MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Jumat, 31 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG PEMALSU NASAB BERNAMA UBAIDILLAH





Ubaidillah adalah sebuah nama umum bagi bangsa arab, hanya saja akan menjadi lain jika dikaitkan dengan nama Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang menjadi muara kontroversi keabsahan nasab Ba'alawi saat ini. 

Berbeda lagi dengan kisah seorang yang kebetulan bernama Ubaidilah yang menurut catatan Asy-Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin dalam karyanya Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh adalah salah satu orang yang mengklaim sebagai ahlul bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun kenyataannya pengakuannya palsu.

وَادَّعَى عُبَيْدُ اللهِ مُؤَسِّسُ الدَّوْلَةِ الْعُبَيْدِيَّةِ بِمِصْرَ بِأَنَّهُ عَلَوِيٌّ هَاشِمِيٌّ، وَتَصَدَّى عُلَمَاءُ ذٰلِكَ الزَّمَانِ لِكَشْفِ هٰذَا الزَّيْفِ وَالْبُهْتَانِ.  

Dan pengakuan Ubaidillah, pendiri Dinasti Ubaidiyah di Mesir, mengaku (sebagai keturunan keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dari kelompok Hasyimiyah.

Namun, para ulama pada masa itu telah berupaya untuk mengungkapkan kepalsuan klaim mereka." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.86).

Lantas siapakah Ubaidillah dzurriyah palsu tersebut? Berikut penjelasan dari para ulama. Al-Imam Ibnu Khalkan menjelaskan,

٣٥٧ - المهدي عبيد الله

أبو محمد عبيد الله، الملقب بالمهدي؛ وجدت في نسبه اختلافاً كثيراً (٢) ، قال صاحب " تاريخ القيروان " (٣) هو عبيد الله بن الحسن بن علي بن محمد بن علي بن موسى بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب رضي الله عنه، وقال غيره: هو عبيد الله بن محمد بن إسماعيل بن جعفر المذكور، وقيل هو علي بن الحسين بن أحمد بن عبد الله بن الحسن بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب رضي الله عنه، وقيل هو عبيد الله بن التقي بن الوفي بن الرضي، وهؤلاء الثلاثة يقال لهم المستورون في ذات الله، والرضي المذكور بن محمد بن إسماعيل بن جعفر المذكور، واسم التقي الحسين، واسم الوفي أحمد، واسم الرضي عبد الله، وإنما استتروا خوفاً على أنفسهم لأنهم كانوا مطلوبين من جهة الخلفاء من بني العباس، لأنهم علموا أن فيهم من يروم الخلافة أسوة غيرهم من العلويين وقضاياهم ووقائعهم في ذلك مشهورة. وإنما تسمى المهدي عبيد الله استتاراً، هذا عند من يصحح نسبه، ففيه اختلاف كثير (٤) . وأهل العلم

بالأنساب من المحققين ينكرون دعواه في النسب، وقد تقدم في ترجمة الشريف عبد الله بن طباطبا (١) ما جرى بينه وبين المعز عند وصوله إلى مصر وما كان من جواب المعز له، وفيه أيضاً دلالة على ذلك، فإنه لو عرف نسبه لذكره وما احتاج إلى ذلك المجلس الذي ذكرناه هناك.

ويقولون أيضاً: إن اسمه سعيد ولقبه عبيد الله، وزوج أمه الحسين بن أحمد بن محمد بن عبد الله بن ميمون القداح، وسمي قداحاً لأنه كان كحّالاً يقدح العين إذا نزل فيها الماء. وقيل إن المهدي لما وصل إلى سجلماسة ونما خبره إلى اليسع مالكها، وهو آخر ملوك بني مدرار، وقيل له: إن هذا هو الذي يدعو إلى بيعته أبو عبد الله الشيعي بأفريقية - وقد تقدم الكلام على ذلك في ترجمة أبي عبد الله في حرف الحاء (٢) - أخذه اليسع واعتقله، فلما سمع أبو عبد الله الشيعي باعتقاله حشد جمعاً كثيراً من كتامة وغيرها، وقصد سجلماسة لاستنقاذه، فلما بلغ اليسع خبر وصولهم قتل المهدي في السجن، فلما دنت العساكر من البلد هرب اليسع، فدخل أبو عبد الله إلى السجن فوجد المهدي مقتولاً وعنده رجل من أصحابه كان يخدمه، فخاف أبو عبد الله أن ينتقض عليه ما دبره من الأمر إن عرفت العساكر بقتل المهدي، فأخرج الرجل وقال: هذا هو المهدي؛ وبالجملة فأخباره مشهورة فلا حاجة إلى الإطالة فيها.

وهو أول من قام بهذا الأمر من بيتهم وادعى الخلافة بالمغرب، وكان داعيه أبا عبد الله الشيعي - المذكور في حرف الحاء - ولما استتب له الأمر قتله وقتل أخاه - كما ذكرناه في ترجمته - وبنى المهدي بأفريقية وفرغ من بنائها في شوال سنة ثمان وثلثمائة، وكان شروعه فيها في ذي القعدة سنة ثلاث وثلثمائة، وبنى سور تونس وأحكم عمارتها وجدّد فيها مواضع، فنسبت [المهدية] (٣) إليه.

وملك بعده ولده القائم، ثم المنصور ولد القائم - وقد تقدم ذكره 

357 - Al-Mahdi Ubaidillah Abu Muhammad Ubaidillah, yang dijuluki Al-Mahdi; Saya menemukan banyak perbedaan pendapat tentang nasabnya.

Pengarang "Tarikh Al-Qairawan" (Qairawan wa Duruha fi Al-Hadharah Al-Islamiyah) mengatakan bahwa dia adalah Ubaidillah bin Al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu.

Sementara itu, yang lain mengatakan bahwa dia adalah Ubaidillah bin Muhammad bin Ismail bin Ja'far yang telah disebutkan.

Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah Ali bin Al-Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu.

Dan ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah Ubaidillah bin At-Taqi bin Al-Wafi bin Ar-Ridha.

Ketiga orang ini dikenal sebagai "Al-Masturun" karena mereka menyembunyikan identitas mereka karena takut akan kekuasaan Bani Abbasiyah.

Mereka mengetahui bahwa di antara mereka ada yang berambisi untuk menjadi khalifah seperti orang-orang Alawi lainnya, dan kisah-kisah mereka dalam hal ini sudah terkenal.

Nama Al-Mahdi Ubaidillah sendiri mungkin digunakan sebagai nama samaran untuk menyembunyikan identitas aslinya.

Ahlul ilmi tentang nasab dari kalangan peneliti menolak klaim nasab Al-Mahdi.

Mereka juga mengatakan bahwa nama aslinya adalah Sa'id dan julukannya adalah Ubaidillah, dan ibunya menikah dengan Al-Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Maimun Al-Qaddah.

Al-Qaddah sendiri adalah seorang tukang celup yang juga dikenal sebagai tukang obat mata.

Ada juga cerita bahwa ketika Al-Mahdi tiba di Sijilmasah dan berita tentangnya sampai kepada Al-Yasa' Maliknya, yang merupakan penguasa terakhir Bani Madar, Al-Yasa' memenjarakannya.

Ketika Abu Abdillah Asy-Syi'i mendengar kabar itu, dia mengumpulkan banyak pasukan dari Kutama dan lainnya, dan berangkat ke Sijilmasah untuk membebaskan Al-Mahdi.

Ketika pasukan Asy-Syi'i mendekati kota, Al-Yasa' melarikan diri, dan Asy-Syi'i menemukan Al-Mahdi telah dibunuh di penjara, bersama dengan salah satu pengikutnya yang setia.

Untuk menjaga agar rencana mereka tidak terbongkar, Asy-Syi'i mengeluarkan pengikut yang setia itu dan mengatakan bahwa dia adalah Al-Mahdi.

Kisah Al-Mahdi ini sudah terkenal dan tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Dia adalah orang pertama dari keluarga ini yang memimpin dan mengklaim kekuasaan di Maghrib, dan Abu Abdillah Asy-Syi'i adalah da'i yang menyebarkan ajarannya.

Ketika kekuasaan Al-Mahdi sudah stabil, dia membunuh Asy-Syi'i dan saudaranya, seperti yang telah disebutkan dalam biografinya.

Al-Mahdi membangun kota Mahdia di Afrika dan menyelesaikannya pada tahun 308 H.

Dia juga membangun tembok kota Tunis dan memperbarui beberapa tempat di sana, sehingga kota Mahdia dinisbatkan kepadanya.

Setelah dia, kekuasaan dipegang oleh putranya Al-Qa'im, kemudian Al-Mansur putra Al-Qa'im." (Wafiyat Al-A'yan, Imam Abul Abbas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Khalkan (Ibnu Khalkan), Dar Shadir - Beirut Libanon, juz 3 pasal 357 hal.117-118)

Al-Imam Zirikli menjelaskan tentang siapa Ubaidillah Al-Mahdi dalam kitab karyanya Al-A'lam, 

المَهْدي الفاطِمي

(٢٥٩ - ٣٢٢ هـ = ٨٧٣ - ٩٣٤ م)

عبيد الله بن محمد الحبيب بن جعفر المصدق بن محمد المكتوم، الفاطمي العلويّ، من ولد جعفر الصادق: مؤسس دولة العلويين في المغرب، وجد العبيديين الفاطميين أصحاب مصر، وأحد الدهاة. في نسبه خلاف طويل. كان يسكن سلمية (بسورية) ومولده بها (أو بالكوفة) وكان أبوه قد أرسل الدعاة، وأعظمهم أبو عبد الله الحسين ابن أحمد الملقب بالعلم والشهير بالشيعي، فمهّد له بيعة المغرب، وفتح بلدانا، وناصرته قبائل كتامة، ووعدها بقرب ظهور " المهدي " إمام زمان.

ووصلت إلى المهدي رسل أبي عبد الله تدعوه، فبلغ خبره المكتفي باللَّه العباسي، فطلبه، ففر من سلمية إلى العراق. ثم لحق بمصر فالاسكندرية، ومنها إلى المغرب. وكان ظهوره بسجلماسة في أواخر ٢٩٦ (كما في كنز الدرر) واستفحل أمره حتى بويع في القيروان بيعة عامة سنة ٢٩٧ هـ

واستوطن " رقادة " عاصمة أواخر ملوك الأغالبة. وبعث الولاة الى طرابلس وصقلّيّة وبرقة.

واستولى على تاهرت. وحاول امتلاك مصر، فقصدها مرتين ولم يظفر، وقيل: دخل الإسكندرية.

وعاد إلى المغرب فاختط مدينة " المهدية " سنة ٣٠٣ هـ واتخدها قاعدة لملكه. ومات بها بعد أن حكم أربعا وعشرين سنة. وأخباره كثيرة. وللدكتور حسن إبراهيم وطه شرف كتاب " عبيد الله المهدي إمام الشيعة الإسماعيلية - ط " وكان يتولى أموره بنفسه، ليس له وزير ولا حاجب.

Al-Mahdi Al-Fathimi (259-322 H = 873-934 M) adalah Ubaidillah bin Muhammad Al-Habib bin Ja'far Al-Musaddiq bin Muhammad Al-Maktum, seorang Fathimi Alawi yang berasal dari keturunan Ja'far Ash-Shadiq.

Dia adalah pendiri negara Alawiyyin di Maghrib dan kakek dari dinasti Ubaidiyyah Fathimiyyah yang berkuasa di Mesir.

Dia dikenal sebagai salah satu tokoh yang sangat licik dan pandai.

Ada perbedaan pendapat yang panjang tentang nasabnya.

Dia dulunya tinggal di Sulaimiyyah, Suriah, dan lahir di sana atau di Kota Kufah.

Ayahnya telah mengirimkan para dai untuk menyebarkan agama, dan yang paling terkenal adalah Abu Abdillah Al-Husain bin Ahmad yang dijuluki Al-'Alim dan dikenal sebagai Asy-Syi'i.

Abu Abdillah berhasil mempersiapkan baiat untuk Al-Mahdi di Maghrib dan menaklukkan beberapa kota.

Suku Kutama mendukungnya dan dia berjanji bahwa Al-Mahdi akan segera muncul sebagai Imam Zaman.

Ketika Al-Mahdi menerima berita tentang kesuksesan Abu Abdillah, dia meninggalkan Sulaimiyyah dan pergi ke Irak, kemudian ke Mesir dan Alexandria, dan akhirnya ke Maghrib.

Dia muncul di Sijilmasah pada akhir tahun 296 H dan kekuasaannya semakin kuat hingga dia dibaiat secara umum di Al-Qairawan pada tahun 297 H.

Dia menjadikan kota "Riqqadah" sebagai ibu kota kekuasaannya dan mengirimkan gubernur ke Tripoli, Sisilia, dan Barqah.

Dia juga berhasil menaklukkan kota Tahert dan berusaha untuk menaklukkan Mesir sebanyak dua kali, tetapi tidak berhasil.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dia berhasil memasuki kota Alexandria.

Dia kembali ke Maghrib dan membangun kota "Al-Mahdiyyah" pada tahun 303 H dan menjadikannya sebagai ibu kota kekuasaannya.

Dia meninggal di kota tersebut setelah memerintah selama 24 tahun.

Dia dikenal sebagai seorang yang sangat pandai dan tidak memiliki menteri atau pengawal pribadi.

Kehidupan dan pemerintahannya banyak dibahas dalam buku-buku sejarah, termasuk buku "Ubaidillah Al-Mahdi Imam Asy-Syiah Al-Ismailiyyah" karya Dr. Hasan Ibrahim dan Thaha Syaraf." (Al-A'lam, Imam Khairuddin Az-Zirikli, Dar Al-Ilmi Lil Malayin - Beirut Libanon, juz 4 hal.197)

Sementara Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan tentang Ubaidillah Al-Mahdi sebagai berikut,

وفاة المهدي صاحب إفريقية ، أول خلفاء الفاطميين فيما زعموا

وفيها مات أبو محمد عبيد الله ، المدعي أنه علوي - الملقب بالمهدي - باني المهدية بمدينته المهدية عن ثلاث وستين سنة ، وكانت ولايته ، منذ دخل رقادة وادعى الإمامة ، أربعا وعشرين سنة وشهرا وعشرين يوما ، وهو أول الخلفاء الفاطميين .

وقد كان شهما شجاعا ، ظفر بجماعة ممن خالفه وناوأه وقاتله وعاداه ، وقد قام بأمر الخلافة من بعده ولده أبو القاسم الملقب بالخليفة القائم بأمر الله وحين توفي أبوه ، كتم موته سنة حتى دبر ما أراده من الأمور ، ثم أظهر ذلك ، وعزاه الناس فيه ، وقد كان شهما شجاعا كأبيه ، فتح البلاد ، وأرسل السرايا إلى بلاد الروم ، ورام أخذ الديار المصرية ، فلم يتفق له ذلك ، وإنما جرى ذلك على يدي ابن ابنه المعز الفاطمي الذي بنى القاهرة المعزية ، كما سنذكره ، إن شاء الله تعالى .

[ ص: 84 ] قال القاضي ابن خلكان في " الوفيات " : وقد اختلف في نسب المهدي هذا اختلافا كثيرا جدا ; فقال صاحب " تاريخ القيروان " : هو عبيد الله بن الحسن بن محمد بن علي بن موسى بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب وقال غيره : هو عبيد الله بن التقي ، وهو الحسين بن الوفي ، أحمد بن الرضي عبد الله ، وهؤلاء الثلاثة يقال لهم : المستورون ; لخوفهم من خلفاء بني العباس ، والرضي عبد الله هذا هو ابن محمد بن إسماعيل بن جعفر الصادق ، وقيل غير ذلك في نسبه .

قال القاضي ابن خلكان : والمحققون ينكرون دعواه في النسب .

قلت : قد كتب غير واحد من الأئمة ، منهم الشيخ أبو حامد الإسفراييني والقاضي الباقلاني ، والقدوري أن هؤلاء أدعياء ، ليس لهم نسب صحيح فيما يزعمونه ، وأن والد عبيد الله هذا كان يهوديا صباغا بسلمية ، وقيل : كان اسمه سعيدا ، وإنما لقب بعبيد الله . وكان زوج أمه الحسين بن أحمد بن محمد بن عبد الله بن ميمون القداح ، وسمي القداح ; لأنه كان كحالا يقدح العيون ، وكان الذي وطأ له الأمر بتلك البلاد أبو عبد الله الشيعي كما قدمنا ذلك ، ثم استدعاه فلما قدم من بلاد المشرق وقع في يد صاحب سجلماسة 

[ ص: 85 ] فسجنه ، فلم يزل الشيعي حتى استنقذه وسلم إليه الأمر ، ثم ندم الشيعي وهم بقتله ، ففطن عبيد الله له فقتله وقتل معه أخاه . ويقال : إن الشيعي لما دخل السجن وجد صاحب سجلماسة قد قتله ، ووجد في السجن رجلا مجهولا ، فأخرجه للناس ، وقال : هذا هو المهدي ، وروج به الأمر ، فهؤلاء من سلالته . حكاه القاضي ابن خلكان

وكان مولد المهدي هذا في سنة ستين ومائتين ، وقيل : قبلها ، وقيل : بعدها . بسلمية ، وقيل : بالكوفة . وأول ما دعي له على منابر رقادة والقيروان يوم الجمعة لتسع بقين من ربيع الآخر سنة سبع وتسعين ومائتين ، بعد رجوعه من سجلماسة وكان ظهوره بها في ذي الحجة من السنة الماضية ، سنة ست وتسعين ، وزالت دولة بني العباس من تلك الناحية من هذا الحين إلى أن هلك العاضد في سنة سبع وستين وخمسمائة .

وكانت وفاته بالمهدية - التي بناها في أيامه - ليلة الثلاثاء للنصف من ربيع الأول من هذه السنة ، وقد جاوز الستين على المشهور ، وإلى الله عاقبة الأمور ، وسيفصل بين الآمر والمأمور ، يوم البعث والنشور .

Wafatnya Al-Mahdi, Pendiri Dinasti Fathimiyah di Afrika

Pada tahun ini, Abu Muhammad Ubaidillah, yang mengaku sebagai keturunan Alawi dan dijuluki Al-Mahdi, wafat di kota Mahdia yang didirikannya.

Ia meninggal pada usia 63 tahun setelah memerintah selama 24 tahun, 1 bulan, dan 20 hari.

Al-Mahdi adalah khalifah pertama Dinasti Fathimiyah yang mengaku sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib.

Ia dikenal sebagai seorang yang pemberani dan berhasil menundukkan banyak lawan-lawannya.

Setelah kematiannya, kekuasaan dipegang oleh putranya, Abu al-Qasim yang bergelar Al-Khalifah al-Qa'im bi-Amrillah.

Al-Qa'im melanjutkan kebijakan ayahnya dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan Fathimiyah.

Namun, upaya Al-Qa'im untuk menaklukkan Mesir tidak berhasil pada masa pemerintahannya, melainkan pada masa pemerintahan cucunya, Al-Mu'iz yang kemudian mendirikan kota Kairo.

Para sejarawan berbeda pendapat tentang nasab Al-Mahdi.

Sebagian mengatakan bahwa ia adalah Ubaidillah bin Hasan bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Sementara itu, sebagian lain mengatakan bahwa ia adalah Ubaidillah bin Al-Husain bin Al-Wafi Ahmad bin Ar-Ridha Abdullah.

Namun, para ahli sejarah yang kredibel menolak klaim nasab Al-Mahdi.

Mereka menyebutkan bahwa ayah Al-Mahdi adalah seorang Yahudi yang bernama Sa'id dan ibunya menikah dengan Al-Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Maymun al-Qaddah.

Al-Qaddah sendiri adalah seorang tukang celup yang juga dikenal sebagai tukang obat mata.

Abu Abdillah Asy-Syi'i adalah orang yang berperan penting dalam penaklukan wilayah tersebut untuk Al-Mahdi.

Kemudian, Al-Mahdi dipanggil oleh Abu Abdillah Asy-Syi'i dan ketika ia tiba dari timur, ia ditangkap oleh penguasa Sijilmasah dan dipenjara.

Abu Abdillah Asy-Syi'i kemudian berhasil membebaskannya dan menyerahkan kekuasaan kepadanya.

Namun, Abu Abdillah Al-Shi'i kemudian menyesali keputusannya dan berniat membunuh Al-Mahdi, tetapi Al-Mahdi lebih cepat dan membunuh Abu Abdillah Asy-Syi'i beserta saudaranya.

Ada juga yang mengatakan bahwa Abu Abdillah Asy-Syi'i menemukan penguasa Sijilmasah telah membunuh Al-Mahdi yang sebenarnya, dan ia menemukan seorang laki-laki yang tidak dikenal di penjara, lalu ia keluarkan laki-laki tersebut dan mengatakan bahwa dia adalah Al-Mahdi.

Al-Mahdi lahir pada tahun 260 H, dan ada perbedaan pendapat tentang tempat kelahirannya.

Ia pertama kali diumumkan sebagai khalifah di kota Qairawan dan Riqqadah pada tahun 297 H.

Dinasti Abbasiyah kehilangan kendali atas wilayah tersebut sejak saat itu hingga tahun 567 H.

Al-Mahdi wafat di kota Mahdia yang didirikannya pada malam Selasa, 15 Rabiul Awwal tahun ini, pada usia lebih dari 60 tahun.

Semoga Allah SWT memutuskan segala urusan dengan keadilan-Nya pada hari kiamat." (Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Maktabah Al-Islamiyah juz 15 hal.83-85). Wallahu a'lam 

Semoga tidak ada lagi Ubaidilah lain sebagaimana catatan sejarah ulama sebagai pemalsu nasab mulia Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 29 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG PENOLAKAN KEABSAHAN NASAB KARENA ADANYA CACAT YANG BISA DITERIMA ATAU TIDAK





Ada alasan-alasan tertentu yang memungkinkan pembatalan nasab, tetapi juga ada kondisi yang membuat nasab tidak dapat dibatalkan, terutama dalam Islam. Hal itu telah dijelaskan oleh Asy-Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin dalam karyanya Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh sebagai berikut,

الجرح القادح في الأنساب والجرح المردود

ليس كلُّ جرحٍ قادحًا في النسب، بل من الجرح: ما هو قادحٌ، ومنه: ما هو مردود غير قادح.  

فالجرح القادح في الأنساب: هو الجرح المفسَّر، الصادر ممّن يُعتدُّ برأيه وديانته من العلماء، ولا تحوم حوله شبهة تحاملٍ أو تَعَنُّتٍ أو هوى، مع ذِكر أسبابه وشواهده.  

هذه القيود والشروط التي وضعها هي طَريقة أهل الحديث في تعديل الرواة وجرحهم، ولا بُدَّ من اعتبارها؛ لأنَّ الطعن في الأنساب داءٌ في هذه الأمة، أخبر عنه ﷺ وذمَّه بقوله: أَرْبَعٌ في أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الجَاهِلِيَّةِ لا يَتْرُكُونَهُنَّ: الفَخْرُ في الأَحْسَابِ، والطَّعْنُ في الأَنْسَابِ. (أخرجه مسلم برقم 934 وغيره).  

ولمّا كانت قواعد علم النسب غير محرَّرة في كتاب عبر التاريخ، استعينت بقواعد أهل الحديث لسببين:  

أحدُهما: أنَّ بين علم الحديث وعلم النسب وُشائجَ قويّة.  

فكِلا العلمين يتعلق بنقل الأخبار، وإن اختلفت مادة الخبر المنقول في كلٍّ منهما.  

الثاني: أنَّ قواعد أهل الحديث تُعَدُّ من أدقّ القواعد لضبط العلوم على الإطلاق؛ فلا استهانة ببعض قواعدهم وتطبيقاتهم في تحرير أصول وقواعد النسب، تقي النَّسَّابة من الزَّلل.  

فمثال الجرح القادح المفسَّر: إبطال النَّسَّابة إسماعيل الأزورقاني (ت: بعد 641هـ) دعوى انتساب نقيب خوارزم إلى النسب العلوي الحسني، وفسّره بالأسباب التالية:  

الأول: أنَّه لا شهرةَ له بنسبٍ ما.  

الثاني: أنَّه انتسب المرة الأولى إلى الحسن بن صالح بن موسى الثاني، وهذا باطلٌ لأنَّ صالح بن موسى الثاني لم يُعقّب إلا من ولده محمد الأرقَ فقط، وليس له ولد اسمه الحسن.  

الثالث: أنه انتسب في المرة الثانية إلى موسى بن عبدالله بن موسى الثاني، وليس لعبدالله بن موسى الثاني ابنٌ اسمه موسى.  

"Cacat yang Memengaruhi Nasab dan Cacat yang Ditolak

Tidak semua cacat yang diberikan pada seseorang dapat memengaruhi nasabnya.

Ada dua jenis cacat: cacat yang memengaruhi dan cacat yang ditolak.

Cacat yang memengaruhi nasab adalah cacat yang dijelaskan dengan detail dan diberikan oleh seorang yang ahli dan terpercaya dalam bidangnya, tidak ada dugaan sedikit pun tentang keberpihakan atau kebencian terhadap orang yang dicacat, serta disertai dengan alasan dan bukti yang jelas.

Kriteria dan syarat ini adalah metode yang digunakan oleh ahli hadits dalam menilai kredibilitas perawi dan memberikan cacat.

Syarat-syarat ini harus dipertimbangkan karena mencacat nasab orang lain adalah penyakit yang telah ada sejak zaman jahiliah dan telah dikecam oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

"Ada empat perkara yang merupakan bagian dari perilaku jahiliah yang tidak ditinggalkan oleh umatku: membanggakan diri dengan nasab, mencela nasab orang lain." (HR. Muslim, no. 934)

Karena kaidah-kaidah ilmu nasab tidak terdokumentasikan secara lengkap dalam satu kitab sepanjang sejarah, maka digunakanlah kaidah-kaidah ahli hadits sebagai rujukan.

Hal ini didasarkan pada dua alasan:

1. Adanya hubungan yang erat antara ilmu hadits dan ilmu nasab, karena keduanya berkaitan dengan penukilan berita.

2. Kaidah-kaidah ahli hadits merupakan salah satu kaidah yang paling akurat dalam mengatur ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, penerapan kaidah-kaidah ini dalam ilmu nasab dapat membantu mencegah kesalahan.

Contoh cacat yang memengaruhi nasab adalah ketika seorang ahli nasab bernama Ismail Az-Zurqani (wafat setelah 641 H) menolak klaim seorang naqib di Khawarizm yang mengaku sebagai keturunan Hasan bin Ali.

Ismail Az-Zurqani memberikan tiga alasan untuk menolak klaim tersebut:

1. Tidak ada satu pun kesepakatan tentang nasabnya.

2. Klaim pertama bahwa dia adalah keturunan Hasan bin Shalih bin Musa Ats-Tsani adalah salah, karena Shalih bin Musa Ats-Tsani hanya memiliki anak laki-laki bernama Muhammad Al-Arqi, dan tidak ada anak laki-laki bernama Hasan.

3. Klaim kedua bahwa dia adalah keturunan Musa bin Abdullah bin Musa II juga salah, karena Abdullah bin Musa II tidak memiliki anak laki-laki bernama Musa." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.62-63)

ونصُّ كلامه:  صالح بن موسى الثاني: انتمى إليه اليوم نقيب خوارزم المعروف بـ *الافتخار*، فِيمَا أملاء، عَلَى أَوْلادِهِ، فزعَمَ أنَّه عمر، ويُسَمَّى بالمرتضى بن عليّ بن الحسن بن نوفل بن محمد بن الحسن. قال: ابن صالح بن موسى الثاني.  

ثم كتب إليَّ ثانيًا: أنَّه عمر بن عليّ بن الحسن بن نوفل بن محمد بن الحسن بن إسحاق بن عليّ بن صالح بن محمد بن موسى بن عبدالله بن موسى بن عبدالله بن موسى بن عبدالله بن الحسن».  

وكلامهما ليس بشيء، فإنَّ صالح بن موسى الثاني لم يُعقِب إلا من محمد الأَرَق وحده، وليس له الحسن البنَّة، وموسى الثاني كان من عبدالله، وهو مفترق لا محالة، وليس لعبدالله بن موسى الثاني ابن اسمه موسى.  

وهو عاميٌّ محضٌ بلا شكٍّ ولا شُبهة، على ما هو متواتر في خوارزم، ولا حَظَّ له في نَسَبٍ ما، وله قصة أَثْبتها في «حظيرة القدس».  

وهناك أمثلة أخرى على الجرح القادح المفسَّر، نتركها خشية التطويل، ونقتصر على ما ذكرنا؛ فإنَّه كافٍ في تصوير المسألة.  

وأما الجرح المردود في النَّسب: فهو الصادر بدون دليلٍ وتفسيرٍ، إمّا عن جهلٍ، أو عن هوىٍ لخلاف ماديٍّ، أو علميٍّ، أو عقديٍّ، أو سياسيٍّ، ونحو ذلك؛ فهذا الجرحُ مما لا يُلتفتُ إليه.  

ولو أُخذ بكلِّ جرحٍ غير مفسَّرٍ لما سَلِمَ نَسَبٌ، لِما هو معلومٌ من مسارعة الناس إلى الطعن لأدنى الأسباب وأوهى الخلاف.  

وقد ضبط العلماء البابَ بأنَّ المرءَ لا يُنكَر عليه نسبٌ ثبت بالشُّهرة والاستفاضة إلا بجرحٍ نفسه  من نَقَلةٍ عالِمين بالنَّسب، غير مخالفين لإجماعٍ فيه.  

"Dan teks ucapan Ismail Az-Zurqani adalah: "Shalih bin Musa Ats-Tsani sekarang ini dinisbatkan kepada Naqib Khawarizm yang dikenal dengan Al-Iftikhar, berdasarkan apa yang dia diktekan kepada anak-anaknya.

Dia mengaku bahwa dia adalah Umar yang dijuluki Al-Murtadha bin Ali bin Hasan bin Naufal bin Muhammad bin Hasan bin Shalih bin Musa Ats-Tsani."

Kemudian dia menulis kepada saya untuk kedua kalinya bahwa dia adalah Umar bin Ali bin Hasan bin Naufal bin Muhammad bin Hasan bin Ishaq bin Ali bin Shalih bin Muhammad bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Hasan.

Kedua klaim ini tidak dapat diterima, karena Salih bin Musa Ats-Tsani hanya memiliki anak laki-laki bernama Muhammad Al-Arqi, dan tidak memiliki anak laki-laki bernama Hasan.

Musa Ats-Tsani adalah anak Abdullah, dan tidak mungkin ada percabangan nasab di sini.

Tidak ada anak laki-laki Abdullah bin Musa Ats-Tsani yang bernama Musa.

Dia adalah orang awam yang tidak memiliki pengetahuan tentang nasab, dan tidak ada satupun nasab yang dapat dibuktikan untuknya.

Dia memiliki cerita yang saya catat dalam kitab "Hazhirat Al-Quds".

Ada contoh lain tentang cacat yang memengaruhi nasab yang dijelaskan dengan detail, tetapi saya tidak ingin memperpanjang pembahasan ini.

Apa yang telah disebutkan sudah cukup untuk menjelaskan masalah ini.

Adapun cacat yang ditolak dalam nasab adalah cacat yang diberikan tanpa bukti dan penjelasan yang jelas, baik karena kebodohan atau karena ada kepentingan tertentu.

Cacat seperti ini tidak dapat diterima.

Jika setiap cacat yang tidak dijelaskan dengan detail diterima, maka tidak ada satu pun nasab yang dapat dianggap aman.

Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang cenderung cepat mencela orang lain karena alasan yang sangat lemah.

Para ulama telah menetapkan kaidah bahwa seseorang tidak dapat ditolak nasabnya yang telah terbukti dengan syuhrah dan istifadhah kecuali dengan cacat yang dijelaskan dengan detail oleh orang-orang yang ahli dalam bidang nasab dan tidak menyalahi ijma'." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.64-65)

ومن أمثلة الجرح المردود في النسب  

طعن الفقيه محمد بن يحيى الجرجاني الحنفي (ت: 398هـ) في نسب الإمام الشافعي، وزعم أنه مولى قريش، وقلده الفقيه محمد زاهد الكوثري الحنفي (ت: 1371هـ).  

ونصُّ الجرجاني: «إن أصحاب مالك لا يُسلِّمون أن نسب الشافعي من قريش، بل يزعمون: أن شافعًا كان مولىً لأبي لهب، فطلب من عمر أن يجعله من موالي قريش، فامتنع، فطلب من عثمان ذلك ففعل، فعلى هذا فالتقريب يكون الشافعي من الموالي، لا من قريش».  

قلتُ: هذا الجرح مردود، لا يستند دليلٌ، ولا يُلتفت إليه، لأسباب:  

أولها: مخالفة المشهور المستفيض من كون الإمام الشافعي قرشيًا مطَّلبِيًّا، وشهرته بالنسبة القرشي مبسوطة في كتب الأنساب والتواريخ والتراجم وغيرها.  

الثاني: مخالفته إجماع العلماء على قرشية الإمام الشافعي، قال الإمام النووي (ت: 676هـ):  

«الشافعيُّ ﷺ قرشيٌّ مُطَّلبيٌّ بإجماع أهل النقل من جميع الطوائف».  

الثالث: أن الجرجاني نسب الطعون لأصحاب الإمام مالك، ولم يسمِّ منهم أحدًا، وهذه إحالـةٌ لِمُبهَمٍ، والمبهَمُ نَوعٌ من أنواع المجهول، والمجهول لا يُقبل نقلُه ولا يُعتد به. قال الحافظ ابن كثير الدمشقي (ت: 774هـ):  

«الهمذاني لم يُسَمَّ، أو مَن يُسمّي ولا نعرف عينَه، فهذه ممن لا تُقبل روايته ألبتة».  

وقال الحافظ ابن حجر العسقلاني (ت: 852هـ):  

«ومن يُهمِل اسمه لا نعرف عينَه، فكيف نعرف عدالته؟!»  

الرابع: أنه صادر عن هوى وتَعَصُّبٍ مذهبيٍّ، لأن الإمام الشافعي انتقد الإمام أبا حنيفة وأصحابه، فحمله ذلك على الطعن في نسبه.  

"Contoh cacat yang ditolak dalam nasab adalah:

Kritik dari ahli fikih Muhammad bin Yahya Al-Jurjani Al-Hanafi (wafat 398 H) terhadap nasab Imam Syafi'i, yang mengklaim bahwa Imam Syafi'i adalah seorang maula (budak yang dibebaskan) Quraisy.

Klaim ini diikuti oleh ahli fikih Muhammad Zahid Al-Kautsari Al-Hanafi (wafat 1371 H).

Teks pernyataan Al-Jurjani adalah: "Para pengikut Imam Malik tidak mengakui bahwa nasab Imam Syafi'i berasal dari Quraisy.

Mereka mengklaim bahwa Syafi' adalah budak Abu Lahab, dan dia meminta Umar untuk memasukkannya ke dalam golongan maula Quraisy, tetapi Umar menolak.

Lalu dia meminta Utsman untuk melakukan hal itu, dan Utsman melakukannya.

Jadi, berdasarkan hal ini, Imam Syafi'i adalah seorang maula, bukan orang Quraisy."

Saya katakan: Kritik ini tidak dapat diterima karena tidak didasarkan pada bukti yang jelas dan tidak dapat dipercaya karena beberapa alasan:

1. Kritik ini bertentangan dengan pendapat yang terkenal dan tersebar luas bahwa Imam Syafi'i adalah orang Quraisy yang berasal dari kabilah Bani Muttalib.

Ketenaran nasab Imam Syafi'i sebagai orang Quraisy telah disebutkan dalam berbagai kitab nasab, sejarah, dan biografi.

2. Kritik ini juga bertentangan dengan ijma' (kesepakatan) ulama bahwa Imam Syafi'i adalah orang Quraisy.

Imam An-Nawawi (wafat 676 H) mengatakan: "Imam Syafi'i adalah orang Quraisy yang berasal dari kabilah Bani Muttalib berdasarkan ijma' para ahli sejarah dari berbagai golongan."

3. Al-Jurjani menisbatkan kritik ini kepada pengikut Imam Malik tanpa menyebutkan nama spesifik.

Ini adalah rujukan yang tidak jelas dan tidak dapat diterima.

Rujukan yang tidak jelas tidak dapat dijadikan sebagai bukti.

4. Kritik ini kemungkinan besar didorong oleh fanatisme mazhab, karena Imam Syafi'i telah mengkritik Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya.

Hal ini mungkin memotivasi Al-Jurjani untuk mencela nasab Imam Syafi'i." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.84-85)

َأَمَّا الْأَسْبَابُ الدَّافِعَةُ إِلَيْهَا، فَمِنْهَا

١. تَطَلُّعُ ذٰلِكَ الشَّخْصِ إِلَى مَكَارِمِ لَيْسَتْ لَهُ، كَالشَّرَفِ بِعُلُوِّ النَّسَبِ، كَالاِنْتِمَاءِ إِلَى الدَّوْحَةِ الْعُلْوِيَّةِ الْهَاشِمِيَّةِ، أَوْ كَسْبِ مَآثِرَ حَمِيدَةً كَالْجُودِ وَالْكَرَمِ وَالشَّجَاعَةِ، مِمَّا كَانَتْ تَتَصِفُ بِهِ الْقَبَائِلُ الْعَرَبِيَّةُ.  

٢. تَحْقِيقُ الْمَآرِبِ السِّيَاسِيَّةِ، وَذٰلِكَ لِمَا يَتَمَتَّعُ بِهِ الْمُنْتَسِبُ إِلَى دَوْحَةِ الشَّرَفِ فِي النَّسَبِ وَالْحَسَبِ مِنْ مَكَانَةٍ اِجْتِمَاعِيَّةٍ عَالِيَةٍ، يَسْهُلُ بِهَا إِقْنَاعُ الْغَوْغَاءِ بِاِتِّبَاعِهِ وَالسَّيْرِ خَلْفَ أَطْمَاعِهِ، وَقَدِ ادَّعَى طَاغِيَةُ الزَّنْجِ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الْعَبْدِيُّ بِأَنَّهُ عَلَوِيٌّ هَاشِمِيٌّ (١)، كَمَا مَرَّ، وَادَّعَى عُبَيْدُ اللهِ مُؤَسِّسُ الدَّوْلَةِ الْعُبَيْدِيَّةِ بِمِصْرَ بِأَنَّهُ عَلَوِيٌّ هَاشِمِيٌّ، وَتَصَدَّى عُلَمَاءُ ذٰلِكَ الزَّمَانِ لِكَشْفِ هٰذَا الزَّيْفِ وَالْبُهْتَانِ.  

"Adapun keberadaan nasab-nasab yang dicegah  (pemalsuannya) , di antaranya:

1. Keinginan seseorang untuk memiliki kemuliaan yang tidak dimilikinya, seperti kehormatan karena nasab yang tinggi, misalnya mengaku sebagai keturunan dari keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang termasuk dalam kelompok Hasyimiyah, atau ingin mendapatkan sifat-sifat terpuji seperti kedermawanan, kemurahan hati, dan keberanian yang menjadi ciri khas suku Arab.

2. Untuk mencapai tujuan-tujuan politik, karena orang yang memiliki nasab yang mulia dan terhormat akan memiliki kedudukan sosial yang tinggi, sehingga memudahkan baginya untuk mempengaruhi orang-orang awam agar mengikutinya dan memenuhi ambisinya.

Contohnya, pendiri Dinasti Zanji yang bernama Muhammad bin Ali Al-Abdi mengaku sebagai keturunan keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kelompok Hasyimiyah.

Demikian pula Ubaidillah, pendiri Dinasti Ubaidiyah di Mesir, mengaku sebagai keturunan keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kelompok Hasyimiyah.

Namun, para ulama pada masa itu telah berupaya untuk mengungkapkan kepalsuan klaim mereka." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.86). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini  menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG SYUHRAH WAL ISTIFADHAH DALAM PENENTUAN NASAB





Menetapkan nasab dengan syuhrah wal istifadhah (kemasyhuran dan penyebaran luas) adalah sebuah metode yang menetapkan garis keturunan berdasarkan ketenaran yang telah berlangsung lama dan diterima secara umum di kalangan masyarakat. Metode ini sah apabila tidak ada dalil atau bukti yang menyangkalnya. Contoh penerapannya adalah pengakuan nasab seorang tokoh yang silsilahnya populer dan diakui oleh banyak ahli nasab dari generasi ke generasi. 

Syarat dan ketentuan

Ketenaran yang berkelanjutan: 

1. Kemasyhuran nasab harus sudah ada dan populer sejak lama, serta tidak bertentangan dengan catatan nasab dari masa sebelumnya.

2. Tidak ada dalil penentang: Penetapan nasab menggunakan metode ini hanya sah jika tidak ada bukti-bukti atau kitab-kitab nasab yang jelas-jelas menentangnya atau memberikan kontradiksi.

3. Penyebaran yang luas: "Istifadhah" merujuk pada penyebaran informasi yang luas di kalangan masyarakat, tidak hanya terbatas pada lingkungan tertentu. 

Contoh kasus

1. Imam Ahmad bin Hanbal: Nasabnya diakui sebagai keturunan 'Adnani karena sangat populer dan diakui secara luas oleh ahli nasab, meskipun ada perdebatan tentang sebagian silsilahnya.

2. Klaim nasab Ba'alawi: Beberapa pendapat menyatakan metode ini tidak dapat diterapkan untuk menetapkan nasab Ba'alawi karena adanya kontradiksi dengan catatan sejarah nasab yang lebih tua dan ketidaksesuaian dengan syarat-syarat syuhrah wal istifadhah. 

Kenapa klaim nasab Ba'alawi tidak bisa ditetapkan dengan hanya melalui syuhrah wal istifadhah saja? Karena keberadanya bertentangan dengan catatan sejarah yang lebih tua dan tidak seauai dengan syarat-syarat syuhrah wal istifadhah. Hal ini terdapat penjelasan dari Asy-Syarif Ibrahim bin Manshur dalam kitab karyanya Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduhb berikut ini, 

قَاعِدَةُ الشُّهْرَةِ وَالِاسْتِفَاضَةِ بِالنَّسَبِ  

تَعْرِيفُهَا، وَدَلِيلُ حُجِّيَّتِهَا  

الأصل في باب ثبوت الأنساب ونفيها قاعدة الشهرة والاستفاضة التي عليها مدار الإثبات والنفي بإجماع علماء الإسلام، وهي الطريقة الشرعية لإثبات اتصال النسب، وقد دلّ عليها النبي ﷺ لمعرفة أنسابنا وصيانتها، وشرحها أئمة الإسلام، وأجمعت فهومهم عليها، ولا تُعرف مخالفة أحد من أهل السنة والجماعة فيها، ولا من غيرهم؛ فأئمة المذاهب الأربعة متفقون على ثبوت النسب بالاستفاضة(١)، وهو كذلك قول جمع كبير من الشيعة، كالفقیه الحسن بن يوسف الحلي (ت: 648هـ)، حيث يقول: «واعلم أن النسب يثبت بالتسامح من قوم لا ينحصرون عند الشاهد، فيشهد به؛ إذ لا يمكن رؤيته وإن كان من الأم»(١)، وكذلك الزيدية فإنهم يثبتون الأنساب بالشهرة والاستفاضة، وقد أشار إلى ذلك العلامة الصنعاني (ت: 1182هـ) بقوله: «وإلى العمل بالشهرة في النسب ذهب الهادوية»(٢).  

"Definisi dan Dalil tentang Kuatnya Syuhrah dan Istifadah dalam Nasab

Pada dasarnya, dalam masalah penetapan dan penolakan nasab, terdapat kaidah syuhrah dan istifadhah yang menjadi rujukan utama para ulama Islam dalam menetapkan dan menolak nasab.

Metode ini adalah cara yang syar'i untuk menetapkan hubungan nasab.

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan cara untuk mengetahui dan memelihara nasab kita.

Para imam Islam telah menjelaskan dan sepakat tentang hal ini.

Tidak ada seorang pun dari Ahlussunnah wal Jamaah yang menyelisihi kaidah ini, bahkan para imam mazhab yang empat sepakat bahwa nasab dapat ditetapkan dengan istifadhah (kesepakatan banyak orang).

Hal ini juga merupakan pendapat sejumlah besar ulama Syiah, seperti al-Faqih al-Hasan bin Yusuf al-Hilli (wafat 648 H) yang berkata:

"Ketahuilah bahwa nasab dapat ditetapkan dengan kesepakatan banyak orang yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga dapat dijadikan sebagai bukti.

Karena tidak mungkin mengetahui nasab secara langsung, meskipun itu termasuk hal yang dapat diketahui secara pasti."

Demikian pula pendapat Zaidiyah, mereka juga menetapkan nasab dengan syuhrah dan istifadhah.

Al-'Allamah Ash-Shan'ani (wafat 1182 H) telah mengisyaratkan hal ini dengan mengatakan:

"Dan termasuk pendapat Al-Hadiyah adalah beramal dengan syuhrah dalam nasab." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.32-33)

*تَعْرِيفُ الشُّهْرَةِ وَالِاسْتِفَاضَةِ بِالنَّسَبِ:*  

*الشُّهْرَةُ:* تعني ظهور الشيء وانتشاره ووضوحه(٣)، ورجلٌ شَهيرٌ ومَشْهورٌ، معروف المكان مذكور. والمشهور: هو المستفيض على رأي بعض الفقهاء، سُمِّيَ بذلك لاِنتشاره وشُيُوعه في الناس(٥).  

ومثال الشُّهْرَةِ في النَّسَبِ: أن يكون فلان بن فلان شُهِرَةً في حيٍّ واحدٍ بمكة أنه قرشيٌّ، ولا تعرفه بقية أحياء مكة. فهذا النسب له شُهْرَةٌ، وليس له استفاضة.  

وَكَشُهْرَةِ الحافظ ابن الجزري في الوسط العلميّ أنّه قرشيٌّ، أمّا العوامُّ فَجُهْلُهُم لا يعرفون ذلك، فنسبه القرشيّ إذاً له شُهْرَةٌ، وليس له استفاضة في غير الوسط العلمي.

*وأمّا الاسْتِفَاضَةُ:* فهي مصدر استفاض، يقال: استفاض الحديث والخبر، بمعنى ذاعَ وانتشر في الناس مثل الماء المستفيض(١)، مأخوذة من فَيْضِ الماءِ لكَثْرَتِهِ(٢)، ومنه: الحَدَثُ المستفيض، سُمِّيَ بذلك لوضوحه، وتَعْنِي اتِّسَاعَ دَائِرَةِ شُهْرَتِهِ، وهي مرتبة فوق الشهرة.  

ومثال استفاضة النسب: أن يكون فلان بن فلان شُهِرَةً في كافة أحياء مكة أنه قرشيٌّ، فهذا له شُهْرَةٌ واستفاضة، لاِتسَاع دائرة شُهْرَتِهِ عن الأول، فالأوَّل: له شُهْرَةٌ في حيٍّ واحدٍ بمكة، والثاني: له شُهْرَةٌ في كل أحياء مكة.  

وكأبي بكر الصديق رضي الله عنه، له شُهْرَةٌ في الوسط العلمي أنه قرشيٌّ، وكذلك العوام في العالم الإسلامي يعرفون أنه قرشيٌّ، فلهِ أبي بكر إذًا: شُهْرَةٌ واستفاضة.  

"Definisi Syuhrah dan Istifadah dalam Nasab:

Syuhrah berarti sesuatu yang tampak, tersebar, dan jelas.

Seseorang yang terkenal dan masyhur, tempatnya diketahui dan disebut-sebut.

Menurut beberapa ulama fikih, masyhur adalah sesuatu yang tersebar luas.

Istilah ini digunakan karena sesuatu itu tersebar dan terkenal di kalangan masyarakat.

Contoh syuhrah dalam nasab adalah ketika seseorang dikenal sebagai keturunan tertentu di sebuah wilayah atau komunitas tertentu, tetapi tidak dikenal di luar wilayah atau komunitas tersebut.

Misalnya, seseorang dikenal sebagai orang Quraisy di sebuah kampung di Makkah, tetapi tidak dikenal sebagai orang Quraisy di kampung-kampung lain di Makkah.

Dalam kasus ini, nasabnya memiliki syuhrah, tetapi tidak memiliki istifadhah.

Contoh lain adalah seperti Imam Ibnu Al-Jaziri yang terkenal sebagai orang Quraisy di kalangan ulama, tetapi tidak dikenal sebagai orang Quraisy oleh masyarakat awam.

Dalam kasus ini, nasabnya memiliki syuhrah, tetapi tidak memiliki istifadhah di luar kalangan ulama.

Istifadah adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tersebar luas dan terkenal di kalangan masyarakat, seperti air yang mengalir deras.

Istilah ini digunakan karena sesuatu itu sangat jelas dan tersebar luas.

Dalam konteks nasab, istifadhah berarti bahwa seseorang dikenal sebagai keturunan tertentu di kalangan masyarakat luas, tidak hanya di sebuah wilayah atau komunitas tertentu.

Contoh istifadhah dalam nasab adalah ketika seseorang dikenal sebagai orang Quraisy di seluruh kota Makkah, bukan hanya di sebuah kampung tertentu.

Dalam kasus ini, nasabnya memiliki syuhrah dan istifadhah.

Contoh lain adalah seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu yang terkenal sebagai orang Quraisy di kalangan ulama dan masyarakat awam di seluruh dunia Islam.

Dalam kasus ini, nasabnya memiliki syuhrah dan istifadhah." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.34-35)

Lebih lanjut Asy-Syarif Ibrahim bin Manshur menjelaskan bahwa syuhrah itu ada yang shahih (benar adanya) dan ada yang dipertanyakan kebenarannya sebagaimana berikut,

الشُّهْرَةُ الصَّحِيْحَةُ وَالشُّهْرَةُ الْمَطْعُوْنُ فِيْهَا  

ليس كلُّ شُهْرَةٍ في النَّسَب صحيحةٌ، بل الشهرة في النَّسَب قد تكون صحيحةً، وقد تكون مطعونًا فيها.  

فأمّا *الشهرة الصحيحة* فهي التي انعقد عليها إجماع الناس في تلك المدينة ونحوها، وسلِمت من الطعن المُفْسِد، كأنساب الخلفاء الأمويين والعباسيين، وأمراء مكة والمدينة المنتمين من الأشراف، فإنها صحيحة، لا يُعلَم فيها طعنٌ فادح في البيِّنة.  

وأمّا *الشهرة المطعون فيها* فهي الشهرة الحادثة التي لا أصل لها، كالشُّهرة التي قامت على وَهْمٍ وشُبْهَةٍ، أو التي استندت إلى شهادة نَسَّابين أو مؤرخين لا يُعتدُّ بهم لفسادهم أو تساهلهم في ضَبْط أنسابهم، أو قامت على شهادة أفراد متساهلين من القبيلة المنتسب إليها، ومع مرور هذه الشهادات سنين وذهاب الجيل الذي يعرف أصل هذا النسب، اختلط الأمر على الناس، لأسباب أهمها: الجهل، فأصبح العوام والخواص يتداولون بالنسب الحادث.  

مِثَالٌ عَلَى الشُّهْرَةِ وَالِاسْتِفَاضَةِ الْحَادِثَةِ الَّتِي لَا أَصْلَ لَهَا:  

البيت الطبري المكي الذي أنجب جماعةً كبارًا من العلماء، والأئمة، والخطباء، والأعيان بمكة، فقد عُرِف أعلامه في أواخر القرن التاسع الهجري بكتاب التاريخ بالنسب العلوي الحسنيّ، واستفاض هذا النسب بعد ذلك في المجتمع المكي لدرجة القطعية بصحته كما قال القاضي جعفر لبني المكي (ت: ١٣٤٢هـ).  

وهي في الحقيقة دعوى حادثة لا أصل لها في كتب المتقدمين، وأول من لفت الانتباه إليها هو المؤرخ عمر بن محمد بن فهد القرشي المكي (ت: ٨٨٥هـ)، حينما ترجم للشيخ الهادي الطبري (ت: ٨٤٥هـ) فقال:  

> السيد الهادي بن أبي اليمن محمد بن أحمد بن الرضي إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، هَكَذَا رَأَيْتُ نَسَبَهُ فِي تَرْجَمَةِ وَالِدِهِ وَأَجْدَادِهِ فِي عِدَّةٍ مِنَ الْكُتُبِ وَالتَّوَارِيخِ وَلَمْ يَزِدْ أَحَدٌ مِنْهُم فِي النَّسَبِ عَلَى ذَلِكَ.  

"Syuhrah (ketenaran suatu nasab berdasarkan kesepakatan masyarakat) ada dua macam: syuhrah yang shahih dan syuhrah yang dipertanyakan.

Tidak semua syuhrah dalam nasab itu benar, karena syuhrah dalam nasab bisa jadi benar dan bisa jadi dipertanyakan.

Syuhrah yang shahih adalah kesepakatan masyarakat di suatu kota atau sekitarnya tentang suatu nasab, dan tidak ada celaan yang dapat merusak kesepakatan tersebut.

Contohnya adalah nasab khalifah Umayyah dan Abbasiyah, serta para pemimpin Makkah dan Madinah yang merupakan keturunan dari keluarga terhormat (Al-Asyraf).

Nasab-nasab ini dianggap shahih karena tidak ada bukti yang kuat yang dapat meragukan keshahihannya.

Syuhrah yang dipertanyakan (kebenarannya) adalah syuhrah yang baru muncul dan tidak memiliki dasar yang kuat.

Contohnya adalah syuhrah yang muncul karena kesalahan atau keraguan, atau karena didasarkan pada kesaksian orang-orang yang tidak dapat dipercaya karena kefasikannya atau ketidakakuratan dalam mencatat nasab.

Syuhrah juga dapat muncul karena kesaksian beberapa individu dari suku yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang nasab tersebut.

Setelah beberapa generasi berlalu dan orang-orang yang mengetahui asal-usul nasab tersebut telah meninggal, maka nasab tersebut menjadi tidak jelas dan dipertanyakan.

Contoh syuhrah yang tidak memiliki dasar adalah keluarga Thabari Al-Makki yang melahirkan banyak ulama, imam, dan tokoh terkenal di Makkah.

Mereka dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui jalur Hasan bin Ali pada akhir abad ke-9 Hijriyah.

Namun, klaim ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh ulama terdahulu.

Seorang sejarawan bernama Umar bin Muhammad bin Fahd Al-Qurasyi Al-Makki (wafat 885 H) adalah orang pertama yang menyangkal klaim ini ketika menulis biografi Syaikh Al-Hadi At-Thabari (wafat 845 H)." 

(Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.46-47)

ثُمَّ رَأَيْتُ بِخَطِّ الرَّضِيِّ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُحَبِّ، وَوَالِدُهُ زِيَادَةً عَلَى ذَلِكَ، وَهِيَ: أَبُو بَكْرِ بْنُ عَلِيٍّ بْنِ فَارِسِ بْنِ يُوسُفَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ الْحُسَيْنِيِّ الطَّبَرِيِّ.  

وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ دَعْوَى الْمُتَأَخِّرِينَ مِنَ الطَّبَرِيِّينَ بِالنَّسَبِ الْحُسَيْنِيِّ الْعَلَوِيِّ حَادِثَةٌ لَا أَصْلَ لَهَا: أَنَّ كُتُبَ التَّوَارِيخِ الْمُتَقَدِّمَةَ الَّتِي عُنِيَتْ بِرَفْعِ الْأَنْسَابِ إِلَى أُصُولِهَا، لَمْ تَرْفَعْ نَسَبَ الطَّبَرِيِّينَ إِلَى النَّسَبِ الْعَلَوِيِّ الْحُسَيْنِيِّ، وَكَذَا الشَّوَاهِدُ الْحَجَرِيَّةُ الْمَنْقُوشَةُ فِيهَا أَسْمَاءُ الطَّبَرِيِّينَ وَنَسَبُهُمْ، لَمْ تَرْفَعْ نَسَبَهُمْ إِلَى الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ﷺ، بَلْ لَيْسَ فِيهَا إِشَارَةٌ إِلَيْهِ.  

وَكَانَ يُقَالُ **السَّيِّدُ أَحْمَدُ** أَوِ **الشَّرِيفُ أَحْمَدُ** كَمَا هُوَ شَائِعٌ فِي الْمُجْتَمَعِ الْمَكِّيِّ وَغَيْرِهِ، وَمَنْصُوصٌ عَلَيْهِ فِي الشَّوَاهِدِ الْحَجَرِيَّةِ.  

لَيْسَ هَذَا فَحَسْبُ، بَلْ إِنَّ عَمُودَ نَسَبِ الطَّبَرِيِّينَ إِلَى عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ﷺ مُرَكَّبٌ لَا يَصِحُّ، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ الْحُسَيْنَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ اسْمُهُ عَبْدُ الْوَاحِدِ، وَإِنَّمَا لَهُ: عَلِيٌّ الْأَكْبَرُ قُتِلَ مَعَ أَبِيهِ، وَلَمْ يُعَقِّبْ بِالْإِجْمَاعِ، وَعَبْدُ اللَّهِ قُتِلَ مَعَ أَبِيهِ صَغِيرًا، وَعَلِيٌّ الْأَصْغَرُ زين العابدين معقب وجعفر لا بقية له وابو بكر مات صغيرا قبل ابيه وقيل إن ابا بكر جعفر 

"Kemudian saya melihat dalam tulisan Ar-Radhi Muhammad bin Al-Muhib, dan ayahnya menambah lebih dari itu, yaitu: "Abu Bakar bin Ali bin Faris bin Yusuf bin Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdul Wahid bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Al-Husaini At-Thabari".

Apa yang menunjukkan bahwa klaim keturunan Alawi Husaini oleh Thabariyah pada masa kemudian adalah klaim yang tidak memiliki dasar adalah bahwa kitab-kitab sejarah terdahulu yang membahas tentang nasab tidak ada yang menyebutkan nasab Thabariyah sampai pada keturunan Husaini Al-'Alawi.

Demikian pula prasasti-prasasti batu yang tertulis dengan nama-nama Thabariyah dan nasab mereka, tidak ada yang menyebutkan nasab mereka sampai pada Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bahkan tidak ada sedikit pun isyarat tentang hal itu.

Mereka hanya disebut dengan "Sayyid Ahmad" atau "Syarif Ahmad", sebagaimana yang umum di masyarakat Makkah dan lain-lain, dan tertulis dalam prasasti-prasasti batu.

Tidak hanya itu, bahkan silsilah nasab Thabariyah sampai pada Abdul Wahid bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah silsilah yang tidak shahih.

Bukti atas hal itu adalah bahwa sesungguhnya Al-Husain tidak memiliki anak laki-laki yang bernama Abdul Wahid.

Anak-anak laki-laki Al-Husain yang diketahui adalah:

1. Ali Al-Akbar yang terbunuh bersama ayahnya dan tidak meninggalkan keturunan berdasarkan ijma'.

2. Abdullah yang terbunuh bersama ayahnya saat masih kecil.

3. Ali Al-Asghar, yang juga dikenal sebagai Zayn Al-Abidin, memiliki keturunan.

4. Ja'far tidak memiliki keturunan yang tersisa.

5. Abu Bakar meninggal saat masih kecil sebelum ayahnya, dan ada juga yang mengatakan bahwa Abu Bakar adalah Ja'far." (Al-Madkhal fi Ilmi An-Nasab wa Qawaiduh, Syarif Ibrahim bin Manshur Al-Hasyimi Al-Amin, hal.48-49)

Dapat disimpulkan dari keterangan diatas bahwa penetapan nasab hanya berdasarkan syuhrah wal Istifadhah tanpa adanya penguat catatan sejarah tidak bisa dijadikan sebagai klaim kebenaran nasab seseorang, apalagi jika syuhrah wal istifadhah (masyhur dan terkenal luas) hanya dikalangan tertentu. Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Rabu, 22 Oktober 2025

APEL HARI SANTRI NASIONAL 2025




Cipayung – Mustasyar MWC NU Cipayung, H. Asimun Mas'ud, mewakili Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta KH. Lukman Hakim Hamid (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamid Cilangkap), sebagai Pembina Apel Hari Santri Nasional 2025 yang digelar di halaman Kantor Urusan Agama (KUA) Cipayung, Rabu (22/10/2025).

Kegiatan ini berlangsung khidmat dan diikuti ratusan peserta apel dari jajaran Pengurus dan Banom NU , Muslimat, Fatayat, Anshor dan Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) yang terdiri dari pimpinan tiga pilar di tingkat kecamatan, yaitu Camat, Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek), Komandan Rayon Militer (Danramil) dan Kepala KUA sebagai tuan rumah tempat yang dipilih dalam pelaksanaan Apel Hari Santri Nasional tahun ini.

Pada kesempatan tersebut, H. Asimun Mas'ud membacakan naskah Amanat Hari Santri 2025 dalam acara apel Hari Santri Nasional yang dilaksanakan di halaman KUA Cipayung.

Peringatan Hari Santri Nasional tahun 2025 ini mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, sekaligus menjadi momentum peringatan 10 tahun penetapan Hari Santri sejak tahun 2015 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2015.

Dalam amanat yang dibacakan, H. Asimun Mas'ud menyampaikan bahwa Hari Santri tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi juga momen refleksi akan sejarah perjuangan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Penetapan Hari Santri merujuk pada peristiwa heroik Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dicetuskan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari, yang menyerukan kewajiban berjihad bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan negara dari ancaman penjajahan.

“Resolusi Jihad itulah yang membakar semangat perjuangan rakyat Indonesia, hingga memicu pertempuran monumental 10 November 1945 di Surabaya yang kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan,” demikian amanat yang dibacakan Mustasyar MWC NU Cipayung.

Dalam amanat Hari Santri Nasional 2025, pesantren dinilai memiliki peran besar dalam sejarah pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Bahkan sebelum kemerdekaan, pesantren telah menjadi pusat penyebaran ilmu keislaman, akhlak, dan perjuangan kebangsaan.

Kini peran santri semakin strategis, tidak hanya dalam bidang keagamaan tetapi juga pendidikan, ekonomi, teknologi dan kepemimpinan.

“Santri memiliki peran historis yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana para santri dan ulama berjuang mempertahankan kedaulatan negara ini dengan mengorbankan tenaga, pikiran, bahkan jiwa mereka. Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti nyata bahwa jihad bagi santri adalah perjuangan membela agama dan tanah air dari segala bentuk penjajahan dan ketidakadilan."

Dalam naskah amanat yang dibacakan, H. Asimun Mas'ud juga menegaskan pula akan peran santri kini semakin luas. Mereka hadir di berbagai bidang, pendidikan, kesehatan, sosial, hingga inovasi teknologi, membawa nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. 

Di zaman sekarang, jihad para santri tidak lagi berbentuk angkat senjata. Jihad yang kita perjuangkan adalah jihad menuntut ilmu, jihad melawan kebodohan, jihad melawan kemiskinan, dan jihad melawan segala bentuk kerusakan moral yang dapat mengancam generasi kita.

Sebagai santri, kita dituntut untuk berjuang keras dalam meningkatkan ilmu dan memperbaiki akhlak. Jihad menuntut ilmu adalah salah satu bentuk jihad terbesar di era modern ini. Dengan ilmu, kita mampu berkontribusi lebih banyak untuk masyarakat, memperbaiki kualitas hidup, dan menjaga keharmonisan bangsa. Ilmu adalah senjata paling kuat dalam menghadapi tantangan globalisasi, perkembangan teknologi, dan persaingan internasional." Demikian isi Amanat Hari Santri Nasional tahun ini.

Sementara Camat Cipayung H. Panangaran Ritonga dalam sambutannya menyampaikan apresiasi yang mendalam pada pelaksanaan apel Hari Santri Nasional 2025 yang merupakan tahun pertama MWC NU Cipayung melaksanakannya dan sangat berharap tahun depan bisa lebih meriah lagi sebagai bukti dan landasan dalam memperkokoh ukhuwah dalam rangka membawa misi islami yang rahmatan lil'alamin.

"Pada tanggal 22 Oktober 1945 Hadhratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari telah menulis fatwa resolusi jihad untuk mengajak segenap santri untuk turut serta melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan RI dan saat ini kita berjuang bukan dalam bentuk jihad perang tetapi dalam mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan yang kita terima semasa kita belajar di pesantren, yaitu nilai-nilai luhur yang harus kita teruskan sebagaimana Rasulullah diutus ke bumi ini, yaitu sebagai rahmatan lil'alamin." Demikian yang disampaikan.

Adapun Ust. Ali Muhammad Guntur Rois Syuriah MWC NU Cipayung berharap keluarga besar nahdliyin Kecamatan Cipayung bisa bertambah erat, bertambah kuat bisa menghindari dari perpecahan dan perbedaan. Juga mengakui sebagai pimpinan pengurus MWC NU Cipayung masih jauh dari sempurna termasuk dalam pelaksanaan apel Hari Santri Nasional tahun ini.

Sebagai penutup pembacaan doa yang dipimpin oleh Kepala KUA Cipayung Ust. Ahmad Zaidun, S.Ag mengakhiri rangkaian apel peringatan Hari Santri Nasional 2025. Demikian Asimun Mas'ud melaporkan

Senin, 13 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG KEHARUSAN MENGINGATKAN HABAIB YANG MENYIMPANG




"Al-Fushul Al-Ilmiyyah" adalah salah satu karya tulis dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dari sekian banyak karyanya, beliau seorang ulama besar dari Tarim, Yaman, yang dikenal sebagai pembaharu Tarekat Alawiyyah. Kitab ini berisi nasihat dan petuah yang berfokus pada tasawuf dan bertujuan membimbing umat menuju akhlak mulia dengan meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Beliau dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim), dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.

Dalam pandangan penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid (pembaharu) abad 11 H. pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. 

Dalam salah satu kitab karyanya beliau menyampaikan,

الفصل الحادي والعشرون  

لا ينبغي لأحدٍ ممن يعول عليه أن يعظِّم ولا أن يُثني على الجاهل، وإن كان ممن له نسب شريف وسلف صالح، فإنَّ تعظيمه والثناء عليه في الظاهر قد يَفْتِنُهُ في دينه، ويغره بالله ويزهده في العمل الصالح، ويلهيه عن التزود لآخرته، ويكون الذي يعظمه ويثني عليه سبباً في فتنته وغروره، كالساعي في هلاكه. فيُستوجب بذلك السَّخَط من الله ورسوله ومن السلف الصالحين الذين يُنسب إليهم ويُشَرَّفُ بهم ذلك الجاهل. وكيف يَغْتَرُّ أحدٌ يُنسب بمجرد عن التقوى، أو يعتمد عليه بعد قول رسول الله ﷺ: يا فاطمة بنت محمد، لا أغني عنك من الله شيئاً. الحديث الصحيح، وفيه: يا بني عبد المطلب، يا فلان يا فلان من قرابته عليه السلام، ثم يخصّ مضرّة المدح وفتنته على الجاهل عظيمة، وقد أُتي رجل على آخر عند رسول الله ﷺ، فقال: «ويلك قطعت عنق أخيك لو سمعها ما أفلح». الحديث. وقال عليه الصلاة والسلام: «لأن يمشي أحدكم إلى أخيه فيسكنه مرفق خير له من أن يُثني عليه في وجهه».  

Bab 21: Tidak Mengagungkan dan Memuji Orang Bodoh

Tidak sepantasnya bagi seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan untuk mengagungkan atau memuji orang bodoh, meskipun orang tersebut memiliki nasab yang mulia dan leluhur yang saleh.

Sebab, mengagungkan dan memuji secara lahiriah dapat membuat orang bodoh itu terfitnah dalam agamanya, merasa sombong di hadapan Allah, malas beramal saleh, dan lalai dari bekal untuk akhiratnya.

Orang yang mengagungkan dan memujinya justru menjadi penyebab fitnah dan kesombongannya, seperti orang yang berupaya menghancurkan dirinya sendiri.

Dengan demikian, orang tersebut berhak mendapatkan kemurkaan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang saleh yang diagungkan dan dihormati oleh orang bodoh itu.

Bagaimana mungkin seseorang yang hanya dinilai dari nasabnya merasa sombong, padahal ia tidak memiliki ketakwaan?

Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada nasabnya setelah mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya, Fathimah, "Wahai Fathimah binti Muhammad, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepadamu di sisi Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Wahai Bani Abdul Muththalib! Wahai fulan! Wahai fulan!" (beliau menyebutkan beberapa nama kerabatnya).

Akan tetapi, dampak negatif dari pujian dan fitnah terhadap orang bodoh sangatlah besar.

Suatu ketika, ada seseorang yang memuji orang lain di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Celaka kamu, kamu telah memenggal leher saudaramu! Jika dia mendengar pujianmu itu, niscaya dia tidak akan beruntung selamanya." (HR. Bukhari)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Sungguh, jika salah seorang di antara kalian berjalan menuju saudaranya untuk menenangkan dan menolongnya, itu lebih baik baginya daripada memujinya di hadapannya." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.87)

Sayyid Abdullah Al-Haddad. Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju atas anggapan bahwa keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dipastikan masuk surga meskipun melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama.

فيقول هؤلاء أهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورسول الله شفيع لهم، ولعل الذنوب لا تضرهم، وهذا قول شنيع، يضر القائل به نفسه، ويضر به غيره من الجاهلين، وكيف يقول أحد ذالك وفي كتاب الله العزيز ما يدل غلى اهل أن أهل البيت يضاعف لهم الثواب على الحسنات، والعقاب على السيئات.

“Ada yang mengatakan, ”Biarlah, mereka adalah dari Ahlul Bait, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Qurán, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya.” (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.88)

﴿يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ﴾ الآية، والآية التي بعدها، ونساؤه من أهل بيته ﷺ.  

ومن قال أو ظنَّ أن ترك الطاعات، وفعل المعاصي لا يضر أحداً لشرف نسبه، أو صلاح آبائه، فقد افترى على الله الكذب، وخالف إجماع المسلمين، ولكن لأهل بيت رسول الله ﷺ شرف، ولرسول الله ﷺ بهم مزيد عناية، وقد أكثر على أمّته من الوصيةِ بهم، والحثّ على حبّهم ومودّتهم. وذلك أمرُ الله تعالى في كتابه في قوله تعالى: ﴿قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾، فعلى كافة المسلمين أن يعتقدوا حبَّهم ومودّتهم، وأن يكرّموهم ويعظّموهم من غير غلوٍّ ولا إسراف.  

ثم إنّ من كان من السادة أهل البيت على مثل أو قريب من سير سلفهم الصالح وطريقتهم المرضيّة، فهو إمام يُهتدى بأنواره، ويُقتدى بآثاره، كأئمّة المهتدين من الأئمّة المتقدّمين، مثل أمير المؤمنين الإمام عليّ بن أبي طالب، والحسن، والحسين سبطي رسول الله ﷺ، ومثل جعفر الطيّار، وسيّد الشهداء حمزة، ومثل حِجر الأُمّة عبد الله بن عبّاس، وأبيه الإمام العبّاس عمّ رسول الله ﷺ، ومثل الإمام زين العابدين عليّ بن الحسين، والإمام الباقر، وولده الإمام جعفر الصادق عليهم السلام، وأمثالهم من سلف هذا البيت المطهَّر وخلَفهم.  

"Allah berfirman: 'Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian yang melakukan perbuatan keji yang nyata, maka azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat bagi-Nya.' (QS. Al-Ahzab: 30).

Ayat ini dan ayat berikutnya menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah bagian dari Ahlul Bait beliau.

Barangsiapa yang berpendapat atau meyakini bahwa meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat tidak akan membahayakan seseorang karena kemuliaan nasabnya atau kesalehan leluhurnya, maka dia telah berbuat dusta terhadap Allah dan menyalahi ijma' (kesepakatan) kaum Muslimin.

Namun, Ahlul Bait Rasulullah memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah memiliki perhatian lebih terhadap mereka.

Beliau banyak berwasiat kepada umatnya untuk menyayangi dan mencintai mereka. Allah juga memerintahkan hal ini dalam Al-Qur'an dengan firman-Nya:

"Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepada kalian kecuali kecintaan kepada kerabatku.'" (QS. Asy-Syu'ara: 23).

Oleh karena itu, seluruh kaum Muslimin harus meyakini cinta dan kasih sayang kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka tanpa berlebihan dan melampaui batas.

Jika ada seseorang dari Ahlul Bait yang mengikuti jejak salaf (pendahulu) mereka yang saleh dan metode yang diridhai, maka dia adalah imam yang dapat diikuti petunjuk dan jejaknya, seperti para imam yang mendapat petunjuk dari kalangan terdahulu, seperti:

- Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

- Hasan dan Husein, cucu Rasulullah

- Ja'far bin Abi Thalib (Ja'far At-Thayar)

- Hamzah bin Abdul Muththalib (Sayyid Syuhada)

- Abdullah bin Abbas (ahli tafsir) dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muththalib (paman Rasulullah)

- Ali Zainal Abidin bin Husain

- Muhammad Al-Baqir dan putranya, Ja'far Ash-Shadiq

Mereka semua adalah contoh dari Ahlul Bait yang suci dan petunjuk bagi umat." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.89)

وأما من كان من أهل هذا البيت ليس على مثل طرائق أسلافهم الطاهرين، وقد دخل عليهم شيء من التخليط لعلّة الجهل، فينبغي أيضاً أن يعظّموا ويُحترموا لقرابتهم من رسول الله ﷺ، ولا يُبالَغ المتماهل للنصيحة نصحهم وحثّهم على الأخذ بما كان عليه سلفهم الصالح، من العلم والعمل الصالح، والأخلاق الحسنة، والسير المرضيّة، ويخبرهم أنهم أولى بذلك وأحقّ به من سائر الناس، وأنّ مجرد النسب لا ينفع ولا يرفع مع إضاعة التقوى، والإقبال على الدنيا، وترك الطاعات، والدنس بَدَنَس المخالفات. وقد نَظَمَ لذلك جماعةٌ من الشعراء فضلاً عن الأئمّة والعلماء، حتى قال بعضهم:  

لعمْرُكَ ما الإنسانُ إلاّ ابنُ دينِهِ  

فلا تتركِ التقوى اتّكالاً على النَّسَبِ  

فقد رفع الإسلامُ سلمانَ فارسٍ  

وقد وضعَ الشِّركُ الحسيبَ أبا لهبِ

"Adapun orang-orang dari Ahlul Bait yang tidak mengikuti jalan salaf (pendahulu) mereka yang suci, dan telah terjadi penyimpangan pada mereka karena kebodohan, maka seyogyanya mereka tetap dihormati dan diagungkan karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah ﷺ.

Namun, orang yang lalai dalam menasihati mereka tidak boleh menyerah untuk terus memberikan nasihat dan motivasi kepada mereka agar mengikuti apa yang telah dilakukan oleh salaf mereka yang saleh, yaitu berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan berperilaku terpuji.

Mereka harus diberi tahu bahwa mereka lebih utama dan lebih berhak untuk mengikuti hal tersebut daripada orang lain.

Sebab, semata-mata nasab tidak dapat memberikan manfaat atau mengangkat derajat seseorang jika dia meninggalkan ketakwaan, lebih mengutamakan dunia, meninggalkan ketaatan, dan mengotori diri dengan kemaksiatan.

Banyak penyair, ulama, dan imam yang telah merangkai kata-kata indah tentang hal ini. Salah seorang penyair berkata:

"Demi usiamu, manusia tidak lain adalah karena agamanya. Janganlah kamu meninggalkan ketakwaan hanya karena mengandalkan nasab.

Islam telah mengangkat derajat Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia, sedangkan kesyirikan telah merendahkan Abu Lahab yang memiliki nasab yang mulia." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.90). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 12 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENDIRIKAN BANGUNAN DI PEMAKAMAN UMUM (WAKAF)




Hukum membangun sebuah bangunan di makam umum adalah haram karena bisa menimbulkan kesan mengagungkan kuburan dan dapat menghabiskan lahan pemakaman yang seharusnya digunakan untuk umum. Namun, beberapa hal yang diperbolehkan antara lain memasang nisan sederhana untuk penanda identitas atau menata makam dengan cara yang tidak permanen (seperti batu biasa) dan tidak berlebihan, terutama jika tujuannya adalah untuk melindungi dari kerusakan identitas makam. 

Dalam Kitab Fath Al-Mu’in dijelaskan,

   وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.   ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه

Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan (Syekh Zainuddin Al-Maliabari, Fath al-Mu’in, hal.219).   

Lebih lanjut penjelasan Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim dalam kitab karyanya Al-Bina' 'Ala Al-Qubur sebagai berikut,

المقبرة المسبَّلة  

أما المقبرة المسبَّلة، فهي بقعة غير مملوكة، خُصِّصت للدفن، بحيث لا يجوز أن يُبنى فيها دار للسكنى أو حمّام أو مصنع أو نحو ذلك. فدخل طعام أنه كان مملوكاً، وأن المالك سيبلها للدفن، وعلمُنا أنه كان مواتاً حتى شُرع في الدفن فيه، وكذا مَن يُعلَم حاله قبل تخصيصه للدفن، لأن الأصل عدم الملك، فظاهر الحال أنه كان مواتاً حتى خُصص للدفن.  

أما طعام أنه مملوك، فإن يُعلَم أنه سيّبله فنيظر، وليس من موضوعنا، لأنه إن لم يُحكم بالتسبيلا حكم بقاء الملك عند الدفن، ويكون للورثة الاستيلاء على البقعة، ورفعها أو البناء فيها للسكنى أو غير ذلك، بعد بليّ من دُفن فيها سابقاً، إلى غير ذلك مما لا يهمّنا.  

*Pemakaman (umum) yang diwakafkan*

Adapun pemakaman yang diwakafkan, yaitu tanah yang tidak dimiliki oleh individu (wakaf), yang dikhususkan untuk tempat penguburan, sehingga tidak boleh dibangun di atasnya rumah tinggal, pemandian, pabrik, atau yang sejenisnya.

Jika diketahui bahwa tanah tersebut dulunya milik seseorang dan pemiliknya mewakafkannya untuk penguburan, serta diketahui statusnya sebelum diwakafkan, maka status tanah tersebut tetap sebagaimana asalnya.

Namun, jika tidak diketahui statusnya sebelum diwakafkan, maka yang jelas adalah tanah tersebut dianggap sebagai tanah mati (mubâh) hingga digunakan untuk penguburan.

Bagi mereka yang mengetahui status tanah tersebut sebelum diwakafkan untuk penguburan, maka statusnya tetap sebagaimana asalnya.

Namun, jika diketahui bahwa tanah tersebut milik seseorang dan dia mewakafkannya untuk penguburan, maka perlu dikaji lebih lanjut.

Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan kita karena jika wakaf tersebut tidak sah, maka hukumnya tetap milik ahli waris untuk menguasai tanah tersebut, menggalinya, atau membangunnya untuk hunian atau keperluan lain setelah jenazah yang dikuburkan di dalamnya telah membusuk, dan seterusnya, yang tidak relevan dengan pembahasan kita saat ini." (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.27)

القدر المشروع لرفع القبر  

لم أطلع على ما يُستدل به في هذا بالنسبة إلى غير المَلِك، إلا أن يُقال: إن الظاهر أن يُبيَّن، لذلك الأصل الذي تقتضيه طبيعة الحال، وهو إعادة تراب الحفرة إليها بلا نقصان ولا زيادة، ويؤيد بأحاديث النهي عن الزيادة الآتية، فإن مفهومها جواز إعادة تراب الحفرة سواء أقل أم أكثر.  

وربما يُعترض هذا بقول فضالة (أخفوا) على ما قدَّمْنا.  

ويمكن أن يُجاب: بأنه لعل البِقْعَة التي حُفر فيها القبر تُرابية، فيختلط التراب الخارج من الحفرة بالتراب الذي حولها، فلا يتميز، وفيه شيء.  

ولكن وَرَدَ الدليل على مقدار الرفع في المَلِك، وعممه العلماء في المَلِك وغيره لعدم الفَرْق؛ ففي صحيح ابن جَبان:  

(كندا بالأصل ويحتمل بتحريك).  

Tinggi kubur yang disyariatkan bagi selain pemilik tanah tidaklah jelas berdasarkan dalil yang dapat dijadikan pegangan, kecuali jika dikatakan bahwa yang jelas adalah mengembalikan tanah galian kubur ke tempatnya tanpa ada kekurangan atau kelebihan.

Hal ini diperkuat oleh hadits-hadits yang melarang menambah tanah pada kubur, yang secara implisit menunjukkan bolehnya mengembalikan tanah galian ke dalam lubang kubur, baik jumlahnya sedikit atau banyak.

Mungkin ada yang keberatan dengan argumen ini berdasarkan perkataan Fudhalah "tutuplah (kubur itu)", seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Namun, dapat dijawab bahwa tanah yang digali untuk kubur mungkin bercampur dengan tanah di sekitarnya sehingga tidak dapat dibedakan dengan jelas.

Ada dalil yang menjelaskan tentang ukuran tinggi kubur bagi pemilik tanah, dan para ulama menggeneralisasikannya untuk pemilik tanah dan selainnya karena tidak ada bedanya.

Dalam Shahih Ibn Hibban disebutkan: "Dibuatkan seperti punuk unta (yakni sekitar sejengkal)." Ini menunjukkan ukuran tinggi kubur yang disunnahkan.' (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.48)

أخبرنا السختياني، ثنا أبو كامل الجحدري، ثنا الفضيل بن سليمان، ثنا جعفر بن محمد، عن أبيه، عن جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم (أُحد له، ونُصب عليه اللبن نصبا، ورفع قبره من الأرض نحوًا من شبر). فهذا عمل أكابر الصحابة رضي الله عنهم، ولا نعلم لهم مخالفا، والصحابة ذلك اليوم متوافرون بالمدينة، ولم يرد في الكتاب أو السنة ما يخالف ذلك فكان حجة.  

كيفية رفع القبر  

الصفة الطبيعية لإعادة التراب إلى الحفرة: أن ينشأ عن ذلك شيء من الارتفاع مسنما، وهذا هو الأصل الذي لا ينبغي أن يتعدى إلا بدليل.  

استدل من يقول بالتسطيح بحديث التسوية المتقدم بناءً على أن المراد جعل القبر متساوياً، وقد سبق رده وبيان ماهو – إن شاء الله – الحق.  

واستدلوا أيضًا بحديث أبي داود عن القاسم بن محمد قال: (دخلت على عائشة، فقلتُ: يا أماه! اكشفي لي عن قبر النبي صلى الله عليه وآله وسلم وصاحبيه، فكشفت لي عن ثلاثة قبور، لا مشرفة ولا لاطئة، مبطوحة ببطحاء العُرَصَة).  

Telah mengabarkan kepada kami As-Sakhtiyani (Syeikh Sakhtiyani merujuk pada Syeikh Ayyub As-Sakhtiyani, seorang tabi'in terkemuka dari Basrah yang hidup dari tahun 66-131 H), telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al-Jahduri, telah menceritakan kepada kami Al-Fudhail bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Beliau diusung (ke kubur) dengan berjalan kaki, dan ditaburi tanah di atasnya setinggi satu jengkal, kemudian beliau meninggikan kuburnya dari tanah sekitar satu jengkal."

Ini adalah perbuatan para sahabat senior yang mulia, dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi mereka.

Para sahabat pada masa itu banyak yang berada di Madinah, dan tidak ada riwayat dari Al-Qur'an atau Sunnah yang menyelisihi hal ini, sehingga riwayat ini menjadi hujjah.

Cara meninggikan kubur:

Cara yang alami dalam mengembalikan tanah ke dalam lubang kubur adalah dengan membiarkannya sedikit menonjol seperti punuk unta, dan ini adalah cara yang seharusnya tidak dilanggar kecuali dengan dalil.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kubur itu harus diratakan dengan tanah berdasarkan hadits perataan kubur yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, pendapat ini telah dibantah dan telah dijelaskan apa yang benar, insya Allah.

Mereka juga berdalil dengan hadits riwayat Abu Dawud dari Al-Qasim bin Muhammad, dia berkata:

"Saya menemui Aisyah dan berkata, 'Wahai Ummah, tunjukkanlah kepadaku kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya.' Maka beliau menunjukkan kepadaku tiga kubur yang tidak meninggi dan tidak pula rendah, tetapi datar di tanah lapang.'" (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.49). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 11 Oktober 2025

KAJIAN LANJUTAN TENTANG PAHAM SYIAH ZAIDIYAH YANG MEMBOLEHKAN MEMBANGUN KUBURAN




Menurut Imam Asy-Syaukani, membangun di atas kuburan adalah haram secara mutlak, tanpa pembedaan antara tanah pribadi atau umum. sebagian ulama mazhab Syafi'i yang membolehkan membangun di atas tanah milik sendiri (makruh) namun mengharamkannya di tanah wakaf. 

Pendapat Imam Asy-Syaukani didasarkan pada dalil yang menyatakan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan secara umum, dan beliau menguatkan pendapat ini dengan menolak adanya perbedaan hukum yang dianjurkan oleh mazhab lain. 

Beliau berpendapat bahwa tidak ada dalil yang membenarkan pembedaan hukum tersebut, tidak seperti apa yang dinyatakan oleh Syeikh Yahya bin Hamzah Al-Yamani salah seorang ulama yang berpaham Syiah Zaidiyah sebagai orang yang membolehkannya.

Dalam penutup kitab beliau Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.22-24 beliau mengatakan, 

فائدة

وأما ما استدل به الإمام يحيى حيث قال: لاشتمال المسلم ذلك ولم ينكروه. فقول مردود، لأن علماء المسلمين ما زالوا في كل عصر يروون أحاديث رسول الله ﷺ فيمن فعل ذلك ويقررون شريعة رسول الله ﷺ في تحريم ذلك في مدارسهم ومجالس حفاظهم يرويها الآخر عن الأول، والصغير عن الكبير، والعلم عن العلم من لدن أيام الصحابة إلى هذه النهاية، وأوردها المحدثون في كتبهم المشهورة من الأمهات والمسانيد والمصنفات، وأوردها المفسرون في تفاسيرهم، وأهل الفقه في كتبهم الفقهية، وأهل الأخبار والسير في كتب الأخبار والسير. فكيف يقال: إن المسلمين لم ينكروا على من فعل ذلك؟ وهم يوردون أدلة النهي عنه، والنص الناهية، خلفاً عن سلف في كل عصر. ومع هذا قد نقل علماء الإسلام منكرين لذلك سابقين للنهي عنه. وقد حكى ابن الحاج عن شيخه فقيه الدين رحمه الله وهو الإمام الحطّاب بأن مذهب سلف هذه الأمة وخلفها: أنه قد شرع عامة الطوائف بالنهي عن بناء المساجد على القبور، ثم قال: وصرح أصحاب أحمد ومالك والشافعي بتحريم ذلك، وطائفة أطلقت الكراهة، لكن ينبغي أن يحمل على كراهة التحريم، إحساناً للظن بهم، وأن لا يظن بهم أن يجيزوا ما تواتر عن رسول الله ﷺ من نهيه ولعنه لمن فعله، والنهي عنه انتهى.  

فانظر كيف حكى التصريح عن عامة الطوائف؟ وذلك يدل على أن إجماع من أهل العلم على اختلاف طوائفهم، ثم بعد ذلك جعل أهل ثلاثة مذاهب مصرحين بالتحريم. 

*Faidah*

Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Yahya, yaitu "karena umat Islam telah melakukannya dan tidak ada yang mengingkarinya," maka pendapat ini dapat ditolak.

Para ulama Islam di setiap zaman terus-menerus meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah ﷺ tentang larangan melakukan hal tersebut dan menetapkan syariat Rasulullah ﷺ yang mengharamkannya dalam pengajaran dan majelis hafalan mereka.

Mereka meriwayatkannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari yang kecil hingga yang besar, dan dari yang berilmu hingga yang lebih berilmu, sejak zaman sahabat hingga sekarang.

Para ahli hadits juga menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka yang terkenal, seperti kitab-kitab induk, musnad, dan muṣannaf. Begitu pula para ahli tafsir dalam kitab tafsir mereka, ahli fikih dalam kitab-kitab fikih mereka, dan ahli sejarah dalam kitab-kitab sejarah mereka.

Lalu, bagaimana mungkin dikatakan bahwa umat Islam tidak mengingkari perbuatan tersebut, padahal mereka semua menyebutkan dalil-dalil yang melarangnya dan teks-teks yang melarangnya dari generasi ke generasi?

Bahkan, para ulama Islam telah menyebutkan bahwa ada ulama yang mengingkari perbuatan tersebut dan melarangnya.

Ibn al-Hajj meriwayatkan dari gurunya, Faqihuddin (semoga Allah merahmatinya), yang juga dikenal sebagai Imam al-Hattab, bahwa mazhab salaf dan khalaf sepakat bahwa syariat telah melarang pembangunan masjid di atas kuburan.

Kemudian, beliau mengatakan bahwa pengikut Imam Ahmad, Malik, dan Syafi'i secara tegas mengharamkan hal tersebut. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa hal itu makruh, tetapi sebaiknya dipahami sebagai makruh tahrim (makruh yang mendekati haram).

Ini dilakukan untuk menjaga kehormatan mereka dan tidak menyangka bahwa mereka menghalalkan sesuatu yang telah jelas-jelas dilarang dan dilaknat oleh Rasulullah ﷺ bagi yang melakukannya.

Perhatikan bagaimana beliau menyebutkan bahwa mayoritas ulama dari berbagai mazhab sepakat tentang hal ini. Ini menunjukkan adanya ijmak (kesepakatan) di antara para ulama dari berbagai mazhab. Beliau kemudian menyebutkan bahwa ulama dari tiga mazhab secara tegas mengharamkannya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.22-23)

و يجعل طائفة مصرحـة بالكراهة، وحملها على كراهة التحريم. فكيف  

يقال: إن بناء القباب والمشاهد على القبور لم ينكره أحد؟ ثم انظر كيف يصح استثناء أهل الفضل برفع القباب على قبورهم، وقد صح عن النبي ﷺ أنه قال: «أولئك قوم إذا مات فيهم العبد الصالح أو الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً، ثم صوروا فيه تلك الصور، أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة» رواه مسلم.  

فكيف يسوغ لمن مسّه أن يستثني أهل الفضل بفعلٍ شدد الحرام الشديد على فعله؟ ومع أن أهل الكتاب الذين لعنهم الرسول ﷺ وحذر الناس ما صيروه معابداً ومشاهد لم يعملوا إلا على قبور صلحائهم. فهل هذا رسول الله ﷺ سيد البشر وخير الخليقة، وخاتم الرسل، واصفوه الله من خلقه، ينهى أمته أن يعملوا على قبره مسجداً أو مشهداً، وهو القدوة لأمته، وأهل الفضل من القدوة به والتأسي بأفعاله وأقواله الحفظ الأوفر، وهم أحق الأمة بذلك وألزمهم به. فكيف يكون فعل بعض الأمة وصلاح بعضهم أفضل من هذا المنكر على قبره؟ وأصل الفضل ومرجعه هو رسول الله ﷺ، وأي فضل يُنسب إلى فضله أدنى نسبة، أو يكون له غبطة أقل اعتبار؟ فإن كان هذا حراماً منبهاً عنه ملعوناً فاعله في قبر رسول الله ﷺ، فما ظنك بغيره، من أمته؟  

وكيف يستقيم أن يكون للفضل مدخل في تحليل المحرمات وفعل المنكرات؟ اللهم اغفر، واهدنا هدى الحق ووفّقنا  

لأتباعه. وصلى الله على محمد عبد الله ورسوله، وعلى آله أجمعين.  

"Bagaimana mungkin dikatakan bahwa membangun kubah dan bangunan di atas kuburan tidak diingkari oleh siapa pun?

Perhatikan bagaimana bisa dikatakan bahwa orang-orang shaleh boleh dikecualikan dari larangan membangun kubah di atas kuburan mereka, padahal telah sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

"Orang-orang yang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah mereka yang membangun masjid di atas kuburan orang shaleh di antara mereka, lalu mereka membuat gambar-gambar di dalamnya." (HR. Muslim)

Bagaimana mungkin seseorang yang sedikit memahami agama ini menghalalkan perbuatan yang sangat dilarang ini hanya karena orang yang melakukannya adalah orang shaleh?

Bahkan, ahli Kitab yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan diperingatkan oleh beliau, mereka hanya membangun tempat ibadah dan kubah di atas kuburan orang-orang shaleh mereka.

Apakah mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan sebaik-baik manusia dan penutup para nabi, yang disifati oleh Allah sebagai manusia terbaik, melarang umatnya membangun masjid atau kubah di atas kuburan beliau, sementara beliau sendiri adalah contoh terbaik bagi umatnya?

Orang-orang shaleh di antara umatnya seharusnya lebih berpegang teguh pada ajaran beliau dan mengikuti jejak beliau. Mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk mengikuti ajaran beliau dan paling wajib melaksanakannya.

Bagaimana mungkin perbuatan sebagian umat ini dan keshalehan sebagian mereka lebih utama daripada perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kuburan beliau?

Sumber keshalehan dan kebaikan adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah ada keshalehan yang dapat dibandingkan dengan keshalehan beliau?

Jika perbuatan ini diharamkan dan dilaknat oleh Allah di kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana lagi dengan kuburan selain beliau?

Bagaimana mungkin kesalehan dapat menjadi alasan untuk menghalalkan perbuatan yang diharamkan dan melakukan kemungkaran? Ya Allah, ampunilah kami dan tunjukilah kami jalan yang benar, serta berilah kami taufik untuk mengikuti petunjuk-Mu. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, hamba dan Rasul-Nya, serta kepada keluarga beliau semuanya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.24)

Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikit,

 عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata: Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku: Engkau aku utus (dengan tugas) sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku, yaitu: Janganlah engkau tinggalkan  patung/gambar makhluk bernyawa kecuali engkau  hilangkan, dan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan (HR Al-Jamaah, kecuali Al-Bukhari dan Ibnu Majah)

Al-Imam Asy-Syaukan menyatakan sebagai berikut,

ومن رفع القبور الداخل تحت الحديث دخولا أوليا القبب والمشاهد المعمورة على القبور وأيضا هو من اتخاذ القبور مساجد وقد لعن النبي صلى الله عليه وآله وسلم فاعل ذلك كما سيأتي وكم قد سرى عن تشييد أبنية القبور وتحسينها من مفاسد يبكي لها الإسلام منها اعتقاد الجهلة لها كاعتقاد الكفار للأصنام وعظم ذلك فظنوا أنها قادرة على جلب النفع ودفع الضرر فجعلوها مقصدا لطلب قضاء الحوائج وملجأ لنجاح المطالب وسألوا منها ما يسأله العباد من ربهم وشدوا إليها الرحال وتمسحوا بها واستغاثوا وبالجملة إنهم لم يدعوا شيئا مما كانت الجاهلية تفعله بالأصنام إلا فعلوه فإنا لله وإنا إليه راجعون ومع هذا المنكر الشنيع والكفر الفظيع لا نجد من يغضب لله ويغار حمية للدين الحنيف لا عالما ولا متعلما ولا أميرا ولا وزيرا ولا ملكا وقد توارد إلينا من الأخبار ما لا يشك معه أن كثيرا من هؤلاء المقبوريين أو أكثرهم إذا توجهت عليه يمين من جهة خصمه حلف بالله فاجرا فإذا قيل له بعد ذلك احلف بشيخك ومعتقدك الولي الفلاني تلعثم وتلكأ وأبى واعترف بالحق وهذا من أبين الأدلة الدالة على أن شركهم قد بلغ فوق شرك من قال إنه تعالى ثاني اثنين أو ثالث ثلاثة فيا علماء الدين ويا ملوك المسلمين أي رزء للإسلام أشد من الكفر وأي بلاء لهذا الدين أضر عليه من عبادة غير الله وأي مصيبة يصاب بها المسلمون تعدل هذه المصيبة وأي منكر يجب إنكاره إن لم يكن هذا الشرك البين واجبا

Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.

Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala. Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.

Mereka bersusah payah melakukan perjalanan (syaddur rihaal) ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.

Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.

Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani).

Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari." (Nailul Authar karya Asy-Syaukani bab Tasliimul Qabri wa Rasysyihi bil Maa’ wa Ta’liimihi li Yu’rof  juz 4 hal.131). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*