*Landasan Hukum*
Tidak boleh bagi orang yang telah rampung menunaikan ibadah hajinya meninggalkan Mekkah kecuali setelah thawaf wada’. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah haji mereka adalah thawaf di Baitullah, tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328, 1327, 380].
Berikut adalah rincian pendapat dari masing-masing mazhab:
*1. Mazhab Hanafi*
Thawaf wada' hukumnya wajib bagi jamaah haji tapi sunnah bagi jamaah umrah.
Dalam kitab Bada’i As-Shana’i kitab madzhab Hanafi dinyatakan,
أما طواف الصدر فلا يجب على المعتمر
“Untuk thawaf wada’, hukumnya tidak wajib bagi orang yang umrah.” (Bada’i as-Shana’i, 2/227).
*2. Mazhab Maliki*
Menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra,
بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت
"Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).
*3. Mazhab Syafi'i*
Terdapat dua pendapat, mayoritas mengatakan wajib, namun ada juga yang berpendapat sunnah.
وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ
“Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama (dan ini yang paling sahih) adalah wajib; dan kedua sunah. Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).
*4. Mazhab Hambali*
Thawaf wada' hukumnya ada dua pendapat wajib dan sunnah. Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya,
فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة
" Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404).
Ulama mazhab Hambali lainnya, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata,
ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع
"Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).
Menurut pendapat Imam Malik, Dawud, dan Ibnu Mundzir, hukum thawaf wada’ adalah sunnah. Seseorang yang tidak mengerjakan thawaf wada’ tidak diharuskan membayar dam. Menurut Imam Malik, orang sakit atau użur dapat mengikuti pendapat ini.
Perbedaan pendapat ini didasarkan pada interpretasi terhadap dalil-dalil hadits dan kaidah fikih. Meskipun ada perbedaan pendapat, mayoritas ulama sepakat bahwa thawaf wada' adalah amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan sebelum meninggalkan Makkah.
Thawaf Wada' adalah thawaf 'perpisahan' yang dilakukan setelah melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji/umroh (Al-'Ahd) dan akan meninggalkan kota Makkah.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, thawaf wada' bagi jamaah haji hukumnya 'wajib'; bagi jamaah Umroh, sebagian ulama menghukumi 'afdholiyyah' atau keutamaan (saja), dan terdapat 'keringanan' (kekecualian) bagi perempuan yang sedang Haid, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ -- مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
"Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah ('Ahd, Haji) mereka adalah thawaf di Baitullah (thawaf wada'), tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaq ‘alaih).
*Penjelasan*
Thawaf wada' (thawaf perpisahan) adalah ibadah terakhir yang dilakukan oleh jamaah haji sebelum meninggalkan Makkah.
Tidak boleh berlama-lama di dalam Masjidil Haram setelah thawaf wada', apalagi melakukan ibadah sunnah seperti thawaf atau shalat sunnah lainnya. Thawaf wada' adalah thawaf perpisahan yang menandakan selesainya rangkaian ibadah haji, dan setelahnya jamaah dianjurkan untuk segera bersiap meninggalkan Makkah.
*Tujuan Thawaf Wada'*
Thawaf wada' bertujuan untuk berpamitan dengan Baitullah (Ka'bah) dan menandakan bahwa rangkaian ibadah haji telah selesai.
*Larangan Setelah Thawaf Wada'*
Setelah thawaf wada', jamaah tidak diperkenankan untuk melakukan ibadah sunnah di Masjidil Haram, terutama thawaf sunnah.
*Pengecualian*
Boleh tinggal sebentar di Masjidil Haram untuk menunggu rombongan, mempersiapkan keberangkatan, membeli makanan dan minuman, atau kebutuhan lainnya. Jika jamaah berencana tinggal lama di Makkah setelah thawaf wada', mereka harus mengulangi thawaf wada' ketika akan benar-benar meninggalkan kota Makkah
Sebagian ulama dan 'orang tua' di Indonesia berpendapat bahwa pada thawaf wada' melekat dimensi 'adab'--bukan hanya urusan soal fiqh--, ibarat seorang yang selesai 'bertamu' tentu saja sangat 'elok' dan 'beradab' jika tamu berpamitan kepada 'Tuan Rumah'.
Terlepas dari perbedaan pendapat hukumnya, banyak jamaah haji maupun umroh yang memiliki "kesan" tersendiri ketika melaksanakan thawaf wada'.
Kesan khusus itu antara lain bersumber dari untaian doa yang lazim dipanjatkan oleh para jamaah, diantaranya,
يا رَدَّادُ ارْدُدْنِى إِلىَ بَيْتِكَ هَذا وَارْزُقْنِىَ العَوْدَ ثُمَّ العَوْدَ كَرَّاتٍ بَعْدَ مَرَّاتٍ تائِبُوْنَ عاَبِدُوْنَ ساَئِحُوْنَ لِرَبِّناَ حامِدُوْنَ
"... Wahai Zat Yang Maha Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke RumahMu ini dan berilah aku rizqi (kesempatan) untuk mengulanginya (lagi) berkali-kali, dalam keadaan bertaubat, beribadah, "berlayar" menuju Tuhan kami, sambil memuji-Nya.. "
أَللَّـهُمَّ لاَ تَجْعَلْ هَذا أَخِرَ العَهْدِ بِبَيْتِكَ الحَراَمِ وَإِنْ جَعَلْتَهُ أَخِرَ العَهْدِ فَعَوِّضْنِى عَنْهُ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِكَ ياَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
"Ya Allah, jangan jadikan ini sebagai kesempatan terakhirku di Rumah-Mu. Sekiranya Engkau jadikan ini sebagai kesempatan terakhir bagiku, maka gantilah Surga untukku, dengan Rahmat-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang Pengasih,".
Para jamaah juga banyak yang memanjatkan doa dengan redaksi dan bahasa masing-masing, sesuai asa, harapan, suasana hati, dan permasalahan masing-masing. Wallahu a’lam
Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*