MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 03 Maret 2021

KAJIAN TENTANG ISLAM DAN KAMTIBMAS

Islam adalah agama yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam baik al Qur-an maupun hadits. Kata Rahmah, Rahman, Rahim dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. Maknanya adalah kasih dan sayang.

Dalam sebuah hadits Qudsi Tuhan menyatakan : “Ana Al-Rahman. Ana al-Rahim” (Aku Sang Maha Kasih. Aku Sang Maha Sayang).

Sumber Islam paling otoritatif tersebut dengan sangat tegas menyebutkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama “rahmatan li al ‘alamin” :

وَمَا اَرْسَلْنَاكَ اِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

“Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai (penyebar) kasih sayang bagi semesta” (QS. Al-Anbiya, 107).

Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi dengan pernyatannya yang terang benderang: :”Bu’itstu li utammima makarim al akhlaq” (Aku diutus untuk menyempurnakan moralitas kemanusiaan yang luhur).  

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata,

قيل : يا رسول الله ! ادع على المشركين . قال " إني لم أبعث لعانا . وإنما بعثت رحمة ". رواه مسلم

Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam! Doakanlah keburukan (laknatlah) atas kaum musyrikin.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pelaknat, namun aku diutus sebagai rahmat (pembawa kasih sayang)." (HR. Muslim)

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu menolak secara tegas cara-cara kekerasan dan sekaligus tidak pernah melakukannya dalam berdakwah.

Allah Ta'ala telah memberikan kesaksian sekaligus merestui cara-cara atau metode penyebaran Islam yang dijalankan Nabi Saw tersebut sambil menganjurkan agar dia meneruskannya,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ. وَلَوْ كُنْتَ فَظًا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَاْ نْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ. فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاْوِرْهُمْ فِى اْلاَمْرِ

“Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekitarmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam segala urusan”.(QS. Ali Imran, 3 :159).

Ayat di atas dengan sangat jelas dan lugas bahwa Allah lah yang menganugerahkan kepada Nabi sifat dan karakter kasih dan sayang itu, sekaligus menegaskan bahwa metode mengajak orang lain kepada Islam dengan cara kasar dan kekerasan, justru tidak menghasilkan apa-apa, bahkan kegagalan. Allah juga memberikan jalan lain; dialog dan bermusyawarah untuk menyelesaikan atau jalan keluar bagi segala konflik dan ketegangan antar warga masyarakat. Sungguh telah salah sebagian orang-orang Islam yang menampakkan Islam sebagai agama yang kasar, kejam, intoleran, dan gemar menebar teror kemana-mana. Mereka membawa label-label Islam untuk menghalalkan kekerasan baik pola pikir maupun tindakannya (radikalisme) dan terorisme. Mereka pada hakikatnya jauh dari petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta jauh dari pengamalan As-Salafus Sholeh dalam membumikan makna Islam yang sesungguhnya. 

Sejatinya, radikalisme atas nama agama ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan, beliau pun sudah mengabarkan dalam berbagai haditsnya bahwa gerakan semacam ini akan selalu ada sampai kelak. Salah satunya hadits yang menceritakan tentang Dzul Khuwaishirah (HR Bukhari 3341, HR Muslim 1773) 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا، فَقَالَ ذُو الخُوَيْصِرَةِ، رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ، قَالَ: «وَيْلَكَ، مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ» فَقَالَ عُمَرُ: ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ، قَالَ: «لاَ، إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ 

“Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu, dia berkata; "Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta rampasan), datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; "Wahai Rasulullah, engkau harus berlaku adil". Maka beliau berkata: "Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil". Kemudian 'Umar berkata; "Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: "Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal kemudian firqah yang bernama Khawarij. Khawarij ini muncul sebagai respon ketidakksepakatan terhadap tindakan tahkim (arbitrase) yang ditempuh Khalifah ‘Ali Ibn Abu Thalib dalam penyelesaian peperangan Shiffin dengan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam perjalanannya, Khawarij ini dapat ditumpas. Namun, pemikirannya bermetamorfosis dalam berbagai bentuk firqah. Sehingga, sampai sekarang pun masih banyak ditemukan pemikiran yang benar-benar fanatik, tekstual, dan fundamental. Kalangan yang pendapatnya berbeda dengannya maka akan diberikan stempel “kafir”, “bid’ah”, dan “sesat” yang menurut mereka boleh dibunuh.. 

Dalam tataran ke-negara-an pun, juga terdapat kelompok radikal yang selalu mengangkat isu khilafah (satu pemerintahan atas nama Islam). Setiap permasalahan negara selalu dibawa ke ranah khilafah. Bahkan, ada kalangan yang menganggap pemerintahan selain khilafah adalah thaghut. Meskipun, bentuk negara ini merupakan perkara yang ijtihadi (diperlukan ijtihad dan tidak mutlak). 

Kalangan-kalangan radikal ini pun sangat gencar menyuntikkan paradigma-paradigmanya sehingga tidak sedikit kalangan muda yang terbius oleh paradigma-paradigma semu tersebut. Didorong oleh pahala dan surga, kalangan muda banyak yang mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, banyak kalangan muda yang bersedia menjadi pihak bom bunuh diri.

Islam itu agama welas asih. Jika ada sejumlah ayat di dalam Al-Qur’an yang bicara tentang perang dan kekerasan, itu sama sekali tidak membatalkan misi utama Islam sebagai agama rahmatan lil âlamîn. 

Ayat-ayat ‘lembut’ di dalam Al-Qur’an jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat ‘keras.’ Dan sependek pengetahuan saya, ayat-ayat keras itu bersifat historis dan kontekstual. Rasulullah diperintahkan memerangi orang-orang kafir yang memerangi Rasulullah dan Sahabat. Mereka memusuhi dan mengusir Rasulullah dari Tanah Airnya. Karena itu, ayat yang pertama kali turun tentang perang menggunakan redaksi pasif (مبني مجهول), bukan perintah aktif. Perhatikan firman Allah Ta'ala berikut ini,

اُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِير الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ 

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya, mereka telah dianiaya. Dan sungguh Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, Tuhan kami hanyalah Allah.” (QS. al-Hajj : 39-40).

Ayat ini menyampaikan pesan bahwa umat Islam yang diusir dan diperangi diizinkan membela diri dan membalas kezaliman yang menimpa mereka dengan mengangkat senjata.

Islam melarang keras membunuh orang tanpa alasan yang hak. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa membunuh satu orang tanpa alasan yang benar seumpama membunuh manusia semuanya. Sebaliknya, menjaga dan melindungi kehidupan satu orang seakan memberi kehidupan manusia seluruhnya. 

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا 

“…Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena ia (membunuh) orang lain atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan satu orang, maka seakan-akan dia menjaga kehidupan manusia seluruhnya..” (QS. Al-Maidah : 32)

Jadi, Peran ulama itu sangat penting sekali untuk menjaga ketenangan masyarakat. Para tokoh agama Islam dan juru dakwah atau dai memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan perdamaian di antara sesama anak bangsa. Selain menanamkan akidah dan akhlak umat Muslim, dai juga harus berada di garda terdepan dalam menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negara.

Karena itu, dai memiliki peran strategis dalam menebarkan pesan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Keberadaan para dai cukup membantu dalam menciptakan suasana kondusif dan menyelesaikan konflik yang terjadi di tengah masyarakat, terutama melalui pendekatan agama. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar