MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Kamis, 16 Juni 2022

KAJIAN TENTANG SEJARAH WAKAF PRODUKTIF

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Ali Imran : 92)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالًا وكانَ أحبَّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بيْرَحاءُ -وَكَانَتْ مُسْتقْبلة الْمَسْجِدِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ-قَالَ أَنَسٌ: فَلَمَّا نَزَلَتْ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} قَالَ أَبُو طَلْحَةَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} وَإِنَّ أحبَّ أَمْوَالِي إلَيَّ بيْرَحاءُ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّها وذُخْرَها عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى، فَضَعْها يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ [تَعَالَى] فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَخٍ، ذَاكَ مَالٌ رَابِحٌ، ذَاكَ مَالٌ رَابِح، وَقَدْ سَمِعْتُ، وَأَنَا أرَى أنْ تجْعَلَهَا فِي الأقْرَبِينَ". فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَسَمها أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Talhah yang pernah mendengar dari Anas ibnu Malik, bahwa Abu Talhah adalah seorang Ansar yang paling banyak memiliki harta di Madinah, dan tersebutlah bahwa harta yang paling dicintainya adalah Bairuha (sebuah kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar. Sahabat Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan firman-Nya yang mengatakan: Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92) Lalu Abu Talhah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman, 'Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai' (Ali Imran: 92), dan sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha ini, dan sekarang Bairuha aku sedekahkan agar aku dapat mencapai kebajikan melaluinya dan sebagai simpananku di sisi Allah Ta'ala. Maka aku mohon sudilah engkau, wahai Rasulullah, mempergunakannya menurut apa yang diperlihatkan oleh Allah kepadamu." Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya, "Wah, wah, itu harta yang menguntungkan, itu harta yang menguntungkan;" dan aku telah mendengarnya, tetapi aku berpendapat hendaklah kamu memberikannya kepada kaum kerabatmu. Abu Talhah menjawab, "Akan aku lakukan sekarang, wahai Rasulullah." Lalu Abu Talhah membagi-bagikannya kepada kaum kerabatnya dan anak-anak pamannya." (HR. Ahmad)

Wakaf produktif bagi sebagian orang masih dianggap sebagai istilah baru atau bahkan istilah asing/tidak dikenal dalam perwakafan. Sesungguhnya wakaf produktif bukan sebagai istilah yang baru dikenal atau dipraktikkan saat ini, namun ia memiliki akar yang kuat dalam sejarah awal perkembangan wakaf di mana Rasulullah telah memerintahkannya, bahkan beliau juga melaksanakannya.

Sejarah perwakafan mencatat bahwa wakaf produktif pertama kali dipraktikkan oleh Rasulullah dengan mewakafkan tujuh bidang kebun kurma di Madinah. Kebun kurma ini awalnya milik seorang Yahudi yang bernama Mukhairiq yang bersimpati kepada Rasululah. Ia ikut berperang dengan pasukan Islam dalam perang Uhud dan berpesan kepada Nabi: Jika saya terbunuh maka kebun kurma milik saya menjadi milik Rasulullah. Mukhairiq terbunuh pada Perang Uhud sehingga kebun kurma itu dimiliki oleh Rasulullah lalu Beliau mewakafkannya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi shamohon petunjuk beliau tentang pengelolaannya seraya berkata,

“Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Yang menurut saya, saya belum pernah memiliki tanah yang lebih baik daripada tanah tersebut. Beliau bersabda,

إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“Kalau engkau mau, kau tahan pohonnya dan sedekahkan buah (hasilnya).”

Perawi hadits berkata,

فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

"Lalu Umar mewakafkan tanahnya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihadiahkan, dan tidak boleh diwarisi. Hasil dari pohon tersebut disedekahkan kepada kaum fakir, kerabat-kerabat, budak-budak, orang-orang yang membela agama Allah, tamu, dan musafir yang kehabisan bekal. Namun tidak masalah bagi pengurus wakaf untuk memakan hasilnya dengan baik dan memberi makan teman-temannya yang tidak memiliki harta." (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 2772; Muslim, no. 1632).

Dalil di atas disebut oleh para ulama sebagai dalil pokok yang membicarakan masalah wakaf. Ada beberapa kesimpulan dari hadits tersebut yang bisa diambil:

1. Wakaf merupakan bentuk amal jariyah.

2. Wakaf hendaklah diambil dari harta yang terbaik sehingga berbuah pahala yang besar.

Untuk mempertimbangkan harta yang diwakafkan bisa meminta pendapat dari orang yang berilmu (seorang alim). Orang berilmu tadi bisa mengarahkan wakaf pada hal yang bermanfaat.

3. Pengertian wakaf telah diterangkan dalam hadits di atas lewat kalimat yang singkat namun syarat makna. Singkatnya wakaf itu menahan pokoknya dan menyedekahkan hasilnya. Misal wakaf berupa tanah, berarti tanah tetap ditahan, sedangkan pemanfaatannya itu yang disedekahkan.

4. Kalau lafazh yang digunakan adalah tahbis (engkau tahan), walau bukan dengan lafazh ‘aku wakafkan’, seperti itu sudah bisa dianggap sebagai akad wakaf tanpa perlu ada niatan atau indikasi tambahan.

5. Wakaf itu khusus untuk sesuatu yang bertahan bentuknya dan terus bisa dimanfaatkan, bukan sesuatu yang sekali pakai yang langsung pemanfaatannya hilang. Contohnya makanan termasuk sedekah, bukan termasuk wakaf.

6. Barang wakaf tidak boleh ditasharufkan dengan dijual, diwariskan, atau dihibahkan.

7. Boleh saja orang yang memberi wakaf memberikan syarat-syarat tertentu dalam pemanfaatan wakaf asal tidak bertentangan dengan ketentuann syariat. Syarat yang tidak bertentangan tersebut wajib dijalankan.

8. Yang memanfaatkan wakaf ini adalah fakir miskin dan orang-orang yang dituju untuk berbuat baik. Namun yang pertama masuk dalam itu semua adalah kerabat dekat dibanding orang jauh.

9. Sebagai nazhir atau pengurus wakaf boleh memanfaatkan wakaf dengan cara yang makruf (sewajarnya). Ia boleh memakan sesuai kebutuhannya dan sesuai kerja kerasnya dalam merawat harta wakaf tersebut.

10. Orang kaya boleh makan dari harta wakaf seperti sebagai pengurus atau sebagai tamu. Namun yang jelas harta wakaf tersebut tidak boleh dijadikan milik.

11. Jika sudah terjadi akad wakaf, maka sudah menjadi akad lazim walau hanya dengan sekedar perkataan. Kalau sudah lazim berarti sudah jadi akad mengikat dan tidak bisa diminta kembali.

12. Boleh bagi pewakaf untuk memberikan syarat agar sebagian wakaf tersebut dimanfaatkan misal oleh nazhir (pengurus wakaf).

Kalau kita melihat dalil Umar ini, maka semua wakaf adalah produktif. Kemudian saya jelaskan sedikit beda wakaf dengan sedekah biasa. Pada wakaf, harta (benda) tidak boleh hilang dan hanya hasil atau manfaatnya yang diambil (diterima) oleh penerima manfaat, sedangkan sedekah biasa boleh dihabiskan, dikonsumsi, dijual, dan sebagainya.

Manfaat wakaf biasanya akan berkelanjutan, sedangkan sedekah mungkin hanya untuk sekali pakai atau jangka pendek. Wakaf mesti benda yang tahan lama, tidak mudah hangus atau rusak, sedangkan sedekah boleh benda apa saja asal bermanfaat. Wakaf memerlukan pengelola (penjaga dan pengembang), sedangkan sedekah boleh tanpa pengelola. Sebagian orang berkata, wakaf masuk kelompok amal filantropi, sedangkan sedekah amal karitatif.

Kemudian, wakaf produktif dari segi pemanfaatannya ada dua macam, pertama wakaf tidak mandiri, yaitu wakaf yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Saya menyebutnya tidak mandiri. Kemudian wakaf mandiri, wakaf yang pemanfaatannya tidak perlu biaya lain.

Wakaf tidak mandiri, misalnya wakaf tanah lalu dibangun masjid, tapi untuk membiayai perawatan masjid tersebut memerlukan biaya lain dari jamaah. Apakah ini bisa disebut wakaf tidak produktif atau produktif? Saya menyebutnya wakaf tidak mandiri.

Jadi istilah produktif perlu kita kaji, baru kita gunakan secara relatif bebas. Tanah yang kita wakafkan untuk masjid dan masjid tersebut bisa membiayai diri sendiri, tanpa sumbangan dari jamaah, perlu dipertimbangkan masuk dalam katagori wakaf produktif.

Para ulama menganggap wakaf sudah dimulai dari contoh yang diberikan Nabi ketika mendirikan Masjid Quba. Beliau membeli tanah seharga seratus dirham dari wali anak yatim Bani Najjar, lalu menyerahkannya untuk pembangunan masjid.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun ketiga hijriyah membeli kebun kurma milik Mukhairiq (di antaranya kebun A'raf, Shafiyah, Dalal, Barqah) lalu mewakafkannya. Sering disebut pewakafan tujuh kebun kurma di Madinah. 

Sahabat juga melakukan  wakaf yang cukup banyak. Beberapa wakaf sahabat antara lain, Umar bin Khathab mewakafkan kebun kurma di Khaibar, Abu Thalhah mewakafkan kebun kesayangannya Bairaha, Abu Bakar mewakafkan sebuah rumah dengan tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah dan Utsman mewakafkan sumur “Ruman” dan kebunnya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan kebunnya yang subur di Yanbu`, Mu`adz bin Jabbal mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan “Dar al-Anshar” di Madinah. Sahabat lain Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, Aisyah, dan beberapa istri Rasulullah lainnya, juga mewakafkan sebagian hartanya.

*Wakaf masa khalifah*

Kemudian pada masa Umayyah yang memerintah lebih kurang 100 tahun, banyak sekali dilakukan wakaf dan mencetak uang sendiri. Di masa ini wakaf diadministrasikan dengan baik. Pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, dengan wakaf membangun lembaga pendidikan  dan membayar gaji para guru.

Pemaisuri Zubaidah, pernah membuat saluran air dengan wakaf, yang airnya diisi pada musim haji untuk minum jamaah. Dia menghabiskan sekitar 1.500.000 dirham. Jika kita kalikan 4, jadi senilai 6000 kg emas. Ini diwakafkan oleh pemaisuri Zubaidah pada masanya. Zubaidah juga menghabiskan dana 54 juta dirham untuk membuat pos yang menghubungkan Irak dengan Mekkah. Dia menggali banyak sumur, bahkan ratusan sumur. Begitu juga dia mendirikan beberapa masjid dan jembatan. Ini wakaf paling besar yang tercatat dalam sejarah.

Pemerintah pada masa terdahulu mencampuri sedikit sekali urusan negara. Negara hanya mengurus keamanan luar negeri, tentara, pengadilan pidana, sedangkan peradilan perdata diadili oleh hakim swasta atau arbitrase. Kemudian yang terkait fasilitas umum yang dianggap penting diurus negara, sedangkan masalah lain seperti kesehatan dan lain-lain diurus oleh swasta dan dibiayai dengan dana wakaf.

Disnati Fatimiyyah di Mesir dan Salahuddin Al Ayyubi juga sangat menggalakkan wakaf. Pajak dan cukai yang dikumpulkan oleh Salahuddin Al Ayyubi diwakafkan. Jadi Salahuddin menggunakan uang negara lalu diwakafkan. Saya menganggapnya ini produktif, karena orang bisa mengambil manfaat walaupun bukan dalam bentuk uang, tetapi orang bisa bersekolah dan lain-lain.

Wakaf pada masa dinasti Mamalik mengembangkan wakaf dengan cara memberi izin untuk mewakafkan apapun yang dapat diambil manfaatnya. Ini yang mereka lakukan, termasuk budak yang dulu belum pernah diwakafkan, lalu pada masa dinasti Mamalik budak diwakafkan untuk mengurus  masjid.

Pada masa Bani Usman bermula wakaf keluarga. Seorang ayah mewakafkan tanahnya untuk keturunannya sendiri sampai berapa lama ke bawah, lalu pada ujungnya wakaf keluarga menjadi milik kolektif. Ada satu kampung yang tanahnya dikelola bersama-sama dan menjadi wakaf keluarga (wakaf ahly), mengalahkan tanah milik pribadi.

Kalau kita baca riwayat hidup ulama, banyak ulama berasal dari keluarga tidak kaya, ulama tersebut dibiayai dengan harta wakaf, seperti Imam Syafii yang diduga hidup dari hasil harta wakaf. Jadi sepanjang sejarah awal Islam terlihat peran dan fungsi wakaf cukup strategis dan produktif.”

*Apakah harta wakaf boleh dijual?*

Ada beda pendapat dalam masalah ini. Ada ulama seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh dijual sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan bolehnya.

Adapun Imam Ahmad berpandangan bahwa harta wakaf boleh dijual dan diganti hanya jika kemanfaataannya sudah tidak ada secara total dan tidak mungkin diperbaiki lagi. Misalnya untuk masjid yang tidak dipakai lagi karena penduduknya sudah tidak ada (pergi) atau ada masjid yang sudah sangat sempit dan tidak mungkin diperlebar lagi. Untuk kasus ini, yang sudah diwakafkan boleh dijual. Seperti ini menjadi pendapat Umar bin Khattab dan pernah ia terapkan, dan  tidak ada seorang sahabat pun yang mengkritik pendapat Umar. Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar