MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 17 April 2020

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT BERJAMA'AH JUM'AT SECARA ONLINE DI MUSIM COVID 19




Wabah virus corona atau COVID-19 telah memberikan dampak luar biasa terhadap umat Muslim di seluruh dunia. Bukan hanya berdampak bagi kesehatan tapi juga pelaksanaan ibadah, seperti memaksa Umat Muslim untuk menutup masjid-masjid mereka dari pelaksanaan shalat berjama'ah dan Shalat Jum'at. Polemik peribadatan ditengah wabah tidak jarang masih menjadi bahan perdebatan. Perkembangan selanjutnya terdapat pengkategorian korban dan wilayah berdasarkan jumlah korban covid-19, dengan kategori terparah adalah Zona merah atau Redzone.

Dampak mewabahnya virus corona (covid 19) berbagai negara membuat kebijakan termasuk diantaranya mengatur tata cara beribadah dan pembatasan atau rukhshah (dispensasi) pelaksanaan ibadah, khususnya ibadah umat islam demi memutus mata rantai penyebaran virus mematikan ini. Namun ada berita bahwa di negara di Eropa tetap melaksanakan ibadah shalat Jum'at secara online di tengah penutupan masjid karena Covid-19. Mereka mengikuti secara langsung pelaksanaan shalat Jum'at dari kediaman masing-masing.

Pelaksanaan shalat Jum'at dari kediaman masing-masing yang dipandu oleh imam dan khatib melalui siaran radio seperti di London dan siaran langsung/live streaming via akun facebook di Finlandia menjadi alternatif di tengah upaya pencegahan Covid-19 melalui jaga jarak fisik dan social distancing atau pembatasan sosial.

Yang harus diingat bahwa shalat Jum'at harus dilaksanakan secara berjama'ah. Persoalannya terletak pada standarisasi shalat berjama'ah itu sendiri dimana posisi imam dan makmum serta jarak antara masjid dan rumah dalam pelaksanaan shalat berjama'ah via media sosial atau media arus utama seperti stasiun radio dapat menjadi alternatif pelaksanaan shalat Jumat di tengah pencegahan Covid-19.

Ulama menggambarkan setidaknya tiga posisi imam dan makmum dalam shalat berjama'ah. Pertama, keduanya berada di dalam bangunan yang sama, yaitu masjid. Kedua, keduanya berada di tanah terbuka. Ketiga, imam berada di masjid. Sedangkan makmum berada di luar masjid. Pada poin ketiga ini ulama berbeda pendapat.

Ulama Syafi’iyah membuat ketentuan lebih rinci perihal poin ketiga. Mereka menyatakan bahwa jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta dan tidak boleh terhalang oleh apapun. Artinya, dalam konteks ini, makmum harus mengikuti siaran live streaming imam/khatib yang disiarkan dari masjid terdekat tanpa terhalang oleh apapun.

Mazhab Syafi’i menghitung jarak antara imam dan makmum tidak melebihi 300 hasta kurang lebih berdasarkan urf (lebih tiga hasta masih boleh), yang terhitung dari akhir shaf di masjid, akhir masjid, atau pekarangan netral antara masjid lahan mati. Mazhab Syafi'i menyatakan tidak sah shalat Jumat di mana sesuatu menghalangi imam di masjid dan makmum di rumah.

Ulama masa silam (dari kalangan Syafi'iyah) juga sudah mengulas hal ini semacam Al-Qodhi Abu Syuja’ dengan memberikan rincian.

1. Jika makmum shalat di dalam masjid dalam keadaan tahu shalatnya imam, maka shalatnya sah selama tidak mendahului posisi shaf imam.
2. Jika imam shalat di dalam masjid dan makmum di luar masjid namun masih dekat, maka dibolehkan selama ia mengetahui shalatnya imam dan tidak ada pembatas di sana. (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 73).
3. Mengetahui shalat imam bisa jadi dengan mendengar suaranya, melihatnya, atau mendengar melalui pengeras suara, atau melihat sebagian shaf. Penulis Fathul Qorib katakan bahwa dengan melihat imam atau melihat sebagian shaf.

Dan jika imam di dalam masjid sedangkan makmum di luar masjid, maka jarak makmum tersebut adalah 300 hasta (jika 1 hasta diperkirakan 45 cm, maka 300 hasta mendekati 135 meter) dihitung dari bagian belakang masjid. Inilah yang dimaksud masih dekat. Sedangkan jika imam dan makmum sama-sama di dalam masjid, maka tidak memakai patokan jarak tersebut. Jika imam dan makmum sama-sama di luar masjid, maka memakai patokan 300 hasta tadi dan ditambahkan tidak ada sesuatu yang menghalangi antara imam dan makmum. (Fathul Qorib, 1: 160-161).

Sayyid Abdurrahman Ba’alwi dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin menjelaskan,

فَتُشْتَرَطُ خَمْسَةُ شُرُوطٍ اَلْعِلْمُ بِانْتِقَالَاتِ الْإِمَامِ، وَإِمْكَانُ الذِّهَابِ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ اِزْوِرَارٍ وَانْعِطَافٍ ، وَقُرْبُ الْمَسَافَةُ بِأَنْ لَا يَزِيدُ مَا بَيْنَهُمَا أَوْ بَيْنَ أَحَدِهِمَا وَآَخِرِ الْمَسْجِدِ عَلَى ثَلَاثُمِائَةِ ذِرَاعٍ ، وَرُؤْيَةُ الْإِمَامِ أَوْ بَعْضِ الْمُقْتَدِينَ وَأَنْ تُكُونَ الرُّؤْيَةُ مِنْ مَحَلِّ الْمُرُورِ (عبد الرحمن باعلوي، بغية المسترشدين، بيروت-دار الفكر، ص. 146)

“Kemudian disyaratkan lima syarat yaitu mengetahui perpindahan gerakan imam (dari satu rukun ke rukun yang lain), memungkinkan menuju ke imam dengan tanpa berbelok, dekatnya jarak antara ma’mun dengan imam atau jarak salah satu dari keduanya (ma’mum) dengan batas akhir masjid tidak lebih dari 300 hasta, melihat imam atau sebagian ma’mum, dan hendaknya melihatnya dari tempat murur (jalan yang dapat dilewati secara normal). (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut-Dar al-Fikr, hal. 146). 

Pada prinsipnya, selama posisi imam dan makmum masih terhubung oleh sebuah jalan yang dapat dilewati secara normal, maka jama'ahnya sah dan dinyatakan berkumpul dalam satu tempat.  Syekh Zakariyya al-Anshari berkata,

(فَإِنْ كَانَا بِمَسْجِدٍ صَحَّ الِاقْتِدَاءُ وَإِنْ) بَعُدَتْ مَسَافَةٌ وَ (حَالَتْ أَبْنِيَةٌ) كَبِئْرٍ وَسَطْحٍ بِقَيْدٍ زِدْته بِقَوْلِي (نَافِذَةً) إلَيْهِ أُغْلِقَتْ أَبْوَابُهَا أَوْ لَا لِأَنَّهُ كُلَّهُ مَبْنِيٌّ لِلصَّلَاةِ فَالْمُجْتَمِعُونَ فِيهِ مُجْتَمِعُونَ لِإِقَامَةِ الْجَمَاعَةِ مُؤَدُّونَ لِشَعَارِهَا فَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَافِذَةً إلَيْهِ لَمْ يُعَدَّ الْجَامِعُ لَهُمَا مَسْجِدًا وَاحِدًا فَيَضُرُّ الشُّبَّاكُ

“Bila imam dan makmum di dalam masjid, maka sah berjama'ah meski jauh jaraknya dan terhalang bagunan-bangunan seperti sumur dan atap dengan catatan yang aku tambahkan; yang terhubung sampai posisi imam, baik dikunci pintu-pintunya atau tidak, karena keseluruhan masjid dibangun untuk shalat, maka orang-orang yang berkumpul di dalamnya (dinyatakan) berkumpul mendirikan jamaah, melaksanakan syiarnya. Bila bangunan-bangunan tersebut tidak terhubung sampai posisi imam, maka tidak terhitung satu masjid, maka bermasalah (terhalang) oleh jendela,” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 1, hal. 323).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Sulaiman al-Bujairimi menegaskan,

(قَوْلُهُ: نَافِذَةٌ) أَيْ بِحَيْثُ يُمْكِنُ الِاسْتِطْرَاقُ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْفَذِ عَادَةً وَلَوْ لَمْ يَصِلْ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْفَذِ إلَى ذَلِكَ الْبِنَاءِ إلَّا بِازْوِرَارٍ وَانْعِطَافٍ بِحَيْثُ يَصِيرُ ظَهْرُهُ لِلْقِبْلَةِ

“Maksud ucapan Syekh Zakariyya “yang terhubung (antara imam dan makmum)” adalah terhubung dengan sekira mungkin untuk berjalan dari jalan penghubung tersebut secara adat, meski dari jalan tersebut tidak bisa sampai kepada bangunan kecuali dengan membelakangi qiblat.”

(قَوْلُهُ: أُغْلِقَتْ أَبْوَابُهَا) أَيْ وَلَوْ بِقُفْلٍ أَوْ ضَبَّةٍ لَيْسَ لَهَا مِفْتَاحٌ مَا لَمْ تُسَمَّرُ فَيَضُرُّ الشُّبَّاكُ وَكَذَا الْبَابُ الْمُسَمَّرُ بِالْأَوْلَى لِأَنَّهُ يَمْنَعُ الِاسْتِطْرَاقَ وَالرُّؤْيَةَ قَالَ شَيْخُنَا: وَإِنْ كَانَ الِاسْتِطْرَاقُ مُمْكِنًا مِنْ فُرْجَةٍ مِنْ أَعْلَاهُ فِيمَا يَظْهَرُ لِأَنَّ الْمَدَارَ عَلَى الِاسْتِطْرَاقِ الْعَادِي وَكَذَا السَّطْحُ الَّذِي لَا مَرْقَى لَهُ مِنْ الْمَسْجِدِ بِأَنْ أُزِيلَ سُلَّمُهُ وَمِنْ هَذَا يُعْلَمُ بُطْلَانُ صَلَاةِ مَنْ يُصَلِّي بِدَكَّةِ الْمُؤَذِّنِينَ وَقَدْ رُفِعَ مَا يُتَوَصَّلُ بِهِ مِنْهَا إلَى الْمَسْجِدِ 

“Ucapan Syekh Zakariyya “dikunci pintu-pintunya” meski dengan gembok atau tambalan yang tidak memiliki kunci selama tidak dipaku, maka bermasalah jendela terlebih pintu yang dipaku, sebab dapat mencegah berjalan sampai posisi imam dan mencegah melihat imam. Guruku berkata, meski berjalan masih mungkin dari lubang di atas jendela, karena standarnya adalah bisa berjalan secara adat (normal), demikian pula atap (lantai atas) yang tidak memiliki tangga dari masjid, dengan sekira dihilangkan tangganya. Dari ini diketahui batalnya shalat orang yang berada di tempat naiknya muadzin yang dihilangkan jalan penghubung dari tempat tersebut menuju masjid,” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, al-Tajrid li Naf’il Abid, juz 1, hal. 323).

Syarat-syarat sahnya shalat berjama'ah dalam madzhab Syafi’i ada dua belas, yaitu:

1. Makmum tidak mengetahui batalnya shalat imam.
2. Makmum beriktikad/meyakini bahwa imamnya tidak batal dari shalatnya.
3. Makmum tidak berniat mengqadha’ (mengulang) shalat yang dikerjakannya secara berjamaah bersama imam.
4. Imam yang diikuti makmum adalah bukan seorang makmum lain yang masih berjamaah.
5. Imam yang diikuti makmum bukan seseorang yang buta huruf arab atau tidak buta huruf arab akan tetapi bacaan al-Qur’annya tidak fasih, terutama bacaan surat al-Fatihah.
6. Makmumnya yang laki-laki atau khunsa (waria/berkelamin ganda) tidak di belakang imam yang perempuan atau khunsa
7. Makmum tidak mendahului/melebihi tempat berdirinya imam, maksudnya adalah tumit makmum tidak boleh lebih depan dari tumitnya imam, kecuali shalat berjamaah dalam keadaan perang (shalat khauf).
8. Imam dan makmum berada dalam satu masjid atau jarak antara imam dan makmum yang ada di shaf (barisan) belakangnya  atau jarak antar satu shaf  dengan shaf lainnya tidak lebih dari 300 dzira’ (150 meter). Disamping jarak antara imam dan makmum tidak lebih dari kira-kira 150 m, juga antara imam dan makmum tidak terhalang oleh bangunan atau semisalnya yang menghalangi pandangan makmum pada imam.
9. Makmum harus niat shalat berjamaah atau niat menjadi makmum.
10. Makmum mengetahui atau mendengar pergerakan imam dalam shalatnya atau jika makmum tidak mendengar/tidak tahu, maka ia wajib mengikuti makmum lain yang didepannya yang ia yakini melihat pergerakan imam dan ia jadikan rabith (perantara), sehingga ia tidak boleh mendahului perantara tersebut sebagaimana ia tidak boleh mendahului imamnya dalam gerakan shalat.
11. Makmum harus selalu mengikuti imam dalam seluruh gerakan / rukun fi’li imam dan tidak mendahuluinya.
12. Makmum juga harus selalu mengikuti imam dalam seluruh gerakan sunnah imam yang tidak boleh ditinggalkan makmum yang mana bila ditinggalkan berakibat batal shalat makmum, seperti sujud sahwi-nya imam atau sujud tilawah-nya imam atau imam tidak duduk tahiyat awal tetapi makmum melakukannya (atau makmum melakukan sujud sahwi atau sujud tilawah sendiri,padahal imam tidak melakukannya), maka semua ini dapat membatalkan shalatnya makmum.

Yang perlu digarisbawahi dalam pelaksanaan shalat berjama'ah adalah Imam dan makmum berada dalam satu masjid atau jarak antara imam dan makmum yang ada di shaf (barisan) belakangnya atau jarak antar satu shaf dengan shaf lainnya tidak lebih dari 300 dzira’ (150 meter). Disamping jarak antara imam dan makmum tidak lebih dari kira-kira 150 m, juga antara imam dan makmum tidak terhalang oleh bangunan atau semisalnya yang menghalangi pandangan makmum pada imam menurut madzab Syafi'iyyah.

Sementara Imam Atha tidak mempermasalahkan jarak antara imam dan makmum. Menurutnya, shalat berjama'ah (dan Jum'at) tetap sah meski kedua berjarak satu mil bahkan lebih sejauh makmum mengetahui gerakan imam. (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, Syarhul Muhadzdzab, [Maktabah Al-Irsyad Al-Mamlakah As-Su'udiyah Al-'Arabiyah], juz IV, halaman 200).

Adapun Imam Malik mengatakan bahwa shalat berjama'ah keduanya sah, kecuali shalat Jum'at. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan pelaksanaan shalat imam dan makmum tetap sah baik shalat berjama'ah maupun shalat Jum'at.

لو صلى في دار أو نحوها بصلاة الامام في المسجد وحال بينهما حائل لم يصح عندنا وبه قال احمد وقال مالك تصح إلا في الجمعة وقال أبو حنيفة تصح مطلقا

“Jika seseorang melakukan shalat di rumah atau sejenisnya dengan mengikuti shalat imam di masjid–sementara keduanya terhalang oleh sesuatu–maka shalatnya tidak sah menurut kami (mazhab Syafi’i). Imam Ahmad juga memiliki pendapat yang sama. Menurut Imam Malik, pelaksanaan shalat berjamaah seperti ini sah kecuali pada shalat Jumat. Tetapi bagi Abu Hanifah, pelaksanaan shalat seperti ini sah secara mutlak (baik shalat Jumat maupun berjamaah),” (Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab juz 4 hal. 200).

Memang apa yang disampaikan Imam Nawawi sudah sesuai dengan riwayat dimana Siti Aisyah rah pernah shalat gerhana matahari berjama'ah dari rumah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid, namun perlu diketahui bahwa posisi rumah Nabi memang berada disamping masjid nabawi. Bagaimana jika keberadaan rumah berada jauh dari masjid dan berada di depan posisi imam? Ini yang perlu dijelaskan lebih lanjut.

Dari Asma’ binti Abi Bakar rah pernah mengatakan,

أَتَيْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى

“Aku pernah mendatangi ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika terjadi gerhana matahari, para sahabat melaksanakan shalat, dan ‘Aisyah pun demikian.” (HR. Bukhari no. 184).

Siti ‘Aisyah ketika itu melaksanakan shalat di rumahnya mengikuti shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam Mushonnaf ‘Abdurrozaq disebutkan pula bahwa ‘Aisyah biasa shalat di rumahnya dengan mengikuti shalat imam. Karena rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdampingan langsung dengan masjid dan ada pintu yang memang langsung menuju masjid. (HR. Mushonnaf ‘Abdurrozaq Bab “Shalat Seseorang di Belakang Imam di Luar Masjid” no. 4883).

Jika mengikuti pandangan ulama Syafi'iyyah serta Imam Ahmad bin Hanbal dengan catatan tanpa penghalang; dan pandangan Imam Abu Hanifah yang menyatakan sah pelaksanaan shalat Jum'at di mana imam di masjid dan makmum di rumah, maka poin yang perlu diperhatikan dalam shalat Jum'at dengan live streaming atau siaran langsung via media sosial adalah soal pengetahuan makmum atas gerakan imam. Ini sangat krusial dalam pelaksanaan shalat Jum'at yang mengharuskan berjama'ah karena adanya ketentuan di mana makmum tidak boleh tertinggal dari imam beberapa rukun fi’li atau gerakan imam.

الشرط الثاني العلم بالأفعال الظاهرة من صلاة الامام وهذا لا بد منه نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب ثم العلم قد يكون بمشاهدة الامام أو مشاهدة بعض الصفوف وقد يكون بسماع صوت الامام أو صوت المترجم في حق الأعمى والبصير الذي لا يشاهد لظلمة أو غيرها وقد يكون بهداية غيره إذا كان أعمى أو أصم في ظلمة

“Syarat kedua adalah mengetahui gerakan fisik pada shalat imam. Tentu ini tidak boleh tidak, sebagaimana nash As-Syafi’i dan disepakati ashab. Lalu, pengetahuan (atas gerakan imam) dapat terjadi dengan menyaksikan imam atau menyaksikan sebagian shaf. Pengetahuan juga dapat terjadi dengan mendengarkan suara imam atau suara penerjemah bagi jamaah disabilitas netra/jamaah yang melihat tetapi tidak dapat menyaksikan karena faktor gelap atau faktor lainnya. Ia dapat terjadi dengan petunjuk lainnya bila jama'ah penyandang disabilitas netra atau disabilitas rungu di kegelapan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 357).

Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi berkata,

(و) الثَّالِث (عِلْمٌ بِانْتِقَالَاتِ إِمَامٍ) بِرُؤْيَتِهِ أَو رُؤْيَةِ صَفٍّ أَو بَعْضِهِ أَو سَماعِ صَوْتِهِ أَو صَوْتِ مُبَلِّغٍ ثِقَةٍ أَو بِرَابِطَةٍ وَهُوَ شَخْصٌ يَقِفُ أَمَامَ مَنْفَذٍ كَالْبَابِ لِيُرَى الْإِمَامُ أَو بعضُ الْمَأْمُومين فَيَتْبَعُهُ مَنْ بِجَانِبِهِ أَوْ خَلْفَهُ 

“Syarat yang ketiga, mengetahui gerakan-gerakan imam dengan melihatnya, melihat barisan atau sebagiannya, mendengar suara imam, suara muballigh atau dengan makmum penyambung, yaitu seseorang yang berdiri di depan jalan penghubung (imam dan makmum) seperti pintu, agar imam atau sebagiam makmum dapat dilihat gerakan-gerakannya, maka makmum yang di samping atau di belakang rabith ini dapat mengikutinya”. (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, hal. 121)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ فِى حُجْرَتِهِ ، وَجِدَارُ الْحُجْرَةِ قَصِيرٌ ، فَرَأَى النَّاسُ شَخْصَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَامَ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ ، فَأَصْبَحُوا فَتَحَدَّثُوا بِذَلِكَ ، فَقَامَ لَيْلَةَ الثَّانِيَةِ ، فَقَامَ مَعَهُ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ ، صَنَعُوا ذَلِكَ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً ، حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَخْرُجْ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ النَّاسُ فَقَالَ « إِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ اللَّيْلِ »

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di rumahnya, tepatnya di kamarnya dan kala itu dinding kamar itu pendek. Maka ada orang yang melihat sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa orang lalu mengikuti shalat beliau. Ketika di pagi hari, mereka pun berbincang-bincang tentang hal itu. Di hari kedua, beliau juga melakukan shalat malam dan orang-orang mengikutinya. Beliau melakukan seperti itu dua atau tiga malam. Hingga beliau duduk dan tidak keluar pada malam selanjutnya. Ketika pagi hari, mereka membicarakan tidak keluarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku khawatir shalat malam tersebut kalian anggap wajib, sehingga aku tidak keluar.” (HR. Bukhari no. 729).

Hadits di atas menunjukkan bahwa mereka para sahabat shalat di ruangan berbeda dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dianggap sah. Namun jikalau tidak bersambung shafnya, tidaklah sah. Dan dalam penjelasan para ulama diatas bisa disimpulkan bahwa shalat jum'at berjama'ah di rumah dengan imam di masjid via online adalah tidak sah. Wallahu a’lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar