MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 03 Mei 2021

KAJIAN TENTANG HUKUM BERPUASA BAGI WANITA HAIDH

Viral di media sosial soal artikel dan unggahan yang membahas alasan perempuan haid atau datang bulan masih bisa berpuasa. Diantaranya yg dimuat oleh Suara Nasional dengan judul *"Kiai NU Ini Membolehkan Wanita Haidh Berpuasa."* http://suaranasional.com/2021/05/01/kiai-nu-ini-membolehkan-wanita-haid-berpuasa/

Adapun Kiai NU yang dimaksud adalah KH. Imam Nakhai dalam sebuah artikel, *“3 Alasan Perempuan Haidh Boleh Berpuasa.”* Ini murni ijtihad beliau pribadi dan bukan dimaksudnya sebagai legalitas kebolehan berpuasa bagi wanita haidh. Sebagaimana yang beliau katakan, “Pandangan saya membolehkan wanita haidh berpuaasa didasarkan pada tiga alasan: *Pertama,* dalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan Haid untuk puasa. Ayat yang menjelaskan tentang Haidh hanya menegaskan dua hal, yaitu; satu, bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima’) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci.” Demikian persepsi Kiai Imam Nakha'i

Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti shalat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya.

Kata Kiai Imam Nakhai, alasan *kedua,* perempuan yang haidh lebih mirip disebut sebagai orang yang sakit (Al-Qur’an menyebutnya adza). Sebagaimana penjelasan Al-Qur’an bahwa orang sakit dan orang yg dalam perjalanan diberi dispensasi (rukhshah) antara menjalankan puasa atau meninggalkannya dengan mengganti di hari yang lain.

“Maka perempuan haidh seharusnya juga mendapat “rukhshah” antara melakukan puasa dan tidak. Jika perempuan memilih melakukannya karena haidhnya tidak mengganggu kesehatannya, maka boleh,” jelas beliau.

Alasan *ketiga,* wanita haidh boleh berpuasa, kata Kiai Imam Nakhai, Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ummahatul mukminin Sayyidah A’isyah Ra, dan riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang shalat bagi perempuan Haidh, dan tidak melarang puasa.

Memang ada hadist Nabi yang sepintas melarang perempuan haid berpuasa, namun hadist itu juga bisa dipahami sebaliknya. Hadist itu berbunyi,

حديث معاذة: ” إنها سألت عائشة رضى الله عنها: ما بال الحائض تقضى الصوم ولا تقضى الصلاة؟ فقالت: كان يصيبنا ذلك مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة ” رواه الجماعة.( صحيح)

Mu’adzah bertanya pada Sayyidah Aisyah rah, bagaimana dengan keadaan perempuan Haid, mengapa ia melaksanakan puasa, tetapi tidak melaksanakan shalat? Sayyidah Aisyah menjawab, hal itu pernah terjadi pada kami dimasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kami (perempuan) diperintahkan untuk melaksanakan puasa, dan tidak diperintahkan melaksanakan shalat”. (HR. Al-Jama'ah)

Kata ” تقضي ” dalam hadist umumnya dimaknai “mengganti di luar waktunya”. Namun sesungguhnya sangat mungkin bermakna “melaksanakan di dalam waktunya”. Sebab kata-kata ” قضي ” di dalam Al Qur’an pada umumnya bermakna melaksanakan di dalam waktunya. Seperti ayat ” فَإِذَا قَضَیۡتُم مَّنَـٰسِكَكُمۡ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ ” juga ayat ” فَإِذَا قَضَیۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ ” dan ayat ayat lainnya. Kata ” قضي ” dalam kedua ayat ini bermakna “melaksanakan ibadah sesuai dengan waktu yang ditentukan”, bukan makna mengqadha’ dalam arti mengganti.

Kata ” قضي ” dengan makna mengganti memang digunakan juga dalam hadist Nabi, namun juga digunakan untuk makna melaksanakan. Kata ” قضي ” dengan makna mengganti baru dikenal dalam mushtalahat fuqaha’. Bahkan Al Qur’an untuk menyebut mengganti dihari lain, tidak menggunakan kata “qadha”

Kalaupun kata ” قضي ” diartikan melaksanakan setelah waktunya, maka berarti karena perempuan Haidh itu tidak berpuasa di waktunya. Mengapa ia tidak berpuasa? Apakah karena ia mengambil Rukhshah itu ataukah karena dilarang oleh Nabi? Dugaan kuatnya ia memilih tidak berpuasa karena ada rukhshah itu. Sebab kalau diharamkan, berarti tidak ada kewajiban, kalau tidak kewajiban mengapa harus menggantinya? Begitu penafsiran beliau terkait hadits.

Kiai Imam Nakha'i mengatakan, penafsiran terhadap ayat dan hadits Nabi tentang perempuan haid dan puasa, adalah bersifat ijtihadi, jadi kebenaran dalam masalah ini juga bersifat ijtihadi.

“Namun sudah ada ijma’ dikalangan ulama. Sekalipun teks ijma’nya berbeda. Ada yang mengatakan bahwa yang di Ijma’i adalah tidak adanya kewajiban puasa bagi haid, dan kewajiban mengganti. Dan ada yang menyatakan bahwa yang di Ijma’i adalah keharaman berpuasa bagi Haid,” pungkasnya.

Adapun kelengkapan hadits berikut makna hadits pada umumnya tidak seperti yang disampaikan kyai Imam Nakha'i tetapi sebagai berikut,

عَنْ مُعَاذَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللهِ العَدَوِيَّةِ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Dari Mu’adzah binti Abdullah al-‘Adawiyah, dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah, seraya berkata, “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”

Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?”

Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.”

Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321; HR. Muslim No. 335)

Nilai-nilai yang terkandung dalam hadits di atas adalah salah satu dari sekian banyak rahmat Allah ‘Azza wa Jalla kepada wanita. Di mana dalam shalat yang selalu terulang pelaksanaannya setiap hari dan haid pada umumnya terulang setiap bulan, jika saja ada aturan untuk qadha shalat, tentu itu akan menjadi suatu aturan yang sangat memberatkan kaum wanita.

Oleh karena itu, pelaksanaan shalat sebagai suatu bentuk ibadah setelah selesai haid lebih maslahat dari adanya aturan untuk mengqadhanya. Dan maslahat ibadah yang terkandung di dalamnya tidak hilang jika tidak mengqadhanya.

Puasa Ramadhan adalah ibadah tahunan yang tidak ada hal yang memberatkan (masyaqqah) pada proses qadhanya. Bahkan, adanya aturan qadha puasa itu justru memberi maslahat yang lebih bagi kaum wanita. (I’lam al-Muwaqqi’in) 2/60)

*Mengapa Allah SWT melarang perempuan haid untuk berpuasa.*

Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan, “Larangan shalat bagi perempuan haid adalah perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam shalat dan perempuan haid tidak dalam keadaan suci. Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi perempuan haid itu sifatnya adalah ta’abudi (hal yang bersifat ibadah semata) sehingga butuh suatu nash pelarangan berbeda dengan shalat,” (Fathul Bari Syarh hadits no. 304).

Jadi, larangan berpuasa bagi perempuan haid ini sifatnya ta’abudi (ibadah semata) yang hanya Allah yang lebih mengetahui akan hikmah di balik larangan tersebut.

Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan ini merupakan bentuk rahmah Allah kepada para perempuan.

Mengapa dianggap rahmat? Ini karena perempuan dalam keadaan lemah ketika haid dan melakukan puasa ketika itu tentu akan menambah kelemahan dan akhirnya akan membahayakan jiwanya.

*Berikut kutipan dari para ulama mazhab terkait puasa wanita haidh dan nifas.*

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi (w.450H);

لا اختلاف بين الفقهاء أن الحائض لا صوم عليها في زمان حيضها بل لا يجوز لها، ومتى طرأ الحيض على الصوم أبطله، إلا طائفة من الحرورية تزعم أن الفطر لها رخصة فإن صامت أجزأها

“Tidak ada perbedaan pendapat ulama fikih tentang larangan berpuasa bagi wanita selama mereka haidh. Bahkan ketika haidh muncul saat berpuasa otomatis puasa tersebut batal, kecuali menurut pendapat satu kelompok Haruriyyah (khawarij) yang menganggap berbuka bagi wanita haid hanyalah sebuah rukhshah, dan tetap sah apabila mereka tetap memilih berpuasa.” (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, vol.3, hal.962)

Al-Imam Abu al-Ma‘ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf al-Juwaini (w.478H);

الأمة أجمعت على أن الواجب هو الصيام الصحيح، ثم اتفقوا على أنه لا يصح من الحائض الصيام، كيف وقد أجمعوا على أنها لو أمسكت عن المفطرات ناوية صومها عصت الله

“Umat (ulama) telah berijma‘ bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah dilakukan. Kemudian mereka sepakat tidak sah puasa wanita haidh. Karena bagaimana bisa sah, sedangkan telah ada ijma‘ wanita haidh dianggap bermaksiat kepada Allah apabila mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat berpuasa.” (Al-Juwaini, al-Talkhish Fî Ushul al-Fiqh, vol.1, hal.422-433)

Al-Imam Abu Bakr Ala’uddin Ibn Mas‘ud Ibn Ahmad al-Kasani (w.587H);

ومنها الطهارة عن الحيض والنفاس فإنها شرط صحة الأداء بإجماع الصحابة رضي الله عنهم

“Dan di antara sebab wanita sudah dapat berpuasa adalah suci dari haidh dan nifas karena merupakan syarat sah menunaikan puasa berdasarkan ijma‘ para sahabat radhiyallâhu ‘anhum.” (Al-Kasani, Badai’ al-Shanai’ Fî Tartîb al-Syarai‘, vol.2, hal.83)

Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H);

الحائض والنفساء تفطران وتقضيان إجماعا، وإن صامتا لم يجزئهما إجماعا

“Wanit haidh dan nifas mesti berbuka dan mengqadha puasa tersebut berdasarkan ijma‘, dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma‘.” (Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, vol.1, hal.41)

Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.630H);

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم وإنهما يفطران رمضان ويقضيان وإنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم

“Ulama berijma‘ tidak halal berpuasa bagi wanita haidh dan nifas karena mereka harus tidak berpuasa Ramadhan dan harus mengqadha puasa tersebut. Apabila mereka tetap berpuasa maka puasanya belum sah.” (Ibn Qudamah, al-Mughnî Syarh Mukhtashar al-Kharqî, vol.3, hal.83)

Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H);

وامتناع الصوم شرعا على الحائض بالإجماع فيحرم عليها ولا يصح

“Larangan berpuasa menurut agama bagi wanita haid adalah berdasarkan ijma‘, sehingga mereka haram berpuasa dan memang tidak sah.” (Al-Subuki, al-Ibhaj Fî Syarh Minhaj al-Wushul Ila ‘Ilm al-Ushul, vol.1, hal.79). 

Dari penjelasan ulama diatas dapat dipahami bahwa wanita haidh dan nifas yang tidak berpuasa bukan karena rukhshah, namun karena agama memang melarang mereka berpuasa, dan bukan diberi pilihan antara berpuasa dengan tidak seperti musafir yang boleh tidak berpuasa sebagaimana mereka pun juga boleh tetap berpuasa. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud memyampaiakan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar