MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Sabtu, 15 April 2023

KAJIAN TENTANG ZAKAT FITRAH DENGAN MAKANAN POKOK ATAU UANG

Kewajiban umat islam setelah selesai puasa Ramadhan adalah membayar zakat fitrah. Kewajiban ini dimulai sejak terbenamnya matahari sore Idul Fitri sampai sebelum dilaksanakannya shalat ‘Ied. 

*Waktu mengeluarkan zakat fitrah*

(والحاصل) أن للفطرة خمسة أوقات وقت جواز ووقت وجوب ووقت فضيلة ووقت كراهة ووقت حرمة،  فوقت الجواز أول الشهر ووقت الوجوب إذا غربت الشمس ووقت فضيلة قبل الخروج إلى الصلاة ووقت كراهة إذا أخرها عن صلاة العيد إلا لعذر من انتظار قريب أو أحوج ووقت حرمة إذا أخرها عن يوم العيد بلا عذر 

“Kesimpulannya bahwa membayar zakat fitrah ini memliki lima waktu, yakni waktu jawaz (boleh), waktu wajib, waktu fadhilah (utama), waktu makruh, dan waktu haram. Waktu jawaz adalah mengeluarkan zakat di awal bulan Ramadhan. Waktu wajib adalah mengeluarkan zakat ketika telah terbenamnya matahari pada akhir Ramadhan. Waktu fadhilah adalah mengeluarkan zakat ketika sebelum keluar untuk melaksanakan shalat Id. Waktu makruh adalah ketika mengakhirkan membayar zakat dari shalat ied, kecuali karena udzur semisal menunggu kerabat (untuk diberikan zakat padanya) atau orang yang lebih butuh. Dan waktu haram adalah ketika mengakhirkan membayar zakat fitrah dari hari raya Id (setelah terbenamnya matahari) tanpa adanya udzur,” (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, juz 2, hal. 174).

Dasar syariat zakat fitrah sendiri salah satunya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ 

“Rasulullah Shalllallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, baik atas budak, merdeka, lelaki, perempuan, anak kecil, maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَنَّا نَخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَى الله َعلَيْهِ وَسَلَّم يَومَ الفِطرِ صَاعاً مِن طَعَامٍ ـ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ ـ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَعِيرُ والزبيبُ والأقطُ والتمرُ 

Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami mengeluarkan zakat fitrah dengan satu sha’ bahan makanan. Abu Sa’id menjelaskan, "bahan makanan kami pada saat itu adalah gandum, anggur, keju, dan kurma." (HR. Bukhari, Juz II, hlm. 548). 

Berdasarkan kedua hadits di atas, merujuk pada pendapat madzhab Syafi’i bahwa pembayaran zakat fitrah yaitu dengan bahan makanan pokok suatu Negara (quut al-balad). 

أَنَّ الْأَصَحَّ عِنْدَنَا وُجُوْبُ اْلفِطْرَةِ مِنْ غَالِبِ قُوْتِ اْلبَلَدِ

"Sesungguhnya yang benar menurut kami wajibnya zakat fitrah yaitu dengan bahan makanan pokok suatu Negara (quut al-balad)." (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Juz VI, hlm. 120) 

Ulama Syafi’iyyah sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat (mustahiq) dalam bentuk uang. Meskipun seperti itu, praktiknya di beberapa daerah di Indonesia masih banyak yang kurang memahami kesepakatan ulama ini.  

Menyikapi fenomena itu, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggungharjo, Grobogan Jawa Tengah, memberikan penjelasan terkait zakat dengan menggunakan uang atau melalui uang. Terma melalui uang artinya alat tukar tersebut hanya sebagai perantara sehingga penyaluran zakat tetap dalam bentuk makanan pokok.  

Disini panitia menjelaskan bahwa konsep-konsep tersebut sesuai dengan ketentuan syariat, tapi masyarakat tetap dimudahkan yaitu bisa berangkat dari rumah dengan membawa uang menuju stand/pos zakat setempat.  

*Pertama,* panitia zakat menyuplai beras dengan membeli atau bermitra kepada salah satu toko penyedia beras di mana setiap muzakki yang datang membawa uang akan dilayani jual beli murni dengan beras yang disediakan oleh panitia terlebih dahulu. Setelah muzakki menerima beras, transaksi penerimaan zakat baru kemudian dijalankan sebagaimana biasanya.  

Sementara ini, ada beberapa tempat yang sudah menjalankan sistem jual beli mirip seperti diatas, namun kesalahannya terletak pada beras yang dibuat transaksi jual beli bukan beras murni persediaan panitia, tapi beras yang telah diterima panitia dari hasil zakat beras orang lain yang terlebih dahulu datang kemudian beras zakat itu dijual kembali kepada muzakki lain yang datang kemudian. Menjual beras zakat seperti ini tidak diperbolehkan.  

*Kedua,* panitia yang tidak resmi mendapat SK dari pemerintah tidak dinamakan sebagai amil, mereka hanya berlaku sebagai relawan saja. Artinya semua operasional tidak boleh dibebankan/diambilkan dari zakat. Panitia seperti ini bisa mengambil untung dari hasil jual beli beras yang memang murni untung jual beli untuk kepentingan operasional.  

*Ketiga,* karena ini menyangkut jual beli murni, jual beli tidak diperkenankan digelar di masjid. Panitia harus mendirikan stand tersendiri di bagian yang terpisah dari masjid atau diselenggarakan di ruang serbaguna, madrasah, pesantren atau rumah warga. 

*Keempat,* secara umum Syafi’iyyah memandang bahwa kiai atau ustadz bukan bagian dari sabilillah, mustahiq zakat. Mereka tidak berhak menerima zakat kecuali jika kebetulan mereka termasuk golongan/ashnaf lain selain sabilillah. Seperti kebetulan mereka fakir atau miskin, maka mereka berhak menerima zakat atas nama dia sebagai fakir miskin bukan kapasitasnya sebagai kiai atau ustadz. Hanya ada satu pendapat lemah dari kutipan Imam Qaffal yang mengatakan guru mengaji dan sejenisnya termasuk sabilillah yang berhak menerima zakat.  

Dengan solusi alternatif demikian, harapannya, masing-masing antara masyarakat dan panitia saling dimudahkan dengan tetap konsisten mengikuti pendapat Syafi’iyyah.  

Pada dasarnya, sesuatu yang dikeluarkan untuk zakaf fitrah adalah makanan pokok dengan bobot satu sha’ atau jika di Indonesia berupa beras setara ukuran 2,7 kg atau 3,5 liter. Hal ini mengikuti pendapat Imam asy-Syafi'i.

Pendapat ini juga merupakan didukung mayoritas ulama, dan masih sangat banyak diikuti oleh masyarakat umum. Ini juga terkait Keputusan Muktamar ke-4 NU tahun 1929 yang tidak membolehkan zakat penghasilan tanah dengan uang, termasuk zakat fitrah.

Hanya, di zaman moderen seperti sekarang menuntut semua agar lebih praktis, termasuk dalam membayar zakat yang akan lebih simpel jika menggunakan uang.

Imam asy-Syafi'i yang juga sependapat dengan mayoritas ulama memang tidak membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk uang (qimah). Akan tetapi, mempertimbangkan kepraktisan maka Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) pernah memutuskan tentang kebolehan konversi zakat dengan uang dengan mengacu pada ulama yang membolehkan.

Kebolehan konversi ini, juga didasarkan pendapat Imam Abu Hanifah (Madzab Hanafi), 

(قال): (فإن أَعْطَي قِيْمَةَ الْحِنْطَةِ جَازَ عِنْدَنَا) لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ حُصُوْلُ الْغِنَى وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِاْلقِيْمَةِ كَمَا يَحْصُلُ بِالْحِنْطَةِ 

"Seandainya seseorang (dalam menunaikan zakat fitrahnya)  dengan menyerahkan uang senilai harga gandum maka hukumnya boleh menurut kami. Karena yang menjadi pertimbangan adalah terciptanya kehidupan yang layak. Ha tersebut dapat terwujud dengan penyaluran uang sebagaimana juga dapat terwujud dengan menyerahkan gandum." (Syamsudin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth: 1993, juz IX, hlm. 101) 

Madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa mutlak diperbolehkan mengganti zakat fitrah dengan uang.

Dalil yang digunakan ialah:

1. Pada hakikatnya, yang wajib ialah mengayakan (ighna’) fakir miskin. Maka, dengan uang tujuan itu bisa lebih tercapai.

2. Pada dasarnya, shadaqah ialah dengan harta. Dan harta ialah apa yang kita miliki. Sementara sabda Rasul di atas hanya untuk mempermudah (taisir), bukan membatasi (hashr).

3. Pada zaman dahulu, para sahabat mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, karena bila diberikan dalam bentuk mata uang, fakir miskin akan kesulitan. Pada masa itu, distribusi uang belum terlalu banyak, sehingga lebih baik diberikan dalam bentuk makanan agar dapat langsung dimanfaatkan.

4. Melestarikan kemaslahatan merupakan bagian dari pokok syariat. Selama maslahat itu berjalan, maka syariat tidak mempermasalahkan.

Ibnu Qosim dari madzhab Maliki juga memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang dengan bobot timbangan sha’nya sama dengan madzhab syarifi’i. Dalam hal ini para pengikut madzhab Syafi’i diperkenankan untuk mengikuti pendapat ulama yang membolehkan menunaikan zakat fitrahnya dengan uang. seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan ulama Maliki.

*Besaran/ukuran zakat fitrah menurut para imam madzhab:*

1. Satu sha' menurut Madzhab Hanafi setara dengan delapan ritl Iraq. Satu ritl Iraq setara dengan berat 130 dirham. Dalam ukuran gram, satu sha setara dengan 3.800 gram (3,8 kg). 

2. Sementara satu sha' menurut Madzhab Hanbali setara dengan 2.751 gram (2,75 kg). 

3. Adapun menurut Madzhab Syafi‘i, satu sha setara 685 5/7 dirham atau lima 1/3 ritl Baghdad. 


4. Madzhab Maliki memiliki pandangan yang sama dengan Mazhab Syafi‘i, satu sha setara 685 5/7 dirham atau lima 1/3 ritl Baghdad.

Berikut adalah beberapa rekomendasi dari LBM PBNU dalam keputusan tersebut:

1. Yang terbaik dalam menunaikan zakat fitrah adalah pembayaran dengan beras. Adapun satu sha’ versi Imam an-Nawawi adalah bobot seberat 2,7 kg atau 3,5 liter. Sedangkan ulama lain mengatakan, satu sha’ seberat 2,5 kg.

2. Masyarakat diperbolehkan pula membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang sesuai harga beras 2,7 kg atau 3,5 liter atau 2,5 kg sesuai kualitas beras layak konsumsi oleh masyarakat setempat.

3. Segenap panitia zakat yang ada di masyarakat baik di mushalla maupun di masjid dianjurkan untuk berkoordinasi dengan LAZISNU terdekat.

*Referensi:* 

*Zakat harus dengan makanan pokok*  

وواجب الفطرة لكل واحد صاع من غالب قوت بلد المؤدى عنه وإن كان المؤدي بغيرها من جنس واحد

كاشفة السجا لنووي الجاوي - (ج 1 / ص 270) 

*Zakat fitrah tidak boleh dijual-belikan*  

قال أصحابنا لا يجوز للإمام ولا للساعى بيع شىء من مال الزكاة من غير ضرورة بل يوصلها إلى المستحقين بأعيانها لأن أهل الزكاة أهل رشد لا ولاية عليهم فلم يجز بيع مالهم بغير إذنهم فإن وقعت ضرورة بأن وقف عليه بعض الماشية أو خاف هلاكه أو كان فى الطريق خطر أو احتاج إلى رد جبران أو إلى مؤنة النقل أو قبض بعض شاة وما أشبهه جاز البيع للضرورة كما سبق فى آخر باب صدقة الغنم إنه يجوز دفع القيمة فى مواضع للضرورة قال أصحابنا ولو وجبت ناقة أو بقرة أو شاة واحدة فليس للمالك بيعها وتفرقة ثمنها على الأصناف بلا خلاف بل يجمعهم ويدفعها إليهم وكذا حكم الإمام عند الجمهور وخالفهم البغوى فقال إن رأى الإمام ذلك فعله وأن رأى البيع وتفرقة الثمن فعله والمذهب الأول قال أصحابنا وإذا باع فى الموضع الذى لا يجوز فيه البيع فالبيع باطل ويسترد المبيع فإن تلف ضمنه والله أعلم . روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 337)  الثَّالِثَةُ: لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَلَا لِلسَّاعِي أَنْ يَبِيعَ شَيْئًا مِنَ الزَّكَاةِ، بَلْ يُوَصِّلُهَا بِحَالِهَا إِلَى الْمُسْتَحِقِّينَ، إِلَّا إِذَا وَقَعَتْ ضَرُورَةٌ، بِأَنْ أَشْرَفَتْ بَعْضُ الْمَاشِيَةِ عَلَى الْهَلَاكِ أَوْ كَانَ فِي الطَّرِيقِ خَطَرٌ، أَوِ احْتَاجَ إِلَى رَدِّ جِيرَانٍ، أَوْ إِلَى مُؤْنَةِ نَقْلٍ، فَحِينَئِذٍ يَبِيعُ.

المجموع الجزء السادس ص : 175  ( فرع ) 

*Jual-beli tidak diperbolehkan di Masjid*  

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: «نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الشراء والبيع في المسجد، وأن تنشد فيه الأشعار» (رواه الترمذي وأبو داود وغيرهما) 

*Syafiiyyah sepakat zakat tidak boleh menggunakan uang*

{ الشرح } اتفقت نصوص الشافعي رضى الله عنه انه لا يجوز اخراج القيمة في الزكاة وبه كذا في الاصل والصواب عليهن قطع المصنف وجماهير الاصحاب وفيه وجه ان القيمة تجزئ حكاه وهو شاذ باطل ودليل المذهب ما ذكره المصنف (وأما) إذا اخرج سنا اعلي من الواجب كبنت لبون عن بنت مخاض ونظائره فتجزئه بلا خلاف لحديث ابى السابق ولما ذكره المصنف (وأما) إذا اخرج تبيعين عن مسنة فقد قطع المصنف بجوازه وهو المذهب وبه قطع الجماهير وفيه وجه سبق في باب زكاة البقر والله تعالي اعلم.

 المجموع شرح المهذب - (ج 5 / ص 428) 

*Titik khilafiyah zakat dengan uang antara Syafiiyah dengan Hanafiyyah*

( قَالَ ) : فَإِنْ أَعْطَى قِيمَةَ الْحِنْطَةِ جَازَ عِنْدَنَا ؛ لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ حُصُولُ الْغِنَى وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالْقِيمَةِ كَمَا يَحْصُلُ بِالْحِنْطَةِ ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى لَا يَجُوزُ ، وَأَصْلُ الْخِلَافِ فِي الزَّكَاةِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ الْأَعْمَشُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ : أَدَاءُ الْحِنْطَةِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الْقِيمَةِ ؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى امْتِثَالِ الْأَمْرِ وَأَبْعَدُ عَنْ اخْتِلَافِ الْعُلَمَاءِ فَكَانَ الِاحْتِيَاطُ فِيهِ ، وَكَانَ الْفَقِيهُ أَبُو جَعْفَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ : أَدَاءُ الْقِيمَةِ أَفْضَلُ ؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى مَنْفَعَةِ الْفَقِيرِ فَإِنَّهُ يَشْتَرِي بِهِ لِلْحَالِ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ ، وَالتَّنْصِيصُ عَلَى الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ كَانَ ؛ لِأَنَّ الْبِيَاعَاتِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ بِالْمَدِينَةِ يَكُونُ بِهَا فَأَمَّا فِي دِيَارِنَا الْبِيَاعَاتُ تُجْرَى بِالنُّقُودِ ، وَهِيَ أَعَزُّ الْأَمْوَالِ فَالْأَدَاءُ مِنْهَا أَفْضَلُ.

المبسوط - (ج 4 / ص 141) 

*Kutipan Al-Qaffal yang memperbolehkan zakat diberikan kepada kiai, ustadz*

ونقل القفال عن بعض الفقهاء فهم أجازوا صرف الصدقات الى جميع الوجوه الحير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعماره المسجد للأن قوله في سبيل الله عام في الكل.

تفسير المنير الجزء الأول ص 244

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar