MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 15 September 2025

KAJIAN TENTANG KARAMAH IMAM AHMAD AR-RIFA'I MENCIUM TANGAN NABI


Begitu banyak kita temukan kisah karomah Imam Ahmad Rifa'i mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berziarah ke makam beliau.

Diantaranya sebagaimana dalam video seorang habib mengkisahkan tentang hal itu meski kenyataannya sedikit berbeda dengan kisah aslinya di dalam keterangan kitab karya Imam Izuddin Abu Abbas Ahmad bin Ibrahim bin Umar bin Al-Faraj bin Ahmad Al-Farutsi Al-Wasithi Asy-Safi'i yang dikenal dengan nama Imam Ahmad Izzuddin Al-Farutsi (614 - 694 H) yaitu kitab Irsyad Al-Muslimin Li Thariqah Syaikh Al-Muttaqin,   hal.88

Beliau adalah seorang pembaca, penceramah, dan khatib sufi, meninggal di Wasith pada bulan Dzulhijjah tahun 694 H, dalam usia sekitar delapan puluh tahun. Ia belajar dan mendengarkan dari Ibnu Az-Zubaidi dan Asy-Syihab Al-Suhrawardi, dan disana ia mengenakan jubah sufi di Baghdad. Ia juga mengajar di dua tempat suci dan di Irak serta tinggal di Mekkah, di mana ia belajar dari Qadi Al-Haram dan gurunya Muhammad Ath-Thabari. Kemudian ia menjabat sebagai guru dan khatib di Damaskus sebelum kembali ke Wasith, ia dikenal sebagai seorang fakih sufi. As-Subki dan lainnya telah menyebutkan namanya.

*كرامة تقبيل يد النبي صلى الله عليه وسلم للامام الرفاعي رضي الله عنه*

وكان جدّي الإمام الفقيه أبو الفرج عمر الفاروقي من حجاج ذلك العام، أخبرني الحافظ محي الدين عبد الإسحاق إبراهيم عن أبيه الشيخ عمر أنه قال له: كنت مع سيّدنا ومقرئنا، وشيخنا السيّد أحد الكبراء الزُهّاد أبي الحسن الحسيني رحمه الله عام حجّه الأول، وذلك سنة خمس وتسعين وخمسمائة، وقد دخل المدينة المنوّرة يوم دخوله إليها أوائل الزُوّار من الشام والعراق واليمن والمغرب والحجاز وبلاد العجم، وقد زادوا على سبعين ألفاً، فأشرف على المدينة المنوّرة، وترجل عن مطيّته ومشى حافياً إلى أن وصل الحرم الشريف المحمدي، ولا زال حتى وقف تجاه الحجرة المطهّرة النبوية، فقال: **السلام عليك يا جدّي.**  

فقال له – عليه أفضل الصلوات وأزكى التسليمات –: **وعليك السلام يا ولدي.**  

سمع كلامه الشريف كل مَن في الحرم النبوي، فتهادوا هذه المنحة العظيمة، والنعمة الكبرى، فرحاً وأنساً وبكى وجداً حتى ارتعد، ثم قام، وقال غائباً عن نفسه، حاضراً مع أنسه:  

في حالة البُعد روحي كنت أرسلها ** تُقبِّل الأرض عنّي فهي نائبةُ  

وهذه الدولة الأشراف قد حضرت ** فامدد يمينك كي تحظى بها الشَّرَفُ **  

ثم دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم من القبر الأكرم بكماله وطفوليته ونظره، وقد قام في الحرم الشريف، وكان أوّل من خرج بيده الطاهرة المصافحة بها، وكان أكبر الجماعة حين حضر الشيخ حيات بن سعيد الحَرّاني.  

*Karamah Imam Rifa'i Mencium Tangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam*

Dan kakekku, imam ahli fikih Abu Al-Farj Umar Al-Farutsi, termasuk jamaah haji pada tahun itu. Telah mengabarkan kepadaku Al-Hafizh Muhyiddin ‘Abdul Isḥaq Ibrahim, dari ayahnya, Syekh ‘Umar, bahwa ia berkata kepadanya:  

Aku bersama tuan kita, guru qira’ah kita, dan syekh kita, Sayyid yang agung lagi ahli zuhud, Abu Al-Hasan Al-Husaini rahimahullah pada tahun haji pertamanya, yaitu tahun 595 H.  

Beliau memasuki kota Madinah Al-Munawwarah pada hari ketika rombongan peziarah dari Syam, Irak, Yaman, Maghrib, Hijaz, dan negeri-negeri Ajam datang berbondong-bondong, hingga jumlahnya lebih dari tujuh puluh ribu orang. Beliau memandang kota Madinah, lalu turun dari tunggangannya, berjalan tanpa alas kaki sampai memasuki Masjid Nabawi yang mulia, terus berjalan hingga berdiri di hadapan makam suci Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.   

Beliau berkata: “Salam sejahtera untukmu, wahai kakekku.”

Lalu terdengar suara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam  menjawab: “Dan salam sejahtera atasmu, wahai anakku.”  

Semua orang di Masjid Nabawi mendengar kalam yang mulia itu, dan mereka saling menyampaikan kabar karunia agung yang penuh keberkahan itu, hingga mereka menangis karena rindu, dan larut dalam suasana haru. Beliau pun berdiri, dalam keadaan fana dari dirinya, dan berkata dengan ungkapan cinta:  

“Saat jauh, jiwaku kucurahkan pada utusan risalah, Mencium bumi, menjadi wakilku sebagai pengganti. Kini kerajaan mulia telah hadir di hadapanku, Maka ulurkan tangan kananmu agar mendapat kehormatan.” 

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam muncul dari makam sucinya dengan sempurna, dengan kelembutan beliau, dengan pandangan beliau. Beliau berdiri di dalam Masjid Nabawi, dan yang pertama kali disalami dengan tangan beliau yang suci adalah orang yang hadir pada momen itu: Syekh Hayat bin Sa’id Al-Ḥarrani, yang merupakan orang tertua di antara jamaah yang ada. (Irsyad Al-Muslimin Li Thariqah Syaikh Al-Muttaqin, Imam Ahmad Izzuddin Al-Faruqi [614] hal.88.

Besar harapan, setelah membaca keterangan diatas, kita semakin meyakini dan tidak mengingkari karomah para wali Allah, hanya saja jika karomah para wali dijadikan referensi dalam setiap ceramah dan tidak lebih mengedepankan kisah yang tercatat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya membuat mundurnya cara berpikir ummat karena hanya dapat suguhan kisah-kisah keajaiban di luar nalar manusia. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 10 September 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN MEMBANGGAKAN NASAB DAN LELUHUR


Dalam Al-Qur’an dengan tegas memberikan peringatan kepada semua umat Islam bahwa derajat dan kemuliaan seseorang tidak diukur dengan keturunan, nasab, ras maupun bangsa, namun ketakwaan. Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjadi penegas larangan membanggakan keturunan. Ahmad bin Musthafa Al-Farran dalam Tafsirul Imami Asy-Syafi’i, mengatakan,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ: أي اِنَّ أَرْفَعَكُمْ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ، وَفِي هَذِهِ الْأَيَةِ نَهْيٌ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالنَّسَبِ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa (QS Al-Hujurat, [49]: 13). Maksudnya, bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang paling bertakwa dari kalian. Dan dalam ayat ini juga merupakan larangan untuk berbangga-bangga dengan keturunan.” (Ahmad bin Musthafa Al-Farran, Tafsirul Imami Asy-Syafi’i, [Dar At-Tadmuriyah: tanpa tahun], juz III, hal.1281).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan abadi. Semua tingkah laku, perbuatan dan ucapannya menjadi contoh yang harus diteladani. Ia merupakan insan sempurna yang tidak memiliki kekurangan sama sekali. Karenanya, tidak heran jika Allah SWT menjadikannya sebagai nabi terbaik dari yang lainnya, makhluk termulia melebihi para malaikat-Nya.

Salah satu contoh yang harus dipetik oleh setiap orang saat ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagaimana ia mengajarkan putra-putrinya untuk tidak bangga dengan nasab keturunannya. Ia tidak pernah mengajarkan putra-putrinya untuk bangga dan sombong karena sudah terlahir menjadi anaknya. Bahkan ia murka andaikan ada dari salah satu keturunannya yang membanggakan diri karena sudah menjadi keturunannya.

Hal ini bisa kita lihat bersama, bagaimana Rasulullah mendidik keluarganya untuk tidak bangga dengan tingginya nasab. Bahkan Rasulullah juga memperingati Sayyidah Fatimah untuk tidak bangga sekalipun terlahir sebagai putrinya. Hal itu tidak lain selain untuk menunjukkan bahwa garis keturunan sama sekali tidak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah swt, yang bisa menyelamatkan seseorang hanyalah amal ibadah dan ketakwaan.

Pelajaran di atas bisa kita lihat dalam salah satu hadits berasal dari Sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

“Wahai golongan orang Quraisy! Peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Bani Abdi Manaf! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad! Mintalah kepadaku apa saja yang kamu mau (dari hartaku), sungguh aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah.” (HR Bukhari dalam Sunan Al-Kubra).

Syekh Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memberikan nasihat kepada keluarganya, ia memanggil semuanya lengkap dengan nasab mereka satu persatu sebagaimana hadits di atas. Hal itu untuk menunjukkan bahwa nasab atau keturunan Rasulullah sekalipun jika tidak berlandaskan iman dan takwa, maka tidak akan memiliki nilai dan jaminan apa-apa di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Karena itu, Rasulullah mengajarkan keluarga-keluarganya untuk tidak mengandalkan keturunan, namun lebih pada amal ibadah.

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga dengan tegas melarang orang-orang untuk tidak membanggakan nasab keturunan, bahkan orang yang biasa melakukan hal itu akan menjadi manusia yang sangat hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamb ersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَام يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْم جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونَنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّه مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءُ بِأَنْفِهِ

“Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan nenek-moyang mereka yang telah wafat. Mereka itu hanyalah arang neraka jahanam, atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR At-Tirmidzi, dan bernilai hadits Hasan dalam Jami’ul Kabir).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَبِيَدِي لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلَا فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِي وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ وَلَا فَخْرَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْحَدِيثِ قِصَّةٌ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Abu Nadhrah dari Abu Sa'id dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Saya adalah penghulu bani Adam pada hari kiamat, bukannya untuk membanggakan diri. Di tanganku terdapat bendera pujian, bukannya untuk membanggakan diri, dan tidak ada seorang Nabi pun pada hari itu, baik Adam maupun yang lain kecuali berada di bawah benderaku. Akulah orang yang pertama kali di bangkitkan (dari kubur) bukannya untuk membanggakan diri." Dan di dalam redaksi hadits terdapat kisah, Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih. (HR. At-Tirmidzi no.3548)

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَجُلًا اعْتَزَى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعَضَّهُ وَلَمْ يُكَنِّهِ فَنَظَرَ الْقَوْمُ إِلَيْهِ فَقَالَ لِلْقَوْمِ إِنِّي قَدْ أَرَى الَّذِي فِي أَنْفُسِكُمْ إِنِّي لَمْ أَسْتَطِعْ إِلَّا أَنْ أَقُولَ هَذَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا إِذَا سَمِعْتُمْ مَنْ يَعْتَزِي بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلَا تَكْنُوا

Dari Ubay bin Ka'b, bahwa ada seorang laki-laki membanggakan nasabnya seperti perbuatan orang-orang jahiliah, namun ia menahan dan tidak menyatakannya secara fulgar. Orang-orang pun memandang ke arahnya, maka laki-laki itu pun berkata, "Sesungguhnya aku bisa memahami apa yang ada pada kalian, dan tiada yang bisa saya lakukan kecuali ini, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami, "Jika kalian mendengar seseorang membanggakan nasabnya seperti orang jahiliah, maka tahanlah dan jangan kalian tampakkan dengan fulgar." (HR. Ahmad no.20284).

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ

dari Anas sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak terjadi hari kiamat sehingga orang membanggakan diri di masjid." (HR. Ahmad no.12079)

Imam Ahmad meriwayatkan di Musnadnya dari Ubay bin Kaab berkata, 

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ انْتَسَبَ رَجُلَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ فَمَنْ أَنْتَ لَا أُمَّ لَكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَسَبَ رَجُلَانِ عَلَى عَهْدِ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ أَحَدُهُمَا أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ حَتَّى عَدَّ تِسْعَةً فَمَنْ أَنْتَ لَا أُمَّ لَكَ قَالَ أَنَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ ابْنُ الْإِسْلَامِ قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام أَنَّ هَذَيْنِ الْمُنْتَسِبَيْنِ أَمَّا أَنْتَ أَيُّهَا الْمُنْتَمِي أَوْ الْمُنْتَسِبُ إِلَى تِسْعَةٍ فِي النَّارِ فَأَنْتَ عَاشِرُهُمْ وَأَمَّا أَنْتَ يَا هَذَا الْمُنْتَسِبُ إِلَى اثْنَيْنِ فِي الْجَنَّةِ فَأَنْتَ ثَالِثُهُمَا فِي الْجَنَّة

“Ada dua orang yang menyebutkan nasabnya pada zaman Rasulullah. Salah seorang dari keduanya berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?’ Lalu Rasulullah bersabda, “Ada dua orang yang menyebut nasab mereka pada zaman Musa. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan (sampai dia menyebut sembilan orang leluhurnya) lalu kamu siapa tidak ada ibu bagimu?’ Yang lain menjawab, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam’.” Nabi bersabda, “Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua orang yang membanggakan nasab mereka berdua, ‘Kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada sembilan leluhur, mereka semuanya di Neraka dan kamu orang yang kesepuluh. Adapun kamu wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada dua orang, mereka di Surga, maka kamu adalah orang ketiga yang di Surga.” (HR. Ahmad no.20241)

Dengan demikian, maka tentu membanggakan keturunan sama sekali bukanlah contoh meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat anti dengan kepopuleran nasab. Ia merupakan tipikal manusia yang memandang semua manusia sama saja, tidak ada yang lebih mulia dan lebih sempurna hanya dengan bermodalkan keturunan.

Bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemuliaan sejati hanyalah dengan ketakwaan dan ketaatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam satu haditsnya, yaitu,

أَيُّهَا النَّاسُ! أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Wahai manusia! Ketahuilah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan bahwa nenek moyang kalian adalah satu. Ingatlah bahwa tidak ada keunggulan bagi seorang Arab atas non-Arab, atau sebaliknya, dan tidak ada keunggulan bagi orang yang berkulit putih atas kulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan.” (HR Ahmad dalam Jami’ul Hadits).

Beberapa penjelasan di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa nasab keturunan memang benar-benar tidak layak untuk dibanggakan. Bahkan orang seperti Rasulullah sekali pun memberikan peringatan kepada keluarganya, terkhusus kepada putrinya Sayyidah Fatimah, bahwa menjadi putri atau putra siapa saja tidak menjamin keselamatan baginya, termasuk keturunan para nabi.

Oleh karena itu, salah satu nasihat penting yang disampaikan oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad dalam kitab an-Nashaihud Diniyah adalah bahwa membanggakan keturunan termasuk dari perbuatan-perbuatan yang tercela, dan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Dalam kitabnya ia mengatakan,

وَمِنْهَا تَزْكِيَةُ النَّفْسِ وَالثَّنَاءُ عَلَيْهَا وَالْفَخْرُ بْالْأَبَاءِ مِنْ أَهْلِ الدِّيْنِ وَالْفَضْلِ وَالتَّبَجُّجِ بِالنَّسَبِ وَذَلِكَ مَذْمُوْمٌ وَمُسْتَقْبَحٌ جِدًّا وَقَدْ يبْتَلىَ بِهِ بَعْضُ أَوْلاَدِ الْأَخْيَارِ مِمَّنْ لاَبَصِيْرَةَ لَهُ وَلَا مَعْرِفَةَ بِحَقَائِقِ الدِّينِ

“Termasuk dari sifat sombong adalah menganggap dirinya suci, menyombongkan diri karena menjadi keturunan orang-orang saleh dan mulia, membanggakan diri dengan keturunan. Hal-hal tersebut termasuk akhlak yang tercela, dan sangat jelek sekali. Sungguh hal itu terkadang menimpa sebagian keturunan orang-orang yang terpandang, yang mana mereka tidak memiliki pandangan batin dan tidak mengetahui hakikat ajaran Islam.” (Sayyid Abdullah Al-Haddad, An-Nashaihud Diniyah wal Washayal Imaniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tanpa tahun], hal.189). Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 09 September 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENOLAK ATAU MEMBUANG BARANG PEMBERIAN ORANG (HADIAH)

Hukum membuang barang pemberian pada dasarnya tidak ada larangan eksplisit dalam agama Islam, namun membuangnya adalah bentuk perbuatan yang sangat tidak terpuji karena menyalahi etika dan nilai kesyukuran. Perbuatan tersebut hanya dihalalkan jika barang pemberian itu sudah diketahui atau diduga kuat merupakan barang haram, atau jika tujuan pemberian itu tidak jelas dan hanya basa-basi. 

Islam mengatur soal pemberian orang lain seperti termaktub dalam kitab berjudul Risalatul Mu‘awanah wal Mudhaharah wal Muwazarah dari Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad.

وعَلَيْك إذا أسدى إليك مسلم معروفًا بقبوله منه وشكره ومكافأته عليه، فإن لم تقدر عليها أو كان ممن توحشه المكافأة فعيّضك بالدعاء له. وقد قال عليه الصلاة والسلام: «لو أُهدي إليّ ذراع أو كُراع لقبلت، ولو دُعيت إلى ذراع أو كُراع لأجبت». وقال: «من أُصطنع إليكم معروفًا فكافئوه، فإن لم تقدروا على ذلك فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه»

"Dan atasmu (yakni kewajibanmu) ketika seorang muslim memberikan suatu kebaikan kepadamu, maka terimalah darinya, ucapkanlah terima kasih, dan balaslah kebaikannya. Jika engkau tidak mampu membalasnya atau ia termasuk orang yang menjadi sungkan bila dibalas, maka balaslah dengan mendoakannya.  

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya diberikan kepadaku hadiahnya berupa lengan (kambing) atau kaki (kambing), niscaya aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang (makan) dengan hidangan lengan atau kaki (kambing), niscaya aku akan memenuhi undangannya.’

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa diberi kebaikan oleh kalian, maka balaslah ia. Jika kalian tidak mampu, maka doakanlah dia hingga kalian merasa bahwa kalian telah membalasnya.’ (Risalah Al-Mu'awanah hal.139)

Dalam beberapa riwayat hadits disebutkan,

عَنْ عُمَرَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ 

Dari Umar berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memberiku suatu pemberian lalu aku berkata kepada Beliau: "Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku". Maka Beliau bersabda: "Ambillah! Jika datang kepadamu dari harta (pemberian) sedangkan kamu bukan orang yang suka menghambur-hamburkannya dan tidak pula meminta-mintanya, maka ambillah. Selain dari itu maka janganlah kamu perturutkan nafsumu". (HR Bukhari)

وَعَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ, عَنْ أَبِيهِ; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُعْطِي عُمَرَ اَلْعَطَاءَ, فَيَقُولُ: أَعْطِهِ أَفْقَرَ مِنِّي, فَيَقُولُ: “خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ, أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ, وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا اَلْمَالِ, وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ” )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Salim Ibnu Abdullah Ibnu Umar, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ pernah memberikan sesuatu kepada Umar Ibnu Khattab. Lalu ia berkata: “Berikanlah pada orang yang lebih membutuhkan daripada diriku.” Beliau bersabda: “Ambillah, lalu simpanlah atau bersedekahlah dengannya. Dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini, padahal engkau tidak membutuhkannya dan tidak meminta, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka jangan turuti nafsumu.” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita menolak pemberian orang lain. Dianjurkan menerimanya meski kita tak membutuhkannya. Kita boleh menyimpan pemberian itu, atau menyedekahkan dengan memberikannya pada orang lain. Dengan sikap seperti ini maka kita terhindar dari menyakiti hati orang yang memberi tersebut.

ومما كان النبي صلى الله عليه وسلم يقبله ولا يرده: الطيب، فقد جاء في حديث ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ -رضي الله عنه- قَالَ: كَانَ أَنَسٌ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ، وَقَالَ أَنَسٌ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرُدُّ الطِّيبَ. رواه البخاري، والترمذي، وبوّب عليه الترمذي بابًا، فقال: بَابُ مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ رَدِّ الطِّيبِ.

وأمر النبي صلى الله عليه وسلم بقبول ما يأتي للمسلم من رزق عمومًا، ونهاه عن رده، ما دام قد ساقه الله إليه من غير سؤال، ففي مسند أحمد، وصحيح ابن حبان، ومستدرك الحاكم عَنْ خَالِدِ بْنِ عَدِيٍّ الْجُهَنِيِّ -رضي الله عنه- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ بَلَغَهُ مَعْرُوفٌ عَنْ أَخِيهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ، وَلَا إِشْرَافِ نَفْسٍ، فَلْيَقْبَلْهُ، وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ.

Di antara hal yang diterima Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ditolaknya adalah parfum. Dalam hadits Thumamah bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: "Anas tidak menolak parfum, dan Anas berkata: 'Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menolak parfum.'" (HR. Bukhari dan At-Tirmidzi)

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Tirmidzi, dan Tirmidzi menambahkan bab tentang "Apa yang datang dalam kebencian menolak parfum."

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk menerima apa yang datang kepada seorang Muslim dari rizki secara umum, dan melarang untuk menolaknya, selama itu datang dari Allah tanpa diminta. Dalam Musnad Ahmad, Shahih Ibn Hibban, dan Mustadrak Al-Hakim, dari Khalid bin Adi Al-Juhani radhiyallahu 'anhu ia berkata: "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: 'Siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya tanpa meminta dan tanpa mengintip, hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Para ulama membolehkan menolak pemberian orang lain ketika pemberian itu berupa barang haram, baik haram secara zat misal daging babi, saren (makanan terbuat dari darah hewan), minuman keras, dan sebagainya. Begitu juga pemberian barang haram karena sebab, yakni hasil curian dan kita mengetahuinya.

Pemberian yang boleh ditolak selanjutnya adalah pemberian zakat tapi kita tak termasuk golongan yang berhak menerima zakat. Ulama mempersilakan kita untuk menolak karena itu memang bukanlah hak kita.

Selain itu, kita juga boleh menolak pemberian orang zalim, yang tujuan pemberiannya agar kita tunduk pada perintahnya atau menjadi bagian dari kezalimannya. Pemberian seperti ini harus ditolak sekaligus untuk menjaga kehormatan kita.

Pemberian semacam uang tutup mulut atas keburukan yang dilakukan seseorang dengan tujuan agar ia bebas melakukannya tanpa ada yang menghalangi, juga harus kita tolak. Termasuk di dalamnya adalah suap dalam politik, wajib bagi kita untuk menolaknya. Islam tidak membenarkan menerima uang suap seperti itu.

Sudah jelas bahwa dalam keseharian kita, saat ada tetangga memberi sesuatu maka kita tak boleh menolaknya. Penolakan boleh dilakukan untuk pemberian yang memang tak sepantasnya kita terima sebagaimana disebutkan di atas.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 08 September 2025

KAJIAN TENTANG AJARAN AKAN KEMULIAAN DAN KEBERKAHAN MAKAM SYARIF BA'ALAWI


Ziarah kubur adalah salah satu amalan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain untuk mengingat kematian, ziarah juga bertujuan mendoakan ahli kubur dan mengambil pelajaran dari kehidupan mereka. Dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), ziarah kubur memiliki tata cara yang benar sesuai ajaran para ulama. Namun, harus diwaspadai praktik menyimpang yang sering diajarkan oleh Klan Ba’alwi, seperti meminta hajat kepada penghuni kubur dan menganggap wali yang sudah wafat memiliki kuasa juga  doa yang dipanjatkan.

Sayangnya, dewasa ini sering dipertontonkan video melalui medsos mengenahi adegan penyimpangkan makna ziarah kubur dengan cara-cara berikut:

1. Meminta hajat kepada ahli kubur seolah-olah mereka memiliki kuasa penuh untuk mengabulkan doa.

2. Menganggap wali yang sudah wafat bisa mengabulkan doa tanpa izin Allah.

3. Meyakini bahwa doa akan terkabul jika ditujukan langsung kepada wali, bukan kepada Allah.

Padahal, dalam Islam, doa hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT, bukan kepada manusia, jin, atau makhluk lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah meminta sesuatu kepada penghuni kubur, melainkan hanya berdoa kepada Allah.

Eronisnya, maaf sebagian dari kalangan habaib maupun non habaib yang justru memberi contoh dan mengajarkan penyimpangan saat berziarah bahkan menyeru kepada pemilik makam saat berdoa dan bukan kepada Allah semata. Hal seperti itu ternyata juga diterangkan oleh Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam kitabnya,

فصل

في شيء من فضل قبره الشريف وضريحه المنيف . أقوال المشايخ في ذلك كثيرة ، ولكنا نقتصر على ذكر خمسة أقوال الحمسة من المشايخ الكبار على طريق الاختصار ، كان الشيخ الكبير العارف بالله وبأيام الله

وأحكامه عبد الله بن الشيخ وحيد عصره ، وفريد دهره ، علوي بن القطب النقيه المشهور ، اذا وقف على قبر جده قطبه الاولياء الاصفياء الفقيه المذكور يقول برفع صوته : الصيد كل الصيد في جوف القراء وأشد لسان حاله ..

يادار ان غزالا فيك تيمني # 

الله درك ما تحويه يادار

وقال الشيخ فصل بن عبد الله كان الفقيه العالم العامل مجموع أنواع المحاسن و الفضائل الشيخ محمد ابن علوي بن الشيخ احمد بن القطب الفقيه المشكور يقول أحب قعدة الي في الدنيا قعدة عند قبر جدي الفقيه محمد بن علي علوي رضي الله عنهم ونفع بهم وأنشد لسان حاله خليلي هـذا ربع عزة فاعقلا قلوصيكما تم أحالا حيث حلت

ولا تيأسا ان يقبل الله منكما اذا أنها صليتها حيث صلت

حكي عن بعضهم انه قال من زار قبر جده قبل قبر الشيخ الفقيه محمد بن على بطلت زيارته وقال بعضهم رأيت حال الحرير تنشر عند قبر الفقيه محمد بن علي وكثيراً ما يروى الاخيار نزول الرحمة عند قبره على زواره واستجابة الدعاء عند ضريحه الشريف مشهورة ، فكم من مريض ببركته قد يبرى ، وسقيم قد يشفى ، ولا يزوره زائر مصدق الا ويرجع ينجح مطلوبه ، ويعود بفوز مرغوبه ، فسقما الله ذلك الضريح الشريف وقدس ذلك الروح اللطيف وبارك في تلك الاسرار وعظم في تلك الانوار ، ورفع درجاته وأعلى مقاماته مع النبي المصطفى المختار ، وأصحابه الابرار ، وأشدوا شعراً أمر على الديار ديار ليلى اقبل ذا الجدار وذا الجدار وما حب الديار شغفن قلبي ولكن حب من سكن الديار

*Bab (Pasal)*

"Tentang keutamaan makamnya yang mulia dan kuburannya yang agung. Pendapat para ulama mengenai hal ini sangat banyak, tetapi kami akan membatasi pada penyebutan lima pendapat dari para ulama besar secara singkat. Salah satu ulama besar yang mengenal Allah dan hari-hari-Nya serta hukum-hukum-Nya adalah Abdullah bin Syeikh Wahid, yang merupakan satu-satunya di zamannya dan unik di masanya, Alawi bin Qutb yang suci dan terkenal. Ketika ia berdiri di makam kakeknya, Qutb para wali yang suci, ia berkata dengan suara keras: "Buruan yang sesungguhnya ada di dalam diri para pembaca." 

Dan lebih lanjut ia berkata:

"Wahai rumah, di dalam dirimu seorang rusa terpesona, Semoga Allah memberkatimu, wahai rumah yang kau miliki."

Dan Syeikh Fashl bin Abdullah berkata, bahwa ulama yang berilmu dan beramal, yang merupakan kumpulan segala macam keutamaan dan kebaikan, Syekh Muhammad bin Alawi bin Syeikh Ahmad bin Qutb, yang terpuji, berkata: "Tempat yang paling aku cintai di dunia adalah duduk di samping makam kakekku, ulama Muhammad bin Ali Alawi, semoga Allah meridhoi mereka dan memberi manfaat melalui mereka." Ia melantunkan:

"Temanku, ini adalah tempat kebanggaan, Maka ingatlah unta kalian, saat ia pergi, Dan janganlah putus asa jika Allah menerima dari kalian, Karena ia telah aku lakukan di tempat yang telah dilakukan."

Diceritakan bahwa ada di antara mereka yang berkata, "Barang siapa yang mengunjungi makam kakeknya sebelum makam Syekh ulama Muhammad bin Ali, maka kunjungannya akan batal." Dan ada yang berkata, "Aku melihat keadaan sutra yang terbentang di makam ulama Muhammad bin Ali." Seringkali terdengar bahwa rahmat turun di makamnya kepada para pengunjungnya, dan doa-doa yang diterima di kuburannya yang mulia sangat terkenal. Betapa banyak orang sakit yang disembuhkan karena berkahnya, dan yang lemah dipulihkan. Tidak ada pengunjung yang percaya kecuali mereka kembali dengan berhasil mendapatkan keinginannya, dan kembali dengan kesuksesan yang diharapkan. Semoga Allah memuliakan makam yang mulia tersebut, dan menguduskan ruh yang lembut itu, serta memberkati rahasia-rahasia tersebut, dan mengagungkan cahaya-cahaya itu, serta mengangkat derajatnya dan mengangkat kedudukannya bersama Nabi yang terpilih dan sahabat-sahabat yang mulia. Dan nyanyikanlah puisi:

"Biarkan aku melewati rumah-rumah, rumah-rumah Layla, Mendekati dinding ini dan dinding itu, Bukan cinta pada rumah yang menyita hatiku, Tetapi cinta kepada yang menghuni rumah-rumah itu." (Al-Burqah Al-Musyiqah, Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran hal.211-212). 

Ziarah kubur adalah amalan sunnah yang dianjurkan dalam Islam, terutama dalam ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Berziarah di makam wali Allah memang merupakan tempat yang mustajab untuk berdoa, tetapi doa tetap harus ditujukan kepada Allah SWT, bukan kepada ahli kubur.

Waspadai ajaran yang sering menyesatkan umat dengan mengajarkan praktik yang berlebihan, seperti meminta langsung kepada wali yang sudah wafat dan menganggap mereka memiliki kuasa untuk mengabulkan doa. Kita harus tetap berpegang pada ajaran yang lurus sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama shalih, agar terhindar dari praktik yang menyimpang. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN KITAB AL-BURQAH AL-MUSYIQAH TENTANG KISAH HIJRAHNYA AHMAD BIN ISA (Karya Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran)



Mengawali kajian saya ini permohonan maaf kepada sahabat fillah semuanya atas kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemaparan terkait kisah hijrahnya Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir dari Basrah Irak hingga sampai ke Tarim Hadhramaut Yaman sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam kitab karyanya Al-Burqah Al-Musyiqah mulai halaman 30-32 sebagai berikut,

ومنهم السيد الامام والحبر الهمام ذو العقل الكبير والقلب المستنير والعلم العزيز شهاب الدين أبو الشيوخ ومعدن الكرم والفتوح الشيخ احمد بن عيسى بن محمد بن على بن جعفر الصادق ذكره ارباب التواريخ واثنوا عليه كان ممن فاق في الفضائل والمحاسن وعلا اقرانه وسما في انواع المجد شانه وارتفع فى محل الكرم والسخاء مقامه كان له بالعراق موطن ومدينة البصرة له محل ومنزل كان صاحب بصيرة بسيطة ومعرفة واسعة عزيرة فلما كمل في الطاعة والمعرفة محله وانصقلت بنور خصوصية الولاية عين بصيرة جنانه وكان له في العراق الجاء الواسع والعيش الرمحميد النافع ولكنه كان له بعقله المستنير وعلمه البسيط الغزير نظر عظيم في العواقب وفكر جسيم في سموم الشهوات المواطب وفيما يحصل به السعادة العظمى والدرجات العلى والفوز في العقبى واللذة العظيمة الكبرى التي هي النظر الى وجه الله المليك الاعلى فحين اشرق في عين سويداء بصيرته وجوهر مرآة مجلى حقيقته عواقب الامور ومحصول زبد الخيرات واالسرور وحقايق الدنيا والآخرة وما في بر از خما من منافع وشرور وغم وترح وفرح وسرور ، وما اطلاع عليه بنور فراسته وشهود عين بصيرته ما يحصل في العراق من الفتن الدينية والدنيوية فامتثل امر الله تعالى حيث يقول في كتابه العزيز وفروا الى الله الآية. 

"Di antara mereka adalah Sayyid Imam dan ahli ilmu yang agung, yang memiliki akal yang besar, hati yang bercahaya, dan ilmu yang berharga, Syihabuddin Abu Asy-Syuyukh, sumber kemurahan dan keberkahan, Syeikh Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far Ash-Shadiq. Nama beliau disebutkan oleh para ahli sejarah dan mereka memujinya. Ia termasuk orang yang unggul dalam keutamaan dan kebaikan, melebihi rekan-rekannya, serta mengangkat derajatnya dalam berbagai jenis kemuliaan. Ia memiliki kedudukan yang tinggi dalam kemurahan hati dan dermawan. Ia memiliki tempat tinggal di Irak, yaitu kota Basrah, di mana ia memiliki rumah dan tempat tinggal. Ia adalah orang yang memiliki wawasan sederhana dan pengetahuan yang luas. 

Ketika ia menyempurnakan ketaatan dan pengetahuannya, cahaya khusus dari wilayah menyinari mata batinnya, dan ia memiliki pandangan yang luas tentang masa depan serta pemikiran yang mendalam mengenai racun syahwat yang berbahaya. Ia memikirkan apa yang akan mendatangkan kebahagiaan abadi, derajat yang tinggi, kemenangan di akhirat, dan kenikmatan yang agung, yaitu melihat wajah Allah Yang Maha Tinggi. Ketika cahaya kebijaksanaan menyinari mata batinnya dan ia melihat dengan jelas esensi dari berbagai perkara, hasil dari kebaikan dan kebahagiaan, serta hakikat dunia dan akhirat, beserta apa yang ada di dalamnya berupa manfaat, keburukan, kesedihan, kesenangan, dan kebahagiaan, ia menyaksikan dengan cahaya ketajaman pandangannya apa yang terjadi di Irak berupa berbagai fitnah, baik yang bersifat agama maupun duniawi.

Ia pun melaksanakan perintah Allah SWT yang berfirman dalam kitab-Nya yang mulia: 'Lari lah kepada Allah' (QS. Al-Zariyat: 50). (Al-Burqah Al-Musyiqah hal.30)

وحيث أمر الله ورسوله بالهجرة فقر بنفسه ودينه وأهله وأولاده ومن يقبل مشورته من عشيرته وأصحابه وقرابته عن الاوطان مهاجراً في رضا الرحمن واحتمل المشقة وتعب النقلة في ذات الله الكريم المنان ورغبته فها عند الله من جزيل الثواب وحسن المآب وزهدا في الحظوظ العاجلة والشهوات الزائلة وبذل النفس والمال والجاه وفراراً الى حضرة الرحمن وطلباً للسعادات الاخروية والمعالي العلوية والدرجات الرضوانية فرحل من البصرة بمن معه الى المدينة الشريفة ثم الى مكة المشرفة ثم تنقل في قرى اليمن ثم الى حضرموت متنقلا من بلد الى بلد الى ان استوطن بحضرموت ثم استقر بتريم المحروس واولاده وذريته واستوطنوا بها وكان في كل اموره ومجامع احواله وشانه يطلب من الله تعالى الخيرة ويكرر الاستخارة وكل ذلك بامر من الحق له واذن ربانى واشارة رحمانية اعني إيداع هذه السلالة النبوية والعصبة الشريفة العلوية في البلد المبارك والمدينة الشريفة تريم المصانة المحروسة ببركة المصطفى وقد بلغنى عن بعض الاخيار انه رأى المصطفى المختار بأعلى مكان من تريم وهو يقول يا اهل هذه البلدة ان لنا عندكم وديعة من أغضبها أغضبنا ومن أرضاها أرضانا هذا معنى كلامه أو قريب من لفظه. ورأى الشيخ المحقق العارف بالله المدقق أبو العباس المريني المغربي فاطمة البتول بنت محمد المصطفى الرسول كشفا وهي تقول له في أشراف يبغضون الشيخين ومذهبهم باطل انفك منك وان كان أجدع والنسب لا ينقطع بالمعصية .

فكيف بهؤلاء السادة بني علوي الذين أدناهم والمقصر منهم في أموره هو الشريف السني وهو في غير جهة حضرموت أغرب من عنقا مغرب.

"Dan karena perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah, ia pun meninggalkan tanah airnya demi Allah, agama, keluarga, anak-anaknya, dan siapa pun yang menerima nasihatnya dari kerabat dan sahabatnya. Ia hijrah menuju keridhaan Sang Maha Pengasih, menanggung kesulitan dan kepenatan berpindah demi Allah Yang Maha Pemurah. Ia berharap akan ganjaran yang besar dari Allah dan tempat kembali yang baik, serta menjauhkan diri dari kenikmatan yang sementara dan syahwat yang fana. Ia rela mengorbankan jiwa, harta, dan kedudukan, serta berlari menuju kehadiran Allah Yang Maha Pengasih, mencari kebahagiaan di akhirat, kemuliaan yang tinggi, dan derajat keridhaan. Maka ia berangkat dari Basrah bersama rombongannya menuju kota suci Madinah, kemudian ke Mekkah yang mulia, lalu berpindah-pindah di desa-desa Yaman, kemudian ke Hadhramaut, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya menetap di Hadhramaut, lalu tinggal di Tarim yang terjaga. Ia dan anak-anaknya tinggal di sana, dan dalam setiap urusannya serta segala hal yang dihadapinya, ia selalu meminta kepada Allah SWT agar diberikan kebaikan dan mengulangi shalat istikharah. Semua itu adalah perintah dari Tuhan dan izin Ilahi, serta petunjuk rahmat, yaitu memasukkan keturunan nabi ini dan golongan mulia Alawi ke dalam negeri yang diberkati dan kota suci Tarim yang terpelihara dengan berkah Muhammad. Saya (Abu Bakar Sakran) mendengar dari beberapa orang baik (orang terpilih) bahwa mereka (bermimpi) melihat Muhammad Al-Musthafa (yang terpilih) di tempat tertinggi di Tarim, dan beliau bersabda, 'Wahai penduduk negeri ini, sesungguhnya kami memiliki titipan di antara kalian; siapa yang membuat marahnya, maka kami akan marah, dan siapa yang membuatnya senang, maka kami akan senang.' Ini adalah makna ucapannya atau yang mendekati kata-katanya. Dan Syekh Al-Muhaqqiq (seorang peneliti) Al-'Arif Billah Al-Mudaqqiq (seorang yang mumpuni ilmunya) Abu Abbas Al-Murini Al-Maghribi (bermimpi) melihat Fathimah Al-Batul, putri Muhammad Al-Mustafa Rasulullah, yang mengungkapkan kepadanya tentang orang-orang terhormat yang membenci kedua syeikh tersebut, dan bahwa mazhab mereka adalah batil, mereka terputus dari nasab, meskipun mereka adalah orang-orang yang paling hina, dan nasab tidak akan terputus karena kemaksiatan. Lalu bagaimana dengan para sultan ini, keturunan Alawi, yang paling dekat dengan kita, dan yang kurang dalam hal urusannya, padahal dia adalah seorang yang mulia dan sunni, sementara dia berada di luar wilayah Hadhramaut, lebih asing dari pada unta yang datang dari arah barat." (Al-Burqah Al-Musyiqah hal.31-32)

Dari penjelasan kitab tersebut ada dua hal yang musykil menurut pemahaman saya, sehingga perlu penguat argumentasi dari statement Syeikh Ali bin Abu Bakar As-Sakran tersebut dengan hujjah ilmiah sebagai landasannya.

Pertama; Syeikh Abu Bakar Sakran berkata pernah mendengar dari beberapa orang baik (orang terpilih) bahwa mereka (bermimpi) melihat (Nabi) Muhammad Al-Musthafa (yang terpilih) di tempat tertinggi di Tarim, dan beliau bersabda, 'Wahai penduduk negeri ini, sesungguhnya kami memiliki titipan di antara kalian; siapa yang membuat marahnya, maka kami akan marah, dan siapa yang membuatnya senang, maka kami akan senang."

Kedua; Syeikh Abu Bakar As-Sakran mengatakan bahwa Syekh Al-Muhaqqiq (seorang peneliti) Al-'Arif Billah Al-Mudaqqiq (seorang yang mumpuni ilmunya) Abu Abbas Al-Murini Al-Maghribi (bermimpi) melihat Fathimah Al-Batul, putri Muhammad Al-Mustafa Rasulullah, yang mengungkapkan kepadanya tentang orang-orang terhormat yang membenci kedua syeikh tersebut, dan bahwa mazhab mereka adalah batil, mereka terputus dari nasab, meskipun mereka adalah orang-orang yang paling hina, dan nasab tidak akan terputus karena kemaksiatan." Wallahu a’lam 

Oleh karenanya, besar harapan saya buat sahabat fillah semuanya berkenan memberikan penjelasan dan pencerahan demi mencari pemahaman dan kebenaran untuk umat manusia. 

Demikianlah Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 07 September 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENGECOR JALAN DIATAS KUBURAN ORANG LAIN


Berawal dari beredarnya video di TikTok dan FB diperlihatkan diatas makam umum warga dibangun sebuah jalan khusus menuju sebuah makam lainnya dengan di cor beton kemudian saya di tag untuk menanggapi hal tersebut. Baiklah kalau begitu!

Dalam Islam menghormati jenazah di dalam kuburan mirip dengan saat kita menghormati orangnya dikala masih hidup. Bila saat hidup kita dilarang berlaku tidak sopan kepada seseorang, demikian pula ketika orang tersebut sudah meninggal dunia. Ini bagian dari prinsip memuliakan manusia sebagaimana firman Allah dalam Al-Isra' ayat 70,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا

"Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna." (QS. Al-Isra' : 70)

Lebih dari itu, kuburan juga memiliki fungsi lain bagi orang hidup. Memang, kuburan adalah tempat dikebumikannya orang mati. Namun, kuburan juga merangkap peran sebagai pengingat kepada orang-orang yang masih hidup. Ia adalah tempat untuk kita merenungi akan kehidupan setelah kematian nanti: apakah kita sudah siap menghadap kepada Allah subhanahu wata’ala atau tidak. Karena itulah anjuran berziarah muncul, dan kuburan tak bisa disamakan dengan lapangan atau padang rumput biasa. Kuburan adalah tempat sakral.

Diantara bentuk ajaran dalam penghormatan Islam terhadap kuburan adalah larangan duduk di atasnya. Terkait hal yang demikian, terdapat hadits yang tercantum dalam kitab Shahîh Muslim, 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya seseorang duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya sampai kulitnya, itu lebih baik baginya dibandingkan duduk di atas kuburan’,” (HR. Muslim).

Dari hadits ini jelas sekali bahwa duduk di atas kuburan adalah haram. Hal itu tampak dari cara Nabi membuat perumpamaan bahwa orang yang duduk di atas bara api yang panas membara lebih baik ketimbang duduk di atas kuburan. Tentu ini indikasi larangan keras dalam hadits ini.

Saat mengurai hadits tersebut, Imam Al-‘Adzim Al-Abadi dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan,

فيه دليل على أنه لا يجوز الجلوس على القبر، وذهب الجمهور إلى التحريم

“Di dalam hadits di atas terdapat dalil atas ketidakbolehan duduk di atas kuburan, dan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, duduk di atas kuburan adalah haram” (Al-‘Adzim Al-Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-2, 1415 H, juz 9, hal. 35).

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyebutkan,

قَالَ أَصْحَابُنَا تَجْصِيصُ الْقَبْرِ مَكْرُوهٌ وَالْقُعُودُ عَلَيْهِ حَرَامٌ وَكَذَا الِاسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالِاتِّكَاءُ عَلَيْهِ

“Ulama dari kalangan kami (Syafi’iyyah) berpendapat, hukum memplester (membangun) kuburan adalah makruh, sedangkan duduk di atas kuburan adalah haram, begitu juga bersandar dan bertumpu kepada kuburan.” (Imam an-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, Beirut: Dar Ihya At-Turats, cetakan ke-2, 1392 H, juz 7, hal. 27).

Selain dalam Syarah Shahîh Muslim, Imam An-Nawawi juga menyebutkan dalam kitab Al-Majmu’,

ذكر الماوردي وغيرهأنه يكره إيقاد النار عند القبر

Al-Mawardi dan selainnya menyebutkan, bahwa hukum menyalakan api di sisi kuburan itu adalah makruh. 

وأما الجلوس على القبر والمشي عليه فمنهي عنهما، لما في الحديث: لا تجلسوا على القبور. رواه مسلم.

وفي الحديث: لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه فتخلص إلى جلده خير له من أن يجلس على قبر. رواه مسلم.

وظاهر كلام الفقهاء أن التحريج إنما يعنى به المكان الذي يوجد به الميت، فقد قال خليل في المختصر: والقبر حبس لا يمشي عليه ولا ينبش ما دام به

"Adapun duduk di atas kubur dan berjalan di atasnya adalah dilarang, seperti dalam hadits: 'Janganlah kalian duduk di atas kubur.' Diriwayatkan oleh Muslim.

Dan dalam hadits: 'Lebih baik bagi salah satu di antara kalian duduk di atas bara api yang membakar pakaiannya hingga mencapai kulitnya, daripada duduk di atas kubur.' Diriwayatkan oleh Muslim.

Dan jelas bahwa ucapan para ulama fiqh menunjukkan bahwa larangan tersebut berkaitan dengan tempat di mana mayat berada. Seperti yang dikatakan Khalil dalam kitab ringkasnya: 'Kubur adalah tempat terlarang, tidak boleh berjalan di atasnya dan tidak boleh menggali selama mayat masih ada di dalamnya.'"

Al-Imam Al-Khatib Asy-Syarbini menyebutkan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj,

ولا يجلس على القبر المحترم ولا يتكأ عليه ولا يستند إليه ولا يوطأ عليه إلا لضرورة

“Dan jangan duduk di atas kuburan yang dihormati, jangan bersandar dan bertumpu di atasnya, dan tidak boleh diinjak kecuali karena keadaan yang darurat.” (Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, Dar Al-Fikr, juz 2, hal. 48)

Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi dalam At-Tanbih menyebutkan,

ولا يجلس على قبر ولا يدوسه إلا لحاجة. ويكره المبيت في المقبرة.

“Tidak boleh duduk di atas kuburan, tidak boleh menginjak-injak kuburan kecuali karena ada kebutuhan, dan makruh hukumnya bermalam di pemakaman” (Abu Ishaq Asy-Syairazi, At-Tanbih fi Al-Fiqh asy-Syafi’i, Beirut: ‘Alam Al-Kutub, cetakan pertama, 1983, juz 1, hal. 52)

Pendapat-pendapat ulama di atas menegaskan ketidakbolehan: duduk di atas kuburan, menginjak, melangkahi, bersandar, berjalan, dan tindakan-tindakan sejenis yang tidak menghormati kuburan. Namun jika dalam keadaan darurat, maka dapat dijadikan pengecualian. Menurut Al-Imam Syihabuddin Ar-Ramli dalam Nihayah, larangan tersebut merupakan langkah bijaksana dari upaya pengormatan penghormatan terhadap orang meninggal. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 27 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM ADZAN DAN IQAMAH UNTUK MAYIT (Pertanyaan Ust. Sugihatna)



*Soal:*

Assalamualaikum.

Ustadz, maaf ganggu waktunya. Sy ingin tanya apakah dibolehkan mengazani mayyit di kuburnya? Ada dalil atau hukum yg membolehkan?

*Jawab:*

Wa'alaikumussalam wr.wb. Ustadz

Hukum adzan dan iqamah untuk mayit hukumnya khilafiyah ustadz menurut ulama, ada yang mengatakan sunnah, ada yang jawaz (membolehkan) ada yang memakruhkan dan ada yang meniadakan keberadaannya.

Dalil Al-Qur'an memang tidak ditemukan hanya saja ada sebuah riwayat hadits yang menyatakan,

لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ

“Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)

Namun hadits ini disepakati para ulama sebagai hadits yang lemah, bahkan palsu.

Dalam fiqih Madzab Syafi'iyah ada banyak penjelasan ulama dalam masalah adzan untuk mayit diantaranya,

Syekh Ibrahim Al-Baijuri dalam Hasyiyah

Al-Baijuri menjelaskan,

ويسن الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر ولا يسن الأذان عند إنزال الميت القبر خلافا لمن قال بسنيته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها قال ابن حجر ورددته في شرح العباب لكن إن وافق إنزاله القبر بأذان خفف عنه في السؤال

“Disunnahkan adzan dan iqamah saat melakukan perjalanan dan tidak disunnahkan adzan ketika menguburkan mayat. Pendapat ini berbeda dengan ulama yang mensunnahkan adzan karena menyamakan hukumnya dengan mengazankan anak yang baru lahir. Ibnu Hajar berkata, saya menolaknya dalam Syarah Al-‘Ubab, akan tetapi jika penguburan mayat disertai adzan, maka mayat diringankan dalam menjawab pertanyaan di dalam kubur”.

Dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al Kuwaitiyah dijelaskan,

شُرِعَ الأَْذَانُ أَصْلاً لِلإِْعْلاَمِ بِالصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّهُ قَدْ يُسَنُّ الأَْذَانُ لِغَيْرِ الصَّلاَةِ تَبَرُّكًا وَاسْتِئْنَاسًا أَوْ إِزَالَةً لِهَمٍّ طَارِئٍ وَالَّذِينَ تَوَسَّعُوا فِي ذِكْرِ ذَلِكَ هُمْ فُقَهَاءُ الشَّافِعِيَّةِ فَقَالُوا : يُسَنُّ الأَْذَانُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ حِينَ يُولَدُ ، وَفِي أُذُنِ الْمَهْمُومِ فَإِنَّهُ يُزِيل الْهَمَّ ، وَخَلْفَ الْمُسَافِرِ ، وَوَقْتَ الْحَرِيقِ ، وَعِنْدَ مُزْدَحِمِ الْجَيْشِ ، وَعِنْدَ تَغَوُّل الْغِيلاَنِ وَعِنْدَ الضَّلاَل فِي السَّفَرِ ، وَلِلْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ ، وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إِنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ ، وَعِنْدَ إِنْزَال الْمَيِّتِ الْقَبْرَ قِيَاسًا عَلَى أَوَّل خُرُوجِهِ إِلَى الدُّنْيَا .

"Pada dasarnya azan disyariatkan sebagai pemberitahuan untuk sholat. Hanya saja adzan juga disunnahkan selain untuk sholat dalam rangka mencari keberkahan, menjinakkan, dan menghilangkan kegelisahan yang luar biasa. Pihak yang memperluas masalah ini adalah para ahli fiqih Syafi'iyah. Mereka mengatakan disunnahkan adzan:

- Di telinga bayi saat lahirnya

- Di telinga orang yang sedang galau karena itu bisa menghilangkan kegelisahan

- Mengiringi musafir

- Saat kebakaran

- Ketika pasukan tentara kacau balau

- Diganggu makhluk halus

- Saat tersesat dalam perjalanan

- Ketika terjatuh

- Saat marah

- Menjinakkan orang atau hewan yang perangainya jelek

- Saat memasukkan mayit ke kubur diqiyaskan dengan saat manusia terlahir ke dunia.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi'i dalam kitab Tuhfah menjelaskan hukumnya sunnah,

قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ وَالْمَهْمُومِ وَالْمَصْرُوعِ وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ

"Terkadang dianjurkan adzan untuk selain shalat, seperti di telinga bayi yang lahir, orang susah, orang pingsan, orang marah, yang buruk perilakunya baik manusia atau hewan, ketika desakan pasukan, ketika tenggelam. Ada yang mengatakan ketika mayit diturunkan ke kubur, diqiyaskan dengan pertama kali lahir di dunia, namun saya membantahnya dalam kitab Syarah Ubab. Juga ketika kerasukan jin, berdasarkan hadits shahih. Demikian halnya adzan dan iqamah di belakang musafir. (Tuhfah Al-Muhtaj, 5/51)

Dijelaskan pula, beliau menceritakan seorang ulama salaf yang mengawali adzan ketika pemakaman. Di kitab sejarah dijelaskan.

الْاِصَابِي (٥٧٧ – ٦٥٧ هـ – ١١٨١ – ١٢٥٨ م) عَلِيًّ بْنُ الْحُسَيْنِ الْاِصَابِي، أَبُوْ الْحَسَنِ: فَقِيْهٌ أُصُوْلِيٌّ، يَمَانِيٌّ. وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْاَذَانَ لِمَنْ يُسَدُّ اللَّحْدَ عَلَى الْمَيِّتِ.

“Ali bin Husain al-Ishabi (577-657 H atau 1181-1257 M), Abu Hasan, ahli fikih, ahli usul fikih, berkebangsaan Yaman. Dia adalah yang pertama kali menganjurkan adzan terhadap orang yang memasukkan mayit ke liang lahat” (Zirikly, al-A’lam, 4/280)

Dalam Hasyiyah Al-Bahr Li Al-Khair Ar-Ramli tersirat : “Aku melihat dibeberapa kitab syafi’iyyah tertulis, sesungguhnya adzan terkadang diunahkan diselain shalat seperti adzan ditelingan anak, ditelingan orang yang kesusahan, ketakukan, marah, orang atau hewan yang jelek perangainya, saat perang berkecamuk, kebakaran, menurut sebagian pendapat saat mayat diturunkan dalam kuburan dengan mengqiyaskan diberlakukannya adzan saat ia terlahir didunia namun aku menolak yang demikian dalam Syarh Al-‘Ubab, dan saat terdapat gangguan jin dan adzan dan iqamah bagi seseorang yang hendak bepergian”.

Aku (Imam Romli) berkata : “Yang demikian bagi kami tidaklah asing, karena keautentikan khabar yang tidak terdapat pertentangan berarti menjadi aliran keyakinan bagi para mujtahid meskipun tidak terdapati dalil nash tentangnya, sebagaimana khutbah pembukaan kitab yang kami ambil dari Al-Hafidh Ibn Abdil Barr dan Al-‘Arif Asy-Sya’roni dari masing Imam Madzhab empat menyatakan “Bila sebuah hadits dinyatakan shahih berarti menjadi madzhab kami, hanya saja dalam hal keutamaan-keutamaan amal diperbolehkan amal dengan bersandar pada hadits dhaif seperti urauan kami di bab Thaharah”.

Imam Ibn Hajar dalam At-Tuhfah menambahkan “Dan sunah adzan serta iqamah dibelakang orang yang bepergian”.

Imam Al-Madani berkata “Dan dalam Kitab Syar’ah Al-Islam terdapat tambahan, dan bagi orang yang tersesat jalan didaerah terpencil”.

Imam Al-Manlaa ‘Ali dalam Syarh Al-Misykaat berkata “Ulama berfatwa, bagi orang yang sedang kesusahan disunahkan memerintahkan untuk mengumandangkan adzan ditelinganya karena yang demikian dapat menghilangkan rasa sedihnya, demikian yang diambil dari sahabat Ali ra." (Hasyiyah Ar-Radd Al-Mukhtar I/413)

Namun Madzhab Maliki menghukumi makruh.

وَكَرِهَ الإْمَامُ مَالِكٌ هَذِهِ الأْمُورَ وَاعْتَبَرَهَا بِدْعَةً ، إِلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ نَقَل مَا قَالَهُ الشَّافِعِيَّةُ ثُمَّ قَالُوا : لاَ بَأْسَ بِالْعَمَل بِهِ

"Imam Malik memakruhkan semua ini dan menyebutnya sebagai bid'ah, kecuali sebagian Malikiyah yang mengambil pendapat yang sama dengan Syafi'iyah, menurut mereka: "Tidak apa-apa mengamalkannya."

Madzhab Hanafi mengatakan ditidak dianjurkan.

Ibnu Abidin (w. 1252 H) salah satu ulama mazhab Hanafi di dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar menuliskan sebagai berikut :

أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.

"Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa hal itu bid’ah." (Ibnu Abidin, Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 2 hal 235 cet Darul fikr).

Mazhab Hanbali mengatakan bahwa adzan hanya untuk sholat.

Ibnu Qudamah (w. 682 H) salah satu ulama mazhab Hanbali di dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menuliskan sebagai berikut,

أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .

"Umat Islam sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya." (Abdurahman Ibnu Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, jilid I hal 388 cet. Darul Kitab Al-‘Arabi). 

Pengarang Ruh Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an Syaikh Ismail Haqqi Al-Burusawi menyampaikan keutamaan adzan di luar shalat saat menafsirkan QS. Al-Maidah : 58,

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى ٱلصَّلاَةِ ٱتَّخَذُوهَا هُزُواً وَلَعِباً ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْقِلُونَ

"Apabila kamu menyeru untuk (melaksanakan) shalat, mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka orang-orang yang tidak mengerti." (QS. Al-Maidah : 58)

ﻭﻣﻦ ﻓﻀﺎﺋﻞ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﺃﺫﻥ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺃﻣﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺮﺟﻊ . ﻭﺇﻥ ﺃﺫﻥ ﻓﻲ ﺃﺫﻥ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﻭﺃﻗﻴﻢ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻪ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﺇﺫﺍ ﻭﻟﺪ ﻓﺈﻧﻪ ﺃﻣﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻭﺇﺫﺍ ﻭﻗﻊ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﺃﻳﻀﺎً ﻭﻛﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻭﻗﻊ ﺣﺮﻳﻖ ﺃﻭ ﻫﺠﻢ ﺳﻴﻞ ﺃﻭ ﺑﺮﺩ ﺃﻭ ﺧﺎﻑ ﻣﻦ ﺷﻲﺀ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ‏« ﺍﻷﺳﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺤﻤﺪﻳﺔ ‏» ﻭﺍﻷﺫﺍﻥ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﻭﺍﻟﺪﺍﻋﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ ﺍﻟﻤﺤﻤﺪﻱ ﻳﺪﻋﻮ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻐﻔﻠﺔ ﻭﺍﻟﺤﺠﺎﺏ ﺇﻟﻰ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺏ ﻭﻣﺤﻞ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻓﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﻢ ﻋﻦ ﺍﺳﺘﻤﺎﻉ ﺍﻟﺤﻖ ﺍﺳﺘﻬﺰﺃ ﺑﺎﻟﺪﺍﻋﻲ ﻭﺩﻋﻮﺗﻪ ﻟﻜﻤﺎﻝ ﺟﻬﺎﻟﺘﻪ ﻭﺿﻼﻟﺘﻪ ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻤﻦ ﺃﻟﻘﻰ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﻫﻮ ﺷﻬﻴﺪ ﻳﻘﺒﻞ ﺇﻟﻰ ﺩﻋﻮﺓ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺍﻟﺤﻤﻴﺪ ﻭﻳﻨﺠﺬﺏ ﺇﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﻌﺰﺓ ﻭﻳﺪﺭﻙ ﻟﺬﺍﺕ ﺷﻬﻮﺩ ﺍﻟﺠﻤﺎﻝ ﻭﻳﻐﺘﻨﻢ ﻣﻐﺎﻧﻢ ﺃﺳﺮﺍﺭ ﺍﻟﻮﺻﺎﻝ

Diantara keutamaan adzan adalah, sesungguhnya bila dikumandangkan dibelakang orang yang bepergian sesungguhnya ia akan aman hingga kembali pulang, bila dikumandangkan ditelinga bayi dan diiqamahkan ditelinga lainnya saat dilahirkan maka ia akan aman dari gangguan Ummi Syibyaan, begitu juga saat terdapat orang sakit, kebakaran, bercucuran keringat dingin, atau takut akan sesuatu seperti keterangan yang diambil dari kitab Al-Asrar Al-Muhammadiyah.

Adzan hakikatnya adalah ajakan pada Allah, yang menyeru adalah pewaris ajaran Muhammad, mengajak orang-orang yang lalai, tertutup untuk mendekat dan merapat pada hadratillah. Barangsiapa yang tuli mendengarkan kebenaran maka ia akan mentertawakan seruan dan penyerunya sebab kebodohan dan kesesatannya sudah dalam tahapan yang sempurna. Tapi barangsiapa yang dapat tersentuh pendengarannya dan ia bersaksi maka ia akan menerima ajakan Allah, merapat kehadhirat-Nya, menemukan kelezatan kesaksian kesempurnaan serta meraih rahasia-rahasia wushul (sampai) dihadhirat Allah." (Ruuh Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur'an II/361). Wallahu a’lam 🙏🏻

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 21 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG PANGGILAN HAJI KEPADA YANG BELUM BERHAJI




Salah satu keunikan jamaah Haji Indonesia adalah usai mereka menunaikan rukun Islam yang kelima ini mereka mendapat gelar baru yaitu haji. Sehingga tetangga kanan kirinya pun memanggil mereka dengan panggilan yang ditambahi dengan kata haji untuk yang laki-laki, dan kata hajjah untuk yang perempuan. Lantas bagaimana jika panggilan "Haji/Hajah" diucapkan kepada orang yang belum haji atau orang yang sudah umroh?

Hukum memanggil orang yang belum haji dengan sebutan "Haji" atau "Hajjah" adalah tidak diperbolehkan dalam Islam karena dianggap sebagai kebohongan atau dusta, terutama jika panggilan tersebut ditujukan untuk memuliakan orang tersebut. 

Sebagian besar ulama, terutama dalam mazhab Syafi'i, mengharamkan panggilan "Haji" atau "Hajjah" bagi orang yang belum berhaji, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Panggilan tersebut dianggap haram karena merupakan kebohongan atau dusta, sebab orang yang dipanggil belum melaksanakan ibadah haji. Kecuali jika panggilan tersebut dimaksudkan secara harfiah, misalnya "Pak Haji" sebagai panggilan untuk orang yang hendak menuju shalat berjamaah, maka hukumnya diperbolehkan. 

Juga seorang pedagang di pasar terbiasa memanggil pelanggan yang memakai peci putih atau kerudung dengan sebutan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" tanpa mengetahui status hajinya, maka sebaiknya niatkan panggilan tersebut secara harfiah untuk mendoakan agar bisa menunaikan ibadah haji atau sebagai bentuk penghormatan sebagaimana di Makkah dan Madinah jamaah umroh pun dipanggil dengan sebutan "Pak Haji/Bu Janji (Hajji/Hajjah)". 

Sebaiknya, umat Islam tidak terlalu terpaku pada gelar "Haji" atau "Hajjah" karena yang terpenting adalah niat ikhlas dalam beribadah dan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan sekadar gelar.

Imam Romli dalam kitab karyanya Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj beliau menyampaikan,

(فرع استطرادي) وقع السؤال عما يقع كثيرا في مخاطبات الناس بعضهم لبعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام أو لا ؟ والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب ، إن معنى يا حاج : يامن أتى بالنسك على الوجه المخصوص .

نعم إن أراد بيا حاج المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحا ، كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة.

(Cabang yang menyimpang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam percakapan orang-orang satu sama lain, yaitu menyebut seseorang yang belum berhaji dengan sebutan "Hai, haji Fulan" sebagai penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah tampaknya haram karena itu adalah kebohongan. Arti dari "Hai, haji" adalah "Wahai yang telah melaksanakan ibadah haji dengan cara yang khusus."

Namun, jika maksud dari "Hai, haji" adalah arti secara bahasa dan dimaksudkan dengan makna yang benar, seperti "Hai, haji, wahai yang berniat pergi ke sini" seperti jamaah atau lainnya, maka tidak ada larangan." (Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Syihabuddin Ar-Ramli juz 3 hal.242 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)

Juga diperkuat oleh Imam Jamal dalam kitab Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj beliau mengatakan, 

(فرع) وقع السؤال عما يقع كثيراً في مخاطبات الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيماً له هل هو حرام أولا والجواب عنه أن الظاهر الحرمة لأنه كذب لأن معنى يا حاج فلان يا من أتى بالنسك على الوجه المخصوص نعم إن أراد بيا حاج فلان المعنى اللغوي وقصد به معنى صحيحاً كأن أراد بيا حاج يا قاصد التوجه إلى كذا كالجماعة أو غيرها فلا حرمة اهـ 

"(Cabang) Pertanyaan muncul tentang apa yang sering terjadi dalam komunikasi antara orang-orang, yaitu ketika mereka mengatakan kepada seseorang yang belum melaksanakan haji, 'Hai haji fulan' sebagai bentuk penghormatan. Apakah itu haram atau tidak? Jawabannya adalah bahwa tampaknya itu haram karena dianggap sebagai kebohongan, karena makna 'Hai haji fulan' adalah 'Hai, orang yang telah melaksanakan ibadah haji' dengan cara tertentu. Namun, jika yang dimaksud dengan 'Hai haji fulan' adalah makna bahasa dan ditujukan dengan niat yang benar, seperti 'Hai haji, hai yang berniat menuju ke tempat tertentu, seperti kelompok atau lainnya,' maka tidak ada larangan." (Hasyiah Al-Jamal 'Ala Syarh Al-Minhaj, Sulaiman bin Umar bin Mashur Al-Ajili Al-Mashur Asy-Syafi'i Al-Ma'ruf bi Jamal juz 4 hal.5 Cet. Daar Al-Kutub Al-Ilmiah Beirut Libanon)

Pada dasarnya penggunaan nama panggilan "Haji/Hajjah atau panggilan lain misal panggilan laqab atau julukan sepanjang mengandung arti baik atau maksud mendoakan serta disukai oleh pemilik namanya, dalam ajaran Islam merupakan hal yang dibolehkan. Seperti para sahabat yang memiliki julukan tertentu setelah namanya. 

Sebagai contoh, sahabat Abu Bakar memiliki julukan Al-‘Atiq yang berarti terbebas dari api neraka, sahabat Umar bin Khattab yang dijuluki Al-Faruq (pembeda antara kebenaran dan kebatilan), sahabat Khalid bin Walid yang dijuluki Saifullah (pedang Allah) dan selainnya. Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya menyatakan,

وَاتَّفَقُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ اللَّقَبِ الَّذِي يُحِبُّهُ صَاحِبُهُ فَمِنْ ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ وَلَقَبُهُ عَتِيقٌ

“Para ulama sepakat bahwasanya dianjurkan memanggil seseorang dengan julukan yang disukai oleh si empunya, diantaranya ialah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Abdullah bin Utsman di juluki ‘Atiq.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], juz. 8, hal.441). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 19 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN MENGHIAS KUBURAN SECARA BERLEBIHAN

Viral nya video pendek di beranda FB terkait fenomena hiasan kuburan yang terlihat seperti perlombaan tujubelasan 'Menghias Kuburan' kemudian ada inbox yang menanyakan terkait hukumnya, maka awal mula artikel ini dan bukan maksud menghakimi siapapun.

Rasulullah pernah bersabda dalam salah satu haditsnya,

  مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَ مِنْهُ  

“Tidak aku lihat pemandangan, kecuali kuburanlah yang paling menakutkan” (HR. Ahmad).

Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ  أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ  مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi  dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur  menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR.  Muslim no. 532).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ  الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ  الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang sholeh mati di  tengah-tengah mereka, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya. Lantas  mereka membuat gambar-gambar (orang sholeh) tersebut. Mereka inilah  sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).

Seorang ulama Yaman Muhammad bin Ali Asy-Syaukani yang dikenal dengan sebutan Imam Asy-Syaukani (1759-1834) adalah seorang ulama, ahli hukum, teolog, dan reformis Islam Sunni Yaman yang terkenal. Ia lahir di Hijratu Syaukan, Yaman, dan dikenal karena pemikirannya yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits, serta penolakannya terhadap taqlid (mengikuti mazhab secara membabi buta) dan kalam (teologi spekulatif). 

Dalam salah satu kitab karyanya Ar-Rasail As-Salafiah Fi Ihyai Sunnah Khairil Bariyah hal.34 cet. Darr Al-Kitab Al-'Arabi beliau menyampaikan 

فلا شك ولا ريب أن السبب الأعظم الذي نشأ معه هذا الاعتقاد في الأموات، هو ما زينه الشيطان للناس من رفع القبور، ووضع الستور عليها، وتجصيصها، وتزيينها بأبلغ زينة، وتحسينها بأكمل تحسين فإنّ الجاهل إذا وَقَعَت عينه على قبر من القبور قد بنيت عليه قبة، فدخلها، ونظر على القبور الستور الرائعة والسرج المتلالئة، وقد صدعت حوله مجامر الطيب، فلا شك ولا ريب أنه يمتلئ قلبه تعظيماً لذلك القبر، ويضيق ذهنه عن تصوّر ما لهذا الميت من المنزلة، ويدخله من الروعة والمهابة ما يزرع في قلبه العقائد الشيطانية التي هي من أعظم مكايد الشيطان للمسلمين، وأشد وسائله إلى ضلال العباد وما يزلزله عن الإسلام قليلاً، حتى يطلب من صاحب ذلك القبر ما لا يقدر عليه إلا الله سبحانه فيصير في عداد المشركين

"Tidak diragukan lagi bahwa penyebab utama munculnya keyakinan ini terhadap orang-orang yang telah meninggal adalah apa yang dihias oleh setan kepada manusia berupa pengangkatan kuburan, peletakan tirai di atasnya, penghalusan, dan menghiasinya dengan hiasan yang sangat indah. Ketika seorang yang tidak berpengetahuan melihat kuburan yang dibangun dengan kubah, kemudian memasuki dan melihat tirai-tirai yang menawan serta lampu-lampu yang berkilauan, dan dikelilingi oleh aroma wewangian, pasti hatinya akan dipenuhi dengan penghormatan terhadap kuburan tersebut. Pemikirannya akan terhalang untuk membayangkan kedudukan orang yang sudah meninggal itu, dan perasaan kagum serta hormat yang muncul akan menanamkan dalam hatinya keyakinan-keyakinan setan yang merupakan salah satu tipuan terbesar setan terhadap umat Islam, serta menjadi salah satu cara yang paling kuat untuk menyesatkan hamba-hamba Allah, hingga ia meminta dari pemilik kubur tersebut sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga ia termasuk dalam golongan para musyrik." (Imam Asy-Syaukani dalam Ar-Rasail As-Salafiah Fi Ihyai Sunnah Khairil Bariyah hal.34 cet. Darr Al-Kitab Al-'Arabi)

Dalam kitab fikih Fath al-Mu’in dijelaskan,   

وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.   ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه.   

“Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, hal.536).

Perincian hukum membangun pada kuburan di atas, dikecualikan ketika mayit adalah orang yang shaleh, ulama atau dikenal sebagai wali (kekasih Allah), maka boleh makam tersebut diabadikan dengan dibangun agar orang-orang dapat berziarah dan bertabarruk pada makam tersebut. Meskipun makam orang soleh ini berada di pemakaman umum. Dalam Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin,

ﻗﺒﻮﺭ اﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻨﺎﺅﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻘبﺔ ﻹﺣﻴﺎء اﻟﺰﻳﺎﺭﺓ ﻭاﻟﺘﺒﺮﻙ. ﻗﺎﻝ اﻟﺤﻠﺒﻲ: ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﻣﺴﺒﻠﺔ، ﻭﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ   

“Makam para ulama boleh dibangun meskipun dengan kubah, untuk menghidupkan ziarah dan mencari berkah. Al-Halabi berkata: ‘Meskipun di lahan umum”, dan ia memfatwakan hal itu (Syekh Abu Bakr Muhammad Syatha, Hasyiyah Ianah Ath-Thalibin, juz 2, hal. 137).   

Alasan di balik pelarangan membangun kuburan ini adalah karena dalam membangun kuburan terdapat unsur menghias kuburan atau mempermewah kuburan. Selain itu, menurut Imam Al-Qulyubi, membangun kuburan merupakan bentuk menghambur-hamburkan harta tanpa adanya tujuan yang dibenarkan oleh Syara’, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah Umairah,

ﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ: ﻭﺣﻜﻤﺔ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺘﺰﻳﻴﻦ ﺃﻗﻮﻝ: ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ اﻟﻤﺎﻝ ﻟﻐﻴﺮ ﻏﺮﺽ ﺷﺮﻋﻲ   

“Para ulama berkata, ‘Hikmah (alasan) larangan membangun kuburan adalah menghias.’ Saya (Umairah) katakan, ‘Juga karena menghamburkan harta tanpa tujuan yang dibenarkan syari’at’,” (Ahmad Al-Barlasi Al-‘Umairah, Hasyiyah Umairah, juz 1, hal. 441).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membangun kuburan (mengijing) hukum asalnya adalah makruh ketika dibangun di tanah pribadi, selama tidak bertujuan untuk menghias dan memegahkan kuburan. Sedangkan jika kuburan berada di tanah milik umum, maka hukum membangunnya adalah haram dan wajib untuk dibongkar. Perincian hukum ini, dikecualikan ketika makam tersebut adalah makam ulama atau orang yang shaleh, maka boleh dan tidak makruh membangun makam tersebut agar dapat diziarahi oleh khalayak umum tentunya dengan tidak berlebihan karena merupakan bentuk berlebihan. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 18 Agustus 2025

KAJIAN TENTANG MAKNA HADITS "AKU ADALAH ORANG YAMAN"* (Tanggapan status FB Gus Tsabit Abi Fadhil II)

Viral nya bahasan Shalawat Thahal Yamani mengakibatkan para pakar kyai, gus, asatidz bahkan orang awam seperti saya ikutan menyampaikan argumentasinya baik yang pro dalam memahami hadits secara harfiah bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang Yaman maupun yang memahaminya lain.

Akhirnya alfaqir Asimun Mas'ud At-Tamanmini ikutan nimbrung menanggapi narasi status FB guru senior saya meski hanya menyampaikan apa yang telah dipaparkan oleh pakar hadits yang sesungguhnya yaitu Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut,

روى البخاري (4388) ومسلم (52) عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال : ( أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا ، الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ ) وفي رواية لمسلم (52) ِ: ( جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً ، الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ )

وقال البخاري رحمه الله : " سُمِّيَتْ الْيَمَنَ لِأَنَّهَا عَنْ يَمِينِ الْكَعْبَةِ وَالشَّأْمَ لِأَنَّهَا عَنْ يَسَارِ الْكَعْبَةِ "

والمقصود بأهل اليمن في هذا الحديث أهل الإيمان والصلاح والتقوى من أهل اليمن ؛ ومن قال إنما عنى بذلك أهل مكة والمدينة ، أو عنى بذلك أهل البيت ، فقوله مخالف لظاهر الحديث ، كما يدل عليه قوله ( أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ ) ، ( جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ ) والواجب الأخذ بالظاهر ، ولا يجوز العدول عنه إلا ببينة ظاهرة .

قال الحافظ ابن حجر رحمه الله :

" وَاخْتُلِفَ فِي الْمُرَاد بِهِ : فَقِيلَ مَعْنَاهُ نِسْبَة الْإِيمَان إِلَى مَكَّة لِأَنَّ مَبْدَأَهُ مِنْهَا , وَمَكَّة يَمَانِيَّة بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمَدِينَة ، وَقِيلَ : الْمُرَاد نِسْبَة الْإِيمَان إِلَى مَكَّة وَالْمَدِينَة وَهُمَا يَمَانِيَّتَانِ بِالنِّسْبَةِ لِلشَّامِ ، بِنَاء عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْمَقَالَة صَدَرَتْ مِنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ حِينَئِذٍ بِتَبُوك , وَيُؤَيِّده قَوْله فِي حَدِيث جَابِر عِنْد مُسْلِم " وَالْإِيمَان فِي أَهْل الْحِجَاز " , وَقِيلَ الْمُرَاد بِذَلِكَ الْأَنْصَار لِأَنَّ أَصْلهمْ مِنْ الْيَمَن ، وَنُسِبَ الْإِيمَان إِلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ كَانُوا الْأَصْل فِي نَصْر الَّذِي جَاءَ بِهِ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَكَى جَمِيع ذَلِكَ أَبُو عُبَيْدَة فِي " غَرِيب الْحَدِيث " لَهُ .

وَتَعَقَّبَهُ اِبْن الصَّلَاح بِأَنَّهُ لَا مَانِع مِنْ إِجْرَاء الْكَلَام عَلَى ظَاهِره , وَأَنَّ الْمُرَاد تَفْضِيل أَهْل الْيَمَن عَلَى غَيْرهمْ مِنْ أَهْل الْمَشْرِق , وَالسَّبَب فِي ذَلِكَ إِذْعَانهمْ إِلَى الْإِيمَان مِنْ غَيْر كَبِير مَشَقَّة عَلَى الْمُسْلِمِينَ , بِخِلَافِ أَهْل الْمَشْرِق وَغَيْرهمْ , وَمَنْ اِتَّصَفَ بِشَيْءٍ وَقَوِيَ قِيَامه بِهِ نُسِبَ إِلَيْهِ ، إِشْعَارًا بِكَمَالِ حَاله فِيهِ , وَلَا يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ نَفْي الْإِيمَان عَنْ غَيْرهمْ , وَفِي أَلْفَاظه أَيْضًا مَا يَقْتَضِي أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ أَقْوَامًا بِأَعْيَانِهِمْ فَأَشَارَ إِلَى مَنْ جَاءَ مِنْهُمْ لَا إِلَى بَلَد مُعَيَّن , لِقَوْلِهِ فِي بَعْض طُرُقه فِي الصَّحِيح " أَتَاكُمْ أَهْل الْيَمَن , هُمْ أَلْيَن قُلُوبًا وَأَرَقّ أَفْئِدَة الْإِيمَان يَمَان وَالْحِكْمَة يَمَانِيَة , وَرَأْس الْكُفْر قِبَل الْمَشْرِق " وَلَا مَانِع مِنْ إِجْرَاء الْكَلَام عَلَى ظَاهِره وَحَمْل أَهْل الْيَمَن عَلَى حَقِيقَته .

ثُمَّ الْمُرَاد بِذَلِكَ الْمَوْجُود مِنْهُمْ حِينَئِذٍ لَا كُلّ أَهْل الْيَمَن فِي كُلّ زَمَان , فَإِنَّ اللَّفْظ لَا يَقْتَضِيه .

قَالَ : وَالْمُرَاد بِالْفِقْهِ الْفَهْم فِي الدِّين , وَالْمُرَاد بِالْحِكْمَةِ الْعِلْم الْمُشْتَمِل عَلَى الْمَعْرِفَة بِاَللَّهِ " .

انتهى من " فتح الباري " (6/532) .

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no.4388) dan Muslim (no.52) dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hati dan paling lembut jiwa. Iman itu berasal dari Yaman, dan hikmah itu juga berasal dari Yaman." (HR. Bukhari no.4388)

Dalam riwayat Muslim (no.52) disebutkan, "Telah datang orang-orang Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hati, iman itu dari Yaman, dan fiqih itu juga dari Yaman." (HR. Muslim no.52)

Imam Bukhari rahimahullah berkata, "Yaman dinamakan demikian karena posisinya di sebelah kanan Ka'bah, sedangkan Syam di sebelah kirinya."

Yang dimaksud dengan orang-orang Yaman dalam hadits ini adalah orang-orang yang memiliki iman, kebaikan, dan ketakwaan dari Yaman. Siapa pun yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah penduduk Mekkah dan Madinah, atau yang dimaksud adalah ahli bait, ucapannya bertentangan dengan makna hadits yang jelas, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat "Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman" dan "Telah datang orang-orang Yaman." Yang wajib diambil adalah makna yang jelas, dan tidak boleh menyimpangkan  darinya kecuali dengan bukti yang jelas.

Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, "Ada perbedaan pendapat mengenai maksudnya: "Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah hubungan iman dengan Mekkah karena asal mula iman dari sana, dan Mekkah dianggap Yaman relatif terhadap Madinah. Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hubungan iman dengan Mekkah dan Madinah yang keduanya dianggap Yaman relatif terhadap Syam," berdasarkan bahwa ucapan ini dikeluarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau berada di Tabuk. Dan pendapat ini diperkuat oleh ucapannya dalam hadits Jabir di hadapan Muslim, 'Dan iman itu ada di kalangan penduduk Hijaz.' Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Anshar karena asal mereka dari Yaman, dan iman dinisbatkan kepada mereka karena mereka adalah yang utama dalam mendukung apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua ini diungkapkan oleh Abu Ubaidah dalam 'Gharib Al-Hadits' miliknya.

Ibnu As-Shalah menanggapi bahwa tidak ada larangan untuk memahami ucapan tersebut secara harfiah, dan yang dimaksud adalah memuliakan orang-orang Yaman dibandingkan dengan orang-orang dari wilayah timur, dan alasannya adalah karena mereka menerima iman tanpa kesulitan yang berarti bagi para Muslim, berbeda dengan orang-orang dari wilayah timur dan lainnya. Siapa pun yang memiliki sifat tertentu dan kuat dalam menjalankannya, maka hal itu dinisbatkan kepada mereka, yang menunjukkan sempurnanya keadaan mereka dalam hal tersebut. Dan tidak harus ada penafian iman dari yang lainnya, dan dalam ungkapannya juga terdapat hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang tertentu dari mereka, bukan suatu wilayah tertentu, sebagaimana dikatakan dalam beberapa jalur dalam kitab shahih: 'Telah datang kepada kalian orang-orang Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hati dan paling lembut jiwa; iman itu dari Yaman, dan hikmah itu juga dari Yaman, dan pokok kekufuran menghadap ke timur.' Dan tidak ada larangan untuk memahami ucapan tersebut secara harfiah dan mengaitkan orang-orang Yaman dengan realitasnya.

Kemudian yang dimaksud dengan hal itu adalah orang-orang yang ada di antara mereka pada saat itu, bukan seluruh penduduk Yaman di setiap zaman, karena pengertian tersebut tidak mencakupnya.

Dia berkata: "Yang dimaksud dengan fiqih adalah pemahaman tentang agama, dan yang dimaksud dengan hikmah adalah ilmu yang mencakup pengetahuan tentang Allah." (Fath Al-Bari juz 6 hal.615-616). 

٣٣٨٦. حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن يزيد بن أبي عبيد حدثنا سلمة رضي الله عنه قال خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على قوم من أسلم يتناضلون بالسوق فقال ارموا بني إسماعيل فإن أباكم كان راميا وأنا مع بني فلان لأحد الفريقين فأمسكوا بأيديهم فقال ما لهم قالوا وكيف نرمي وأنت مع بني فلان قال ارموا وأنا معكم كلكم

قوله : ( باب نسبة اليمن إلى إسماعيل ) أي ابن إبراهيم الخليل . ونسبة مضر وربيعة إلى إسماعيل متفق عليها ، وأما اليمن فجماع نسبهم ينتهي إلى قحطان

3386. Dari Musaddad, ia berkata: "Kami mendengar dari Yahya, dari Yazid bin Abi Ubaid, bahwa Salamah ra. berkata: 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui sekelompok orang dari Bani Aslam yang sedang bermain panah di pasar. Beliau bersabda: "Lemparlah anak-anak Ismail, karena ayah kalian adalah seorang pemanah, dan aku bersama Bani Fulan dari salah satu dari dua kelompok." Maka mereka menahan tangan mereka. Beliau bertanya: "Mengapa mereka tidak melempar?" Mereka menjawab: "Bagaimana kami bisa melempar sementara engkau bersama Bani Fulan?" Beliau berkata: "Lemparlah, aku bersama kalian semua."

Catatan: (Bab tentang hubungan Yaman dengan Ismail) yaitu putra Ibrahim Al-Khalil (Sang Kekasih). Hubungan Mudhar dan Rabi'ah dengan Ismail disepakati, sedangkan Yaman, keseluruhan nasab mereka berakhir pada Qahthan." (Fath Al-Bari juz 6 hal.621)

*Nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam*

قوله ( مضر ) هو ابن نزار ابن معد بن عدنان والنسب ما بين عدنان إلى إسماعيل بن إبراهيم فيه كما سيأتي ، وأما من النبي صلى الله عليه وسلم إلى عدنان فمتفق عليه . وقال ابن سعد في « الطبقات ، حدثنا هشام بن الكلبي قال : علمني أبي وأنا غلام نسب النبي صلى الله عليه وسلم فقال : محمد بن عبد الله بن عبد المطلب وهو شيبة الحمد بن هاشم واسمه عمرو بن عبد مناف واسمه المغيرة بن قصی واسمه زيد بن كلاب ابن مرة بن كعب بن لؤى بن غالب بن فهر وإليه جماع قريش ، وما كان فوق فهر فليس بقرشي بل هو كنانی ، ابن مالك بن النضر واسمه قيس بن كنانة بن خزيمة بن مدركة واسمه عمر و بن إلياس بن مضر . وروى الطبراني بإسناد جيد عن عائشة قالت و استقام نسب الناس إلى معد بن عدنان ، ومضر بضم الميم وفتح المعجمة بذلك لأنه كان مولعاً بشرب اللبن الماضر وهو الحامض ، وفيه نظر لأنه يستدعى أنه كان له اسم غيره قبل أن يتصف بهذه الصفة ، نعم يمكن أن يكون هذا اشتقاقه ، ولا يلزم أن يكون متصفاً به حالة التسمية ، وهو أول من حدا الإبل . وروى ابن حبيب في تاريخه عن ابن عباس قال : مات عدنان وأبوه وابنه معد وربيعة ومضر وقيس وتميم وأسد وضبة على الإسلام على ملة إبراهيم ، وروى الزبير بن بكار من وجه آخر عن ابن عباس و لا تسبوا مضر ولا ربيعة فإنهما كانا مسلمين ، ، ولا بن سعد من مرسل عبد الله بن خالد رفعه و لا تسبوا مضر فإنه كان قد أسلم » .

قوله ( من بني النضر بن كنانة ) أي المذكور ، وروى أحمد وابن سعد من حديث الأشعث بن يقال سمى قيس الكندى قال : قلت يا رسول الله إنا نزعم أنكم منا - يعنى من اليمن - فقال نحن بنو النضر بن كنانة

وروى ابن سعد من حديث عمرو بن العاص بإسناد فيه ضعف مرفوعاً و أنا محمد بن عبد الله ، وانتسب حتى بلغ النضر بن كنانة ، قال فمن قال غير ذلك فقد كذب ، انتهى . وإلى النصر تنتهى أنساب قريش ، وسيأتي بيان ذلك في الباب الذي يليه ، وإلى كنانة تنهي أنساب أهل الحجاز ، وقد روى مسلم من حديث واثلة مرفوعاً و إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل ، واصطفى من كنانة قريشاً ، واصطفى من قريش بني هاشم ، واصطفاني من بنى هاشم ، و لابن سعد من مرسل أبي جعفر الباقر : ثم اختار بني هاشم من قريش ثم اختار بني عبد المطلب من بنى هاشم .

Kata (Mudhar) adalah anak Nizar bin Ma'ad bin Adnan, dan nasab antara Adnan hingga Ismail bin Ibrahim akan dibahas kemudian. Adapun dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga Adnan adalah kesepakatan. Ibnu Sa'ad dalam "At-Thabaqat" menyebutkan, Hisham bin Al-Kalbi berkata: "Ayahku mengajarkan aku ketika aku masih kecil tentang nasab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, yang merupakan Syaubah Al-Hamd bin Hashim, dan namanya Amru bin Abdul Manaf, yang merupakan Al-Mughirah bin Qusay, dan namanya Zaid bin Kilab, anak Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr, dan dari Fihr adalah kumpulan Quraisy. Siapa pun yang di atas Fihr bukanlah Quraisy, melainkan Kinanah, anak Malik bin Al-Nadhr, yang bernama Qais bin Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah, yang bernama Amru bin Ilyas bin Mudhar." Imam At-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Aisyah, dia berkata, "Nasab manusia berakhir pada Ma'ad bin Adnan, dan Mudhar dengan memadukan huruf mim dan membuka huruf jim, karena ia sangat suka minum susu yang asam, dan ada pandangan bahwa ia memiliki nama lain sebelum dikenal dengan sifat ini. Namun, mungkin ini adalah asal usul namanya, dan tidak harus bahwa ia memiliki sifat tersebut saat penamaan. Ia adalah orang pertama yang memacu unta." Ibnu Habib dalam sejarahnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: "Adnan, ayahnya, dan anaknya Ma'ad, Rabi'ah, Mudhar, Qais, Tamim, dan Asad serta Dabbah meninggal dalam keadaan Islam di atas millah Ibrahim." Az-Zubair bin Bakar meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu Abbas, "Janganlah kalian mencela Mudhar atau Rabi'ah, karena mereka adalah orang-orang Muslim," dan Ibnu Sa'ad dari Al-Mursal Abdullah bin Khalid berkata, "Janganlah kalian mencela Mudhar, karena ia telah memeluk Islam."

Kata (dari keturunan Al-Nadhr bin Kinanah) berarti yang disebutkan, dan Ahmad serta Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari hadits Al-Ash'ath bin Qais Al-Kindi, ia berkata: *"Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, kami mengira bahwa kalian adalah dari kami' (maksudnya dari Yaman) beliau berkata, 'Kami adalah anak-anak Al-Nadhr bin Kinanah.'"* Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari hadits Amru bin Al-Ash dengan sanad yang lemah, ia berkata: "Aku adalah Muhammad bin Abdullah," dan ia menyebutkan nasabnya hingga Al-Nadhr bin Kinanah, dan barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka ia telah berdusta. Sampai kepada Al-Nasr berakhir nasab Quraisy, dan akan dijelaskan dalam bab berikutnya. Sampai kepada Kinanah berakhir nasab penduduk Hijaz, dan Muslim meriwayatkan dari hadis Wathilah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam "Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih dari Kinanah Quraisy, dan memilih dari Quraisy Bani Hasyim, dan memilihku dari Bani Hasyim." Dan Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Al-Mursal Abu Ja'far Al-Baqir: "Kemudian Dia memilih Bani Hasyim dari Quraisy, kemudian memilih Bani Abdul Muthalib dari Bani Hasyim." (Fath Al-Bari juz 6 hal.611-612)

*DALAM KITAB SYI'AH MENYEBUTKAN BAHWA NABI ORANG YAMAN*

Muhammad Baqir Majlisi dikenal dengan sebutan Al-Alamah Majlisi atau Majlisi Ats-Tsani (Majlisi Kedua), adalah seorang sarjana dan pemikir Syi'ah Akhbari Dua Belas Iran yang berpengaruh pada masa dinasti Safawi. Ia digambarkan sebagai "salah satu ulama Syiah yang paling kuat dan berpengaruh sepanjang masa", yang "kebijakan dan tindakannya mengarahkan kembali Dua Belas Syiah ke arah yang akan dikembangkan sejak masa kepemimpinannya.

Dalam kitab karyanya Bihar Al-Anwar juz 57 hal.232 Al-Maktabah Asy-Syi'iyyah menjelaskan dan mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa beliau orang yaman.

فقال النبي صلى الله عليه وآله

كذبت، إن خير الرجال أهل اليمن والايمان يمان وأنا يماني، وأكثر قبائل دخول الجنة يوم القيامة مذحج وحضرموت خير من بني الحرث بن معاوية  من كندة، إن يهلك لحيان فلا أبالي فلعن الله الملوك الأربعة جمدا ومخوسا، ومشرحا وأبضعة، وأختهم العمردة.

"Dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Kamu berdusta, sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah orang-orang Yaman dan iman itu berasal dari Yaman, *dan aku adalah orang Yaman.* Kebanyakan suku yang akan masuk surga pada hari kiamat adalah suku Madhhaj dan Hadhramaut, lebih baik daripada Bani Al-Harits bin Muawiyah, keturunan dari Kindah. Jika Lihyan bin Khuzaimah punah, aku tidak peduli, semoga Allah melaknat empat raja: Jamhur, Makhus, Masyrah, dan Abdhah, serta saudara mereka yang bernama Al-Amrudah.'" (Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar juz 57 hal.232 Al-Maktabah Asy-Syi'iyah)

Sementara dalam penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya apakah orang Yaman, beliau menjawab,

قوله ( من بني النضر بن كنانة ) أي المذكور ، وروى أحمد وابن سعد من حديث الأشعث بن يقال سمى قيس الكندى قال : قلت يا رسول الله إنا نزعم أنكم منا - يعنى من اليمن - فقال نحن بنو النضر بن كنانة 

Kata (dari keturunan Al-Nadhir bin Kinanah) berarti yang disebutkan, dan Ahmad serta Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari hadits Al-Ash'ath bin Qais Al-Kindi, ia berkata: *"Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, kami mengira bahwa kalian adalah dari kami' (maksudnya dari Yaman) beliau berkata, 'Kami adalah anak-anak An-Nadhir bin Kinanah.'"*(Fath Al-Bari juz 6 hal.611).

Singkatnya dalam rangka menyampaikan argumentasi keilmuan alangkah bijaknya jika disertakan referensi dari kitab-kitab salaf, sehingga tidak lagi melalui pemahaman sepihak tetapi merujuk pada penjelasan ulama terdahulu agar indikasi keberpihakan dalam pemahaman tidak terlihat dipaksakan dengan pemahaman personal atau komunal. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*