MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Rabu, 25 Juni 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM THAWAF WADA' DAN KEUTAMANNYA

*Landasan Hukum*

Tidak boleh bagi orang yang telah rampung menunaikan ibadah hajinya meninggalkan Mekkah kecuali setelah thawaf wada’. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah haji mereka adalah thawaf di Baitullah, tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328, 1327, 380].

Berikut adalah rincian pendapat dari masing-masing mazhab:

*1. Mazhab Hanafi*

Thawaf wada' hukumnya wajib bagi jamaah haji tapi sunnah bagi jamaah umrah.

Dalam kitab Bada’i As-Shana’i kitab madzhab Hanafi dinyatakan,

أما طواف الصدر فلا يجب على المعتمر

“Untuk thawaf wada’, hukumnya tidak wajib bagi orang yang umrah.” (Bada’i as-Shana’i, 2/227).

*2. Mazhab Maliki* 

Menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra,

بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

"Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

*3. Mazhab Syafi'i*

Terdapat dua pendapat, mayoritas mengatakan wajib, namun ada juga yang berpendapat sunnah.

وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

 “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama (dan ini yang paling sahih) adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

*4. Mazhab Hambali*

Thawaf wada' hukumnya ada dua pendapat wajib dan sunnah. Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya,

فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

" Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

Ulama mazhab Hambali lainnya, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata,

 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع

 "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).

Menurut pendapat Imam Malik, Dawud, dan Ibnu Mundzir, hukum thawaf wada’ adalah sunnah. Seseorang yang tidak mengerjakan thawaf wada’ tidak diharuskan membayar dam. Menurut Imam  Malik, orang sakit atau użur dapat mengikuti pendapat ini.

Perbedaan pendapat ini didasarkan pada interpretasi terhadap dalil-dalil hadits dan kaidah fikih. Meskipun ada perbedaan pendapat, mayoritas ulama sepakat bahwa thawaf wada' adalah amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan sebelum meninggalkan Makkah. 

Thawaf Wada' adalah  thawaf 'perpisahan' yang dilakukan setelah melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji/umroh (Al-'Ahd) dan akan meninggalkan kota Makkah. 

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, thawaf wada' bagi jamaah haji hukumnya 'wajib';  bagi jamaah Umroh, sebagian ulama menghukumi 'afdholiyyah' atau keutamaan (saja), dan terdapat 'keringanan' (kekecualian) bagi perempuan yang sedang Haid, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. 

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ -- مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

"Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah ('Ahd, Haji) mereka adalah thawaf di Baitullah (thawaf wada'), tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaq ‘alaih). 

*Penjelasan*

Thawaf wada' (thawaf perpisahan) adalah ibadah terakhir yang dilakukan oleh jamaah haji sebelum meninggalkan Makkah. 

Tidak boleh berlama-lama di dalam Masjidil Haram setelah thawaf wada', apalagi melakukan ibadah sunnah seperti thawaf atau shalat sunnah lainnya. Thawaf wada' adalah thawaf perpisahan yang menandakan selesainya rangkaian ibadah haji, dan setelahnya jamaah dianjurkan untuk segera bersiap meninggalkan Makkah. 

*Tujuan Thawaf Wada'*

Thawaf wada' bertujuan untuk berpamitan dengan Baitullah (Ka'bah) dan menandakan bahwa rangkaian ibadah haji telah selesai. 

*Larangan Setelah Thawaf Wada'*

Setelah thawaf wada', jamaah tidak diperkenankan untuk melakukan ibadah sunnah di Masjidil Haram, terutama thawaf sunnah. 

*Pengecualian*

Boleh tinggal sebentar di Masjidil Haram untuk menunggu rombongan, mempersiapkan keberangkatan, membeli makanan dan minuman, atau kebutuhan lainnya. Jika jamaah berencana tinggal lama di Makkah setelah thawaf wada', mereka harus mengulangi thawaf wada' ketika akan benar-benar meninggalkan kota Makkah

Sebagian ulama dan 'orang tua' di Indonesia berpendapat bahwa pada thawaf wada' melekat dimensi 'adab'--bukan hanya urusan soal fiqh--, ibarat seorang yang selesai 'bertamu' tentu saja sangat 'elok' dan 'beradab' jika tamu berpamitan kepada 'Tuan Rumah'.

Terlepas dari perbedaan pendapat hukumnya, banyak jamaah haji maupun umroh yang memiliki "kesan" tersendiri ketika melaksanakan thawaf wada'. 

Kesan khusus itu antara lain bersumber dari untaian doa yang lazim dipanjatkan oleh para jamaah, diantaranya,

يا رَدَّادُ ارْدُدْنِى إِلىَ بَيْتِكَ هَذا وَارْزُقْنِىَ العَوْدَ ثُمَّ العَوْدَ كَرَّاتٍ بَعْدَ مَرَّاتٍ تائِبُوْنَ عاَبِدُوْنَ ساَئِحُوْنَ لِرَبِّناَ حامِدُوْنَ

"... Wahai Zat Yang Maha Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke RumahMu ini dan berilah aku rizqi (kesempatan) untuk mengulanginya (lagi) berkali-kali, dalam keadaan bertaubat, beribadah, "berlayar" menuju Tuhan kami,  sambil memuji-Nya.. "

أَللَّـهُمَّ لاَ تَجْعَلْ هَذا أَخِرَ العَهْدِ بِبَيْتِكَ الحَراَمِ وَإِنْ جَعَلْتَهُ أَخِرَ العَهْدِ فَعَوِّضْنِى عَنْهُ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِكَ ياَ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

"Ya Allah, jangan jadikan ini sebagai kesempatan terakhirku di Rumah-Mu. Sekiranya Engkau jadikan ini sebagai kesempatan terakhir bagiku,  maka gantilah Surga untukku, dengan Rahmat-Mu, wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang Pengasih,". 

Para jamaah juga banyak yang memanjatkan doa dengan redaksi dan bahasa masing-masing, sesuai asa, harapan, suasana hati, dan permasalahan masing-masing. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Selasa, 24 Juni 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM SHALAT ARBA'IN DAN KEUTAMAANNYA

Jamaah haji Indonesia yang sudah mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji setelah menunggu antrian bertahun-tahun tentu berkeinginan kuat untuk dapat semaksimal mungkin beribadah di tanah haram. Di antaranya adalah shalat arba'in atau shalat wajib 40 kali berturut-turut selama delapan atau sembilan hari di Masjid Nabawi Madinah.

*Hukum Shalat Arba'in*

Hukum shalat arbain di Madinah adalah sunnah, bukan wajib. Artinya, shalat arbain tidak termasuk dalam rukun haji atau umrah, dan meninggalkannya tidak akan membatalkan ibadah haji atau umrah. Arbain adalah melaksanakan shalat wajib berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 waktu (5 waktu x 8 hari), dan diyakini memiliki keutamaan tertentu. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا يَفُوتُهُ صَلَاةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنْ النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, barangsiapa shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) selama empat puluh kali berturut-turut, maka dicatat baginya kebebasan dari neraka, selamat dari adzab, serta terbebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad bin Hanbal).

*Status dan Derajat Hadits*

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abdurrahman bin Abi Ar-Rijal, dari Nabith bin Umar, dari Anas bin Malik secara marfu’. Dalam  As-Silsilah Adh-Dhaifah, untuk keterangan hadits no. 364 dinyatakan bahwa hadits ini dhaif (lemah),

وهذا سند ضعيف، نبيط هذا لا يعرف في هذا الحديث

Hadits ini sanadnya dhaif. Seorang yang bernama Nabith bin Umar ini tidak dikenal dalam hadits tersebut.

Sementara itu, dalam kitab Dhaif At-Targhib wa At-Tarhib, untuk keterangan hadits no. 755, dinyatakan bahwa hadits ini munkar. (Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah (dhaif) dan bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya (tsiqqah). Istilah "munkar" sendiri berarti "yang diingkari" atau "tercela" dalam bahasa Arab). 

Karena itulah, para ulama menegaskan, tidak ada anjuran untuk tinggal di Madinah selama 8 hari agar bisa melakukan shalat wajib sebanyak 40 kali di masjid nabawi. Dan kita bisa lihat dalam sejarah Ashabus Suffah (para sahabat yang tinggal memginap di emperan Masjid Nabawi), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan mereka untuk tinggal selama 8 hari di Madinah.

Sehingga mereka ada yang hanya tinggal selama 3 hari, atau 4 hari atau jumlah hari sesuai kebutuhan mereka.

Meskipun demikian, jemaah haji atau umrah tidak perlu merasa khawatir atau berkecil hati jika tidak dapat melaksanakan shalat arbain. Ada ulama yang mengatakan bahwa ibadah lain yang dilakukan dengan ikhlas juga dapat memberikan keutamaan yang serupa. Kemenag juga menyebutkan bahwa jemaah haji lansia atau yang memiliki kondisi kesehatan tertentu dapat lebih memprioritaskan kesehatan mereka dan tidak memaksakan diri untuk melaksanakan shalat arbain.

Terkait hal diatas dalam Kitab Fatawa Dar Al-Ifta' Al-Misriyyah tertulis penjelasan Syekh 'Athiyah Shaqr (wafat 2006) sebagai berikut,

 فإذا كان الإنسان حرا فى إقامته وفى سفره فالأفضل أن يصلى هذا العدد، بل وأكثر منه نظرا للثواب العظيم، فإذا كان مضطرا إلى السفر قبل أن يصلى الأربعين فلا حرج عليه، فهذا أمر مندوب وليس بواجب، والأمل كبير فى أن يعطى الله للإنسان هذا الثواب إذا كان حريصا عليه لكن منعه مانع خارج عن إرادته كما يقولون، بناء على الحديث الشريف "من هم بحسنة ولم يعملها كتبت له حسنة" وقد قال العلماء: إن ذلك محله إذا كان عدم العمل بغير اختياره، أما لو تركها مختارا فلا ثواب له

"Jika seseorang dalam kondisi bebas dalam arti tidak ada kendala sama sekali, saat berada di Madinah dan dalam perjalanan hajinya, maka yang lebih utama ia melaksanakan shalat arba’in, bahkan kalau bisa lebih banyak lagi, melihat pahala yang begitu besar. Namun jika ia dalam keadaan terbatas waktu untuk melakukan perjalanan berikutnya sebelum melaksanakan arba'in, maka tidak menjadi masalah. Shalat arba'in ini adalah perkara sunah, bukan wajib. Harapan besar Allah akan tetap memberikan pahala besar itu padanya,  jika ia sangat berkeinginan melaksanakan namun karena ada penghalang eksternal di luar keinginannya. 

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa berniat untuk mengerjakan amal kebaikan namun belum terlaksana, maka Allah akan catat baginya satu kebaikan yang sempurna."

Terkait diatas ulama berpendapat, hal tersebut (belum melakukan kebaikan tapi dicatat kebaikan) jika tidak melakukannya bukan atas keinginannya. Namun, jika ia tidak melakukannya atas keinginannya sendiri, maka ia tidak mendapat pahala." (Fatawa Daar Al-Ifta' Al-Misriyyah, juz IX, halaman 13).

Secara khusus terkait keistimewaan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِيْ هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ صَلاَةٌ فِيْ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفٍ فِيْمَا سِوَاهُ –مسند أحمد بن حنبل

Dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Melakukan shalat satu kali di masjidku ini lebih utama dari shalat seribu kali di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. Dan melakukan shalat satu kali di Masjidil Haram lebih utama dari pada melakukan shalat seratus ribu kali di tempat lainnya. (HR. Ahmad dalam Musnad Ahmad bin Hanbal) 

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa para jamaah haji dan umrah meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Oleh karena itu jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diagendakan menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba'in. Namun jika tidak memungkinkan tidak sepatutnya menyesali perkara Sunnah yang tertinggal karena satu dan lain hal. Wallahu a'lam

Demikian Asimun Mas'ud menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin

*والله الموفق إلى أقوم الطريق*

Minggu, 08 Juni 2025

KAJIAN TENTANG ADANYA KASTA DALAM BERIBADAH HAJI 2025

Khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Saat Haji Wada'

أَيُّهَا الـنَّاسُ : إِسْمَعُوْا قَوْلِي فَإِنِّي لاَأَدْرِيْ لَعَلِّيْ لاَأَلْقَكُمْ بَعْدَ عَامِيْ هذَا بِهذَا المَوْقِفِ أَبَـدًا.

أَيُّهَاالـنَّاسُ، إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْـوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا، وَكَـحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هذَا.       

وَإِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ فَيَسْـأَ لُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ وَقَدْ بَلَّغْتُ.    

فَمَنْ كَانـَتْ عِنْدَهُ أَمَانَةٌ فَلْـيُؤَدِّهَا إِلَى مَنِ ائْـتَمَنَهُ عَلَيْهَا.    

وَإِنَّ كُلَّ رِبًا مَوْضُوْعٌ ، وَلَكِنْ لَكُمْ رُؤُوْسَ أَمْـوَالِكُمْ لاَتَـظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ.     

قَضَى اللهُ أَنَّهُ لاَ رِبًا، وَأَنَّ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَلِبِ مَوْضُوْعٌ كُلَّهُ.     

وَأَنَّ كُلَّ دَمٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِـيَّةِ مَوْضُوْعٌ، وَأَنَّ أَوَّلَ دِمَائِكُمْ أَضَعُ دَمَ ابْنِ رَبِـيْعَةِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَلِبْ ....   

أَمَّا بَعْدُ. أَ يُّهَاالنَّاسُ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَـئِسَ مِنْ أَنْ يُعْبَدَ بِأَرْضِكُمْ هذِهِ أَبَدًا. وَلَكِنَّهُ إِنْ يُـطَعْ فِيْمَا سِوَى ذلِكَ، فَقَدْ رَضِيَ بِهِ مِمَّا تَـحْقِرُوْنَ مِنْ أَعْمَالـِكُمْ، فَاحْذَرُوْهُ عَلَى دِيْنِكُمْ.     

أَيُّهَاالنَّـاسُ، إِنَّ النَّسِىءَ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِيْنَ كَـفَرُوْا، يَـحْلُوْنَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُ نَهُ عَامًا، لـِيُوَاطِئُوْا عِدَّةً مَاحَـرَمَ اللهُ، فَـيُحِلُّوْا مَا حَرَمَاللهُ وَيُـحَرِّمُوْا مَا أَحَلَّ اللهُ.     

وَإِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْـتَدَارَ كَهَيْـئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةً الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةُ حُرُمْ، ثَلاَثَةُ مُتَوَا لِيَةٌ. وَرَجَبُ مُفْرَدٌ، الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.      

أَمَّا بَعْدُ. أَيُّهَا الـنَّاسُ، فَإِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِـكُمْ حَقًّا، وَلـَهُنَّ عَلَيْكُمْ حَقًّا. لَكُمْ عَلَيْـهِنَّ أَلاَّ يُوْطِئْنَ فِرَشَـكُمْ أَحَدًا تَـكْرَهُوْنَهُ، وَعَلَيـْهِنَّ أَلاَّ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ. فَإِنَّ فَعَلْنَ، فَإِنَّ اللهَ قَدْ أَذِنَ لَكُمْ أَنْ تَهْجُرُوْ هُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ، وَتَـضْرِبُوْ هُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرَّحٍ. فَإِنِ انْتَهَيْنَ فَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ. وَاسْتَوْصُوْا بِاالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّـهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ لاَيَمْلِكُنَّ ِلأَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا. وَإِنَّكُمْ إِنَّمَا أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَاتِ اللهِ.      

فَاعْقِلُوْا أَيُّهَا النَّاسُ قَوْلِي، فَإِنِّي قَدْ بَلَّغْتُ، وَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَاإِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تُضِلُّوْا أَبَدًا، أَمْرًا بَيِّنَتًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ.

أَيُّهَا النَّاسُ، إِسْمَعُوْا قَوْلِيْ وَاعْقِلُوْهُ، تَعْلَمُنَّ أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ أَخٌ لِلْمُسْلِمِ، وَأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ إِخْوَةٌ، فَلاَ يُحِلُّ لاِمْرِىءٍ مِنْ أَخِيْهِ إِلاَّ مَا أَعْطَاهُ عَنْ طِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ، فَلاَ تُظْلَمُنَّ أَنْفُسَكُمْ.

اللّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ !

قُلْ لَهُمْ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ إِلَى أَنْ تَلْقَوْا رَبَّكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا.

اللّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ 

اللّهُمَّ اشْهَدْ.

Wahai manusia sekalian! perhatikanlah kata-kata ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi akan bertemu dengan kamu sekalian.

Wahai manusia (Saudara-saudara). Bahwasannya darah kamu dan harta-benda kamu sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan. 

Dan pasti akan menghadap Tuhan; pada waktu itu kamu dimintai pertanggung jawaban atas segala perbuatanmu. Ya, aku sudah menyampaikan ini!

Barang siapa telah diserahi amanat, tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya.

Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak menerima kembali modalmu. Janganlah kamu berbuat aniaya terhadap orang lain, dan jangan pula kamu teraniaya. 

Allah telah menentukan bahwa tidak boleh ada lagi riba dan bahwa riba ‘Abbas bin Abdul-Muthalib semua sudah tidak berlaku.

Bahwa semua tuntutan darah selama jahiliyah tidak beralaku lagi, dan bahwa tuntutan darah pertama yang kuhapuskan ialah darah Ibnu Rabi’ah bin Al-Harith bin Abdul-Muthalib!

Kemudian daripada itu wahai manusia (saudara-saudara). Hari ini nafsu syetan yang minta di sembah di negeri ini sudah putus untuk selama-lamanya. Tetapi, kalau kamu turutkan dia walaupun dalam hal yang kamu anggap kecil, yang berarti merendahkan segala amal perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh karena itu peliharalah agamamu ini baik-baik.

Wahai manusia (Saudara-saudara). Menunda-nunda larangan di bulan suci berarti memperbesar kekufuran. Dengan itu orang-orang kafir itu tersesat. Pada satu tahun meraka langgar dan pada tahun lainnya mereka sucikan, untuk di sesuaikan dengan jumlah yang sudah disucikan Tuhan. Kemudian mereka menghalalkan apa yang sudah diharamkan Allah dan mengharamkan mana yang di sudah di halalkan.

Zaman itu berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi ini. Jumlah bilangan menurut Tuhan ada dua belas bulan, empat bulan diantaranya ialah bulan suci, tiga bulan berturut-turut dan bulan Rajab itu antara bulan Jumadilakhir dan Sya’ban.

Kemudian daripda itu, wahai manusia (saudara-saudara). Sebagaimana kamu punya hak atas istri kamu, juga istrimu sama mempunyai hak  atas kamu. Hak kamu atas mereka ialah untuk tidak mengizinkan orang yang kamu tidak sukai menginjakan kaki diatas lantaimu, dan jangan sampai mereka secara jelas membawa perbuatan keji. Kalau mereka sampai melakukan itu Tuhan mengizinkan kamu berpisah tempat tidur dengan mereka dan boleh memukul mereka dengan satu pukulan yang tidak sampai mengganggu. Bila mereka sudah tidak lagi melakukan itu, maka kewajiban kamulah memberi nafkah dan dan pakaian kepada mereka dengan sopan-santun. Berlaku baiklah terhadap istri-istri kamu, mereka itu kawan-kawan yang membantumu, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri merekaa. Kamu mengambil mereka sebagai amanat Tuhan, dan kehormatan mereka di halalkan buat kamu dengan nama Tuhan.

Perhatikanlah kata-kataku ini, wahai manusia (saudara-saudara)! Aku sudah menyampaikan ini. Ada masalah yang sudah jelas kutinggalkan ditangan kamu, yang jika kamu pegang teguh kamu tidak akan sesat selama-lamanya; Kitabullah dan sunnah rasul.

Wahai manusia sekalian! Dengarkan kata-kataku ini dan perhatikan! Kamu akan mengerti, bahwa setiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain, dan kaum Muslimin semuanya bersaudara. Tetapi seseorang tidak dibenarkan (mengambil sesuatu) dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri sendiri.

Ya Allah, sudah kusampaikan?

Katakanlah kepada mereka, bahwa darah dan harta kamu oleh Tuhan disucikan, seperti hari ini yang suci, sampai masanya kamu sekalian bertemu dengan Tuhan.

Ya Allah! sudahkah kusampaikan?

Ya Allah. saksikanlah ini!

Tahun ini (2025) kembali terjadi haji Akbar, karena wukuf di Arafah jatuh pada hari Kamis, dengan demikian hari Jum’at adalah Hari Raya Idul Adha.

Ada hal yang melekat dalam ingatan penulis, manakala sampe ke Arafah, dimana seorang tetangga yang berhaji plus menuliskan dalam storisnya sedang menikmati fasilitas mewah makanan dan tempat maktabnya, begitu juga berkisah saat seharusnya bermalam (mabit) di Muzdalifah mereka cukup dengan murur meski dalam kondisi sehat, belum lagi saat maktab di Mina mereka menulis storis "Alhamdulillah dapat maktab/tenda yang dekat dengan jamarat, sementara penulis berjarak 3,5 km dari jamarat dengan berjalan kaki bersama jamaah lainnya. 

Sementara saat di Muzdalifah penulis mendengar seorang ustadz/pemimpin jamaah mengatakan bahwa seluruh tamu Allah tidak ada perbedaan. Semua berbaju ihram warna putih duduk di tanah menunggu waktu menuju Mina untuk ibadah jamarat yaitu pelemparan jumrah. Memang benar, tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dan miskin.

Semua jamaah haji selain memakai baju berwarna putih dan tidak boleh dijahit, juga menghilangkan perasan bangga terhadap diri sendiri.

Saat tengah malam pukul : 00.00 WAS (Waktu Arab Saudi) bus pengangkut jamaah haji mulai menuju Mina. Namun ketidakjelasan sistem transportasi pengangkutan jamaah akhirnya penulis memilih untuk berjalan kaki menuju Mina yang jaraknya 6-7 km bersama jamaah lainnya. Unforgetable umroh Oktober tahun 2024 disaat bus rombongan umrah meliwati Muzdalifah dan Mina, penulis mendapat info dari guidence (Muthawwif) mengatakan lihat bangunan baru itu. Setelah dicermati, ternyata posisi bangunan yang lebih tinggi dan lebih bagus untuk tempat bermalam raja, kerabat, dan tamu-tamu terhormat raja. Penulis lantas tersentak. Ternyata paradigma pelayanan sudah berubah. Tidak ada lagi perlakuan sama rata, sama rasa (egaliter). Tetapi pengkastaan mulai berlaku dalam pelayanan.

Namun penulis berasumsi positif, bagi yang telah beriman dan niat murni beribadah pasti tidak merasakan ada perbedaan. Seperti perbedaan pelayanan haji dengan menggunakan Ongkos Naik Haji (ONH) plus, dengan ONH tanpa plus. Mungkin disikapi sama oleh kaum yang beriman.

*Makna Kasta Haji Dengan Kasta Hindu*

Kasta sepengetahuan penulis dalam agama Hindu merujuk pada sistem stratifikasi sosial yang membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Sistem ini dikenal dengan istilah Varna, yang terdiri dari empat kategori utama: Brahmana, Kshatriya, Vaishya, dan Shudra. 

Makna kasta, dalam konteks agama Hindu, adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok-kelompok sosial turun-temurun yang membatasi pekerjaan dan hubungan antar anggota. Kasta merupakan sistem stratifikasi sosial yang kaku dan diwariskan secara turun-temurun. Istilah "kasta" sendiri berasal dari bahasa Portugis "casta" yang berarti keturunan atau ras. 

Istilah "kasta" dalam konteks ibadah haji memang tidak tepat. Namun kenyataannya ternyata fasilitas pelayanan dan proses rangkaian ibadahnya mencerminkan sistem kasta. Memang Ibadah haji tidak memiliki sistem kasta seperti yang ada dalam tradisi Hindu. Dalam Islam, semua orang, tanpa memandang ras, kelas sosial, atau status, memiliki hak yang sama untuk menunaikan ibadah haji. Yang penting adalah kemampuan finansial dan fisik untuk memenuhi syarat-syarat ibadah haji. 

Lebih lanjut, ibadah haji didasarkan pada prinsip kesederhanaan dan persamaan di hadapan Allah. Orang yang mampu secara finansial dan fisik diwajibkan untuk menunaikan haji, dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang yang kaya dan orang yang miskin dalam pelaksanaan ibadah tersebut. 

*Penjelasan Lebih Detail Mengenai Ibadah Haji Yang Seharusnya:*

*Kesederhanaan:*

Ibadah haji menekankan pada kesederhanaan dan kesetaraan. Jemaah haji mengenakan pakaian ihram yang sederhana, tanpa perbedaan, dan berinteraksi satu sama lain dengan rasa hormat, tanpa memandang status sosial atau harta kekayaan. 

*Persamaan:*

Dalam ibadah haji, semua orang memiliki hak yang sama untuk beribadah. Tidak ada perbedaan dalam pelaksanaan ibadah haji berdasarkan ras, etnis, atau status sosial. Semua jemaah mengikuti ritual yang sama, dan tidak ada diskriminasi berdasarkan kasta atau status sosial. 

*Kemampuan:*

Ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu. Mampu di sini mencakup kemampuan finansial untuk biaya perjalanan dan kebutuhan selama di tanah suci, serta kemampuan fisik untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. 

*Tidak Ada Kasta:*

Dalam Islam, konsep kasta tidak ada dalam sistem sosial dan juga dalam ibadah. Semua orang, tanpa memandang status sosial atau kasta, memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. 

*Kesimpulan:*

Ibadah haji tidak memiliki konsep kasta. Ibadah ini didasarkan pada prinsip kesederhanaan, persamaan, dan keadilan di hadapan Allah. Semua orang, tanpa memandang ras, kelas sosial, atau status, memiliki hak yang sama untuk menunaikan ibadah haji. Namun kenyataanya memang ada perbedaan fasilitas dalam pelayanan haji, bisa jadi disebabkan karena program keberangkatan haji ada yang haji reguler, haji plus maupun haji furoda. Atau bisa dimungkinkan karena penanganan penyelenggara haji itu sendiri kepada jamaah. Gambaran ini muncul karena melihat pelayanan yang didapat jamaah haji dari negara tetangga semisal Malaysia, Turki, Mesir dan semisalnya terlihat rapi dan terkoordinir dengan matang baik transportasi, hotel dan petugas yang membantu jamaah menaik-turunkan barang bawaan jamaah.

Terkait dengan kasta haji (atau apalah namanya yang tepat), saat ini ada 3 jenis program keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji yakni Haji Reguler, Haji Plus/Haji Khusus, dan Haji Furada. Jika Haji Reguler harus antre hingga 30 tahun di sebagian provinsi, haji plus atau haji khusus memiliki masa tunggu sekitar 5 sampai 9 tahun, sedangkan di program Haji Mujammalah atau Haji Furada calon jamaah hanya perlu satu tahun menunggu keberangkatan alias tanpa antre. 

Disinilah kemudian muncul asumsi bahwa ternyata terdapat kasta dalam menunaikan ibadah haji diakui atau tidaknya. Wallahu a'lam 🙏 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TERKAIT HUKUM THAWAF IFADHAH MELEWATI HARI TASYRIK 11,12 DAN 13 DZUL HIJJAH (Asimun Mas'ud)

*Hukum Thawaf Ifadhah*

Para Ulama sepakat menjadikan Thawaf Ifadhah sebagai rukun haji yang menjadi bagian dari keabsahan ibadah haji berdasarkan pada firman Allâh Azza wa Jalla,

وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

"Dan hendaklah mereka melakukan thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS. al-Hajj : 29)

Yang dimaksud dengan thawâf di dalam ayat ini adalah thawaf Ifadhah. Menurut ijma’ Ulama ahli tafsir sebagaimana dinyatakan Imam Ath-Thabari rahimahullah, "Tidak ada khilaf diantara para Ulama tafsir dalam hal ini. (Tafsîr Ath-Thabari juz 9 no.142)

Sedangkan dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berkata,

أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ – زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَاضَتْ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَحَابِسَتُنَا هِيَ» قَالُوا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ قَالَ: «فَلاَ إِذًا»

"Sesungguhnya Shafiyah bintu Huyai (istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam) sedang haidh. lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, "Apakah Dia (Shofiyah) akan menahan kami?" maka mereka berkata, "Dia telah melakukan thawaf Ifadhah." Beliaupun bersabda, "Tidak apa-apa, kalau begitu." (HR al-Bukhâri 1757).

Imam Al-Baghawi rahimahullah menyatakan, "Jelaslah dengan hadits ini bahwa orang yang belum thawaf Ifadhah pada hari Nahr (Idul Adha) tidak boleh meninggalkan Makkah. (Ma’âlim at-Tanzîl 5/382).

Thawaf Ifadhah yang melewati tanggal 13 Dzulhijjah *diperbolehkan,* meskipun lebih utama dilakukan sebelum akhir hari-hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai batasan akhir pelaksanaan thawaf Ifadhah.

*Penjelasan:*

*Thawaf Ifadhah:*

Thawaf Ifadhah adalah thawaf yang wajib dilakukan sebagai bagian dari rukun haji, setelah melempar jumrah di Mina dan tahallul. 

*Waktu Utama:*

Waktu utama pelaksanaan thawaf Ifadhah adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah, dan sebaiknya sebelum akhir hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). 

*Perbedaan Pendapat:*

*Madzhab Hanafi:* 

Ada pendapat bahwa thawaf Ifadhah harus dilakukan sebelum akhir bulan Dzulhijjah. 

*Madzhab Syafi'i dan Hanbali:* 

Ada pendapat bahwa tidak ada batas waktu akhir untuk thawaf Ifadhah, dan bisa dilakukan kapan saja. 

*Hukum:*

*Wajib:* Thawaf Ifadhah adalah rukun haji yang wajib dilakukan. 

*Sah:* Jika thawaf Ifadhah dilakukan setelah tanggal 13 Dzulhijjah, tetap sah dan haji tetap sah. 

*Dam (Denda):*

Ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban dam (denda) jika thawaf Ifadhah dilakukan setelah tanggal 13 Dzulhijjah, terutama di *Madzhab Hanafi.* 

*Kesimpulan:*

Thawaf Ifadhah yang dilakukan setelah tanggal 13 Dzulhijjah tetap sah menurut *madzhab Syafi'i dan Hambali*, tetapi lebih utama jika dilakukan sebelum akhir hari-hari tasyrik. Para ulama berbeda pendapat mengenai batas akhir pelaksanaan thawaf Ifadhah dan kewajiban dam. Wallahu a'lam 🙏🏻

Oleh karenanya, mengingat esok hari di hari terakhir hari tasyrik belum ada bus shalat (shalawat) yang beroperasi menuju Masjidil Haram, maka alangkah bijak melihat sikon jama'ah Timlak AL yang masih kelelahan dan kecapean setelah melakukan ibadah ARMUZNA, maka Thawaf Ifadhah dilaksanakan setelah bus shalat (shalawat) beroperasi kembali. 

Demikian disampaikan penjelasan tentang Thawaf Ifadhah semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق إلى أقوم الطريق*

Kamis, 29 Mei 2025

RANGKAIAN IBADAH HAJI DI ARMUZNA [ARAFAH, MUZDALIFAH DAN MINA]

Rangkaian ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji, yang terdiri dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan lempar jumrah di Mina. 

*1. Arafah:*

*Wukuf:* 

Jemaah berdiam (wukuf) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Wukuf merupakan ibadah utama di Arafah, dimana jemaah menghabiskan waktu untuk berdoa, berzikir, dan memohon ampunan kepada Allah SWT.

*2. Muzdalifah:*

*Mabit atau Murur:*

Mabit adalah kegiatan setelah wukuf di Arafah, jemaah menuju Muzdalifah untuk bermalam (mabit). 

Murur di Muzdalifah adalah suatu skema haji di mana jemaah haji melintasi area Muzdalifah tanpa turun dari kendaraan (bus atau kendaraan lainnya) untuk kemudian langsung menuju Mina. Skema ini diterapkan sebagai solusi untuk mengurangi kepadatan dan potensi risiko di area Muzdalifah, serta untuk mempermudah perjalanan jemaah, terutama jemaah lansia dan disabilitas. 

*Makna "Murur":*

Secara bahasa, "murur" berarti melintas atau melewati. Dalam konteks haji, murur di Muzdalifah berarti jemaah haji tidak berhenti atau bermalam di Muzdalifah, melainkan langsung melintasinya menuju Mina. 

*Tujuan Murur:*

* *Mencegah Kepadatan:* Muzdalifah memiliki area yang terbatas, sehingga saat puncak haji, area tersebut akan menjadi sangat padat. Skema murur membantu mengurangi kepadatan ini dan mempercepat proses mobilisasi jemaah. 

* *Menjaga Keselamatan dan Kesehatan:* Kepadatan yang berlebihan di Muzdalifah dapat berisiko bagi keselamatan dan kesehatan jemaah, terutama jemaah lansia dan disabilitas. Murur membantu mencegah potensi risiko tersebut. 

*Mempermudah Perjalanan:*

Skema ini membuat perjalanan jemaah dari Arafah ke Mina menjadi lebih efisien, karena tidak perlu berhenti dan bermalam di Muzdalifah. 

*Pelaksanaan Murur:*

Setelah wukuf di Arafah, jemaah haji akan diberangkatkan menuju Muzdalifah, namun mereka tidak turun dari kendaraan. 

Jemaah melintasi Muzdalifah tanpa berhenti dan langsung melanjutkan perjalanan menuju Mina. 

Niat mabit (bermalam) di Muzdalifah tetap dilakukan secara mental, meskipun tidak secara fisik bermalam di area tersebut. 

*Hukum Murur:*

Skema murur di Muzdalifah ini sah dan diizinkan oleh ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), PBNU, Muhammadiyah, dan Persis. Hal ini dikarenakan murur merupakan solusi untuk mengatasi kondisi darurat dan kemaslahatan jemaah, seperti kepadatan di Muzdalifah. 

*Mengumpulkan Batu:*

Jemaah mengumpulkan batu-batu kecil sebanyak 70 buah atau lebih (bagi jamaah yang murur biasanya batu telah disiapkan oleh syarikah) yang akan digunakan untuk lempar jumrah di Mina. 

*Shalat Jama' Qashar:*

Di Muzdalifah, jemaah melaksanakan shalat Maghrib dan Isya' secara jamak (jama' qashar). 

*Shalat Subuh:*

Jemaah juga melakukan shalat Subuh di Muzdalifah sebelum melanjutkan perjalanan ke Mina. 

*Mina:*

*Lempar Jumrah:*

Jemaah melakukan lempar jumrah (melempar batu) ke tiga tempat [Jumrah Ula (awal), Jumrah Wustha (tengah), dan Jumrah Aqabah (akhir)]. Lempar jumrah merupakan simbol penolakan terhadap godaan setan dan hawa nafsu. 

*Mabit:*

Jemaah juga bermalam (mabit) di Mina selama beberapa hari, yang biasanya dimulai dari tanggal 10 Dzulhijjah. 

*Penyembelihan Hewan Kurban:*

Di Mina, jemaah yang melakukan haji tamattu' atau haji qiran juga melakukan penyembelihan hewan kurban.

Jemaah haji mabit di Mina selama 3 malam, yaitu malam tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah. Namun, bagi jemaah yang memilih nafar awal, mereka cukup mabit selama 2 malam, yaitu malam tanggal 11 dan 12 Zulhijah. 

*Penjelasan Lebih Detail:*

*Mabit:*

Mabit adalah kegiatan menginap atau bermalam di suatu tempat selama perjalanan haji. 

*Mina:*

Mina adalah sebuah tempat di dekat Mekah yang menjadi tempat bagi jemaah haji untuk menginap dan melakukan ritual melempar jumrah. 

*3. Nafar Awal:*

Nafar awal adalah kegiatan meninggalkan Mina pada tanggal 12 Zulhijah sebelum matahari tenggelam. 

*Nafar Tsani:*

Nafar tsani adalah kegiatan meninggalkan Mina pada tanggal 13 Zulhijah setelah matahari tenggelam. 

Jadi, secara umum, jemaah haji mabit di Mina selama 3 malam, tetapi jemaah yang memilih nafar awal cukup mabit selama 2 malam. Wallahu a’lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat 🙏🏻

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

PERSIAPKAN DIRI UNTUK 5 HARI PUNCAK RANGKAIAN HAJI, WUKUF 2025

*4 Juni 2025 (8 Zulhijah 1446 H)*

- Pemberangkatan jemaah dari Makkah ke Arafah.

*5 Juni 2025 (9 Zulhijah 1446 H)*

- Wukuf di Arafah (puncak haji).

*6 Juni 2025 (10 Zulhijah 1446 H)*

- Idul Adha 1446 Hijriah.

*7 Juni 2025 (11 Zulhijah 1446 H)*

- Hari Tasyrik I.

*8 Juni 2025 (12 Zulhijah 1446 H)*

- Hari Tasyrik II (Nafar Awal).

*9 Juni 2025 (13 Zulhijah 1446 H)*

- Hari Tasyrik III (Nafar Tsani).

*DEVINISI WUKUF*

Wukuf adalah suatu aktivitas ibadah dalam haji yang melibatkan berdiam diri di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, yang merupakan salah satu rukun haji yang paling penting. Wukuf berasal dari bahasa Arab "wuquf" yang berarti berhenti, dengan pesan moral untuk sejenak meninggalkan aktivitas dunia dan melakukan perenungan. 

Wukuf merupakan puncak ibadah haji dan menjadi pembeda antara haji dan umrah. Dalam bahasa Arab, "wukuf" berasal dari kata "waqafa" yang berarti berhenti. 

*Wukuf di Arafah:*

Ibadah wukuf dilakukan di Padang Arafah, yang merupakan tempat penting dalam ibadah haji. 

*Waktu Wukuf:*

Wukuf dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah, sehari sebelum hari raya Idul Adha. Pelaksanaan wukuf dimulai setelah matahari tergelincir (zhuhur) sampai terbenam matahari dan berakhir sebelum fajar (subuh) di hari Idul Adha. 

*Makna Wukuf:*

Wukuf merupakan simbol kebulatan tekad untuk meninggalkan keburukan dan mengabadikan kebaikan. Wukuf juga menjadi momen untuk merenungi dosa dan memohon ampunan kepada Allah. 

*Hukum Wukuf:*

Wukuf adalah rukun haji yang wajib dilaksanakan. Jika tidak dilakukan, maka ibadah haji dianggap tidak sah. 

*Makna Bahasa Arab:*

"Wukuf" berasal dari kata "waqafa" yang berarti berhenti. Ini menunjukkan bahwa wukuf adalah kegiatan berhenti sejenak dari aktivitas duniawi untuk merenungkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah. 

*Makna-makna penting dari wukuf:*

*1. Introspeksi dan Muhasabah Diri:*

Wukuf memberikan kesempatan bagi jemaah haji untuk melakukan introspeksi diri, merenungkan dosa-dosa, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi akhirat. 

*2. Kebulatan Tekad:*

Wukuf juga menjadi simbol kebulatan tekad untuk meninggalkan keburukan dan mengabadikan nilai-nilai kebaikan. 

*3. Mengingati Peristiwa Nabi Adam dan Hawa:*

Wukuf di Arafah mengingatkan peristiwa Nabi Adam dan Hawa yang diturunkan ke bumi dan bertemu di Arafah setelah 40 tahun. 

*4. Makrifat:*

Wukuf mengajarkan makrifat, yaitu pemahaman dan penghayatan mendalam tentang kebesaran Allah dan penciptaan manusia. 

Pengakuan 

*5. Keterbatasan Diri:*

Wukuf juga menjadi sarana untuk mengakui keterbatasan diri sebagai manusia dan menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sementara. 

*6. Persiapan Akhirat:*

Wukuf mengajarkan pentingnya mempersiapkan diri untuk akhirat dan mengingatkan akan keadilan Allah. 

Pertukaran Budaya:

Wukuf juga menjadi sarana pertukaran pengetahuan dan budaya antar bangsa, memperkaya wawasan tentang keberagaman. 

*7. Puncak Ibadah Haji:*

Wukuf merupakan puncak ibadah haji, dan jemaah haji yang tidak melakukan wukuf dianggap tidak sah ibadah hajinya. 

*8. Pengampunan Dosa:*

Wukuf merupakan kesempatan bagi jemaah haji untuk memohon pengampunan dosa kepada Allah. 

*9. Penyesalan Dosa:*

Wukuf adalah kesempatan bagi jemaah haji untuk menyesali segala dosa yang pernah dilakukan. Wallahu a’lam 🙏🏻 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 25 Mei 2025

SHALAT SUNNAH SAFAR BERANGKAT HAJI (Asimun Mas'ud)

Shalat sunnah dua rakaat sebelum berangkat haji ini dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Idhah fi Manasikil Hajj. Shalat sunnah berikut bacaan surat dan doa setelahnya disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam karyanya yang membahas khusus tata cara ibadah haji dan umrah.

يستحب إذا أراد الخروج من منزله أن يصلي ركعتين يقرأ في الأولى بعد الفاتحة (قل يا أيها الكافرون) وفي الثانية (قل هو الله أحد) ففي الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما خلف عبد أهله أفضل من ركعتين يركعهما عندهم حين يريد السفر

“Jamaah haji dianjurkan melakukan shalat dua raka’at sebelum keluar rumah. Pada rakaat pertama, ia dianjurkan untuk membaca surat Al-Kafirun dan membaca surat Al-Ikhlas untuk rakaat kedua. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW mengatakan, ‘Tidak ada amalan yang lebih utama ketika keluar rumah kecuali shalat dua raka’at,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-fatah fi Manasikil Hajj pada Hasyiyah Ibni Hajar, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 23)

Niat Shalat Sunnah Safar (bepergian),

أُصَلِّي سُنَّةَ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushalliî sunnatas safari rak'ataini lillâhi ta'âla

"Saya niat shalat sunnah perjalanan dua rakaat karena Allah ta'âla."

Berikut ini adalah rangkaian amalan sebelum jamaah haji keluar rumah menuju tanah suci:

*1.    Shalat sunnah dua rakaat.*

a. Surat Al-Fatihah dan Surat Al-Kafirun (pada rakaat pertama).

b. Surat Al-Fatihah dan Surat Al-Ikhlas (pada rakaat kedua).

*2.    Baca Ayat Kursi (Surat Al-Baqarah ayat 255) setelah salam.*

اللهُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَاْ خُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَّهُ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ اِلاَّ بِاِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَينَ اَيْدِيْهِمِ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلاَ يُحْيِطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ اِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضَ، وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمُا، وَهُوَ الْعَلِىُّ الْعَظِيْمُ 

“Allah, tiada yang layak disembah kecuali Dia yang hidup kekal lagi berdiri sendiri. Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat menjaga keduanya. Dia maha tinggi lagi maha agung.”

*3.    Baca Surat Quraisy.*

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ ٬إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ ٬ فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ٬ الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ 

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas, Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

*4.    Doa memohon penguatan perjalanan.*

اللهُمَّ إِلَيْكَ تَوَجَّهْتُ٫ وَبِكَ اعْتَصَمْتُ٫ اللهُمَّ اكْفِنِي مَا أَهَمَّنِي وَمَا لَمْ أَهْتَمَّ بِهِ. اللهُمَّ زَوِّدْنِي التَّقْوَى وَاغْفِرْ لي ذَنْبِي

Allahumma ilayka tawajjahtu, wa bika‘tashamtu. Allahummakfini ma ahammani wa ma lam ahtamma bihi. Allahumma zawwidnit taqwa, waghfir li dzanbi.

“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku menghadap. Hanya dengan-Mu aku berpegang. Ya Allah, cukupilah aku akan apa yang membimbangkanku dan apa yang tidak membimbangkanku. Ya Allah, berilah aku ketakwaan sebagai bekal. Ampunilah dosaku,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj pada Hasyiyah Ibni Hajar, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 23).

*5.    Doa memohon kemudahan dan penitipan atas segala yang ditinggalkan.*

اللهُمَّ بِكَ أَسْتَعِيْنُ، وَعَلَيْكَ أَتَوَكَّلُ٬ اللهُمَّ ذَلُّلْ لِيْ صُعُوبَةَ أَمْرِيْ٬ وَسَهِّلْ عَلَيَّ مَشَقَّةَ سَفَرِيْ٬ وَارْزُقْنِي مِنَ الخَيْرِ أَكْثَرَ مِمَّا أَطْلُبُ٬ وَاصْرِفْ عَنِّي كُلَّ شَرٍّ٬ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِيْ وَنَوِّرْ قَلْبِيْ وَيَسِّرْ لِي أَمْرِيْ. اللهُمَّ إِنِّي أَسْتَحْفِظُكَ وَأَسْتَوْدِعُكَ نَفْسِي وَدِيْنِي وَأَهْلِي وَأَقَارِبِي وَكُلَّ مَا أَنْعَمْتَ بِهِ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ مِنْ آخِرَةٍ وَدُنْيَا فَاحْفَظْنَا أَجْمَعِيْنَ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ يَا كَرِيْمُ

Allahumma bika asta'inu, wa 'alayka atawakkalu. Allahumma dzallil li shu'ubata amri, wa sahhil 'alayya masyaqqata safari, warzuqni minal khayri aktsara min ma athlubu, washrif 'anni kulla syarr. rabbisyrah li shadri, wa nawwir qalbi, wa yassir li amri. Allahumma inni astahfizhuka wa astawdi'uka nafsi wa dini wa ahli wa aqaribi wa kulla ma an'amta bihi 'alayya wa 'alayhim min akhiratin wa duniya, fahfazhna ajma'ina min kulli su'in ya karim.

“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan dan hanya kepada-Mu aku pasrah. Ya Allah, turunkanlah kesulitan urusanku. Mudahkanlah beban kesulitan perjalananku. Karuniakanlah aku sebagian dari kebaikan lebih banyak dari yang kuminta. Palingkanlah segala keburukan daripadaku. Tuhanku, lapangkanlah dadaku. Terangilah hatiku. Mudahkanlah urusanku. Ya Allah, aku meminta penjagaan dan menitipkan diriku, agamaku, keluarga, kerabatku, dan semua yang Kauanugerahkan kepadaku dan kepada mereka baik dunia maupun akhirat. Pelihaalah kami semua dari segala kejahatan wahai Tuhan yang pemurah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj pada Hasyiyah Ibni Hajar, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 23).

Semua rangkaian amalan ini disarikan dari Al-Idhah karya Imam An-Nawawi. Amalan ringkas sebelum memulai perjalanan ini dapat dilakukan oleh jamaah haji menuju tanah suci dan musafir lain secara umum. Wallahu a’lam