MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Selasa, 04 Mei 2021

KAJIAN TENTANG PENYALURAN HARTA ZAKAT FITRAH SETELAH 'IDUL FITRI

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ (رواه أبو داود و ابن ماجه وصححه الحكم)

Dari Ibnu Abbas ra. Berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan ucapan yang kotor, serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat ied, itulah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat ied, maka itu sekedar shadaqah." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah serta disahihkan oleh al-Hakim).

*Definisi Zakat Fitrah*

Zakat secara bahasa berarti an-Namaa’ (tumbuh), az-Ziyadah (bertambah), ash-Shalah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.

Istilah yang digunakan oleh para pakar fikih tentang kata Fithri sebagai berikut :

Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 2/8278).

Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithrah”, yang berarti suci/fithrah. Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithrah”. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 6/103)

Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthar (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. (Mughnil Muhtaj, 1/592)

*Waktu Pembayaran/Pengeluaran Zakat Fithri*

Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar. (Minhajul Muslim hal.231)

Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827)

Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al-Bukhari,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fithri.” (HR. Bukhari no. 1511)

Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ

“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.” (HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).

Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni, 5/494)

Namun ada pula panita zakat yang menyalurkan sebagian zakat fithah setelah selesai idul fitri bahkan penyalurannya tertunda jauh setelahnya dengan pertimbangan jangkauan mustahiq zakat ke tempat atau wilayah lain yang tidak memungkinkan atau karena hal lainnya. Dan hal ini saya (Asimun Mas'ud) belum menemukan rujukan kecuali apa yang disampaikan oleh Imam Syamsul Haq dalam ‘Aunul Ma’bud,

وقد ذهب أكثر العلماء إلى أن إخراجها قبل صلاة العيد إنما هو مستحب فقط وجزموا بأنها تجزئ إلى آخر يوم الفطر. انتهى.

“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa mengeluarkan (menyalurkan/membagikan) zakat fithrah pada sebelum shalat ‘ied sebatas anjuran, dan boleh dibagikan hingga akhir hari (sore) idul fitri”.

*Menyalurkan Zakat Keluar Wilayah*

Mengenai penyaluran zakat menurut mayoritas ulama berpendapat harus diberikan di tempat kita tinggal dan tempat mencari nafkah. Namun menurut madzhab Hanafi boleh zakat tersebut disalurkan ke daerah lain.

وُجِدَتِ الْأَصْنَافُ أَوْ بَعْضُهُمْ بِمَحَلٍّ وَجَبَ الدَّفْعُ إِلَيْهِمْ ، كَبُرَتِ الْبَلْدَةُ أَوْ صَغُرَتْ وَحَرُمَ النَّقْلُ ، وَلَمْ يُجِزْهُ عَنِ الزَّكَاةِ إِلَّا عَلَى مَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ القَائِلِ بِجَوَازِهِ ، وَاخْتَارَهُ كَثِيرُونَ مِنَ الْأَصْحَابِ، خُصُوصاً إِنْ كَانَ لِقَرِيبٍ أَوْ صَدِيقٍ أَوْ ذِيْ فَضْلٍ وَقَالُوا : يَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ ، فَإِذَا نُقِلَ مَعَ التَّقْلِيدِ جَازَ وَعَلَيْهِ عَمَلُنَا وَغَيْرُنَا وَلِذَلِكَ أَدِلَّةٌ اهـ  

“Jika didapati golongan penerima zakat atau sebagiannya di suatu wilayah maka wajib memberikan zakat kepada mereka baik wilayah itu luas maupun kecil, dan haram memindahkan zakat ke tempat lain dan tidak diperbolehkan kecuali oleh madzhab hanafi yang berpendapat atas kebolehannya. Pendapat madzhab Hanafi kemudian dipilih oleh banyak ulama (ashab) dari kita khususnya ketika penyalurannya diberikan kepada keluarga dekat, teman atau orang yang memiliki keutamaan. Dan mereka berkata, dengan model seperti itu gugurlah kewajiban zakatnya. Dengan demikian ketika zakat itu didistribusikan ke keluar daerah disertai mengikuti aturan yang terdapat dalam madzhab Hanafi itu diperbolehkan. Inilah yang menjadi dasar kami dan selain kami dalam mempraktikkannya. Karena terdapat beberapa alasan”. (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 217) 

Pandangan madzhab Hanafi yang memperbolehkan pemindahan distribusi zakat ke daerah lain itu juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, 

قَالَ الْحَنَفِيَّةُ يُكْرَهُ تَنْزِيهاً نَقْلُ الزَّكَاةِ مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ آخَرَ إِلَّا أَنْ يَنْقُلَهَا إِلَى قَرَابَتِهِ الْمَحَاوِيجِ لِيَسُدَّ حَاجَتَهُمْ، أَوْ إِلَى قَوْمٍ هُمْ أَحْوَجُ إِلَيْهَا أَوْ أَصْلَحُ أَوْ أَوْرَعُ أَوْ أَنْفَعُ لِلْمُسْلِمِينَ، أَوْ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ، أَوْ إِلَى طَالِبِ عِلْمٍ، أَوْ إِلَى الزُّهَّادِ، أَوْ كَانَتْ مُعَجَّلَةً قَبْلَ تَمَامِ الْحَوْلِ، فَلَا يُكْرَهُ نَقْلُهَا. وَلَوْ نَقَلَهَا لِغَيْرِ هَذِه الْأَحْوَالِ جَازَ؛ لِأَنَّ الْمَصْرَفَ مُطْلَقُ الْفُقَرَاءِ 

“Madzhab Hanafi berpendapat, memindahkan distribusi zakat dari satu wilayah ke wilayah lain hukumnya makruh tahzih (boleh), kecuali pemindahan tersebut diberikan kepada keluarga dekatnya yang membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka, ke suatu kaum yang paling membutuhkannya, yang lebih baik, yang lebih wirai, yang lebih bermanfaat buat kalang muslim, atau dari dar al-harb (wilayah perang) ke dar al-islam, kalangan penuntut ilmu, orang-orang yang zuhud, atau zakat tersebut disegerakan penunaiannya sebelum masa haul tiba. Dalam konteks ini maka tidak makruh untuk memindahkan distribusi zakat ke wilayah lain. Dan seandainya pemindahan zakat tersebut bukan dalam konteks ini maka boleh karena penerima zakat adalah orang-orang faqir secara mutlak”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1409 H/1989 M, juz, 2, h. 892) 

Penjelasan singkat ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya pemindahan distribusi zakat fitrah dari tempat tinggal sekaligus tempat mencari nafkah tidak diperbolehkan. Jadi lebih baik disalurkan di tempat tinggal dan tempat bekerja, atau sebelum mudik atau pulang kampung. 

Tetapi hal ini diperbolehkan dalam pandangan madzhab Hanafi dengan catatan zakat fitrah diberikan kepada orang-orang dengan kriteria yang telah dijelaskan dalam madzhab Hanafi, atau zakat fitrah itu diberikan sebelum jatuh temponya (haul). Dan jika demikian maka pemindahan distribusi zakat tersebut ke daerah lain dihukumi makruh tanzih atau boleh-boleh saja. 

Namun pendapat madzhab Hanafi ini dapat diamalkan sepanjang kita mengikuti aturan main yang terdapat dalam madzhab Hanafi. Seperti misalnya zakat fitrah diberikan kepada kerabat kita di kampung yang membutuhkan atau orang-orang yang lebih membutuhkan. Jadi yang menjadi pertimbangan dalam hal kebolehan pemindahan distribusi zakat ke daerah lain adalah kemaslahatan atau kemanfaatan.

*Tugas Pokok Dan Fungsi (Tupoksi) Amil Zakat*

Sebelumnya patut dipahami bahwa mengumpulkan zakat di suatu masjid atau mengumpulkannya pada panitia zakat supaya dibagikan secara merata dan bersamaan adalah tergolong akad wakalah. Yakni orang yang membayar zakat mewakilkan pembagian zakat kepada pihak panitia zakat atau takmir masjid agar diberikan pada orang yang berhak menerima zakat. Hal ini tidak perlu dipermasalahkan, sebab akad wakalah demikian tergolong akad yang sah dan diperbolehkan menurut agama Islam.  

Hanya saja, pendistribusian zakat fithrah oleh pihak panitia setelah selesainya hari raya, adalah hal yang diharamkan dan akan terkena dosa, serta wajib untuk mengqadha pembayaran zakat fithrah tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut, 

ويكره تأخيرها عن صلاة العيد إلى نهاية يوم العيد، فإن أخرها عنه أثم ولزمه القضاء 

“Makruh mengakhirkan zakat fithrah dari shalat 'Ied sampai habisnya hari 'Ied. Jika seseorang mengakhirkan membayar zakat fitrah dari hari 'Ied maka ia berdosa dan wajib baginya untuk mengqadha.” (Dr. Mushtofa Said al-Khin dan Dr.  Mushtofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 1, hal. 152)  

Hikmah di balik keharaman mengakhirkan membayar zakat setelah selesainya hari raya 'Ied erat kaitannya dengan tujuan pembagian zakat fithrah, yakni mencukupi kebutuhan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) pada saat hari raya 'Ied, sebab hari tersebut adalah hari yang penuh kebahagiaan, sehingga mengakhirkan pembayaran zakat fitrah setelah selesainya hari raya akan menyalahi terhadap tujuan tersebut. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, 

(قوله: وحرم تأخيرها) أي الفطرة، أي إخراجها. وذلك لان القصد إغناء المستحقين في يوم العيد، لكونه يوم سرور 

”Haram mengakhirkan zakat fitrah. Hal tersebut dikarenakan tujuan adanya zakat fitrah adalah mencukupi orang-orang yang berhak menerima zakat pada hari raya Id, sebab hari tersebut adalah hari kebahagiaan” (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, juz 2, hal. 197) 

Sedangkan yang dimaksud akhir dari hari raya yang merupakan batas akhir membayar zakat fitrah adalah terbenamnya matahari pada tanggal satu Syawal. Sehingga membayar zakat setelah masa tersebut dihukumi haram dan membayar zakat fitrah sebelum masa tersebut adalah hal yang diperbolehkan, meskipun dihukumi makruh. 

Maka pandangan penanya tentang referensi dalam kitab I’anah ath-Thalibin sudah benar adanya. Bahkan dalam kitab tersebut dijelaskan secara rinci tentang klasifikasi waktu pembayaran zakat fitrah yang terbagi dalam lima waktu. Mari kita simak referensi yang menjelaskan tentang klasifikasi pembayaran zakat fitrah berikut ini,

(والحاصل) أن للفطرة خمسة أوقات وقت جواز ووقت وجوب ووقت فضيلة ووقت كراهة ووقت حرمة،  فوقت الجواز أول الشهر ووقت الوجوب إذا غربت الشمس ووقت فضيلة قبل الخروج إلى الصلاة ووقت كراهة إذا أخرها عن صلاة العيد إلا لعذر من انتظار قريب أو أحوج ووقت حرمة إذا أخرها عن يوم العيد بلا عذر 

“Kesimpulannya bahwa membayar zakat fitrah ini memliki lima waktu, yakni waktu jawaz (boleh), waktu wajib, waktu fadhilah (utama), waktu makruh, dan waktu haram. Waktu jawaz adalah mengeluarkan zakat di awal bulan Ramadhan. Waktu wajib adalah mengeluarkan zakat ketika telah terbenamnya matahari pada akhir Ramadhan. Waktu fadhilah adalah mengeluarkan zakat ketika sebelum keluar untuk melaksanakan shalat Id. Waktu makruh adalah ketika mengakhirkan membayar zakat dari shalat 'Ied, kecuali karena udzur semisal menunggu kerabat (untuk diberikan zakat padanya) atau orang yang lebih butuh. Dan waktu haram adalah ketika mengakhirkan membayar zakat fitrah dari hari raya 'Ied (setelah terbenamnya matahari) tanpa adanya udzur,” (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, juz 2, hal. 174). 

Dalam referensi di atas dijelaskan bahwa mengakhirkan zakat dari hari raya 'Ied hukumnya haram tanpa adanya udzur. Bila ada udzur maka hukumnya tak lagi haram. Udzur yang dimaksud dalam hal ini secara lugas dicontohkan dalam kitab Fath al-Mu’in berikut,

(وحرم تأخيرها عن يومه) أي العبد بلا عذر كغيبة مال أو مستحق، ويجب القضاء فورا لعصيانه  

“Haram mengakhirkan membayar zakat fitrah setelah hari raya 'Ied dengan tanpa adanya udzur seperti masih belum adanya harta (untuk zakat) atau belum adanya orang yang berhak menerima zakat. Dan wajib mengqadha membayar zakat fitrah sesegera mungkin lantaran perbuatan dosanya,” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 2, Hal. 174) 

Maka ketika mengakhirkan membayar zakat karena faktor tidak ditemukannya orang yang memenuhi kategori sebagai mustahiq zakat, atau harta zakat belum berada dalam genggaman seseorang, boleh mengakhirkan pembayaran sampai ditemukannya orang yang berhak menerima zakat atau harta zakat sudah berada dalam genggaman seseorang. Sedangkan jika melihat kasus yang ditanyakan oleh penanya, tidak ada indikasi adanya udzur tersebut. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengakhirkan penyaluran harta zakat setelah selesainya hari raya seperti dalam permasalahan di atas adalah hal yang diharamkan dan wajib untuk mengqadhanya. 

Sehingga sebaiknya ketika kita telah mengetahui bahwa panitia zakat akan mendistribusikan harta zakat setelah selesainya hari raya, hal yang pertama kali kita lakukan adalah memberitahu mereka bahwa mengakhirkan pembayaran zakat adalah hal yang diharamkan. Jika mereka enggan menerima pendapat tersebut, maka kita wajib membagikan zakat secara individual kepada orang-orang yang berhak menerima zakat, tanpa perlu memasrahkannya kepada panitia zakat itu. Wallahu a’lam.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin


*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar