MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 10 Desember 2021

KAJIAN TENTANG MIMBAR MASJID, ASAL USUL, BENTUK, FUNGSI DAN LETAKNYA

Masih teringat mimbar di sebuah masjid di Makassar dibakar seseorang yang hanya karena sakit hati kepada pengurus masjid, di mana setiap pelaku ini datang di masjid untuk beristirahat dan tidur di depan mimbar selalu dilarang oleh pengurus masjid dan pihak sekuriti. Terlepas dari alasan pengurus masjid melarang tidur didepan mimbar, ada baiknya memahami apa itu mimbar?

Definisi Mimbar (bahasa Arab: منبر‎),

المِنْبَرُ : منصّة، مرقاة يصعد عليها الخطيبُ من إمام وغيره ليسمعه ويراه الناس

"Mimbar adalah panggung (tempat yang ditinggikan) yang berada di dalam masjid tempat kedudukan (khatib), imam atau lainnya menyampaikan khutbah agar bisa didengar dan dilihat jamaah." (Ma'ani Al-Jami')

Mimbar adalah elemen umum arsitektur masjid tradisional, termasuk di Indonesia.

Mimbar berasal dari akar kata bahasa Arab نبر = nabara (menaikkan, meninggikan); bentuk jamaknya manābir (bahasa Arab: مَنابِر‎)

Mimbar adalah satu peralatan penting yang terdapat di setiap masjid. Hal ini didasarkan pada praktek Rasulullah bahwa beliau menyampaikan khutbah menggunakan mimbar. Beliau mulai memakai mimbar pada tahun ke tujuh atau setelah masjid Nabawi direnovasi. Ada juga yang menyatakan penggunaan mimbar pada tahun ke delapan hijriah setelah dikuasainya Khaibar. Mimbar ini terutama digunakan Rasulullah untuk khutbah Jumat. Sedangkan untuk khutbah ‘Id, informasi sebagian hadits menjelaskan Nabi tidak menggunakannya. Nabi berkhutbah di atas kendaraan beliau.

Secara umum terdapat dua bentuk mimbar pada banyak masjid. Pertama, mimbar dengan model anak tangga di depan. Model ini terlihat dalam beberapa bentuk: terdiri dari tiga tangga atau lebih, memakai atap dan tanpa atap, serta menggunakan pintu atau tanpa pintu. Kedua, mimbar dengan anak tangga terdapat di belakang, sementara pada bagian depan tertutup hingga separoh atau sepertiga badan khatib atau penceramah. Kedua bentuk mimbar tersebut terkadang dihiasi pula dengan berbagai ukiran.


Sebagian orang membedakan mimbar dengan podium. Model pertama ini mereka sebut mimbar, sedangkan model kedua disebut podium. Namun, bila dilihat bahwa mimbar yang terambil dari kata nabara yang bermakna mengangkat atau meninggikan sesuatu, tidak ada beda mimbar dengan podium. Semua tempat yang tinggi untuk berpidato atau khutbah dapat dikatakan mimbar.

*Asal Usul Mimbar*

Beberapa hadits menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam awalnya berkhutbah di atas pangkal pohon kurma, lalu sahabat mengusulkan agar dibuatkan untuk beliau mimbar supaya jamaah dapat melihat dan mendengar khutbah. Dalam riwayat Imam Bukhari yang disampaikan oleh Jabir usulan tersebut datang dari seorang wanita Anshar yang dalam riwayat lain disebutkan wanita tersebut memiliki anak seorang tukang kayu. Wanita tersebut menyatakan kepada Nabi, "Bolehkah kami membuat mimbar untukmu?" Kemudian Nabi mempersilahkannya.

Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Ubay bin Ka'ab disebutkan,

عَنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيشًا وَكَانَ يَخْطُبُ إِلَى ذَلِكَ الْجِذْعِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: هَلْ لَكَ أَنْ نَجْعَلَ لَكَ شَيْئًا تَقُومُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَرَاكَ النَّاسُ وَتُسْمِعَهُمْ خُطْبَتَكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَصَنَعَ لَهُ ثَلاَثَ دَرَجَاتٍ فَهِيَ الَّتِي أَعْلَى الْمِنْبَرِ فَلَمَّا وُضِعَ الْمِنْبَرُ وَضَعُوهُ فِي مَوْضِعِهِ الَّذِي هُوَ فِيهِ. 


“Dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat dengan menghadap ke batang pohon karena masjidnya ketika itu merupakan bangunan dari unsur kayu dan beliau berkhutbah di atas batang pohon.’ Lalu ada seseorang dari Sahabatnya berkata, ‘Apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa kami buatkan mimbar untukmu sehingga engkau bisa berdiri di atas-nya pada hari Jum’at sehingga orang-orang bisa melihatmu dan engkau bisa memperdengarkan khutbahmu kepada mereka?’ Beliau menjawab, ‘Ya, punya.’ Kemudian orang itu membuatkan untuknya tiga tingkat yang ia berada di bagian atas mimbar. Dan ketika mimbar itu diletakkan, maka mereka meletak-kannya di tempatnya yang biasa dia berada di tempat itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dalam riwayat Imam Abu Daud, usulan tersebut datang dari sahabat yang bernama Tamim al-Dari yang dalam riwayat lain ditambahkan ia yang pernah melihat mimbar di Syam, lalu Nabi menerima usulan itu. Ada yang menjelaskan bahwa usulan tersebut datang dari seorang sahabat yang tidak disebutkan namanya, yang menawarkan kepada Nabi membuat mimbar, Nabi kemudian menerima tawaran tersebut.


Usulan sahabat tersebut dapat dipahami bahwa mereka kesulitan melihat dan mendengar beliau berkhutbah. Hal ini disebabkan jamaah kaum muslimin semakin hari semakin banyak. Pada tahun ke-7 atau ke-8 Hijriah, masyarakat muslim tidak hanya terdiri semenanjung Arab, tetapi juga telah meluas sampai ke Irak. Sebagian dari warga muslim dari daerah lain berdatangan ke Madinah untuk mendapatkan pelajaran dari Rasulullah. Itu sebabnya muncul ide dari salah seorang mereka membuat mimbar untuk Nabi supaya mereka dapat melihat Nabi dengan leluasa dan mendengarkan pengajaran-pengajaran dari beliau.

*Bentuk Mimbar*,

Mengenai bentuk atau model mimbar, tidak ditemukan petunjuk Nabi seperti tangga dari arah depan atau dari arah lainnya atau begitu juga jumlah anak tangga yang hanya tiga tingkat. Ketika Sahabat mengusulkan membuat mimbar Hanya menjawab “silakan kalau kamu mau” (in syi’tum) atau “ya” (na’am/bala). Bagian yang paling jelas yang dinformasikan kitab-kitab hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad adalah mimbar dibuatkan oleh tukang kayu. Hal ini terlihat dari redaksi beberapa hadits. Meskipun dengan redaksi haditsnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, tetapi maksudnya adalah sama, seperti “dibuatlah untuk beliau tiga tingkat anak tangga” (fashuni’a lahu tsalatsu darajat), “maka dia (tukang kayu) membuat (mimbar) dengan tiga anak tangga” (fashana’a tslatsa darajat), “dia (tukang kayu) membuat mimbar Nabi tiga anak tangga” (fa’amila al-mimbar tsalatsa darajat) “lalu mereka membuatnya bagi Nabi (mimbar) tiga anak tangga” (fashana’u lahu tsalatsa darajat).

*Letak Mimbar*

Keterangan Ibnu Qudamah (ulama Hambali) menjelaskan,

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الْمِنْبَرُ عَلَى يَمِينِ الْقِبْلَةِ، لأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم هَكَذَا صَنَعَ

"Dianjurkan agar mimbar diletakkan di sebelah kanan arah ketika melihat ke arah kiblat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan seperti ini." (Al-Mughni, 2/144)

Keterangan An-Nawawi (ulama Syafi'iyah) mengatakan,

قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الْمِنْبَرُ عَلَى يَمِينِ الْمِحْرَابِ, أَيْ عَلَى يَمِينِ الإِمَامِ إذَا قَامَ فِي الْمِحْرَابِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ, وَهَكَذَا الْعَادَةُ

"Ulama madzhab kami dan yang lainnya mengatakan, dianjurkan agar posisi mimbar di sebelah kanan mihrab. Artinya di sebelah kanan imam, ketika dia berada di mihrab menghadap kiblat. Seperti ini tradisi kaum muslimin." (Al-Majmu’, 4/527)

Keterangan Imam Al-Buhuti (ulama Hambali) juga menegaskan,

وَيَكُونُ الْمِنْبَرُ أَوْ الْمَوْضِعُ الْعَالِي عَنْ يَمِينِ مُسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةِ بِالْمِحْرَابِ، لأَنَّ مِنْبَرَهُ صلى الله عليه وسلم كَذَا كَانَ

Posisi mimbar atau tempat yang tinggi untuk khutbah berada di sebelah kanan mihrab jika dilihat dengan menghadap kiblat. Karena mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu seperti ini. (Kasyaf al-Qina’, 2/35).

Keterangan mengenai posisi mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjukkan bahwa itu wajib. Meskipun dianjurkan untuk memposisikannya, dalam rangka meniru keadaan yang ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga sama sekali tidak mempengaruhi hukum khutbah atau apalagi keabsahan shalat jamaah atau shalat jumat.

Syaikh Athiyah Shaqr (Seorang mufti Mesir) menjelaskan,

لم يَرد نص بالالتزام وإنما الكلام الوارد هو بيان موضع المنبر وهو لا يدل على الوجوب، وإن كان يدل على الندب اقتداء بما كان عليه الحال في أيام الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ وليس بحرام أن يُوضع المنبر في أي مكان. والمهم هو وجود شيء مرتفع يساعد الخطيب على إسماع الناس

"Tidak terdapat dalil yang mewajibkan posisi mimbar harus di sebelah kanan. Keterangan yang ada hanya penjelasan posisi mimbar dan ini tidak menunjukkan itu wajib, meskipun menunjukkan anjuran, dalam rangka meniru keadaan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak haram untuk meletakkan mimbar di tempat manapun. Yang penting, disediakan satu tempat yang tinggi yang bisa membantu khatib agar suaranya bisa didengarkan jamaah." (Fatawa Athiyah Shaqr, 4/140)

Singkatnya, fungsi utama mimbar masjid adalah sebagai tempat berdirinya khatib. Khatib adalah orang yang menyampaikan khutbah pada saat shalat Jum'at agar bisa di lihat dan di dengar jamaah, khatib juga bertugas menjadi imam untuk memimpin shalat Jum'at.

Sementara larangan tidur di depan atau di dekat mimbar diantara alasannya adalah demi menjaga kebersihan masjid dan agar tidak mengganggu orang yang mau beribadah, meskipun tidur di masjid dibolehkan sebagaimana hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ وَهُوَ شَابٌّ أَعْزَبُ لاَ أَهْلَ لَهُ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika masih muda, bujangan, dan belum berkeluarga, beliau tidur di masjid Nabawi." (HR. Bukhari 440).

Masjid dibangun sebagai tempat untuk mengagungkan Allah. Karena itu, bagi siapapun yang melakukan hal mubah di masjid, seperti makan, atau tidur, selayaknya menjaga masjid dari kotoran, maupun najis, dan tidak boleh mengganggu orang yang menjalankan ibadah. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini memyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar