan serta menolak terjadinya fitnah. Wa Allahu a’lam bis Shawab.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 23 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MELAFAZHKAN NIAT DALAM SHALAT

Hukum Melafazhkan Niat Menurut Jumhur Ulama Adalah Sunnah dan Niat Di Dalam Hati Bersama’an Takbiratul Ikhram Adalah Wajib.

Melafazhkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh.

Melafazhkan niat (Talaffuzh bi an-Niyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan melafazhkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kesempatan melafazhkan niat yaitu pada ibadah Haji.

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم)

“Dari sahabat Anas ra berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan, “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji.” (HR. Imam Muslim)

Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Qashdul fi’li (قصد فعل) yaitu menyengaja mengerjakannya, lafazhnya seperti (أصلي /ushalli/”aku menyengaja”)

2. Ta’yin (التعيين) maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau Maghrib atau Isya atau Shubuh.

3. Fardliyah (الفرضية) maksudnya adalah menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang shalat fardhu. 

Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ) mengadung pengertian sebagai berikut (Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ain),

وفي قول صححه الرافعي، يكفي قرنها بأوله

“Menurut pendapat (qaul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup dicamkan bersamaan pada awal Takbir.”

وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره الامام والغزالي: أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا للصلاة

“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali, bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ العرفية), sekiranya (menurut kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”

*Pendapat para ulama tentang melafazhkan niat*

Berkata as-Syekh Wahbah az-Zuhaili (w 1436 H),

محل التعيين هو القلب بالاتفاق، ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية، والأولى تركه في صلاة أو غيرها

“Tempatnya niat adalah hati menurut kesepakatan ulama, sedangkan melafadzkannya dengan lisan adalah mandub (dianjurkan) menurut mayoritas ulama selain madzhab Maliki, madzhab Maliki mengatakan, ”boleh melafadzkan niat tetapi meninggalkannya lebih utama, baik itu dalam sholat maupun lainnya.” (Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (1/613).

Berkata al-Imam Fakhruddin ‘Utsman az-Zaila’i al-Hanafi (w 743 H),

وأما التلفظ بها فليس بشرط ولكن يحسن لاجتماع عزيمته

“Adapun melafazhkan niat maka bukan merupakan syarat sah shalat tetapi hal ini bagus dilakukan agar terkumpul azamnya (untuk sholat)” (Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq (1/262).

Berkata al-Imam ‘Alau ad-Din al-Hashfakiy al-Hanafi (w 1088 H),

والجمع بين نية القلب وفعل اللسان هذه رتبة وسطى بين من سن التلفظ بالنية ومن كرهه لعدم نقله عن السلف

“Menggabungkan niat dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan merupakan posisi yang adil antara pihak yang menjadikannya sunah dan pihak yang memakruhkannya dengan alasan tidak ada contoh dari ulama salaf.” (Hasyiah Rad al-Mukhtar (1/137).

Berkata Ibn ‘Abidin al-Hanafi (w 1252 H) menjelaskan perkataan beliau,

وهذه أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوباً لا سنة ولا مكروهاً

“Dan ini merupakan pendapat imam al-Hashfaki yang menjadikan melafadzkan niat ini merupakan sesuatu yang mandub (dianjurkan) bukan sunah bukan juga makruh.” (Hasyiah Rad al-Mukhtar (1/137).

Berkata al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w 679 H),

النية الواجبة في الوضوء هي النية بالقلب ولا يجب اللفظ باللسان معها، ولا يجزئ وحده وإن جمعهما فهو آكد وأفضل، هكذا قاله الأصحاب واتفقوا عليه

“Niat yang wajib ketika berwudhu adalah niat di dalam hati, tidak wajib melafadzkannya dengan lisan dan tidak sah bila niat hanya di lisan saja (tanpa ada niat dalam hati), dan apabila niat dalam hati digabung dengan melafadzkannya dengan lisan maka itu lebih kuat dan lebih afdhol, seperti inilah pendapat ualma Syafi’i dan mereka sepakat tentang ini.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (2/246).

Beliau juga berkata,

ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف ولا يكفي عن نية القلب بلا خلاف ولكن يستحب التلفظ مع القلب

“Tempatnya niat adalah hati dan tidak disyaratkan melafadzkannya dengan lisan sebagaimana telah disepakati, dan tidak sah melafadzkan niat tanpa ada niat dalam hati sebagaimana sudah disepakati, tetapi dianjurkan melafadzkan niat dengan lisan disertai niat dalam hati.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (6/289).

Berkata al-Imam al-Mardawi al-Hanbali (w 885 H),

يستحب التلفظ بها سراً وهو المذهب ،... قال الزركشي : هو الأولى عند كثير من المتأخرين

“Disunahkan melafadzkan niat secara sirr (pelan) dan ini adalah pendapat madzhab (Hanbali), berkata al-Imam az-Zarkasyi al-Hanbali (w 794 H). Pendapat ini adalah pendapat yang paling utama menurut mayoritas mutaakhirin (ulama Hanbali).” (Al-Inshaf (1/142).

Berkata al-Imam al-Buhuti al-Hanbali (w 1051 H) mengomentari Abu Naja al-Hanbali (w 968 H),

واستحبه أي التلفظ بالنية سرا مع القلب كثير من المتأخرين ليوافق اللسان القلب

“Mayoritas ulama mutaakhirin madzhab Hanbali sangat menganjurkan melafadzkan niat karena kesesuaian antara hati dan lisan." (Kisyaf al-Qina’ ‘An Matni al-Iqna’ (1/87).

Itulah pendapat para ulama lintas madzhab tentang hukum melafadzkan niat, tampak bahwa masalah ini adalah masalah yang luas, yang dimungkinkan untuk adanya perbedaan pendapat, karena tidak adanya nash qath’i baik dari al-Qur’an maupun dari sunah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun memaksakan sebuah pendapat untuk masalah ini adalah sikap yang kurang baik yang lahir dari sifat fanatik berlebihan.

*Lalu kita pilih yang mana?*

Adapun untuk memilih pendapat mana, maka kita harus melihat beberapa pertimbangan, diantaranya;

1. Kita melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah punya alat ijtihad ? apabila sudah ada, maka kita boleh memilih yang benar sesuai ijtihad kita, tetapi bila belum mampu mencapai derajat mujtahid, maka hendaknya kita mengikuti saja ulama yang ‘alim yang terpercaya.

2. Ulama itu  banyak sekali, tetapi mereka semua bergabung dalam kumpulan-kumpulan besar, yang dimana kumpulan ini memiki kaidah-kaidah dan aturan-aturan tersendiri dalam mengeluarkan hukum, kumpulan besar ini sudah ada sejak dahulu, sudah mengalami berbagai fase dan tantangan dari zaman ke zaman, hingga yang tersisa hanya 4 saja, kumpulan ini sering disebut sebagai Madzhab.

3. Kita boleh mengikuti Madzhab yang mana saja, selama kita bisa belajar Madzhab tersebut, ada kitab-kitabnya dan ada gurunya, agar pemahaman kita benar tentang madzhab yang kita ikuti, serta tau bagaimana aturan dan metode Madzhab yang kita ikuti itu dalam mengeluarkan hukum, sehingga tidak muncul sikap taklid buta.

Kebetulan di Indonesia, mayoritas umat Islam bermadzhab Syafi’i, maka merupakan sikap bijak untuk memilih dan mengikuti Madzhab mayoritas sebuah negri, dan ini tidak berarti mengikuti madzhab lain adalah tercela.

Madzhab Syafi’i sendiri mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah mustahab (dianjurkan) seperti disebutkan diatas, maka boleh bagi kita untuk melafadzkannya, baik dalam wudhu, sholat maupun ibadah lain. Bila merasa tidak perlu, maka tidak melafadzkannya pun tidak apa-apa.

Namun bila mewajibkan atau mengharuskan melafadzkan niat, maka ini keliru, baik dalam madzhab Syafi’i maupun yang lainnya, ini seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah (w 728 H) :

أن التلفظ بالنية لا يجب عند أحد من الأئمة : ولكن بعض المتأخرين خرج وجها في مذهب الشافعي بوجوب ذلك وغلطه جماهير أصحاب الشافعي

“Sesungguhnya melafadzkan niat tidak wajib menurut seluruh ulama, tetapi beberapa ulama mutaakhirin madzhab Syafi’i berpendapat bahwa melafadzkan niat adalah wajib, dan mayoritas ulama Syafi’i telah mengoreksi kesalahnnya.” (Majmu’ al-Fatawa (22/221).

Perlu diluruskan bahwa yang dimaksud Ibnu Taimiyah dengan ulama mutaakhirin adalah Abu Abdillah az-Zubairi (w 317 H), dan ini telah dibantah oleh al-Imam an-Nawawi, beliau rahimahullah berkata,

قال أصحابنا : غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير

“Berkata ulama kami (madzhab Syafi’i) telah salah orang yang berpendapat seperti ini, bukanlah maksud Imam Syafi’i mewajibkan melafadzkan niat, tetapi yang dimaksud adalah wajib melafadzkan takbir.” (Al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab (4/257).

Ibnu Taimiyah kemudian melanjutkan ucapannya,

ولكن التلفظ بها هل هو مستحب ؟ أم لا ؟ هذا فيه قولان معروفان للفقهاء

“Akan tetapi masalah melafadzkan niat, apakah itu mustahab atau tidak ? dalam masalah ini ada dua pendapat yang ma’ruf di kalangan fuqaha.” (Majmu’ al-Fatawa (22/221).

Jelas sudah masalah tentang melafadzkan niat ini, mudah-mudahan kita selalu mampu melihat setiap permasalahan secara objektif dan adil, sehingga terlahir sikap tasamuh diantara kita, bila ini terlaksana, ketentraman dan ketenangan dalam beribadah dan muamalah akan terwujud. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق* 


Sabtu, 22 Januari 2022

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENCELA ADAT ISTIADAT DAN SESEMBAHAN ORANG LAIN

Dalam kaidah ushul fiqih disebutkan,

 دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

"Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan." 

Islam menghendaki metode dakwah yang bijaksana, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125).

Menjawab viralnya video berdurasi 30 detik yang memperlihatkan seorang pria membuang sesajen di Lumajang. Sambil menunjuk ke sesajen, pria itu berkata, “Ini (sesajen) yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar,” ucap pria tersebut.

Sesungguhnya dakwah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Saya menilai, cara pria dalam video viral tersebut dengan membuang sesajen merupakan metode dakwah yang “kasar”. Akibatnya, bukan simpati malah mendapat antipati dari masyarakat berupa kecaman dan cap intoleran. Lebih-lebih, membuang sesajen tanda tidak mencerminkan “empati” kepada pihak yang sedang tertimpa musibah bahkan terkesan “menghakimi” korban bencana. 

Bagi seorang muslim yang memahami islam bahwa mempersembahkan sesaji itu merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan, its okay, semua sepakat. Namun bila reaksinya sampai seperti itu (membuang sesajen), itu tidak tepat karena ia melakukannya dengan cara yang kasar. Kalau terkesan kasar, dikhawatirkan dakwah islam yang ingin disampaikan tidak akan mendapatkan simpati bagi mereka yang masih belum memahami islam. Apalagi jika yang membuat sesaji justru mereka yang beragama lain, tentu sebuah bentuk intoleransi menurut Al-Qur'an.

Dalam rumusan teologi bencana yang terdapat dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa bencana yang terjadi pada dasarnya adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kesemuanya itu sudah menjadi ketentuan Allah yang telah tertulis di Lauh Al-Mahfudz (takdir).

Dalam tataran makna, bencana yang banyak terjadi akhir-akhir ini dalam bahasa Al-Qur'an lebih tepat untuk disebut sebagai fitnah (cobaan atau ujian) dengan cakupannya tidak hanya menimpa mereka yang bersalah atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, melainkan juga mereka yang tidak berdosa (tidak berbuat salah). Sebagaimama firman Allah Ta'ala,

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya." (QS. Al-Anfal : 25)

Sementara dalam surat Al-An'am ayat 108 berkaitan dengan larangan mencaci sesembahan agama lain. Surat Al-An'am secara tegas melarang umat Islam untuk mencela Tuhan yang disembah umat agama lain.

Asbabun Nuzul Surat al-An'am ayat 108 bermula dari salah seorang umat Islam yang mencela Tuhan orang musyrik. Kemudian, Allah SWT melalui Surat Al-An'am ayat 108 memperingatkan umat Islam agar tidak mencela Tuhan mereka lagi.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (108)

"Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-An'am : 108)

Allah Ta'ala berfirman, melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sembahan-sembahan orang-orang musyrik, sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat, hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar daripada itu. Kerusakan yang dimaksud ialah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin, yaitu: 

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ

"Allah, tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) melainkan Dia yang hidup kekal." (QS. Al-Baqarah : 255)

Seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata, "Hai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu." Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala-berhala sembahan kaum musyrik.

Yang demikian itu adalah yang dimaksudkan di dalam firman-Nya, 

فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

"karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (QS. Al-An'am : 108)

Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh, arah daripada maslahat adalah hal yang diperintahkan.

Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

"مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ". قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ".

"Terlaknatlah seseorang yang memaki kedua orang tuanya. Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat mencaci kedua orang tuanya sendiri?" Rasulullah Saw. bersabda Dia mencaci bapak seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci bapaknya. Dan dia mencaci ibu seseorang, lalu orang yang dicacinya itu balas mencaci ibunya."

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ

"Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka." (QS. Al-An'am: 108)

Yakni sebagaimana Kami hiaskan kepada mereka cinta kepada berhala-berhalanya, membelanya, dan menolongnya, maka Kami hiaskan pula kepada setiap umat dari kalangan umat terdahulu yang sesat menyukai amal perbuatan mereka. Hanya milik Allah-lah hujah yang kuat dan hikmah yang sempurna dalam menentukan apa yang dikehendaki dan apa yang dipilih-Nya.

ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ

"Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka." (QS. Al-An'am : 108)

Maksudnya, kepulangan dan pengembalian mereka.

فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"lalu Dia memberikan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-An'am : 108)

Yakni Dia akan membalas mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka. Jika amal perbuatan mereka baik, maka balasannya baik; dan jika amal perbuatan mereka buruk, maka balasannya buruk pula. (Tafsir Ibnu Katsir ayat 108).

Dalam QS. An Nahl: 125 diatas, Al-Qur’an mengajarkan dakwah harus memakai untaian kata dan sikap yang santun dan nasihat yang bijaksana. Seandainya dibutuhkan memakai diskusi pun tetap harus menerapkan rangkaian kata yang santun dan tidak menyinggung hati mereka. Karena pada dasarnya, para dai mengajak kepada sesuatu yang benar yang tentunya harus memakai cara yang santun dan benar sesuai akhlak Al-Qur’an. Rasulullah pun jauh hari telah berwasiat bahwa ia diutus sebagai penyempurna akhlak umatnya,   

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق   

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlak." (HR. Ahmad). Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin


*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 17 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MELIPAT BAJU ATAU CELANA SAAT SHALAT

Dalam video yang lagi ramai beredar di tiktok, WhatsApp maupun di youtube seorang lelaki yang meragakan bentuk kesalahan dalam shalat saat baju lengan panjangnya terlipat. Benarkah hal seperti itu dilarang/diharamkan?

Begini jawabannya. Pada saat shalat, sebetulnya kita sedang “sibuk” bermunajat kepada Allah dengan membaca al-Quran, berzikir dan berdoa, serta menjalankan kaifiyat shalat, baik yang wajib maupun sunat dengan khusyu’ dan thu’maninah. 


عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau sedang shalat dan Beliau membalas salam kami. Ketika kami kembali dari (negeri) An-Najasyi kami memberi salam kembali kepada Beliau namun Beliau tidak membalas salam kami. Kemudian Beliau berkata, “Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukan” (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 2/62)

Riwayat dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ

Nabi Sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "sesungguhnya mukmin itu jika sedang shalat, maka hakikatnya dia sedang bermunajat dengan rabbnya. Maka janganlah meludah ke depan atau ke kanan akan tetapi (jika hajat untuk meludah), maka (boleh meludah) ke kiri atau di bawah telapak kakinya." (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1/90)

Terlebih dalam keadaan sujud. Sujud merupakan simbol puncak kepasrahan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah. Ketika kepala, tangan dan kaki merendah sejajar pada titik terendah bumi yang mengubur keangkuhan dan kesombongan diri. Karena itu saat yang paling dekat antara hamba dan Allah adalah ketika sujud.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “keadaan paling dekat antara hamba dan tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 2/49)

Diantara hadits yang dijadikan landasan kaifiyat sujud adalah  bersujud dengan tujuh tulang dengan tidak menahan rambut dan baju, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Ibn Abbas Radiyallahu anhuma,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ ، وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan mengatakan, “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun (Imam Bukhari) membuat bab setelah ini ‘Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) menahan pakaiannya di waktu shalat’”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

اتفق العلماء علي النهي عن الصلاة وثوبه مشمرا وكمه أو نحوه أو ورأسه معقوص أو مردود شعره تحت عمامته أو نحو ذلك فكل هذا مكروه باتفاق العلماء وهي كراهة تنزيه فلو صلى كذلك فقد ارتكب الكراهة وصلاته صحيحة

"Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan. Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah." (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/209), Al Majmu’ asy Syarh al Muhadzdzab (4/98).

Al-Kaftu mempunyai arti yang sama dengan al-Kaffu yaitu mengumpulkan dan menahan. Kalimat “tidak boleh menahan rambut dan pakaian” secara manthuq (tersurat) maksudnya larangan menahan rambut ketika salat (sujud) sehingga tidak terurai dan menyentuh tanah. Kedua, larangan menahan atau menyingsingkan pakaian, sehingga tidak menyentuh tanah ketika salat. Namun berdasarkan qorinah hadits sebelumnya dan secara mafhum muwafaqahnya maka yang dituntut adalah menghindari segala gerakan yang tidak mencerminkan kekhusyuan dan tidak sesuai dengan kaifiyat salat, kecuali ada hajat atau dalam keadaan darurat. Dimana ketika salat, pada hakikatnya kita sedang bermunajat kepada Allah sehingga dituntut khusyu’ dan tuma’ninah dalam menjalankannya, terlebih dalam sujud, saat yang paling dekat dengan Allah. 

Adapun shalat dengan keadaan baju sudah terlipat atau dilipat sebelum shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak termasuk dalam kategori yang dimakruhkan dalam hadits diatas. Namun, jika melipat bajunya ketika sedang shalat, maka masuk dalam apa yang dimakruhkan dalam hadits diatas.

Terdapat sebuah hadits yang berbunyi,

أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَارِثِ، يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: مَا لَكَ وَرَأْسِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا، مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ

Kuraib, maula Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, telah menceritakan kabar dari Abdullah bin Abbas, bahwa beliau pernah melihat Abdullah bin Harits shalat dengan kondisi rambut kepala terikat di belakangnya. Lalu Ibnu Abbas bergegas melepas rambut yang terikat itu.

Seusai shalat, Abdullah bin Harits menemui Ibnu Abbas, “Mengapa Anda memperlakukan rambut kepalaku seperti itu?”

“Aku mendengar…” Jawab Ibnu Abbas, ”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Permisalan orang yang shalat dengan rambut terikat seperti ini, seperti orang yang shalat dengan kondisi kedua tangannya diikat ke belakang.” (HR. Muslim dan yang lainnya)

Hadits ini menjelaskan bahwa, orang yang sedang shalat dengan kondisi rambut kepala terikat, seperti orang shalat dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang.

*Mengapa dipermisalkan demikian?*

Imam Al Manawi rahimahullah memberikan penjelasan dalam kitab Faidhul Qadir,

لأن شعره إذا لم يكن منتشرا لا يسقط على الأرض ، فلا يصير في معنى الشاهد بجميع أجزائه ، كما أن يدي المكتوف لا يقعان على الأرض في السجود

“Karena rambut yang terikat tidak akan jatuh mengurai ke tanah. Sehingga kondisi seperti ini, tidak menunjukkan persaksian utuh. Seperti kondisi orang yang sujud sementara kedua tangan terikat, sehingga tidak menyentuh tanah (sujud tidak sempurna). (Faidhul Qadir 3/6)

*Apa Hikmahnya?*

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu menjelaskan hikmahnya, saat beliau menegur seorang yang shalat dengan rambut terikat,

إذا صليت فلا تعقص شعرك، فإن شعرك يسجد معك، ولك بكل شعرة أجر

Jika anda sholat, jangan diikat rambut anda. Karena rambut anda akan ikut sujud bersama anda. Dan anda mendapat pahala, dari setiap helai rambut anda. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dinukil dari Nailul Authar 2/379)

Inilah yang mendasari larangan shalat dengan rambut terikat. Namun ada beberapa catatan penting tentang larangan ini :

*[1]. Hanya sebatas makruh, bukan haram.*

Sebagaimana diterangkan dalam Ensiklopedia Fikih,

اتفق الفقهاء على كراهة عقص الشعر في الصلاة ، والعقص هو شد ضفيرة الشعر حول الرأس كما تفعله النساء ، أو يجمع الشعر فيعقد في مؤخرة الرأس ، وهو مكروه كراهة تنزيه ، فلو صلى كذلك فصلاته صحيحة

"Para ulama sepakat bahwa shalat dalam kondisi rambut terikat adalah hukumnya makruh. Mengikat di sini maksudnya mengikat rambut bagian belakang seperti yang dilakukan pada wanita atau mengikat keseluruhan rambut kemudian di kebelakangkan. Shalat dengan kondisi seperti ini, hukumnya makruh tanzih (makruh yang kita kenal, bukan makruh yang bermakna haram/makruh tahrim). Namun jika seorang shalat dengan keadaan seperti ini, tetap sah." (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/109)

*[2]. Hanya berlaku saat shalat saja, tidak di luar shalat.*

Seperti dijelaskan oleh Imam Malik rahimahullah,

النهي مختص بمن فعل ذلك للصلاة

"Larangan ini hanya berlaku untuk orang yang mengikat rambutnya saat sholat saja." (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/110)

*[3]. Hanya berlaku untuk laki-laki, tidak untuk perempuan.*

Dalam Nailul Authar, Imam Syaukani rahimahullah menukil penjelasan Imam Al-Iraqi rahimahullah berkenaan hadits di atas,

وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ؛ لِأَنَّ شَعْرَهُنَّ عَوْرَةٌ يَجِبُ سَتْرُهُ فِي الصَّلَاةِ ، فَإِذَا نَقَضَتْهُ رُبَّمَا اسْتَرْسَلَ وَتَعَذَّرَ سَتْرُهُ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهَا

"Larangan tersebut berlaku khusus untuk laki-laki, dan bukan untuk perempuan. Karena rambut perempuan adalah aurat. Wajib ditutup (terlebih) saat shalat. Jika rambut itu terurai, bisa menyebabkan terlihat keluar hijab, dan dia tidak mampu menutupinya. Sehingga akan menyebabkan batalnya sholat." (Nailul Authar 2/379).

Larangan melipat pakaian yang dinilai hanya sampai kepada hukum Makruh saja dalam masalah ini nampaknya dipengaruhi oleh adanya dalil lain yang mengalihkan hukum asal dari sebuah larangan yaitu haram kemudian berubah menjadi tidak haram. Dalil tersebut adalah sebuah perbuatan yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang intinya adalah,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج في حلة مشمرا فصلى ركعتين

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dengan pakaian yang Musyammir (pakaian yang diangkat bagian paling bawahnya) lalu beliau shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari)

Kesimpulannya pertama, shalat dengan dengan baju terlipat hukumnya mubah dan salatnya tetap sah. Kedua, melipat atau menggulung baju lengan dalam ketika salat hukumnya makruh, karena dapat menganggu kekhusyuan dan thuma'ninah gerakan shalat. ketiga, menggulung atau melipat diluar shalat hukumnya mubah. Seperti halnya humor santri bahwa shalat memakai sarung tidak sah, karena seharusnya sarung dipakainya sebelum memulai shalat. Wallahu a'lam

Masalah ini sudah pernah saya buat artikelnya di http://mwcnucipayung.blogspot.com/2020/12/kajian-tentang-hukum-menggulung-pakaian.html

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 13 Januari 2022

KAJIAN TENTANG MANFAAT DAN FAIDAH MINUM KOPI


Menjamurnya kafe di masyarakat kota hingga warung kopi yang telah lama berkembang di desa-desa membuktikan, kopi menjadi minuman khas yang disukai di Indonesia. Kini, kopi jadi minuman konsumsi favorit banyak orang, termasuk generasi milenial di negeri ini.

Kopi merupakan minuman yang sangat nikmat disajikan di segala kondisi. Kopi juga memiliki cita rasa yang khas yang sangat melekat di lidah penikmatnya. Kopi juga terbukti mengandung unsur kimia yang bisa menolak rasa kantuk dan ini sangat berfaedah sekali bagi orang yang ingin bergadang atau memiliki aktifitas malam hari.

Di dalam kitab karya Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Athtas (1257-1334 H) Tadzkir An-Nass hal.118-119 beliau menjelaskan tentang faedah dan manfaat meminum kopi,

وكان سيدي رضي الله عنه يقول : إن قهوة البن بدون سكر ترفع وخم البطن وتُعين على السهر ، وكان له منها كل يوم وقت انتباهه من نوم القيلولة نحو خمسة عشر فنجاناً ، ومثلها وقت استيقاظه من النوم آخر الليل ، وإذا نزل ضيفاً عند أحد فلا يرقد حتى تقرب له أدوات القهوة.

Tuan guruku (Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Athtas) Radhiyaallah Anhu berkata, "Sesungguhnya Qahwa al-Bun (kopi) jika diseduh tanpa gula dapat menghilangkan kotor perut dan bisa membantu kuat tidak tidur malam. Dikisahkan, bahwa beliau setiap hari saat bangun dari tidur Qailulah menghabiskan 15 cangkir kopi. Begitu juga beliau lakukan ketika terbangun diakhir malam. Dan ketika beliau bertamu ke rumah seseorang, beliau tidaklah tidur sebelum beliau disuguhkan perabotan-perabotan (beberapa cangkir) kopi." (Tadzkir An-Naas hal. 118)

وذكر رضي الله عنه عن شيخه الحبيب أبي بكر بن عبد الله العطاس أنه قال : كان السيد أحمد علي بحر القديمي يجتمع مع رسول الله يقظة ، فقال يا رسول الله أريد أن أسمع منك حديثاً بلا واسطة . فقال ك صلى الله عليه وسلم أحدثك بثلاثة أحاديث : الأول ، ما زال ريح قهوة البن في فم الإنسان تستغفر له الملائكة ، الثاني ، من اتخذ سبحة ليذكر الله بها كتب من الذاكرين الله كثيراً ، إن ذكر بها أو لم يذكر ، الثالث، من وقف بين يدي ولي لله حي أو ميت فكأنما عبد الله في زوايا الأرض حتى يتقطع إرباً أرباً.

Dan sebutkan, bahwa beliau (Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Athtas) Radhiyaallah Anhu dari gurunya (Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Athtas) Radhiyaallah Anhu, bahwa beliau berkata, "Suatu ketika As-Sayyid Ahmad bin Ali Bahar al-Qadimiy pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad dalam keadaan terjaga. Beliau berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku ingin mendengar hadits darimu secara langsung tanpa perantara.” 

Rasulullah menjawab, “Aku akan memberikan kepadamu 3 hadits:

*Pertama:* “Selama bau Qahwa Al-Bun (kopi) masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untuknya.”

*Kedua:* “Barang siapa saja yang membawa Subhah (tasbeh) dia akan dicatat sebagai orang yang berdzikir baik ia sedang gunakan berdzikir atau tidak.”

*Ketiga:* “Barang siapa saja yang menziarahi seorang wali baik yang masih hidup atau yang telah wafat, maka dirinya mendapat keutamaan pahala orang yang beribadah di setiap sudut bumi sampai dirinya terpotong-potong.” (Tadzkir An-Naas hal. 118-119)

قال سيدي رضي الله عنه : وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله العطاس يقول : إن المكان الذي يُترك خالياً يسكنون فيه الجن ، والمكان الذي تفعل به القهوة لا يسكنونه الجن ولا يقربونه.

Tuan guruku (Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Athtas) Radhiyaallah Anhu berkata, “Al-Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Athtas berkata, “Sesungguhnya tempat kosong yang tidak ada penghuninya sangat disukai oleh Jin, sedangkan tempat yang sering dijadikan ngopi, maka Jin tidak akan betah tinggal dan tidak akan mendekatinya”. (Tadzkir An-Naas hal. 119)

وكان سيدي رضي الله عنه إذا أكمل ورد الليل وأحضرت القهوة بين يديه يقول ( الفاتحة ) لمشائخ القهوة البنية ومن شربها بِنِيَّة من صالحي الصوفية أن يتغشاهم الله بالرحمة والمغفرة ، وأن الله بجاههم عليه يبلغنا كل أُمنِية ويحفظنا من كل أذية ، ويسهل أرزاقنا الحسية والمعنوية وجميع البلدان الإسلامية ويصلح العمل والنية والعافية والذرية بجاه نبينا محمد خير البرية صلى الله عليه.

Tuan guruku (Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Athtas) Radhiyaallah Anhu ketika telah menuntaskan warid malam dan kopi dihidangkan pada beliau, beliau mengucapkan, "Ini untuk para peminum kopi cokelat dan bagi mereka yang meminumnya dengan niat mengikuti para Sufi yang shaleh maka Allah akan menghamparkan kepada mereka dengan rahmat dan pengampunan, dan sesungguhnya Allah dengan keagungan-Nya akan mengabulkan setiap keinginan kita, melindungi kita dari semua bahaya, memfasilitasi rizki lahir batin dan kepada seluruh negara Islam, dan akan memperbaiki pekerjaan, niat, kesehatan dan keturunan dengan kemuliaan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaik-baik (makhluk) ciptaan (Allah Ta'ala)." (Tadzkir An-Naas hal. 119)

Lalu dari Indonesia juga ada penjelasan terkait manfaat dan faedah meminum kopi oleh Al-Allamah Syekh Ikhsan Jampes Kediri dalam kitabnya Irsyadul Ikhwan fi Syurbil Qahwah wa Ad-Dukhan, juga Syeh Abdul Qadir Bin Syekh dalam kitab Shafwah As-Shafwah fi Bayan hukmil Qahwah, dijelaskan juga dalam kitab Tarikh Ibnu Tayyib mengenai keutamaan Kopi. dan banyak lagi ulama yang menjelaskan tentang kopi.

Pasti kita penasaran kenapa para ulama bahkan para sufi mengistimewakan kopi? Coba kita lihat komentar Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berikut,

ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل

"Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan. Para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya, namun alhasil yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari Qoidah 'bagi perantara menjadi hukum tujuannya' maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya, maka fahami asalnya." (Al-I'ab Syarh Al-Ubab) 

Syeikh Nawawi al-Bantani, mengatakan beberapa kali kepada muridnya,

عليك بشرب القهوة فإنها تمنع النعاس وتورث الذكاء

“Minumlah kopi, olehnya akan tercegah rasa kantuk, dan dapat mencerdaskan pikiran”

Syeikh Ihsan Jampes juga menyampaikan,

عليك بأكل البُنِّ فى كلّ ساعة * ففى البنِّ للأكل خمس فوائد نشاط و تهضيم و تخليل بلغَم * تطَيُّب اَنْفاس و عون لقاصد

"Minumlah kopi setiap waktu, karena ada lima faidah di dalamnya; Membangkitkan semangat, melancarkan pencernaan, menghilangkan dahak, memperbaiki pernafasan, dan membantu tujuan". (Kitab Irsyadul Ikhwan karya Syeikh Ihsan Jampes)

Dalam Tarikh Ibnu Thayyib dijelaskan,

يَـا قَهْـوَة تُـذْهِبُ هَـمَّ الفَـتَى * أَنْت لحـاوى العِـلْم نِعْـمَ المُـرَادِ

شَـرَابُ أَهْـلِ الله فِيْـهِ الشِّفَـاء # لِطَـالِبِ الحِكْمَـةِ بَيْـنَ العِبَـادِ

حَرَّمَهَـا اللهُ عَلَى جَاهِـلٍ # يَقُـوْلُ بِحرمتِـهَا بِالعِنَـادِ

"Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda. Kau bagi para pencari ilmu merupakan paling enaknya keinginan."

"Kopi adalah minuman orang yang dekat pada Allah. Didalamnya ada kesembuhan bagi para pencari hikmah diantara manusia."

"Kopi diharamkan bagi orang bodoh. Dan mengatakan keharamannya dengan keras kepala." (Umdatus Shafwah Hal. 174).

Imam Ahmad As-Subki mengatakan,

وَأَمَّـا مَنَـافِعُهَـا يَعْنِـيْ القَهْـوَةُ تَقْرِيْبًـا .. فالـنَّشَاط لِلْعِبَـادَةِ، وَالإِشْغَـالِ المُهِمَّـةِ، وَهَضْـمِ الطَّعَـامِ، وَتَحْلِيْـلِ الرِّيَـاحِ وَالقولـنج وَالبَلْغَـمِ كَثِيْـرًا.

"Kira-kira manfaat kopi yaitu membuat semangat beribadah dan melakukan pekerjaan penting, menghancurkan makanan, menolak masuk angin, serta menghilangkan dahak yang banyak."

Terdapat doa yang dianjurkan ketika minum kopi. Habib Mudhar Ahmad As-Saqaf, Pemalang mengatakan doa minum kopi ini diajarkan langsung oleh Rasulullah terhadap seorang pemuda taat yang berasal dari Maroko. Doa sebelum minum kopi ini termaktub dalam kitab Hikayah As-Shalihin, karya Ahmad Yasin bin Asmuni.

Berikut doa minum kopi tersebut, 

اللهم اجعلها نورا لبصري وعافية لبدنى وشفاء لقلبي ودواء لكل داء, ياقوى يامتين

"Ya Allah jadikanlah bagi kopi ini, minuman sebagai cahaya untuk penglihatan ku, dan jadikanlah kesehatan untuk tubuh ku, Dan jadikanlah  obat penyembuh untuk penyakit hati, dan jadikanlah kopi sebagai obat dari segala bentuk penyakit ku yang menimpa ku.Wahai Dzat yg maha kuat." Wallahu a'lam

Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikam semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 12 Januari 2022

KAJIAN TENTANG BAHAYA UJUB DAN TAKABUR

Tidak sedikit diantara kita yang terkadang terjerembab kepada perbuatan ujub yaitu bangga dengan diri sendiri, merasa telah banyak berbuat baik untuk Islam dan kaum muslimin, juga sifat takabur merasa telah melakukan sesuatu untuk membela Allah, Rasul-Nya dan Al-Qur’an, lalu hati kita menganggap remeh orang yang tak seperti dirinya.

Dalam Islam sikap takabur sangat dibenci karena membuat seseorang ingin memperlihatkan kehebatannya kepada orang lain. Takabur termasuk dalam ujub yang melahirkan sikap sombong. 

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

"Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". (HR. Muslim no. 2749, dari 'Abdullah bin Mas'ud).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman :18)

Rasulullah Shallallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain beliau juga bersabda,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri sendiri).” (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath no. 5452 dan Abdur Razaq, hadist hasan)

Menurut bahasa, kata ‘Ujub atau I’jab bin-nafs mempunyai  makna senang, menganggap baik dan tertarik. Contoh penggunaan kata I’jab dalam arti ini adalah ucapan orang arab yang memgatakan,  “a’jabahul amru” (أعجبه الامر) arti ucapan ini adalah bahwa urusan ini telah menjadikannya senang dan ia tertarik kepadanya.

Menurut istilah para ulama yang dimaksud dengan Ujub atau I’jab bin nafs adalah rasa senang atau gembira dengan diri sendiri dan dengan segala hal yang keluar dari dirinya baik berupa ucapan, perbuatan tanpa disertai pelanggaran atau pelampauan batas terhadap orang lain baik berupa ucapan atau perbuatan yang menjadikannya senang itu berupa kebaikan ataupun keburukan, terpuji atau tidak terpuji.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, 

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ 

“Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat”. (HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

وَلاَ أَعْلَمُ فِي الْمُصَلِّيْنَ شَيْئًا شَرٌّ مِنَ الْعُجْبِ

“Aku tidak mengetahui pada orang-orang yang rajin shalat perkara yang lebih buruk daripada ujub” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman no. 8260).

Jika rasa senang dan bangga tersebut disertai pelampauan dan pelanggaran hak orang lain dengan cara menolak kebenaran nasehat atau meremehkan kepribadian orang lain serta merasa lebih tinggi atas mereka maka hal ini dinamakan takabur.

Allah Ta’ala berfirman tentang kesombongan kaum Tsamud yang merendahkan pengikut  Nabi Shalih Alaihissalam. 

قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ ۚ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ﴿٧٥﴾قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ﴿٧٦﴾فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَا صَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ 

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka berkata, “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?”. Mereka (yang dianggap lemah) menjawab, “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu”. Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata, “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)”. (QS. Al-A’râf [7] :75-77)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ 

“Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan”. [HR. Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499)

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ 

“Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)”. (HR. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no.151).

Lalu adakah perbedaan antara ‘Ujub dan takabur? Ada dua pendapat dalam masalah ini yaitu :

1. Antara ‘Ujub dan Kibr tidak terdapat perbedaan dan bahwasannya keduanya adalah sama.

2. Terdapat perbedaan antara ‘Ujub dan Kibr. Namun, mereka juga tidak bersepakat tentang perbedaan diantara keduanya.

a. Satu pendapat mengatakan bahwa Kibr adalah akhlaq batin yang darinya muncul banyak perbuatan. Akhlaq yang dimaksud adalah melihat diri sendiri lebih tinggi daripada orang lain. Sedangkan ‘Ujub bisa terjadi walaupun tidak ada pembandingan orang lain. 

Jadi seorang yang memiliki akhlaq Kibr melihat dirinya lebih tinggi dari orang lain, karenanya ia merasa ge-er, gembira dan puas terhadap apa yang diyakininya.

b. Imam Al-Mawardi mengatakan, "Kibr itu terkait dengan kedudukan, sedangkan ‘Ujub terkait dengan kelebihan." 

Jadi seorang yang memiliki akhlaq Kibr membesarkan dirinya melebihi kapasitas orang yang sedang belajar sedangkan orang yang memiliki ‘Ujub memandang dirinya banyak memiliki kelebihan sehingga tidak perlu lagi untuk menambah orang yang belajar kepadanya.

c. Abu Hilal berkata, "perbedaan antara ‘Ujub dan kibr adalah bahwa ‘Ujub dengan suatu arti ia merasa senang dengan sesuatu, sehingga sesuatu itu dipandangnya sebagai hal yang tidak ada duanya. Dan seseorang dikatakan ‘Ujub dengan dirinya manakala ia merasa senang dengan hal yang ada padanya. Namun hal ini tidak ada sama sekali pada akhlaq kibr.

‘Ujub adalah pengikatan jiwa pada suatu kelebihan yang dimiliki memiliki kelayakan untuk dijadikan bahan ‘ujub padahal kelebihan itu bukan milik jiwa itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ

“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub! ujub!” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman no. 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munawi bahwasanya isnadnya jayyid (baik) dalam at-Taisir)

Adakah cara atau trik terhindar dari sifat ujub dan takabur? Ulama banyak membahas kalau sifat ujub (berbangga diri) dan takabbur (menolak kebenaran dan merendahkan orang lain) merupakan diantara sifat-sifat penyakit hati. Seseorang yang terjangkit penyakit ini akan merasa mulia dan menganggap dirinya besar, sementara kepada orang lain cenderung ada rasa meremehkan dan merendahkan.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa buah dari penyakit ujub ini adalah banyaknya sifat keakuan. Aku lebih baik dari itu, aku begini, begitu dan lain sebagainya. Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menuturkan bahwa sifat ujub mirip dengan sifat takabbur dalam hal definisi. Orang yang takabur merasa dongkol atau kesal saat diberi nasehat sementara kasar ketika memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain maka dialah orang yang sombong sejatinya.

Lantas, bagaimana agar seseorang bisa terhindar dari sifat ujub ini? Berikut 5 trik terhindar dari sifat ujub menurut Imam Al-Ghazali yang dikutip dari kitabnya Bidayatul Hidayah hal. 135-136,

بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

“Selayaknya ketahuilah olehmu bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah kelak di akhirat. Hal itu merupakan perkara yang ghaib (tidak diketahui) sehingga menunggu adanya kematian. Keyakinanmu bahwa dirimu lebih baik dari orang lain merupakan sebuah kebodohan. Sepantasnya engkau tidak memandang orang lain melainkan dengan pandangan bahwa ia ebih baik dari dirimu dan mempunyai kelebihan daripada dirimu.” (Bidayatul Hidayah hal. 135-136).

Secara gamblang, trik-trik agar seseorang terhidar dari sifat ujub, takabbur, atau berbangga diri tersebut adalah berikut ini,

1. Bila memandang anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah sementara engkau yang lebih tua darinya justru sebaliknya. Sehingga dengan demikian sudah jelas bahwa ia lebih baik darimu.

2. Bila melihat orang lain yang lebih tua maka yakinlah bahwa dirinya lebih dulu beribadah kepada Allah, sehingga ia lebih baik dari dirimu.

3. Bila orang lain tersebut berilmu maka yakinlah bahwa ia mendapatkan anugerah yag tidak engkau dapatkan, menjangkau apa yang belum engkau jangkau dan mengetahui apa yang tidak engkau tahu. Jika sudah demikian, bagaimana engkau bisa sepadan dengannya atau bahkan lebih unggul?

4. Bila orang lain itu bodoh maka anggaplah bahwa ia melakukan maksiat dengan kebodohannya. Sementara engkau bermaksiat dengan berlandaskan ilmu. Inilah yang menjadi bukti penguat kelak di pengadilan akhirat.

Bila orang lain itu kafir maka yakinlah bahwa kondisi akhir (kematian) seseorang tidak ada yang tahu. Bisa saja orang kafir itu masuk Islam sebelum mati dengan amalan baik (husnul khatimah). Sementara diri kita bisa menjadi sesat dan menjadi kafir sebelum kematian menjemput, sehingga  meninggal dengan amalan buruk (su’ul khatimah) Na'udzu billahi min dzalik.

Itulah kiat-kiat supaya seorang hamba bisa terhindar dari sifat ujub ataupun takabbur yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, semoga kita semua bisa terhindar dari penyakit hati tersebut, amin. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 09 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM SESAJEN DALAM TRADISI JAWA

Baru-baru ini beredar sebuah video seorang pria berjenggot membuang dan menendang sesajen warga di Gunung Semeru di Lumajang Jawa Timur (Jatim).

Belum jelas betul identitas pria tersebut. Namun Ia nampak berjenggot, memakai peci, kemudian mengenakan rompi hitam dan sarung abu-abu. Pada dada sebelah kirinya ada logo bendera Indonesia merah dan putih.

"Ini yang membuat murka Allah ya. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah. Hingga Allah menurunkan azabnya, Allahu Akbar," demikian pria dalam video itu sambil menunjuk dua nampan sesajen di bawahnya.

Di Indonesia syiar agama termasuk proses yang sangat unik, menarik dan dinamis. Meski sudah berlangsung berabad-abad lamanya, masih saja menjadi perdebatan hingga sekarang. Padahal tujuan dari walisongo penyebar agama Islam terutama di Jawa menjadikan tradisi sebagai jembatannya. Karena susahnya mencari celah dalam penyebaran agama Islam di jawa, sehingga menggunakan tradisi lokal sebagai jembatan untuk menemukan celahnya.

Sesajen merupakan salah satu adat yang ada dalam masyarakat, yang ketika zamannya para wali datang ketanah jawa sesajen masih tetap dipertahankan. Karena syiar Islam tidak serta merta langsung menghilangkan apa yang ada, selama hal itu baik akan dilanjutkan hanya kaidahnya saja yang diganti.

Lantas bagaimana hukum pembuatan sesajen? Dalam kitab Bulghatut Thullab hlm. 90/91 dijelaskan mengenai tradisi sesajen,

سألة -ث : العادة المطردة فى بعض البلاد لدفع شر الجن من وضع طعام أو نحوه فى الأبيار أو الزرع وقت حصاده وفى كل مكان يظن أنه مأوى الجن وكذلك إيقاد السرج فى محل ادخار نحو الأرز الى سبعة أيام من يوم الإدخار ونحو ذلك كل ذلك حرام حيث قصد به بل إن قصد التعظيم والعبادة له كان ذلك كفرا-والعياذ بالله- قياسا على الذبح للأصنام المنصوص فى كتبهم. وأما مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله ليدفع شر ذلك الجن فجائز ما لم يكن فيه إضاعة مال مثل الإيقاظ المذكور انفا, فإن ذلك ليس هو التصدق المحمود شرعا كما صرحوا أن الإيقاد أمام مصلى التراويح وفوق جبل أحد بدعة. قلت : حتى إن مجرد التصدق بنية التقرب إلى الله لا ينبغى فعله فى خصوص تلك الأماكن لئلا يوهم العوام ما لا يجوز إعتقاده.

“Tradisi yang sudah mengakar di sebagian masyarakat yang menyajikan makanan dan semacamnya kemudian diletakkan di dekat sumur atau tanaman yang hendak dipanen dan ditempat-tempat lain yang dianggap tempatnya jin, serta tradisi lain seperti menyalakan beberapa lampu di tempat penyimpanan padi selama tujuh hari yang dimulai dari hari pertama menyimpan padi tersebut, begitu pula tradisi-tradisi lain seperti dua contoh di atas itu hukumnya haram jika memang bertujuan mendekatkan diri kepada jin. Bahkan bisa menyebabkan kekafiran (murtad) jika disertai tujuan pemuliaan dan wujud pengabdian. Keputusan hukum ini diqiyaskan dengan hukum penyembelihan hewan yang dipersembahkan untuk berhala yang disebutkan oleh fuqaha dalam kitab-kitab mereka. Adapun jika sekedar bersedekah dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah untuk menghindarkan diri dari kejahatan yang dilakukan oleh jin tersebut maka diperbolehkan selama tidak dengan cara menyia-nyiakan harta benda, seperti tradisi menyalakan lampu yang baru saja disebutkan. Karena hal tersebut tidak termasuk dalam sedekah yang terpuji dalam pandangan syari'at, Sebagaimana ulama menjelaskan bahwa menyalakan lampu di depan tempat shalat tarawih dan di atas gunung arafah itu dikategorikan bid'ah. Saya berkata : Bahkan sekedar bersedekah dengan niat mendekatkan diri pada Allah pun tidak pantas dilakukan di tempat-tempat ditempat-tempat tersebut, agar orang awam tidak salah faham, lalu meyakini hal yang tidak seharusnya diyakini .” (Bulghatut Thullab hlm. 90/91)

Islam juga menganut hukum fikih yang mengakui adanya hukum adat. Hukum adat yang dimaksud adalah adat masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang. Sesajen dalam Hukum Islam itu sama seperti sedekah, artinya menghidangkan sajian untuk bersedekah agar mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

*‘Urf (Adat) Sebagai dasar Hukum*

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ Usul Fikih (ushuliyyun) bahwa sumber /dasar/dalil hukum Islam ada 2 (dua) yaitu sumber naqly (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan aqly (akal). Sumber/dalil hukum yang didasarkan atas akal, dalam metodologi hukum Islam (Usul Fikih), dikonstruksi oleh ulama dengan istilah Ijtihad. Salah satu metode ijtihad adalah ‘urf (penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan/tradisi/adat setempat). Penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan setempat (‘urf) ini tentu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat  dan hanya digunakan dalam bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual)

Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

*(تهميل) Tahmil*

Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur tidak menyentuh masalah yang mendasar dan nuansanya berupa anjuran dan bukan perintah. Disisi lain, aturannya lebih banyak menyangkut etika yang sebaiknya dilakukan tetapi tidak mengikat.

Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.

*(تحر يم) Tahrim*

Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

*(تغيير) Taghyir*

Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat

*Prinsip “Segala Sesuatu Boleh Dilakukan”*

Metode berfikir di kalangan madzhab Syafi’i antara lain berpijak pada kaidah الأصل في الأشياء الإباحة (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Sedangkan  dikalangan madzhab Hanafi menggunakan kaidah sebaliknya yaitu الأصل في الأشياء التحريم  (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang).

Dalam perkembangannya dua kaidah yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara membedakan wilayah kajiannya. Kaidah الأصل في الأشياء الإباحة ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah    الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash).  

Sedangkan kaidah  الأصل في الأشياء التحريم  ditempatkan dalam wilayah kajian ibadah mahdhah/ritual dan kemudian muncul kaidah  الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan).

Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat tersebut boleh atau tidak, bid’ah atau tidak bid’ah. Prinsip yang pertama, dalam urusan/wilayah/bidang  muamalah (selain ibadah)  adalah “segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan”, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya. Sedangkan prinsip kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada perintah, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan suatu ibadah kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan”.

Oleh karena itu, tradisi/kebiasaan/adat apapun yang ada dimasyarakat, selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang melarang) adalah boleh saja dilakukan (ibahah).

Bahkan suatu tradisi/kebiasaan/adat tertentu bisa dijadikan dasar penetapan (legitimasi) hukum dan sekaligus  sebagai dasar (legitimasi) penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam bidang jual beli (transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah : العادة محكمة (adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena persoalan muamalah tidak semuanya dan tidak mungkin diatur secara detail dalam nash (yang diatur secara rinci dalam nash sangat terbatas, sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja yang diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar diatur secara detail termasuk teknis pelaksanaannya.

*Prinsip Kemaslahatan dan Kemanfaatan*

Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemnfaatan riil. Metode ini dalam hukum Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu paramerter untuk menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak, boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah bermanfaat/ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/ maslahatnya atau tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak berkaitan dengan ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan selama tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka tidak dilarang.

Makanya hukum sesajen dalam pandangan islam juga tidak dapat langsung dihukumi syirik, sebab kita tidak mengetahui niat dari orang yang menggunakan sesajen tersebut. Sehingga beberapa ulama menilai perbuatan tersebut berdasarkan niatnya. Dizaman ulama terdahulu bentuk sesajen ini sudah ada kemiripan dalam bentuk menyembelih hewan.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami seorang ulama fiqih bermadzhab Syafi'i berkata,

ومن ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن يحرم أوبقصدهم حرم

“Barang siapa menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar terhindar dari gangguan jiin, maka tidak haram (boleh). Atau menyembelih dengan tujuan kepada jin maka haram.” (Tuhfatul Muhtaj 9/326)

Sehingga dapat dikatakan bahwa sesajen dengan mengatas namakan Allah itu hukumnya boleh. Namun ada sesajen yang syirik yaitu petuah yang diberikan oleh Syekh Abu Bakar Dimyati Syatha beliau mengatakan saat mensyarahi ungkapan Ibnu Hajar diatas yang dikutip oleh muridnya dalam Fathul Mu’in

بل إن قصد التقرب والعبادة للجن كفر

“Bahkan jika menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada jin maka ia telah kafir.” (‘Ianatuth Thalibin 2/397)

Begitu juga dimungkinkan apa yang dilakukan masyarakat yang terdampak erupsi Semeru di Lumajang Jawa Timur membuat sesajen sama halnya yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia ketika musim panen yaitu mengadakan sedekah bumi atau sejenisnya, ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur mendapatkan hasil panen yang melimpah, bisa merasakan hasil panen dari tanaman yang ditanam, sehingga menghidangkan makanan dari hasil panen untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Itulah mengapa ketika melihat sesajen disuatu tempat janganlah mudah menuduh kafir atau musyrik. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 01 Januari 2022

MUSRAN NU KEL. SETU KEC. CIPAYUNG JAKARTA TIMUR


https://youtu.be/_8awk2cPf1s

Berdasarkan program kerja tahun 2021 tentang Musran NU Ranting se MWC NU Cipayung Jakarta Timur sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul Ulama pasal 83 tentang Musyawarah Ranting (Musran). Musyawarah Ranting membicarakan dan menetapkan antara lain :

1. Pertanggungjawaban Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis

2. Pokok-Pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk kepada Pokok-Pokok Program Kerja Pengurus Cabang dan Majelis Wakil Cabang.

3. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan.

4. Rekomendasi Organisasi

5. Ahlul Halli wal ‘Aqdi

6. Memilih Ketua Pengurus Ranting.

Musyawarah Ranting NU Kel. Setu Cipayung dilaksanakan pada hari Sabtu, 21 Desember 2021 M bertempat di Aula Kantor Kelurahan Setu Cipayung. Acara dimulai pukul 09.00 dan berakhir pada pukul 15.00 WIB.

Acara yang dihadiri sekitar 60 orang anggota ranting Setu dan pengurus MWC NU Cipayung, tokoh agama dan tokoh masyarakat ini berlangsung dinamis.

Acara didahului dengan upacara pembukaan terdiri dari pembacaan ayat suci Al-Qur'an dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Syubbanul Wathon dipimpin oleh tim paduan suara dari Pengurus Ranting IPNU-IPPNU Setu.

Kemudian acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan Ketua Ranting NU Setu yang disampaikan oleh Rois Syuriyah Ust. Sumardi beliau mengucapkan terimakasih atas kerjasama segenap anggota Ranting NU dan para donatur dan instansi terkait sehingga terlaksana acara Musran, permohonan maaf, karena masih banyak program kerja ranting yang belum terlaksana dan belum maksimal sesuai harapan dan rencana, dan sambutan diakhiri dengan harapan semoga adanya bimbingan dari PCNU Jakarta Timur juga MWC NU Cipayung dalam Musran, menjadi motivasi bangkitnya kembali NU di Ranting Setu terpilih di kemudian hari.

Sambutan sekaligus pengarahan dari Rois Syuriyah MWC. NU Cipayung, yaitu Ust. Muhammad Guntur beliau menjelaskan tentang Ahlussunnah wal jama’ah An Nahdliyyah, pentingnya Pengurus Ranting NU menghidupkan NU di ranting tidak hanya dengan melaksanakan gerakan keagamaan saja, tetapi juga perlu melaksanakan gerakan Ekonomi keummatan, siyasah (politik), sosial, dll., sebagai salah satu wujud kongkritnya adalah dengan mengaktifkan ZISWAF (Zakat Infaq, Shadaqah dan Wakaf) di Ranting NU Setu.

Setelah dilakukan pemilihan secara langsung oleh peserta musran, telah terpilih tim AHWA. Dan setelah melalui musyawarah AHWA terpilihlah Ketua Syuriyah Pengurus Ranting NU Setu masa bakti 2021-2026 yaitu Ust. Muhammad Syuron (di masa khidmad sebelumnya sebagai Ketua Tanfidziyah), dan Ketua Tanfidziyah terpilih Ust. Muhammad Ilham.

Dalam Musran NU Setu dihadiri oleh Mustasyar NU Ust. Muhammad Afif Qalyubi, Rois Syuriyah Ust. Muhammad Guntur Pengurus Majelis Wakil Cabang NU (MWC NU) Cipayung beserta jajarannya, Lurah Kelurahan Setu, pengurus ranting NU Setu, beserta Badan otonom (Banom) dan lembaga. Tampak hadir pula Tokoh masyarakat (Tomas) dan Tokoh agama (Toga) setempat.

Dalam Musran ini ada tiga tahapan sidang pleno. Tahap pertama pembahasan tata tertib Musran, yakni Anggaran Rumah Tangga (ART) ranting NU Setu dalam lima tahun kedepan, serta tata cara pemilihan Rais dan Ketua Ranting.

Selanjutnya, sidang pleno kedua, ketua ranting NU periode lama Ust. Muhammad Syukron membacakan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) di hadapan semua peserta Musran. Terakhir, sidang pleno ketiga, jajaran pengurus ranting NU periode lama di demisionerkan oleh Rais Syuriyah MWC NU Cipayung, kemudian dilakukan pemilihan Rais dan Ketua Ranting secara demokrasi keorganisasian ala Muktamar NU.

Ketua pimpinan sidang, Ust. Muhammad Afif Qalyubi menjelaskan, bahwa pemilihan Rais dilakukan secara Ahwa oleh sejumlah ulama yang hadir, sedangkan untuk menentukan ketua ranting NU dilakukan secara pemungutan suara langsung terhadap kandidat ketua hasil penjaringan panitia.

"Dalam pemilihan ketua ranting NU dan Rais kami lakukan melalui tiga tahapan sidang pleno ala muktamar NU, tujuannya untuk memberikan edukasi bagi semua jajaran NU di tingkat ranting Sepanjang, terutama generasi muda NU yaitu GP Ansor, IPNU dan IPPNU," kata ketua sidang tersebut.

Sementara itu, ketua ranting NU Sepanjang terpilih, Ust. Muhammad Ilham menuturkan bahwa dirinya memiliki kewajiban memegang amanah yang diberikan. Kendati demikan, ia akan tetap melanjutkan program-program yang telah dilaksanakan oleh kepengurusan periode sebelumnya sekaligus meningkatkannya.

"Sebagai ketua ranting terpilih, saya menyampaikan terimakasih atas amanah yang telah diberikan kepada saya, Kedepan, saya berkewajiban melanjutkan apa yang telah dilaksanakan oleh kepengurusan periode sebelumnya, yang kurang kami isi dan yang sudah ada akan kami tambahkan lagi, sehingga bisa tercapai apa yang menjadi tujuan kita bersama," tuturnya.

Selanjutnya Ketua Tanfidziyah Pengurus Ranting NU Setu masa bakti 2021-2026 yaitu Ust. Muhammad Ilham bersama tim formatur akan segera menyusun kelengkapan susunan Pengurus Ranting NU Setu masa bakti 2021-2026 dalam waktu 1 (satu) minggu setelah pelaksanaan Musran.

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan pelaksanaan Musran NU Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Kel. Setu Kec. Cipayung Jakarta Timur masa khidmad 2021-2026 semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

MUSRAN NU KEL. CEGER KEC. CIPAYUNG JAKARTA TIMUR

 


https://youtu.be/3hhUgo2ESEE

*MUSRAN NU KEL. CEGER KEC. CIPAYUNG JAKARTA TIMUR*

Musran NU adalah singkatan dari Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama (NU) sedangkan Ranting sendiri adalah struktur organisasi NU di tingkat Desa atau Kelurahan dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.

Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama adalah forum permusyawaratan tertinggi di struktur organisasi Pengurus Ranting NU yang memiliki tugas dan wewenang untuk; memilih Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah Ranting NU, melaksanakan persidangan guna membahas dan menetapkan program kerja, menetapkan Tim Formatur untuk penyusunan struktur Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (NU).

Berapa tahun sekali Musran NU dilaksanakan? Musran NU Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali sesuai dengan masa khidmat (periode) kepengurusan. Musran juga dilaksanakan atas alasan telah habisnya masa khidmat Pengurus Ranting NU.

Siapa saja peserta Musran NU? Musran NU Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama diikuti oleh peserta dari Pengurus Ranting NU setempat dan diikuti oleh Pengurus Anak Ranting NU (jika sudah terbentuk). Jika belum terbentuk, maka Musran NU diikuti hanya oleh Pengurus Ranting dan oleh Undangan yang ditetapkan Panitia Musran?

Apa Tugas Panitia Musran NU? Panitia Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama bertugas menyiapkan seluruh kebutuhan (dan kegiatan) yang berhubungan dengan pelaksanaan Musyawarah; dari perlengkapan tempat penyelenggaraan hingga urusan akomodasi bagi peserta. Panitia Musran NU ditetapkan oleh Pengurus Ranting NU setempat dan bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kepanitiaan.

*Ketentuan Musran NU*

Pasal 45 Anggaran Rumah Tangga NU mengatur tentang Ketentuan Musran NU Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama, di mana Pemilihan dan penetapan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama sebagai berikut:

1. Rais dipilih secara langsung melalui Musyawarah mufakat dengan sistem ahlul halli wal ‘aqdi.

Ahlul halli wal ‘aqdi terdiri dari 5 orang ulama yang dipilih secara langsung oleh Musyawarah Ranting.

2. Kriteria ulama yang dipilih menjadi ahlul halli wal ’aqdi adalah sebagai berikut: beraqidah ahlu’ssunnah wa al-jama’ah al-nahdiyah, bersikap adil, ‘alim, memiliki integritas moral, tawadlu’, berpengaruh dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan muharrik serta wara’ dan zuhud.

3. Ketua dipilih secara langsung melalui Musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam Musyawarah Ranting dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapat persetujuan dari Rais terpilih.

Rais dan Ketua terpilih bertugas melengkapi susunan Pengurus Harian Syuriyah dan Tanfidziyah dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang dipilih dari dan oleh peserta Musyawarah

Sementara itu, ketentuan Musran NU juga di atur dalam Pasal 83, di mana; Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulamaadalah forum permusyawaratan tertinggi untuk tingkat Ranting; dan Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama membicarakan dan menetapkan:

1. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis.

2. Pokok-Pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk kepada Pokok-Pokok Program Kerja Pengurus Cabang dan Majelis Wakil Cabang.

3.Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan.

4. Rekomendasi Organisasi.

5. Ahlul Halli Wal Aqdi.

6. Memilih Ketua Pengurus Ranting.

Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun. dan Musyawarah Ranting dihadiri oleh : 

1.Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama; 

2.Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama. Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama sah apabila dihadiri oleh sekurang-kuranhnya 2/3 dari jumlah Anak Ranting di daerahnya.

*Musran NU Kel. Ceger*

Pada hari Minggu, 26 Desember 2021 pukul : 09.00 - 15.00 wib. bertempat di Masjid Nurul Ilmi SMPN 160 Jl. SMPN 160 Ceger Cipayung Jakarta Timur telah dilangsungkan Musyawarah Ranting NU untuk masa khidmad 2021 - 2026, sebagai Rois Syuriyah terpilih KH. Hamami dan Ketua Tanfidziyah Ust. Ade Haris.

Dalam Musran NU Ceger tersebut dihadiri oleh Ketua PCNU Jakarta Timur Gus Azaz Rulyaqien, Wakil Ketua KH. Amiruddin, tokoh NU Cipayung Wakil Ketua RMI PBNU KH. Masrur 'Ainun Najih, beliau juga sebagai Mustasyar MWC NU Cipayung, hadir juga Lurah Ceger, Rois Syuriyah MWC NU Cipayung Ust. Muhammad Guntur dan jajaran tanfidziah, banom NU, Muslimat, Fatayat, IPNU, IPPNU, Anshor dan segenap tokoh masyarakat dan tokoh agama lainnya.

Gus Azaz Rulyaqien Ketua PCNU Jakarta Timur menyampaikan dalam sambutannya kepada seluruh peserta dan warga nahdliyin khususnya Pengurus yang terpilih nantinya bisa mengemban amanah mulia dari muassis NU KH. Hasyim Asy'ari dalam menyampaikan dakwah Ahlussunnah Wal Jama'ah bil Hikmah wal Mau'izhatil Hasalah sebagai agama Rahmatan Lil 'Aalamiin.

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan penjelasan singkat tentang istilah Musran NU (Musyawarah Ranting Nahdlatul Ulama), sebuah istilah ke-NU-an yang harus jadi pedoman oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Kel. Ceger Kec. Cipayung Jakarta Timur masa khidmad 2021-2026 semoga bermanfaat. Aamiin


*والله الموفق الى أقوم الطريق*