MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 17 Januari 2022

KAJIAN TENTANG HUKUM MELIPAT BAJU ATAU CELANA SAAT SHALAT

Dalam video yang lagi ramai beredar di tiktok, WhatsApp maupun di youtube seorang lelaki yang meragakan bentuk kesalahan dalam shalat saat baju lengan panjangnya terlipat. Benarkah hal seperti itu dilarang/diharamkan?

Begini jawabannya. Pada saat shalat, sebetulnya kita sedang “sibuk” bermunajat kepada Allah dengan membaca al-Quran, berzikir dan berdoa, serta menjalankan kaifiyat shalat, baik yang wajib maupun sunat dengan khusyu’ dan thu’maninah. 


عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلَاةِ شُغْلًا

Dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata: “Kami pernah memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau sedang shalat dan Beliau membalas salam kami. Ketika kami kembali dari (negeri) An-Najasyi kami memberi salam kembali kepada Beliau namun Beliau tidak membalas salam kami. Kemudian Beliau berkata, “Sesungguhnya dalam shalat ada kesibukan” (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 2/62)

Riwayat dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu anhu,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ

Nabi Sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "sesungguhnya mukmin itu jika sedang shalat, maka hakikatnya dia sedang bermunajat dengan rabbnya. Maka janganlah meludah ke depan atau ke kanan akan tetapi (jika hajat untuk meludah), maka (boleh meludah) ke kiri atau di bawah telapak kakinya." (HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1/90)

Terlebih dalam keadaan sujud. Sujud merupakan simbol puncak kepasrahan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah. Ketika kepala, tangan dan kaki merendah sejajar pada titik terendah bumi yang mengubur keangkuhan dan kesombongan diri. Karena itu saat yang paling dekat antara hamba dan Allah adalah ketika sujud.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “keadaan paling dekat antara hamba dan tuhannya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 2/49)

Diantara hadits yang dijadikan landasan kaifiyat sujud adalah  bersujud dengan tujuh tulang dengan tidak menahan rambut dan baju, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Ibn Abbas Radiyallahu anhuma,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ ، وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan kami tidak (boleh) menahan pakaian dan rambut” dengan mengatakan, “Yang dimaksudkan bahwa dia (orang yang shalat) tidak mengumpulkan pakaiannya dan rambutnya di dalam shalat. Dan zhahirnya menunjukkan, larangan itu dalam keadaan shalat. Ad Dawudi condong kepada pendapat ini. Dan penyusun (Imam Bukhari) membuat bab setelah ini ‘Bab: Tidak boleh (orang yang shalat) menahan pakaiannya di waktu shalat’”, ini menguatkan (pendapat Dawudi) itu. Tetapi al Qadhi ‘Iyadh membantahnya, bahwa itu menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Mereka tidak menyukai hal itu bagi orang shalat, sama saja, apakah orang yang shalat itu melakukannya (yaitu menahan pakaian) di waktu shalat, atau sebelum memasuki shalat. Dan mereka (para ulama) sepakat, bahwa hal itu tidak merusakkan shalat. Tetapi Ibnul Mundzir meriwayatkan kewajiban mengulangi (shalat) dari al Hasan”. [Fathul Bari, syarh hadits no. 809].

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

اتفق العلماء علي النهي عن الصلاة وثوبه مشمرا وكمه أو نحوه أو ورأسه معقوص أو مردود شعره تحت عمامته أو نحو ذلك فكل هذا مكروه باتفاق العلماء وهي كراهة تنزيه فلو صلى كذلك فقد ارتكب الكراهة وصلاته صحيحة

"Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang pakaian atau lengannya tersingsingkan. Larangan menyingsingkan pakaian adalah larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu, berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah." (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (4/209), Al Majmu’ asy Syarh al Muhadzdzab (4/98).

Al-Kaftu mempunyai arti yang sama dengan al-Kaffu yaitu mengumpulkan dan menahan. Kalimat “tidak boleh menahan rambut dan pakaian” secara manthuq (tersurat) maksudnya larangan menahan rambut ketika salat (sujud) sehingga tidak terurai dan menyentuh tanah. Kedua, larangan menahan atau menyingsingkan pakaian, sehingga tidak menyentuh tanah ketika salat. Namun berdasarkan qorinah hadits sebelumnya dan secara mafhum muwafaqahnya maka yang dituntut adalah menghindari segala gerakan yang tidak mencerminkan kekhusyuan dan tidak sesuai dengan kaifiyat salat, kecuali ada hajat atau dalam keadaan darurat. Dimana ketika salat, pada hakikatnya kita sedang bermunajat kepada Allah sehingga dituntut khusyu’ dan tuma’ninah dalam menjalankannya, terlebih dalam sujud, saat yang paling dekat dengan Allah. 

Adapun shalat dengan keadaan baju sudah terlipat atau dilipat sebelum shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak termasuk dalam kategori yang dimakruhkan dalam hadits diatas. Namun, jika melipat bajunya ketika sedang shalat, maka masuk dalam apa yang dimakruhkan dalam hadits diatas.

Terdapat sebuah hadits yang berbunyi,

أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَارِثِ، يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: مَا لَكَ وَرَأْسِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا، مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ

Kuraib, maula Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, telah menceritakan kabar dari Abdullah bin Abbas, bahwa beliau pernah melihat Abdullah bin Harits shalat dengan kondisi rambut kepala terikat di belakangnya. Lalu Ibnu Abbas bergegas melepas rambut yang terikat itu.

Seusai shalat, Abdullah bin Harits menemui Ibnu Abbas, “Mengapa Anda memperlakukan rambut kepalaku seperti itu?”

“Aku mendengar…” Jawab Ibnu Abbas, ”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Permisalan orang yang shalat dengan rambut terikat seperti ini, seperti orang yang shalat dengan kondisi kedua tangannya diikat ke belakang.” (HR. Muslim dan yang lainnya)

Hadits ini menjelaskan bahwa, orang yang sedang shalat dengan kondisi rambut kepala terikat, seperti orang shalat dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang.

*Mengapa dipermisalkan demikian?*

Imam Al Manawi rahimahullah memberikan penjelasan dalam kitab Faidhul Qadir,

لأن شعره إذا لم يكن منتشرا لا يسقط على الأرض ، فلا يصير في معنى الشاهد بجميع أجزائه ، كما أن يدي المكتوف لا يقعان على الأرض في السجود

“Karena rambut yang terikat tidak akan jatuh mengurai ke tanah. Sehingga kondisi seperti ini, tidak menunjukkan persaksian utuh. Seperti kondisi orang yang sujud sementara kedua tangan terikat, sehingga tidak menyentuh tanah (sujud tidak sempurna). (Faidhul Qadir 3/6)

*Apa Hikmahnya?*

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu menjelaskan hikmahnya, saat beliau menegur seorang yang shalat dengan rambut terikat,

إذا صليت فلا تعقص شعرك، فإن شعرك يسجد معك، ولك بكل شعرة أجر

Jika anda sholat, jangan diikat rambut anda. Karena rambut anda akan ikut sujud bersama anda. Dan anda mendapat pahala, dari setiap helai rambut anda. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dinukil dari Nailul Authar 2/379)

Inilah yang mendasari larangan shalat dengan rambut terikat. Namun ada beberapa catatan penting tentang larangan ini :

*[1]. Hanya sebatas makruh, bukan haram.*

Sebagaimana diterangkan dalam Ensiklopedia Fikih,

اتفق الفقهاء على كراهة عقص الشعر في الصلاة ، والعقص هو شد ضفيرة الشعر حول الرأس كما تفعله النساء ، أو يجمع الشعر فيعقد في مؤخرة الرأس ، وهو مكروه كراهة تنزيه ، فلو صلى كذلك فصلاته صحيحة

"Para ulama sepakat bahwa shalat dalam kondisi rambut terikat adalah hukumnya makruh. Mengikat di sini maksudnya mengikat rambut bagian belakang seperti yang dilakukan pada wanita atau mengikat keseluruhan rambut kemudian di kebelakangkan. Shalat dengan kondisi seperti ini, hukumnya makruh tanzih (makruh yang kita kenal, bukan makruh yang bermakna haram/makruh tahrim). Namun jika seorang shalat dengan keadaan seperti ini, tetap sah." (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/109)

*[2]. Hanya berlaku saat shalat saja, tidak di luar shalat.*

Seperti dijelaskan oleh Imam Malik rahimahullah,

النهي مختص بمن فعل ذلك للصلاة

"Larangan ini hanya berlaku untuk orang yang mengikat rambutnya saat sholat saja." (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyyah, 26/110)

*[3]. Hanya berlaku untuk laki-laki, tidak untuk perempuan.*

Dalam Nailul Authar, Imam Syaukani rahimahullah menukil penjelasan Imam Al-Iraqi rahimahullah berkenaan hadits di atas,

وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ؛ لِأَنَّ شَعْرَهُنَّ عَوْرَةٌ يَجِبُ سَتْرُهُ فِي الصَّلَاةِ ، فَإِذَا نَقَضَتْهُ رُبَّمَا اسْتَرْسَلَ وَتَعَذَّرَ سَتْرُهُ فَتَبْطُلُ صَلَاتُهَا

"Larangan tersebut berlaku khusus untuk laki-laki, dan bukan untuk perempuan. Karena rambut perempuan adalah aurat. Wajib ditutup (terlebih) saat shalat. Jika rambut itu terurai, bisa menyebabkan terlihat keluar hijab, dan dia tidak mampu menutupinya. Sehingga akan menyebabkan batalnya sholat." (Nailul Authar 2/379).

Larangan melipat pakaian yang dinilai hanya sampai kepada hukum Makruh saja dalam masalah ini nampaknya dipengaruhi oleh adanya dalil lain yang mengalihkan hukum asal dari sebuah larangan yaitu haram kemudian berubah menjadi tidak haram. Dalil tersebut adalah sebuah perbuatan yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang intinya adalah,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج في حلة مشمرا فصلى ركعتين

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dengan pakaian yang Musyammir (pakaian yang diangkat bagian paling bawahnya) lalu beliau shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari)

Kesimpulannya pertama, shalat dengan dengan baju terlipat hukumnya mubah dan salatnya tetap sah. Kedua, melipat atau menggulung baju lengan dalam ketika salat hukumnya makruh, karena dapat menganggu kekhusyuan dan thuma'ninah gerakan shalat. ketiga, menggulung atau melipat diluar shalat hukumnya mubah. Seperti halnya humor santri bahwa shalat memakai sarung tidak sah, karena seharusnya sarung dipakainya sebelum memulai shalat. Wallahu a'lam

Masalah ini sudah pernah saya buat artikelnya di http://mwcnucipayung.blogspot.com/2020/12/kajian-tentang-hukum-menggulung-pakaian.html

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar