MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 08 April 2022

KAJIAN TENTANG NASHIRUDDIN AL-ALBANI BUKAN MUHADDITS (AHLI HADITS) MENURUT PARA ULAMA

Kitab-kitab modern saat ini, atau kitab klasik yang ditakhrij, karya-karya tulis ilmiah, artikel-artikel dan sebagainya, serentak semuanya menggunakan hasil takhrij hadits yang dilakukan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Ada apa di balik gerakan ini? Sosok yang satu ini tiba-tiba melejit menjadi ‘ahli hadits’ tanpa tandingan bagi kalangan Salafi Wahhabi, tanpa diketahui perjalanan menuntut ilmu haditsnya dan guru-guru yang membimbingnya.

Sementara tahapan teoritik dan faktual untuk menjadi ‘Ahli Hadits (Muhaddits)’ amatlah rumit dan tak semudah menjadi ahli hadits gadungan. Pembahasan disini tentang kriteria seorang Muhaddits (ahli hadits) asli, bukan ahli hadits gadungan yang menempuh jalan otodidak seperti Syaikh Albani, dan bukti-bukti nyata kesalahan fatal ahli hadits palsu, baik dari pengikut Albani maupun dari para kritikusnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيّهَا النَّاس تَعَلَّمُوا ، إِنَّمَا الْعِلْم بِالتَّعَلُّمِ ، وَالْفِقْه بِالتَّفَقُّهِ ، وَمَنْ يُرِدْ اللَّه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّههُ فِي الدِّين

"Wahai Manusia, Kalian belajarlah, sesungguhnya ilmu itu dengan belajar, dan kefahaman itu dengan mencari kefahaman, dan Siapa saja yang Allah menghendakinya pada kebaikannya maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama." (HR.Bukhari)

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan makna hadits diatas adalah,

لَيْسَ الْعِلْم الْمُعْتَبَر إِلَّا الْمَأْخُوذ مِنْ الْأَنْبِيَاء وَوَرَثَتهمْ عَلَى سَبِيل التَّعَلُّم 

"Tidak ada ilmu muktabar melainkan diambil dari para Nabi, dan mewarisi mereka (para nabi) atas jalan ta’allum (belajar)."

*Kriteria Ahli Hadits (Muhaddits) dan Al-Hafizh*

Imam Al-Hafidz As-Suyuthi mengutip dari para ulama tentang ‘Ahli Hadits’ dan ‘Al-hafidz’,

قَالَ الشَّيْخُ فَتْحُ الدِّينِ بْنِ سَيِّدِ النَّاسِ وَأَمَّا الْمُحَدِّثُ فِي عَصْرِنَا فَهُوَ مَنِ اشْتَغَلَ بِالْحَدِيْثِ رِوَايَةً وَدِرَايَةً وَاطَّلَعَ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الرُّوَاةِ وَالرِّوَايَاتِ فِي عَصْرِهِ, وَتَمَيَّزَ فِي ذَلِكَ حَتَّى عُرِفَ فِيْهِ حِفْظُهُ وَاشْتَهَرَ فِيْهِ ضَبْطُهُ. فَإِنْ تَوَسَّعَ فِي ذَلِكَ حَتَّى عَرَفَ شُيُوْخَهُ وَشُيُوْخَ شُيُوْخِهِ طَبْقَةً بَعْدَ طَبْقَةٍ، بِحَيْثُ يَكُوْنَ مَا يَعْرِفُهُ مِنْ كُلِّ طَبْقَةٍ أَكْثَرَ مِمَّا يَجْهَلُهُ مِنْهَا، فَهَذَا هُوَ الْحَافِظُ (تدريب الرّاوي في شرح تقريب النّواوي 1 / 11)

"Syaikh Ibnu Sayyidinnas berkata, "Ahli hadits (Al-Muhaddits) di masa kami adalah orang yang dihabiskan waktunya dengan hadits baik secara riwayat atau ilmu mushthalah, dan orang tersebut mengetahui beberapa perawi hadits dan riwayat di masanya, serta menonjol sehingga dikenal daya hafalannya dan daya akurasinya. Jika ia memiliki pengetahuan yang lebih luas sehingga mengetahui para guru, dan para maha guru dari berbagai tingkatan, sekira yang ia ketahui dari setiap jenjang tingkatan lebih banyak daripada yang tidak diketahui, maka orang tersebut adalah Al-Hafidz.” 

وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْنِ السُّبْكِي إِنَّهُ سَأَلَ الْحَافِظَ جَمَالَ الدِّيْنِ الْمِزِّي عَنْ حَدِّ الْحِفْظِ الَّذِي إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ الرَّجُلُ جَازَ أَنْ يُطْلَقَ عَلَيْهِ الْحَافِظُ ؟ قَالَ يُرْجَعُ إِلَى أَهْلِ الْعُرْفِ, فَقُلْتُ وَأَيْنَ أَهْلُ الْعُرْفِ ؟ قَلِيْلٌ جِدًّا, قَالَ أَقَلُّ مَا يَكُوْنُ أَنْ يَكُوْنَ الرِّجَالُ الَّذِيْنَ يَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُ تَرَاجُمَهُمْ وَأَحْوَالَهُمْ وَبُلْدَانَهُمْ أَكْثَرَ مِنَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْرِفُهُمْ, لِيَكُوْنَ الْحُكْمُ لِلْغَالِبِ, فَقُلْتُ لَهُ هَذَا عَزِيْزٌ فِي هَذَا الزَّمَانِ 

“Syaikh Taqiyuddin As-Subki berkata bahwa ia bertanya kepada Al-Hafidz Jamaluddin Al-Mizzi tentang kriteria gelar Al-Hafidz. Syaikh Al-Mizzi menjawab, "Dikembalikan pada ‘kesepakatan’ para pakar." Syaikh As-Subki bertanya, "Siapa para pakarnya?" Syaikh Al-Mizzi menjawab, "Sangat sedikit. Minimal orang yang bergelar Al-Hafidz mengetahui para perawi hadits, baik biografinya, perilakunya dan asal negaranya, yang ia ketahui lebih banyak daripada yang tidak diketahui. Agar mengena kepada yang lebih banyak." Saya (As-Subki) berkata kepada beliau, "Orang semacam ini sangat langka di masa sekarang (Abad ke 8 Hijriyah).” (Al-Hafidz As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi Fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz I hal. 11).

*Belajar hadits secara otodidak bukan Ahli Hadits (Muhaddits)*

Makna otodidak,

(الصَّحَفِيّ) مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ أُسْتَاذٍ (المعجم الوسيط 1/ 508 تأليف إبراهيم مصطفى وأحمد الزيات وحامد عبد القادر ومحمد النجار)

“Shahafi (otodidak) adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab (buku), bukan dari guru.” (Mu’jam al-Wasith juz I hal.508)

يَقُوْلُ الدَّارِمِي مَا كَتَبْتُ حَدِيْثًا وَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ لاَ يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ صَحَفِيٍّ (سير أعلام النبلاء للذهبي بتحقيق الارناؤط 8/ 34)

“Imam Ad-Darimi (ahli hadits) berkata, "Saya tidak menulis hadits (tapi menghafalnya)." Ia juga berkata, "Jangan mempelajari ilmu dari orang yang otodidak.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi ditahqiq oleh Syuaib Al-Arnauth, juz 8 hal.34).

Syuaib al-Arnauth memberi catatan kaki tentang ‘shahafi’ tersebut,

الصَّحَفِيُّ مَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ مِنَ الصَّحِيْفَةِ لاَ عَنْ أُسْتَاذٍ وَمِثْلُ هَذَا لاَ يُعْتَدُّ بِعِلْمِهِ لِمَا يَقَعُ لَهُ مِنَ الْخَطَأِ

“Shahafi adalah orang yang mengambil ilmu dari kitab, bukan dari guru. Orang seperti ini tidak diperhitungkan ilmunya, sebab akan mengalami kesalahan.”

Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata,

قَالَ الْوَلِيْدُ كَانَ اْلاَوْزَاعِي يَقُوْلُ كَانَ هَذَا الْعِلْمُ كَرِيْمًا يَتَلاَقَاهُ الرِّجَالُ بَيْنَهُمْ فَلَمَّا دَخَلَ فِي الْكُتُبِ دَخَلَ فِيْهِ غَيْرُ أَهْلِهِ وَرَوَى مِثْلَهَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنِ اْلاَوْزَاعِي. وَلاَ رَيْبَ أَنَّ اْلاَخْذَ مِنَ الصُّحُفِ وَبِاْلاِجَازَةِ يَقَعُ فِيْهِ خَلَلٌ وَلاَسِيَّمَا فِي ذَلِكَ الْعَصْرِ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ بَعْدُ نَقْطٌ وَلاَ شَكْلٌ فَتَتَصَحَّفُ الْكَلِمَةُ بِمَا يُحِيْلُ الْمَعْنَى وَلاَ يَقَعُ مِثْلُ ذَلِكَ فِي اْلاَخْذِ مِنْ أَفْوَاهِ الرِّجَالِ (سير أعلام النبلاء للذهبي 7/ 114)

“Al-Walid mengutip perkataan Al-Auza’i, “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari Al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya adz-Dzahabi, juz 7 hal.114).

Syuaib al-Arnauth juga memberi catatan kaki tentang hal tersebut,

وَلِهَذَا كَانَ الْعُلَمَاءُ لاَ يَعْتَدُّوْنَ بِعِلْمِ الرَّجُلِ إِذَا كَانَ مَأْخُوْذًا عَنِ الصُّحُفِ وَلَمْ يَتَلَقَّ مِنْ طَرِيْقِ الرِّوَايَةِ وَالْمُذَاكَرَةِ وَالدَّرْسِ وَالْبَحْثِ

“Oleh karena itu, para ulama tidak memeperhitungkan ilmu seseorang yang diambil dari buku, yang tidak melalui jalur riwayat, pembelajaran dan pembahasan.”

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits? Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini,

أَمَّا مَنْ كَانَ يَكْتَفِي بِاْلأَخْذِ مِنَ الْكِتَابِ وَحْدَهُ دُوْنَ أَنْ يُعَرِّضَهُ عَلَى الْعُلَمَاءِ وَدُوْنَ أَنْ يَتَلَقَّى عِلْمُهُ فِي مَجَالِسِهِمْ فَقَدْ كَانَ عَرَضَةً لِلتَّصْحِيْفِ وَالتَّحْرِيْفِ، وَبِذَلِكَ لَمْ يَعُدُّوْا عِلْمَهُ عِلْمًا وَسَمُّوْهُ صَحَفِيًّا لاَ عَالِمًا …. فَقَدْ كَانَ الْعُلَمَاءُ يُضَعِّفُوْنَ مَنْ يَقْتَصِرُ فِي عِلْمِهِ عَلَى اْلأَخْذِ مِنَ الصُّحُفِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَلْقَى الْعُلَمَاءَ وَيَأْخُذَ عَنْهُمْ فِي مَجَالِسِ عِلْمِهِمْ، وَيَسُمُّوْنَهُ صَحَفِيًّا، وَمِنْ هُنَا اشْتَقُّوْا “التَّصْحِيْفَ” وَأَصْلُهُ “أَنْ يَأْخُذَ الرَّجُلُ اللَّفْظَ مِنْ قِرَاءَتِهِ فِي صَحِيْفَةٍ وَلَمْ يَكُنْ سَمِعَهُ مِنَ الرِّجَالِ فَيُغَيِّرُهُ عَنِ الصَّوَابِ”. فَاْلإِسْنَادُ فِي الرِّوَايَةِ اْلأَدَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ، فِيْمَا نَرَى، إِلاَّ دَفْعًا لِهَذِهِ التُّهْمَةِ (مصادر الشعر الجاهلي للشيخ ناصر الاسد ص 10 من مكتبة الشاملة)

“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini.” (Mashadir Asy-Syi’ri Al-Jahili juz 10).

Imam ar-Razi dan Ibnu ‘Adi juga melarang mempelajari hadis dari shahafi,

بَابُ بَيَانِ صِفَةِ مَنْ لاَ يُحْتَمَلُ الرِّوَايَةُ فِي اْلاَحْكَامِ وَالسُّنَنِ عَنْهُ … عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى اِنَّهُ قَالَ لاَ تَأْخُذُوْا الْحَدِيْثَ عَنِ الصَّحَفِيِّيْنَ وَلاَ تَقْرَأُوْا الْقُرْآنَ عَلَى الْمُصْحَفِيِّيْنَ (الجرح والتعديل للرازي 2/ 31 والكامل في ضعفاء الرجال لابن عدي 1/ 156)

“Bab tentang sifat orang-orang yang tidak boleh meriwayatkan hukum dan sunah darinya… Dari Sulaiman bin Musa, ia berkata, "Janganlah mengambil hadits dari orang otodidak dan janganlah belajar al-Quran dari orang yang otodidak.” (Al-Razi dalam Al-Jarhu wa At-Ta’dil juz 2 hal.31 dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil juz 1 hal.156)

Dengan demikian, orang yang otodidak dalam hadits yang tidak memiliki guru bukanlah ahli hadits, karya kitab-kitabnya banyak ditemukan kesalahan-kesalahan dan para ulama melarang mengutip riwayat darinya.

*Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah Shahafi (Otodidak).*

Syaikh Albani awalnya adalah tukang service jam, namun ia punya semangat mempelajari hadits di Perpustakaan Adh-Dhahiriyah di Damaskus. Konon setiap harinya mencapai 12 jam di Perpustakaan. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber.

Sekilas biografi diatas sesuai dengan kisah berikut ini. Diceritakan bahwa ada seseorang dari Mahami yang bertanya kepada Syaikh Albani, “Apakah anda ahli hadits (Muhaddits)?” Syaikh Albani menjawab, “Ya!” Ia bertanya, “Tolong riwayatkan 10 hadits kepada saya beserta sanadnya!” Syaikh Albani menjawab, “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadis kitab.” Orang tadi berkata, “Saya juga bisa kalau menyampaikan hadits ada kitabnya.” Lalu Syaikh Albani terdiam. (Syaikh Abdullah Al-Harari dalam Tabyin Dhalalat Albani hal.6). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar