MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Minggu, 05 Desember 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGAKU KETURUNAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berada di pertengahan dalam mencintai ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أُذَكِّرُكم اللهَ في أهلِ بيتي، ثلاثًا 

“Dan terhadap ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku”. Beliau mengulang ucapannya sampai tiga kali” [HR. Muslim : 24028]

Seseorang yang mengaku habib sudah tidak asing lagi. Bahkan orang yang mengaku nabi dan malaikat pun banyak. Namun orang yang mengaku iblis belum ditemukan.

Banyak oknum yang mengaku sebagai habib hanya untuk kepentingan pribadinya, apakah karena ingin dihormati ataupun karena motif lain.

Keutamaan nasab adalah karunia Allah ‘Azza wa Jalla bagi siapa saja yang Allah kehendaki, dan hal itu diluar batas kemampuan makhluk untuk mengusahakannya, dari itu kita dilarang membangga-banggakan nasab atau kasta, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثلاثة من الجاهلية: الفخر بالأحساب والطعن في الأنساب والنياحة

“Ada tiga termasuk perkara Jahiliyyah; Bangga dengan kasta, mencela nasab, dan Niyahah (meratapi mayit).” (HR: Al-Thabrani, dan disebutkan Assuyuthi dalam Al-Jami’ush-Shaghir).

Dan karena nasab yang mulia bukanlah penentu dan jaminan seorang akan pasti selamat masuk surga dan mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

“Siapa saja yang amalannya lambat maka nasabnya tidak akan mempercepat.” (HR: Muslim)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

معناه من كان عمله ناقصا لم يلحقه بمرتبة أصحاب الأعمال فينبغى أن لايتكل على شرف النسب وفضيلة الآباء ويقصر فى العمل

“Maknanya, siapa saja yang amalnya kurang maka ia tidak akan dapat menyusul level orang-orang yang beramal, maka semestinya ia tidak boleh bersandar di atas kemuliaan nasab dan keutamaan bapak-bapaknya sedangkan ia teledor dalam beramal.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 17/22-23)

Dan pada saat setelah perintah turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan peringatan kepada kerabatnya, Beliau bersabda,

يا فاطمة أنقذي نفسك من النار فإني لا أملك لكم من الله شيئا غير أن لكم رحما سأبلها ببلالها

“Wahai Fathimah selamatkan dirimu dari neraka, sesungguhnya aku tidak memiliki apa pun untuk kalian selain dari hubungan rahim yang akan terus aku sambung.” (HR: Muslim)

Inilah ketetapan mendasar dan akidah yang benar dalam syariat Islam dalam menyikapi penomena kesumringahan dan syubuhat sebagian oknum yang merasa paling terjamin dan berhak dengan Agama ini sehingga seolah kebenaran sudah pasti mutlak dan terjamin berada di sisi mereka, karena merasa label nasab yang mereka sandang sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

*Bahaya Mengaku Keturunan Nabi Tanpa Bukti*

Dan terlebih jika kejelasan nasabnya tidak valid sebagai keturunan nabi alias hanya mengaku-ngaku saja, maka tentu hal ini semakin menambah berat keadaan, sedangkan mengaku-ngaku diri sebagai keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada bukti jelas dan kuat, adalah kesalahan yang berat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

عَنْ سَعْدِ بن أَبي وقَّاصٍ رضي اللَّه عَنْهُ أنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قالَ: مَن ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أنَّهُ غَيْرُ أبِيهِ فَالجَنَّةُ عَلَيهِ حَرامٌ”. متفقٌ عليهِ.

Dari Sa’d bin Abi Waqqash radliyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Siapa saja yang mengaku kepada selain Bapaknya dan ia mengetahui bahwa orang itu bukanlah Bapaknya, maka surga haram atasnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hadits ini menunjukkan bahasan yang tengah kita bahas, yakni siapa saja yang mengaku dirinya keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berarti ia telah mengakui jika Bapaknya atau kakek tertinggi dan terjauhnya adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun jika pengakuan itu tidak terbukti, dan ia memang mengetahui kalau Bapak teratasnya bukanlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia terancam oleh ancaman yang ada di hadits ini.

Imam Assakhawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

عن مالك بن أنس رحمه الله قال ؛ من انتسب الى بيت النبي صلى الله عليه وسلم – يعني بالباطل – يضرب ضربا وجيعا ويشهر ويحبس طويلا حتى تظهر توبته لأنه إستخفاف بحق الرسول صلى الله عليه وسلم

“Dari Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Siapa saja yang menisbatkan diri kepada keluarga Nabi ﷺ (yaitu dengan cara batil) dipukul dengan pukulan yang menyakitkan dan dimasyhurkan dan ditahan dalam waktu yang lama sampai pertaubatannya nampak, karena hal itu adalah peremehan terhadap hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Beliau juga berkata,

رحم الله مالكا كيف لو أدرك من يتسارع الى ثبوت ما يغلب على الظن التوقف في صحته من ذلك بدون تثبت غير ملاحظ ما يترتب عليه من الأحكام غافلا عن هذا الوعيد الذي كان معينا على الو قوع فيه . إما بثبوته ولو بالإعذار فيه طمعا في الشيئ التافة الحقير ، قائلا ؛ الناس مؤتمنون على أنسابهم وهذا لعمري توسع غير مرضي ومن هنا توقف كثير ممن أدركناه من قضاة العدل عن التعرض لذلك ثبوتا ونفيا للرهبة مما قدمته

“Semoga Allah merahmati Imam Malik, bagaimana gerangan jika beliau mendapatkan orang-orang yang tergesa-gesa menetapkan dengan tanpa validitas sesuatu yang dominan dalam sangkaan sebagai hal yang masih menggantung  (tawaqquf) kebenarannya, tanpa memperhatikan akibat hukum yang akan terjadi atasnya, dalam keadaan lalai dari ancaman ini, yang di mana hal ini dapat menjadi pendorong terjatuh ke dalamnya.

Yaitu entah dengan menetapkannya walau pun disertai pemberian keringanan di dalam menetapkannya karena keinginan yang keras terhadap sesuatu yang remeh dan hina, seraya berkata, “orang menjadi aman di atas nasab-nasab mereka”, dan hal ini sungguh-sungguh merupakan sikap pelonggaran yang tak diridlai, dan dari sinilah kemudian banyak dari kalangan Qadhi (hakim) yang adil yang telah kami jumpai mengambil sikap abstain  (tawaqquf) dari menangani hal itu baik sebagai orang yang akan menetapkan atau meniadakan karena takut dengan apa-apa yang telah kami utarakan sebelumnya.” (Istijlabu Irtiqa’il Ghuraf 630-631). Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar