MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 13 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG KEHARUSAN MENGINGATKAN HABAIB YANG MENYIMPANG




"Al-Fushul Al-Ilmiyyah" adalah salah satu karya tulis dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dari sekian banyak karyanya, beliau seorang ulama besar dari Tarim, Yaman, yang dikenal sebagai pembaharu Tarekat Alawiyyah. Kitab ini berisi nasihat dan petuah yang berfokus pada tasawuf dan bertujuan membimbing umat menuju akhlak mulia dengan meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Beliau dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim), dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.

Dalam pandangan penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid (pembaharu) abad 11 H. pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. 

Dalam salah satu kitab karyanya beliau menyampaikan,

الفصل الحادي والعشرون  

لا ينبغي لأحدٍ ممن يعول عليه أن يعظِّم ولا أن يُثني على الجاهل، وإن كان ممن له نسب شريف وسلف صالح، فإنَّ تعظيمه والثناء عليه في الظاهر قد يَفْتِنُهُ في دينه، ويغره بالله ويزهده في العمل الصالح، ويلهيه عن التزود لآخرته، ويكون الذي يعظمه ويثني عليه سبباً في فتنته وغروره، كالساعي في هلاكه. فيُستوجب بذلك السَّخَط من الله ورسوله ومن السلف الصالحين الذين يُنسب إليهم ويُشَرَّفُ بهم ذلك الجاهل. وكيف يَغْتَرُّ أحدٌ يُنسب بمجرد عن التقوى، أو يعتمد عليه بعد قول رسول الله ﷺ: يا فاطمة بنت محمد، لا أغني عنك من الله شيئاً. الحديث الصحيح، وفيه: يا بني عبد المطلب، يا فلان يا فلان من قرابته عليه السلام، ثم يخصّ مضرّة المدح وفتنته على الجاهل عظيمة، وقد أُتي رجل على آخر عند رسول الله ﷺ، فقال: «ويلك قطعت عنق أخيك لو سمعها ما أفلح». الحديث. وقال عليه الصلاة والسلام: «لأن يمشي أحدكم إلى أخيه فيسكنه مرفق خير له من أن يُثني عليه في وجهه».  

Bab 21: Tidak Mengagungkan dan Memuji Orang Bodoh

Tidak sepantasnya bagi seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan untuk mengagungkan atau memuji orang bodoh, meskipun orang tersebut memiliki nasab yang mulia dan leluhur yang saleh.

Sebab, mengagungkan dan memuji secara lahiriah dapat membuat orang bodoh itu terfitnah dalam agamanya, merasa sombong di hadapan Allah, malas beramal saleh, dan lalai dari bekal untuk akhiratnya.

Orang yang mengagungkan dan memujinya justru menjadi penyebab fitnah dan kesombongannya, seperti orang yang berupaya menghancurkan dirinya sendiri.

Dengan demikian, orang tersebut berhak mendapatkan kemurkaan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang saleh yang diagungkan dan dihormati oleh orang bodoh itu.

Bagaimana mungkin seseorang yang hanya dinilai dari nasabnya merasa sombong, padahal ia tidak memiliki ketakwaan?

Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada nasabnya setelah mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya, Fathimah, "Wahai Fathimah binti Muhammad, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepadamu di sisi Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Wahai Bani Abdul Muththalib! Wahai fulan! Wahai fulan!" (beliau menyebutkan beberapa nama kerabatnya).

Akan tetapi, dampak negatif dari pujian dan fitnah terhadap orang bodoh sangatlah besar.

Suatu ketika, ada seseorang yang memuji orang lain di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Celaka kamu, kamu telah memenggal leher saudaramu! Jika dia mendengar pujianmu itu, niscaya dia tidak akan beruntung selamanya." (HR. Bukhari)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Sungguh, jika salah seorang di antara kalian berjalan menuju saudaranya untuk menenangkan dan menolongnya, itu lebih baik baginya daripada memujinya di hadapannya." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.87)

Sayyid Abdullah Al-Haddad. Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju atas anggapan bahwa keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dipastikan masuk surga meskipun melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama.

فيقول هؤلاء أهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورسول الله شفيع لهم، ولعل الذنوب لا تضرهم، وهذا قول شنيع، يضر القائل به نفسه، ويضر به غيره من الجاهلين، وكيف يقول أحد ذالك وفي كتاب الله العزيز ما يدل غلى اهل أن أهل البيت يضاعف لهم الثواب على الحسنات، والعقاب على السيئات.

“Ada yang mengatakan, ”Biarlah, mereka adalah dari Ahlul Bait, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Qurán, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya.” (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.88)

﴿يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ﴾ الآية، والآية التي بعدها، ونساؤه من أهل بيته ﷺ.  

ومن قال أو ظنَّ أن ترك الطاعات، وفعل المعاصي لا يضر أحداً لشرف نسبه، أو صلاح آبائه، فقد افترى على الله الكذب، وخالف إجماع المسلمين، ولكن لأهل بيت رسول الله ﷺ شرف، ولرسول الله ﷺ بهم مزيد عناية، وقد أكثر على أمّته من الوصيةِ بهم، والحثّ على حبّهم ومودّتهم. وذلك أمرُ الله تعالى في كتابه في قوله تعالى: ﴿قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾، فعلى كافة المسلمين أن يعتقدوا حبَّهم ومودّتهم، وأن يكرّموهم ويعظّموهم من غير غلوٍّ ولا إسراف.  

ثم إنّ من كان من السادة أهل البيت على مثل أو قريب من سير سلفهم الصالح وطريقتهم المرضيّة، فهو إمام يُهتدى بأنواره، ويُقتدى بآثاره، كأئمّة المهتدين من الأئمّة المتقدّمين، مثل أمير المؤمنين الإمام عليّ بن أبي طالب، والحسن، والحسين سبطي رسول الله ﷺ، ومثل جعفر الطيّار، وسيّد الشهداء حمزة، ومثل حِجر الأُمّة عبد الله بن عبّاس، وأبيه الإمام العبّاس عمّ رسول الله ﷺ، ومثل الإمام زين العابدين عليّ بن الحسين، والإمام الباقر، وولده الإمام جعفر الصادق عليهم السلام، وأمثالهم من سلف هذا البيت المطهَّر وخلَفهم.  

"Allah berfirman: 'Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian yang melakukan perbuatan keji yang nyata, maka azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat bagi-Nya.' (QS. Al-Ahzab: 30).

Ayat ini dan ayat berikutnya menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah bagian dari Ahlul Bait beliau.

Barangsiapa yang berpendapat atau meyakini bahwa meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat tidak akan membahayakan seseorang karena kemuliaan nasabnya atau kesalehan leluhurnya, maka dia telah berbuat dusta terhadap Allah dan menyalahi ijma' (kesepakatan) kaum Muslimin.

Namun, Ahlul Bait Rasulullah memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah memiliki perhatian lebih terhadap mereka.

Beliau banyak berwasiat kepada umatnya untuk menyayangi dan mencintai mereka. Allah juga memerintahkan hal ini dalam Al-Qur'an dengan firman-Nya:

"Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepada kalian kecuali kecintaan kepada kerabatku.'" (QS. Asy-Syu'ara: 23).

Oleh karena itu, seluruh kaum Muslimin harus meyakini cinta dan kasih sayang kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka tanpa berlebihan dan melampaui batas.

Jika ada seseorang dari Ahlul Bait yang mengikuti jejak salaf (pendahulu) mereka yang saleh dan metode yang diridhai, maka dia adalah imam yang dapat diikuti petunjuk dan jejaknya, seperti para imam yang mendapat petunjuk dari kalangan terdahulu, seperti:

- Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

- Hasan dan Husein, cucu Rasulullah

- Ja'far bin Abi Thalib (Ja'far At-Thayar)

- Hamzah bin Abdul Muththalib (Sayyid Syuhada)

- Abdullah bin Abbas (ahli tafsir) dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muththalib (paman Rasulullah)

- Ali Zainal Abidin bin Husain

- Muhammad Al-Baqir dan putranya, Ja'far Ash-Shadiq

Mereka semua adalah contoh dari Ahlul Bait yang suci dan petunjuk bagi umat." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.89)

وأما من كان من أهل هذا البيت ليس على مثل طرائق أسلافهم الطاهرين، وقد دخل عليهم شيء من التخليط لعلّة الجهل، فينبغي أيضاً أن يعظّموا ويُحترموا لقرابتهم من رسول الله ﷺ، ولا يُبالَغ المتماهل للنصيحة نصحهم وحثّهم على الأخذ بما كان عليه سلفهم الصالح، من العلم والعمل الصالح، والأخلاق الحسنة، والسير المرضيّة، ويخبرهم أنهم أولى بذلك وأحقّ به من سائر الناس، وأنّ مجرد النسب لا ينفع ولا يرفع مع إضاعة التقوى، والإقبال على الدنيا، وترك الطاعات، والدنس بَدَنَس المخالفات. وقد نَظَمَ لذلك جماعةٌ من الشعراء فضلاً عن الأئمّة والعلماء، حتى قال بعضهم:  

لعمْرُكَ ما الإنسانُ إلاّ ابنُ دينِهِ  

فلا تتركِ التقوى اتّكالاً على النَّسَبِ  

فقد رفع الإسلامُ سلمانَ فارسٍ  

وقد وضعَ الشِّركُ الحسيبَ أبا لهبِ

"Adapun orang-orang dari Ahlul Bait yang tidak mengikuti jalan salaf (pendahulu) mereka yang suci, dan telah terjadi penyimpangan pada mereka karena kebodohan, maka seyogyanya mereka tetap dihormati dan diagungkan karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah ﷺ.

Namun, orang yang lalai dalam menasihati mereka tidak boleh menyerah untuk terus memberikan nasihat dan motivasi kepada mereka agar mengikuti apa yang telah dilakukan oleh salaf mereka yang saleh, yaitu berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan berperilaku terpuji.

Mereka harus diberi tahu bahwa mereka lebih utama dan lebih berhak untuk mengikuti hal tersebut daripada orang lain.

Sebab, semata-mata nasab tidak dapat memberikan manfaat atau mengangkat derajat seseorang jika dia meninggalkan ketakwaan, lebih mengutamakan dunia, meninggalkan ketaatan, dan mengotori diri dengan kemaksiatan.

Banyak penyair, ulama, dan imam yang telah merangkai kata-kata indah tentang hal ini. Salah seorang penyair berkata:

"Demi usiamu, manusia tidak lain adalah karena agamanya. Janganlah kamu meninggalkan ketakwaan hanya karena mengandalkan nasab.

Islam telah mengangkat derajat Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia, sedangkan kesyirikan telah merendahkan Abu Lahab yang memiliki nasab yang mulia." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.90). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar