Rabu, 30 Januari 2019
KAJIAN TENTANG HUKUM SEORANG MUSLIM MASUK GEREJA DAN NON MUSLIM MASUK MASJID
*Pertanyaan:*
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Apa hukumnya seorang muslim masuk gereja sebagaimana Gus Nuril Arifin atau tempat ibadah umat lain, juga hukum orang Nasrani atau orang selain muslim masuk ke dalam masjid atau pesantren sebagaimana Rocky Gerung?
*Jawaban:*
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was sholatu was salamu ‘ala Rosulillah, amma ba’du,
*Bolehkah seorang muslim masuk gereja?*
Sesungguhnya ummat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang yang bukan dengan mudahnya menuduh seorang muslim dengan tuduhan yang tidak layak. Perihal seorang muslim berdakwah kepada non muslim ternyata telah lama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan, sebagaimana Rasulullah berdakwah kepada suku-suku Arab Badui yang kala itu beragama Majusi, sebagian ada yang Yahudi, Nasrani, dll. Yang karenanya masuk Islamlah mereka karenanya dan Islam berkembang pesat.
Ada tiga pendapat para ulama dalam hal sebagaimana pertanyaan diatas,
*Pendapat pertama,* Hukum masuk gereja itu haram. Inilah pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Namun ulama Syafi’iyah mengaitkan hukum haram jika di gereja tersebut ada gambar. Ulama Hanafiyah melarang secara mutlak karena gereja adalah tempat berdiamnya setan.
*Pendapat kedua,* Hukum masuk gereja itu makruh. Inilah pendapat ulama Hambali. Namun ulama Hambali mengaitkan terlarangnya jika di situ terdapat gambar.
*Pendapat ketiga,* Boleh secara mutlak masuk gereja. Inilah pendapat ulama Hambali.
Dari pendapat yang ada, intinya tidak ada dalil tegas yang melarang muslim masuk gereja. Adapun adanya patung atau gambar di suatu tempat, bukanlah berarti tidak boleh masuk ke tempat tersebut. Yang berdosa saat itu adalah yang membuat gambar atau patung. Adapun seseorang yang masuk tempat yang di situ terdapat patung, maka mesti ada nasehat. Tidak wajib keluar dari tempat tersebut.
Riwayat yang mendukung bolehnya masuk gereja,
وروى ابن عائذ في ” فتوح الشام ” أن النصارى صنعوا لعمر رضي الله عنه حين قدم الشام طعاما فدعوه ، فقال أين هو : قالوا : في الكنيسة ، فأبى أن يذهب ، وقال لعلي : امض بالناس فليتغدوا ، فذهب علي بالناس ، فدخل الكنيسة وتغدى هو والمسلمون ، وجعل علي ينظر إلى الصور ويقول : ما علي أمير المؤمنين لو دخل .
Ibnu ‘Aidz meriwayatkan dalam Futuhusy Syam, bahwa orang Nashrani pernah membuatkan sajian untuk ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau tiba di Syam. Ketika itu beliau diundang makan, maka tanya beliau, “Di mana undangan makan tersebut?” “Di gereja”, ada yang menjawab. Umar pun enggan memenuhi undangan tersebut. Umar pun mengatakan pada ‘Ali, “Pergi engkau bersama yang lainnya, lantas makanlah di sana.” Ali pun pergi bersama yang lain. Ali memasuki gereja, lantas beliau dan kaum muslimin lainnya makan di sana. Ketika itu, Ali melihat patung-patung yang ada dalam gereja lalu beliau berkata, “Apa yang Ali –amirul mukminin- lakukan ketika ia masuk?”
Ibnu Qudamah rahimahullah pernah menerangkan mengenai hukum masuk ke suatu tempat yang ada patung di dalamnya. Beliau memaparkan, “Seperti itu tidaklah haram. Adapun bolehnya tidak memenuhi undangan orang yang memajang patung (gambar) di rumahnya adalah sebagai bentuk punishment bagi yang mengundang atas kemungkaran yang ia lakukan. Sebenarnya tidak wajib bagi yang melihat seperti itu untuk keluar dari rumah. Inilah yang nampak dari perkataan Imam Ahmad.” (Al Mughni, 8: 113)
*Ulama pun berbeda pendapat tentang hukum orang kafir masuk masjid. Berikut diantaranya,*
*Pertama,* orang kafir tidak boleh masuk masjid, baik masjid di tanah haram (Mekah) maupun masjid di luar tanah haram. Ini adalah pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat beliau.
Hanya saja, sebagian ulama hambali membolehkan jika ada maslahat untuk kepentingan masjid, seperti memperbaiki bangunan atau semacamnya.
Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali mengharamkan sama sekali non-Muslim untuk masuk ke dalam masjidil haram meskipun untuk kemaslahatan tertentu. Hanya saja non-Muslim–menurut mereka–boleh memasuki masjid lain untuk sebuah hajat tertentu dengan izin umat Islam sebagaimana keterangan berikut ini:
وقال الشافعية والحنابلة: يمنع غير المسلم، ولو لمصلحة من دخول حرم مكة، لقوله تعالى: {يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس، فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا} [التوبة:28/9] وقد ورد في الأثر: « الحرم كله مسجد». ويجوز عندهم للكافر لحاجة دخول المساجد الأخرى غير المسجد الحرام، بإذن المسلمين؛ لأن نص الآية في المسجد الحرام، والأصل في الأشياء الإباحة، ولم يرد في الشرع ما يخالف هذا الأصل، ولأن النبي صلّى الله عليه وسلم قدم عليه وفد أهل الطائف، فأنزلهم في المسجد قبل إسلامهم. وقال سعيد بن المسيب: قد كان أبو سفيان يدخل مسجد المدينة، وهو على شركه. وقدم عمير بن وهب، فدخل المسجد، والنبي صلّى الله عليه وسلم فيه ليفتك به، فرزقه الله الإسلام
“Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa non-Muslim sekalipun untuk sebuah kemaslahatan dilarang untuk memasuki tanah haram Mekah berdasarkan firman Allah, ‘Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28). Di dalam atsar disebutkan, ‘Tanah haram seluruhnya adalah masjid.’ Menurut ulama dari dua madzhab ini, orang kafir boleh masuk masjid dengan izin umat Islam karena suatu keperluan kecuali masjidil haram. Pasalnya, teks ayat tersebut hanya menyinggung masjidil haram. Hal ini juga sesuai kaidah bahwa pada asalnya segala sesuatu adalah boleh. Di dalam syariat sendiri tidak ada dalil yang mengalahi hukum asal ini. Rasulullah SAW sendiri–ketika didatangi oleh rombongan kunjungan dari Thaif–menempatkan tamunya di masjid tersebut sebelum mereka memeluk Islam. Sa‘id Ibnul Musayyab mengatakan, Abu Sufyan pernah memasuki masjid Madinah ketika masih menjadi seorang musyrik. Ketika Rasulullah sedang berada di dalam masjid, ‘Umair bin Wahb pernah datang lalu memasukinya untuk membunuh Rasul. Tetapi Allah menganugerahkan Islam kepadanya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 583).
Al-Buhuti – ulama madzhab hambali – mengatakan,
لا يجوز لكافر دخول مسجد الحل ولو بإذن مسلم؛ لقوله تعالى: إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ سورة التوبة, ويجوز دخولها -أي مساجد الحل- للذمي, ومثله المعاهد والمستأمن إذا استؤجر لعمارتها؛ لأنه لمصلحته
Tidak boleh bagi orang kafir untuk masuk masjid meskipun di selain tanah haram, sekalipun dengan izin orang muslim. Berdasarkan firman Allah, yang artinya, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir..” (QS. At-Taubah: 18). Yang boleh masuk masjid adalah orang kafir zimmi, termasuk mu’ahid dan musta’min, ketika mereka dipekerjakan untuk memperbaiki masjid, karena ini untuk kemaslahatan masjid (Kasyful Qana’, 6:265).
Di antara dalil mereka yang mengambil pendapat ini adalah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah melihat ada orang majusi di dalam masjid ketika beliau sedang berkhutbah di atas mimbar. Kemudian Ali turun, dan memukulnya serta menyuruhnya keluar. Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Karena jika orang muslim yang junub tidak boleh masuk masjid maka orang musyrik lebih layak dilarang masuk masjid (Mathalib Uli an-Nuha, 2/617).
*Kedua,* orang kafir boleh masuk masjid, jika diharapkan dia bisa masuk Islam dengan melihat aktivitas kaum muslimin di masjid atau mendengar ceramah. Ini pendapat al-Qodhi Abu Ya’la – ulama hambali –. Dengan syarat, mendapat izin dari salah satu orang muslim. Keterangan beliau dinukil dalam Mathalib Ilin Nuha,
يجوز لكافر دخول المسجد بإذن مسلم إن رجي منه إسلام لأنه -صلى الله عليه وسلم- قدم عليه وفد أهل الطائف، فأنزلهم في المسجد قبل إسلامهم
Boleh bagi orang kafir untuk masuk masjid dengan izin dari seorang muslim, jika diharapkan dia masuk Islam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu dari Thaif, dan beliau menyuruh mereka untuk singgah di dalam masjid, dan mereka belum masuk islam (Mathalib Uli an-Nuha, 2:617).
*Ketiga,* larangan masuk masjid untuk orang kafir, hanya berlaku untuk Masjidil Haram dan bukan masjid lainnya. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm, al-Albani, Ibnu Utsaimin dan beberapa ulama lainnya.
Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini,
*1. Firman Allah,*
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini (tahun 9 H).” (QS. At-Taubah: 28)
Al-Qurthubi menukil keterangan Imam asy-Syafii yang mengatakan,
الآية عامة في سائر المشركين خاصة في المسجد الحرام, ولا يمنعون من دخول غيره فأباح دخول اليهود والنصارى في سائر المساجد
Ayat ini mencakup umum seluruh orang musyrik, terutama ketika masuk Masjidil Haram. Dan mereka tidak dilarang untuk masuk masjid lainnya. Karena itu, Dia membolehkan orang yahudi atau nasrani masuk ke masjid-masjid lainnya (Tafsir al-Qurthubi, 8:105).
Keterangan yang sama juga disampaikan Ibnu Hazm, dalam al-Muhalla beliau mengatakan,
فخص الله المسجد الحرام، فلا يجوز تعديه إلى غيره بغير نص
Allah mengkhususkan hukum untuk Masjidil Haram, karena itu tidak boleh diberlakukan untuk masjid yang lain tanpa dalil (al-Muhalla, 3:162).
*2. Praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam*
Diantaranya, keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ: ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، سَيِّدُ أَهْلِ اليَمَامَةِ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي المَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ»، فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ المَسْجِدِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ المَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus beberpaa penunggang kuda ke arah Nejd, tiba-tiba utusan itu kembali dengan membawa tawanan yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku daerah Yamamah. Merekapun mengikatnya di salah satu tembok Masjid Nabawi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati Tsumamah, lalu beliau memerintahkan, “Lepaskan Tsumamah.” Kemudian Tsumamah menuju kebun kurma dekat masjid, beliau mandi lalu masuk masjid, dan menyatakan masuk Islam dengan bersyahadat. Laa ilaaha illallaah muhammadur Rasulullah. (HR. Bukhari 2422 dan Muslim 1764) .
Insya Allah inilah pendapat yang lebih kuat, berdasarkan praktek makna teks ayat dan praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Khatib asy-Syarbini mengatakan,
وثبت أنه – صلى الله عليه وسلم – أدخل الكفار مسجده، وكان ذلك بعد نزول ” براءة “، فإنها نزلت سنة تسع، وقدم الوفد عليه سنة عشر وفيهم وفد نصارى نجران، وهم أول من ضرب عليهم الجزية فأنزلهم مسجده وناظرهم في أمر المسيح وغيره
Terdapat riwayat yang shahih, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah, surat ini turun di tahun 9 hijriyah. Sementara beliau menerima banyak tamu pada tahun 10 hijriyah, dan diantara mereka ada orang nasrani Najran. Dan mereka suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang Al-Masih dan yang lainnya. (Mughni al-Muhtaj, 6:68).
*Ulama Saudi Bolehkan Muslim Kunjungi Tempat Ibadah Agama Lain Meski harus Membayar*
Syaikh Dr Abdullah bin Sulaiman al-Mani, anggota Dewan Ulama Senior dan Penasihat untuk kerajaan Saudi, mengatakan mahasiswa Saudi yang belajar di Malaysia dibolehkan untuk mengunjungi tempat-tempat ibadah agama lain serta mendorong mereka untuk aktif menggunakan sosial media, surat kabar Al Riyadh melaporkan secara online pada hari Senin kemarin (8/10).
Dr Abdullah menjelaskan kepada mahasiswa Saudi yang menerima beasiswa ke luar negeri, bahwa dirinya tidak keberatan para mahasiswa saudi di luar negeri mengunjungi tempat-tempat ibadah non-muslim dan menonton ritual mereka, bahkan jika harus membayar untuk biaya masuk, karena hal ini akan memperkuat lampiran muslim untuk agamanya dan menunjukkan ketidaktahuan para pengikut agama-agama lain terhadap Islam.
Dr Abdullah dalam pernyataannya juga mendorong para pemuda Saudi untuk menggunakan semua media sosial yang ada, seperti facebook, twitter, email, dan What’sApp, untuk menyebarkan pesan Islam ke semua kalangan dengan memanfaatkan kemajuan zaman.
Menurut surat kabar Al Riyadh, Dr Abdullah juga mengingatkan para mahasiswa tentang pentingnya menyebarkan pesan toleransi dalam menghadapi serangan sengit terhadap Islam, dan menahan diri dari melakukan reaksi kekerasan, dan berusahalah menjadi pembawa pesan damai Islam. Wallahu a'lam
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 24 Januari 2019
DASAR PEMIKIRAN DAN TUJUAN UMUM MADRASAH KADER NAHDLATUL 'ULAMA (MKNU)
*Mukaddimah*
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَماواتٍ طِباقاً مَا تَرى فِي خَلْقِ الرَّحْمنِ مِنْ تَفاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خاسِئاً وَهُوَ حَسِيرٌ (4)
"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah." (QS. Al-Mulk : 3-4)
========
*Institusi Khusus*
*Institusi Khusus* adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. ... Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.
*Institusi khusus* ini mencakup tiga hal dalam masalah *Pengelolaan, Penyelenggaraan dan Pengembangan Kebijakan Nahdlatul 'Ulama.*
=========
*Tujuan Umum Madrasah Kader Nahdlatul 'Ulama (MKNU)*
*MEMBENTUK, MENYATUKAN, MENYELARASKAN DAN MEMPERTAHANKAN :*
- Karakter Aswaja
*(Akhlaqul Karimah)*
*1. Ahlul Hadits/Atsariyah (Literalis)*
*2. Ahlun Nazhor Wal 'Aqli/Nazhoriyah 'Aqliyah (Rasionalis), dan*
*3. Ahlul Wijdan Wal Kasyf/Syufiyah (Sufiyah)*
- Sikap Militansi
*(Amaliah, Harakah dan Fikrah Nahdliyah)*
- Pola Pikir/Cara Pandang
*Berkembang/Dinamis (تطوريا), Penjernihan (تصويفيا), Moderat (توسطيا), dan Manhaj/Metodilogis (منهجيا)*
*المحافظة على القديم الصالح والأخذ باالجديد الأصلح، ألإصلاح الى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلخ*
- Harakah/Pergerakan
*Menjaga (تحفيظا), Menguatkan (تقويا), Mendengar (سمعا), Kesetiaan (طاعة), Ramah (تودديا), dan Kasih Sayang (ترحميا)*
- Gaya Hidup
*Beradaptasi & Menjaga Tradisi (عرفيا), Bermadzhab (مذهبيا), Kesinambungan (سنديا), Seimbang (توازن, Toleransi (تسامح), Pertengahan, dan Adil (إعتدل) serta Dakwah Bil Hikmah Wal Mau'izhoh Hasanah*
- Kecakapan & Kesejahteraan Hidup
*فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ (24) أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا (25) ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا (26) فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا (27) وَعِنَبًا وَقَضْبًا (28) وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا (29) وَحَدَائِقَ غُلْبًا (30) وَفَاكِهَةً وَأَبًّا (31) مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ (32)*
*"Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-mayur, zaitun dan pohon kurma. kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian." (QS. Abasa : 24-32)*
*Bagaimana NU memandang kemandirian ekonomi ummatnya?*
Sebelum NU lahir, *Mbah Wahab Chasbullah dan kiai lainnya mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para pedagang).* Ini adalah cikal bakal dari NU. Maka dari itu, di dalam sejarahnya para pendiri NU memiliki perhatian yang lebih terhadap perekonomian dan kesejahteraan ummat. Karena apabila Nahdliyin ekonominya kuat, maka NU dan Indonesia akan juga kuat. Begitu juga sebaliknya.
*Kalau saat ini?*
Sebagaimana yang telah disepakati saat Muktamar Jombang bahwa ada tiga (3) amanah yang menjadi perhatian khusus, yaitu *pertama,* peningkatan bidang pendidikan. Saat ini, ada puluhan ribu sekolah Ma’arif dan ada tiga puluh satu perguruan tinggi NU yang sudah dibangun. *Kedua,* peningkatan bidang kesehatan. NU juga sudah membangun rumah sakit, klinik kesehatan, dan pelayanan-pelayanan kesehatan lainnya.
*Ketiga,* peningkatan bidang ekonomi. PBNU juga berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Nahdliyin dalam bidang ekonomi. Ekonomi Nahdliyin kebanyakan di sektor-sektor informal dan masih menengah ke bawah seperti pedagang kecil, petani, nelayan, dan lainnya. Kita terus dorong mereka agar bisa naik ke level menengah.
*Caranya?*
Dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dan juga meningkatkan mutu kualitas hasil produksinya. Misalnya, kalau dulu menggunakan plastik biasa dalam mengemas produk, sekarang bisa menggunakan plastik yang menarik. Pengolahannya dan hasilnya juga dibaguskan. Sehingga nilainya juga akan lebih bagus juga.
Distribusi hasil produksi juga harus diperluas. Kalau dulu hanya dijajakan di kampungnya saja, sekarang bisa dipasarkan kemana-mana dan murah dengan menggunakan internet seperti toko online di website ataupun media sosial.
Di era globalisasi ini, warga NU harus berani mengambil langkah-langkah strategis di berbagai bidang, baik itu bidang perdagangan, pertanian, perikanan, dan nelayan. Selain itu, pemerintah juga harus mendukung pelaku ekonomi menengah ke bawah yang mayoritas adalah warga NU tersebut.
===========
*Bauran Capaian*
1. Efektifitas Organisasi
2. Penguatan Kapasitas Sumberdaya Pengurus (SDM)
3. Penyelarasan Pemahaman Aswaja An-Nahdliyah
==========
*Atribusi*
Atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita/ merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.
*1. Fikrah*
*- Berkembang/Dinamis (تطوريا),*
*- Penjernihan (تصويفيا),*
*- Moderat (توسطيا), dan*
*- Manhaj/Metodilogis (منهجيا)*
*المحافظة على القديم الصالح والأخذ باالجديد الأصلح، ألإصلاح الى ما هو الأصلح ثم الأصلح فالأصلخ*
*2. Harakah*
*- Menjaga (تحفيظا),*
*- Menguatkan (تقويا),*
*- Mendengar (سمعا),*
*- Kesetiaan (طاعة),*
*- Ramah (تودديا),* dan
*- Kasih Sayang (ترحميا)*
*3. Amaliah*
*- Beradaptasi & Menjaga Tradisi (عرفيا),*
*- Bermadzhab (مذهبيا),*
*- Kesinambungan (سنديا),*
*- Seimbang (توازن,*
*- Toleransi (تسامح),*
*- Pertengahan (تواسط), dan*
*Adil (إعتدل) serta*
*- Dakwah Bil Hikmah Wal Mau'izhoh Hasanah*
==========
*Bauran Atribusi*
1. As-Shidqu (Jujur)
2. Al-'Adalah (Adil)
3. Al-Istiqomah (Konsisten)
4. At-Ta'awun (Saling Menolong), dan
5. Al-Amanah Wal Wafa Bil 'Ahdi (Dapat Dipercaya dan Menepati Janji)
===========
*Topik-Topik*
1. Al-Adzkar Al-Imam Nawawi Al-Bantani
2. Ihya 'Ulumuddin Al-Imam Abu Hamid Al-Ghozali
3. Shofwatut Tafassir Al-Imam Muhammad 'Ali As-Shobuni, dan
4. Al-Muhadzab Al-Imam Syairozi
Demikian Asumun Mas'ud memaparkan materi Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Selasa, 22 Januari 2019
ANTARA KEPALA MANUSIA DAN KEPALA KOREK API DI TAHUN POLITIK
Satu *POHON* dapat membuat jutaan batang *KOREK API*, tapi satu batang korek api juga dapat membakar jutaan pohon. Jadi, satu pikiran *NEGATIF* dapat membakar semua pikiran *POSITIF*.
Korek api mempunyai *KEPALA*, tetapi tidak mempunyai *OTAK*, oleh karena itu setiap kali ada gesekan kecil, sang korek api langsung *TERBAKAR*.
Kita mempunyai *KEPALA*, dan juga *OTAK*, jadi kita tidak perlu terbakar *AMARAH* hanya karena gesekan kecil.
Ketika burung *HIDUP*, ia makan semut. Ketika burung *MATI*, semut lah yg memakan burung.
Waktu terus berputar sepanjang zaman. Siklus kehidupan terus berlanjut. Jangan *MERENDAHKAN* siapapun dalam hidup, bukan karena siapa mereka, tetapi karena siapa diri kita.
Kita mungkin merasa berkuasa tapi *WAKTU* lebih berkuasa daripada kita.
Waktu kita sedang *JAYA*, kita merasa banyak teman di sekeliling kita.
Waktu kita *JATUH*, kita baru tau siapa sesungguhnya teman kita.
Waktu kita *SAKIT*, kita juga baru tau bahwa sehat itu sangat penting, jauh melebihi *HARTA*.
Ketika kita *TUA*, kita baru tau kalau masih banyak yg belum dikerjakan, dan setelah di ambang ajal, kita baru tau ternyata begitu banyak waktu yg terbuang sia-sia.
Hidup tidaklah lama, sudah saatnya kita bersama-sama membuat *HIDUP LEBIH BERHARGA*, saling menghargai, saling membantu dan memberi, juga saling mendukung.
Jadilah teman perjalanan hidup yg tanpa pamrih dan syarat.
Hidup terasa indah jika dijalani dgn penuh dengan rasa *UKHUWAH*. Tapi hidup terasa hampa dan penuh *DOSA* jika dijalani dengan rasa *AMARAH* dan menganggap org lain selalu salah.
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga hidup kita penuh berkah dan rohmah. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Senin, 21 Januari 2019
KAJIAN TENTANG KEHARAMAN POLIANDRI
*Tanya*
Assalamu'alaikum Pak Ustadz, sepanjang pengetahuan saya, Islam membolehkan pria untuk menikahi wanita hingga 4 orang. Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk wanita. Pada zaman Rasulullah, mungkin hal itu tidak dimungkinkan karena apabila wanita tersebut mengandung, maka akan sukar ditentukan siapa bapak biologis si anak. Namun, pada zaman sekarang ini, dengan kemajuan teknologi di bidang medis, bapak biologis anak bisa ditentukan dengan penelitian sampel DNA si anak dan si bapak. Apakah dengan itu berarti wanita sudah boleh poliandri? Mohon pencerahan dari pak ustadz mengenai hal ini, supaya aqidah saya bisa tambah mantap. Terima kasih
*Jawab*
Wa'alaikumussalam wr.wb. Ukhti yang dimuliakan Allah Ta'ala.
Keharaman poliandri bukan semata-mata disebabkan karena khawatir akan terjadinya kerancuan keturunan. Tetapi memang semata-mata keharaman yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan.
Buktinya, poliandri tetap haram dilakukan oleh seorang wanita yang mandul. Kalau seandainya keharamannya hanya karena khawatir akan terjadi kerancuan dalam masalah keturunan, seharusnya wanita mandul boleh berpoliandri. Sebab dia tidak akan berketurunan, sehingga tidak akan timbul masalah kerancuan tersebut.
Demikian juga hal yang sama berlaku buat laki-laki mandul. Meski sudah bisa dipastikan tidak bisa mengakibatkan kehamilan pada diri seorang wanita, tetap saja dia diharamkan berzina. Sebab haramnya zina bukan semata-mata mengkhawatirkan lahirnya anak di luar nikah.
Dalam syariat Islam, jangankan poliandri, melamar wanita yang sedang dalam lamaran orang lain pun hukumnya haram. Termasuk melamar wanita yang sudah dicerai suaminya, selama masa iddah belum selesai, juga haram hukumnya. Apalagi sampai menikahi isteri orang, maka keharamannya dua kali lipat.
*Poliandri = Selingkuh = Zina*
Praktek poliandri di masa Nabi Shallaallahu 'alaihi wa sallam sudah ada dan diharamkan, namun sama sekali tidak berangkat dari khawatir terjadinya kerancuan nasab.
Ummul Mukminin Aisyah ra dalam salah satu hadits yangdiriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Daud, menyebutkan ada 4 macam macam pernikahan dalam masa jahiliah, yaitu:
قال يحيى بن سليمان حدثنا ابن وهب عن يونس ح وحدثنا أحمد بن صالح حدثنا عنبسة حدثنا يونس عن ابن شهاب قال أخبرني عروة بن الزبير أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أخبرته أن النكاح في الجاهلية كان على أربعة أنحاء فنكاح منها نكاح الناس اليوم يخطب الرجل إلى الرجل وليته أو ابنته فيصدقها ثم ينكحها ونكاح آخر كان الرجل يقول لامرأته إذا طهرت من طمثها أرسلي إلى فلان فاستبضعي منه ويعتزلها زوجها ولا يمسها أبدا حتى يتبين حملها من ذلك الرجل الذي تستبضع منه فإذا تبين حملها أصابها زوجها إذا أحب وإنما يفعل ذلك رغبة في نجابة الولد فكان هذا النكاح نكاح الاستبضاع ونكاح آخر يجتمع الرهط ما دون العشرة فيدخلون على المرأة كلهم يصيبها فإذا حملت ووضعت ومر عليها ليال بعد أن تضع حملها أرسلت إليهم فلم يستطع رجل منهم أن يمتنع حتى يجتمعوا عندها تقول لهم قد عرفتم الذي كان من أمركم وقد ولدت فهو ابنك يا فلان تسمي من أحبت باسمه فيلحق به ولدها لا يستطيع أن يمتنع به الرجل ونكاح الرابع يجتمع الناس الكثير فيدخلون على المرأة لا تمتنع ممن جاءها وهن البغايا كن ينصبن على أبوابهن رايات تكون علما فمن أرادهن دخل عليهن فإذا حملت إحداهن ووضعت حملها جمعوا لها ودعوا لهم القافة ثم ألحقوا ولدها بالذي يرون فالتاط به ودعي ابنه لا يمتنع من ذلك فلما بعث محمد صلى الله عليه وسلم بالحق هدم نكاح الجاهلية كله إلا نكاح الناس اليوم
Dari Ibnu Syihab, ia berkata : telah mengkhabarkan kepada saya ‘Urwah bin Zubair, sesungguhnya ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepadanya, bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam.
1). Pernikahan yang berlaku seperti sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada orang tuanya atau walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.
Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2). Seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “ pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpuli”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sama sekali sehingga telah jelas istrinya itu telah hamil dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdla’.
Kemudian bentuk yang lain, 3). Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari sepuluh orang berkumpul, lalu mereka masing-masing mencampuri seorang wanita tersebut. Apabila wanita telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “ sungguh anda semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai Fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak bisa menolaknya.
Dan bentuk ke-4). Yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Mereka itu adalah para wanita pelacur. Mereka memasang bendera-bendera di depan pintu mereka sebagai tanda. Maka siapa saja yang menginginkannya boleh masuk, kemudian apabila salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan telah melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi dikumpulkan di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang ahli qiyafah ( ahli memeriksa dan meneliti tanda-tanda pada manusia), lalu dihubungkalah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli qiyafah itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun di panggil sebagai anaknya, dan orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya. Kemudian Nabi Muhammad SAW di utus sebagai Rasul dengan membawa kebenaran, beliau menghapus pernikahan dengan model jahiliyah tersebut seluruhnya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR. Bukhari juz 6, hal. 132].
Singkatnya, dari keempat macam pernikahan itu, pernikahan nomor 2, 3 dan 4, disebut zina dan di masa sekarang ini disebut dengan poliandri.
*Hukum Poliandri*
Konsensus (Ijma') Ulama menetapkan hukum bahwa perkawinan dengan wanita yang sudah mempunyai suami, tidak sah dan dituntut hukuman rajam, bila terbukti sudah pernah berkumpul. Oleh karena itu, perkawinan tersebut hukumnya haram, karena berdasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits yang berbunyi:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (24)
"Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan maha bijaksana." (QS. An-Nisa' : 24)
Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir juga membawakan riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat diatas sbb :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَصَبْنَا نِسَاءً مِنْ سَبْيِ أَوْطَاسَ، وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَكَرِهْنَا أَنْ نَقَعَ عَلَيْهِنَّ وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَسَأَلْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هذه الآية: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} [قَالَ] فَاسْتَحْلَلْنَا فُرُوجَهُنَّ
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami mendapat wanita dari suku Authas yang ditawan, para wanita itu memiliki suami lebih dari satu. Kami enggan bersetubuh dengan mereka karena mereka memiliki suami. Kamipun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, lalu turunlah ayat (yang artinya) ‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki‘. Dengan itu kami pun mengganggap mereka halal dicampuri” (Tafsir Ibni Katsir, 2/256)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَلْيَوْمِ اْلاخِرِ فَلاَ يَسْقِى مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ. رواه التر مذى
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, maka ia tidak boleh menyiram air benih orang lain (maksudnya tidak boleh mengumpuli istri orang lain)” (H.R. At-Tirmidzi)
*Arti Poliandri*
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa po·li·an·dri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
Poliandri secara etomoligis berasal dari bahasa Yunani yaitu polus: banyak; andros: laki-laki. Secara terminologis, poliandri diartikan dengan perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu. Dalam kehidupan masyarakat poligini (satu suami) lebih umum dikenal dari pada poliandri.
عَنْ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا
Dari Samrah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul iqtidha`, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Dengan demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam
Demikian AAsimun Ibnu Mas'udmenjelaskan semoga bermanf'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 10 Januari 2019
EDISI KHUTBAH JUM'AT (Tiga Ciri Orang Yang Dicintai Allah Ta'ala)
*Khutbah Pertama*
الحمد لله الذي أصلحَ الضمائرَ، ونقّى السرائرَ، فهدى القلبَ الحائرَ إلى طريقِ أولي البصائرِ، وأشهدُ أَنْ لا إلهَ إلا اللهُ وحدَه لا شريكَ له، وأشهدُ أن سيِّدَنا ونبينا محمداً عبدُ اللهِ ورسولُه، أنقى العالمينَ سريرةً وأزكاهم سيرةً،
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
اَمَّا بَعْدُ فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اِتَّقُوااللهَ تَعَالَى حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
*Jama'ah sidang Jum’at rahimakumullah*
Marilah kita meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah ta’ala. Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dengan senantiasa mengingat Allah dalam banyak kesempatan.
Imam Al-Hakim dalam Mustadraknya yang disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi akan keshahihannya, menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ يُبْغِضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِالْآخِرَة
“Sesungguhnya Allah ta’ala membenci orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam perkara akhirat”. (HR. Hakim)
Orang seperti itu mirip dengan orang kafir yang Allah sebut dalam surat Ar-Rum,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)
*Jamaah sidang Jum’at rahimakumullah*
Lantas apa ciri-ciri orang yang dicintai Allah? *Pertama,* Orang yang dicintai Allah setelah beriman dan bertaqwa kepada-Nya adalah muhsinun, orang-orang yang senantiasa berbuat baik. Allah Ta'ala berfirman,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 134).
Ayat tersebut menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya.
*Kedua,* Orang yang dicintai Allah adalah orang yang dibimbing oleh Allah. Ketika Allah mencintai seorang hamba, maka hamba tersebut akan berada dalam tuntunan Allah Ta’ala. Allah arahkan dia dalam kebaikan. Allah tidak ridho langkahnya menuju hal yang dibenci Allah. Allah tidak Ridho matanya melihat apa yang dibenci oleh Allah. Allah tidak Ridha pendengarannya mendengar apa yang dibenci Allah ta’ala. Apakah artinya dia maksum?
Dia tidak maksum. Dosa adalah sebuah keniscayaan, tetapi orang yang dicintai oleh Allah ketika melakukan perbuatan dosa, dengan tuntunan Allah yang baik, kepadanya diarahkan kepada kebaikan, maka dia dipercepat. Dia akan dibimbing oleh Allah untuk mudah sadar dan kembali kepada-Nya dengan bertobat.
Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala menjaga sahabat Ma’iz radiallahu anhu, sahabat yang dia datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengatakan, “Ya Rasulullah sucikan aku!” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepada para sahabat apakah sahabat Maiz sudah gila? Para sahabat mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah! Sesungguhnya dia dalam keadaan waras.”
Ma’iz disuruh pulang, namun hari berikutnya datang kembali kepada Rasulullah seraya mengatakan “Ya Rasulullah, sucikan aku.” Ia berkata begitu karena telah melakukan perbuatan zina. Rasulullah masih belum yakin dan memastikan apakah ia berbicara secara sadar.
Setelah tiga kali datang dan dipastikan, maka Ma’iz dihukum rajam. Setelah kematiannya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لقد تاب توبة لو قسمت بين أمة لوسعتهم
“Maiz betul-betul telah bertaubat yang sempurna. Seandainya taubat Maiz dapat dibagi-bagikan di tengah-tengah ummat niscaya mencukupi buat mereka”.
Jadi, ciri orang yang dicintai Allah adalah dia akan dibimbing oleh Allah pada kebaikan. Ketika berbuat dosa, ia tidak kebablasan, tetapi dibimbing untuk sadar dan bertobat kepada-Nya.
*Jama'ah sidang Jum’at rahimakumullah*
*Ketiga,* Cirii orang yang dicintai Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala akan mengumpulkannya dengan orang yang mencintai dirinya karena Allah dan dia mencintai mereka karena Allah Ta’ala
Cinta karena Allah Ta’ala adalah faktor yang menyebabkan kecintaan Allah kepada seseorang. Oleh karena itu hati yang dipadu cinta bersama saudaranya karena Allah Ta’ala, akan mudah melekat.
Contoh dalam masalah ini adalah Saad bin Muadz Radiallahu anhu. Ibnu Al Jauzi mengisahkan ketika Saad bin Muadz sedang menderita sakit, maka beliau menangis karena melihat banyak temannya yang dekat dengan dirinya tidak menjenguk, sehingga kemudian dia bertanya kepada pembantunya, “Ada apa dengan teman-temanku ini? kenapa mereka tidak menjengukku?”
Maka pembantunya diminta untuk mencari sebabnya. Kemudian diketahui bahwa mereka tidak menjenguk Saad bin Muadz Karena mereka malu akibat memiliki hutang kepadanya. Maka Saad bin Muadz mengatakan, “Sungguh dunia telah memisahkan antara diriku dan para sahabatku yang membangun cinta karena Allah Ta’ala.”
Saat kemudian memerintahkan pembantunya untuk mengumpulkan kantong sebanyak orang yang berhutang kepadanya, kemudian kantong itu diisi dinar dan dirham. Kantong-kantong itu kemudian dibagikan kepada orang yang berhutang kepadanya dan dia mengatakan semua utang mereka bebas karena Allah Ta’ala.
*Jamaah sidang Jum’at rahimakumullah*
Selanjutnya juga ada tiga golongan yang dicintai oleh Allah tetapi ada tiga golongan lagi yang lebih dicintai Allah Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أحب ثلاثاً وحبي لثلاث أشد: أحب الغني السحي .. وحبي للفقير السحي أشد.وأحب الفقير المتواضع .. وحبي للغني المتواضع أشد, وأحب الشيخ الطائع .. وحبي للشاب الطائع أشد.
Aku cinta kata Allah pada tiga macam golongan manusia tapi aku lebih cinta kepada tiga macam lagi. Jadi ada 3 yang dicintai Allah, tapi ada 3 hal lain yang lebih dicintai oleh Allah.
Yang pertama:
حب الغني السحي .. وحبي للفقير السحي أشد
“Aku cinta pada orang-orang kaya yang pemurah tapi aku lebih cinta orang fakir yang pemurah.”
Orang kaya pemurah Allah cinta, orang miskin pemurah, Allah lebih cinta, orang kaya yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi, gemar memberikan pertolongan akan dicintai oleh Allah.
Dizaman sekarang ini seiring dengan makin tajamnya persaingan hidup, makin tingginya tensi ekonomi, antara pencari kerja dan lowongan kerja yang tidak seimbang menyebabkan gaya hidup orang semakin konsumtif dan individualis. Kepekaan sosial mulai luntur dan luntur, padahal Islam mengajarkan, Allah cinta pada orang yang pemurah, gemar memberikan pertolongan, peka terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan harta sebagian kita dari sebagian yang lain dimaksudkan untuk saling tolong-menolong, bahu - membahu dan bantu - membantu. Sehingga dengan demikian apa yang disabdakan oleh nabi dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash ra.
الراحمون يرحمهم الرحمان ارحمو من في الارض يرحمكم من فى السماء
“Orang-rang yang punya sifat belas kasih akan dikasihi oleh Allah. Sayangilah orang dibumi maka nanti yang dilangit akan menyayangi kamu.” (HR. Tirmidzi)
Akan turun rahmah-Nya dibumi ini. Alangkah indahnya hidup ini bila yang berkuasa menyayangi yang lemah lalu melindunginya, yang alim menyayangi yang jahil lalu mengajarinya dan yang kaya meyayangi yang fakir lalu menyantuninya akan terciptya rahmah dalam kehidupan.
Namun bila terjadi sebaliknya, bila penguasa menindas yang lemah, yang alim meremehkan yang jahil dan yang kaya membiarkan fakir miskin maka akan terjadilah bala dan bencana dalam kehidupan.
Tapi orang miskin yang pemurah lebih dicintai oleh Allah, mengapa demikian? Karena orang miskin tapi dia tetap mau menolong sesama maka itu luar biasa. Karena untuk mencari sepeser uang, dia harus berkerja keras, harus memenuhi kebutuhan keluarga tapi dia masih mau bersodakoh, masih mau menolong sesama sehingga Allah pun sangat mencintainya.
Golongan kedua:
وأحب الفقير المتواضع .. وحبي للغني المتواضع أشد
“Aku cinta orang fakir yang rendah hati dan cintaku lebih besar pada orang kaya yang rendah hati.”
Golongan yang kedua yang dicintai Allah adalah orang fakir yang rendah hati, orang fakir yang tidak sombong dengan kefakirannya. Maksudnya adalah orang fakir yang tetap mau berusaha mencari karunia Allah dibumi, dan tetap melaksanakan perintah Allah. Karena saat ini kita banyak melihat orang miskin yang sombong, orang miskin yang sok kaya. Orang miskin yang enggan berkerja, apalagi bersodakoh.
Tapi orang kaya yang rendah hati lebih dicintai oleh Allah. Orang miskin rendah hati sudah lah suatu keharusan sesuai dengan kondisinya tapi orang kaya yang rendah hati dan tidak sombong itu sangat sulit dan jarang, sehingga sangat dicintai oleh Allah.
Dan golongan ketiga:
وأحب الشيخ الطائع .. وحبي للشاب الطائع أشد.
“Aku cinta orang tua yang bertobat dan cintaku lebih besar pada pemuda yang bertobat.”
Setiap manusia pasti pernah melakukan dosa, tapi sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah orang yang mau bertobat. Namun yang terjadi saat ini adalah, pemuda masa depan kita beranggapan bahwa masa muda adalah masa yang bebas, masa berapi-api sehingga dia melakukan apapun yang dia inginkan, ketika dia diingatkan maka dengan mudahnya menjawab” saya kan masih muda, dan umur ku masih panjang.”
Padahal kita tidak mengetahui kapan kita mati dan malaikat pencabut nyawa pun tidak pilih-pilih dalam mencabut nyawa bila memang disaat itulah nyawa seseorang harus dicabut. Sehingga Allah mencintai orang tua yang mau bertobat dan Allah lebih cinta lagi pada pemuda yang mau bertobat.
Hal ini senada dengan firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 17:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Semoga bermanfaat, dan Allah memberikan Rahmat-Nya kepada kita untuk meraih kecintaan dari-Nya, insya Allah.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
*Khutbah Kedua*
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ, اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمِّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ؛ عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْن
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقاً مَعْصُوْماً، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْماً.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَاناً صَادِقاً ذَاكِراً، وَقَلْباً خَاشِعاً مُنِيْباً، وَعَمَلاً صَالِحاً زَاكِياً، وَعِلْماً نَافِعاً رَافِعاً، وَإِيْمَاناً رَاسِخاً ثَابِتاً، وَيَقِيْناً صَادِقاً خَالِصاً، وَرِزْقاً حَلاَلاً طَيِّباً وَاسِعاً، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجمع كلمتهم عَلَى الحق، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظالمين، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعَبادك أجمعين.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ.
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ : ( إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ )
Rabu, 09 Januari 2019
KAJIAN TENTANG HUKUM SUAMI ISTRI HIDUP SALING BERJAUHAN
TANYA: Assalamu'alaikum ustadz, maaf mau bertanya berapa lama kiranya seorang suami bisa tinggal jauh dari istrinya atau sebaliknya, misalnya, karena berpergian atau karena kerja di luar negeri? Mohon jawabannya.
JAWAB : Wa'alaikumussalam wr.wb. kepada penanya yang kami hormati dam dimuliakan Allah Ta'ala.
Tujuan utama dari pernikahan dalam Islam adalah realisasi dari ketenangan dan rahmat antara pasangan. Untuk pencapaian tujuan tertinggi ini, Islam mendefinisikan tugas dan hak untuk suami dan istri dengan kadar tertentu.
Batas maksimum suami diperbolehkan untuk berada jauh dari istrinya atau sebaliknya hanyalah empat bulan, atau enam bulan sesuai dengan pandangan para ulama Hanbali. Ini adalah periode maksimum, utamanya untuk para istri dapat bertahan ketika berpisah dari suaminya.
Namun perlu dicatat, jika seorang suami atau istri setuju untuk memberikan hak ini lebih dari periode tersebut, maka itu adalah sah dan tidak ada yang salah dalam hal ini.
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِذَا بَاتَتِ المَرْأَةُ هَا جِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصبِحَ، وَفِى رِوَايَةِ، حَتَى تَرْجِعَ.
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Apabila seorang wanita menghindari tempat tidur suaminya pada malam hari, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi hari”. Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan : “Sehingga dia kembali” (HR. Bukhari Muslim)
Meski dalam riwayat diatas menerangkan dengan jelas bahwa salah satu tugas utama seorang istri adalah melayani suami khususnya di tempat tidur dan tugas utama suami adalah memberi nafkah lahir batin dan mempergauli istrinya sebaik mungkin. Sebagaimana Allah perintahkan para istri untuk mentaati suaminya sebaik mungkin. Allah berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Pergaulilah istri kalian dengan cara yang makruf. (QS. an-Nisa: 19)
Dan bagian dari pergaulan yang baik terhadap istri adalah memberi perhatian kepada istri. Karena itu, meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama, termasuk pelanggaran dalam rumah tangga, karena bertentangan dengan perintah untuk mempergauli istri dengan benar.
Melihat latar belakangnya, suami yang meninggalkan istrinya ada 2 keadaan;
*[1] Meninggalkan keluarga karena udzur*
Udzur yang dimaksud bisa bentuknya mencari nafkah atau karena kebutuhan lainnya.
Dalam kondisi suami punya udzur, istri tidak berhak menuntut suami untuk segera pulang atau hak melakukan hubungan badan. Ini merupakan pendapat madzhab hambali…
Al-Buhuti menjelaskan,
ولو سافر الزوج عنها لعذر وحاجةٍ سقط حقها من القسم والوطء وإن طال سفره ، للعذر
Ketika suami melakukan safar meninggalkan istrinya karena udzur atau ada hajat, maka hak gilir dan hubungan untuk istri menjadi gugur. Meskipun safarnya lama, karena udzur. (Kasyaf al-Qana’, 5/192).
Namun jika istri keberatan, dia berhak untuk mengajukan cerai. Dan suami berhak untuk melepas istrinya, jika dia merasa tindakannya membahayakan istrinya. Allah berfirman,
وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَاراً لِتَعْتَدُوا
Janganlah kamu pertahankan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.. (QS. al-Baqarah: 231).
*[2] Meninggalkan keluarga tanpa udzur*
Suami yang safar meninggalkan keluarga tanpa udzur, istri boleh menuntut untuk segera kembali pulang. Karena ada hak istri yang harus dipenuhi suaminya. Para ulama menyimpulkan, batas maksimalnya adalah 6 bulan. Jika lebih dari 6 bulan, istri punya hak untuk gugat di pengadilan.
Al-Buhuti mengatakan,
وإن لم يكن للمسافر عذر مانع من الرجوع وغاب أكثر من ستة أشهر فطلبت قدومه لزمه ذلك
Jika suami safar tidak memiliki udzur yang menghalangi dia untuk pulang, sementara dia pergi selama lebih dari 6 bulan, lalu istri nuntut agar suami pulang, maka wajib bagi suami untuk pulang. (Kasyaf al-Qana’, 5/193)
Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad,
وسئل أحمد أي ابن حنبل رحمه الله: كم للرجل أن يغيب عن أهله؟ قال: يروى ستة أشهر
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Berapa lama seorang suami boleh safar meninggalkan istrinya?” beliau menjawab, “Ada riwayat, maksimal 6 bulan.” (al-Mughni, 8/143).
Batas 6 bulan itu berdasarkan ijtihad Amirul Mukminin, Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
Katika malam hari, Umar berkeliling kota. Tiba-tiba beliau mendengar ada seorang wanita kesepian bersyair,
تَطَاوَلَ هَذَا اللَّيْلُ وَاسْوَدَّ جَانِبُهُ
وَأَرَّقَنِى أَنْ لاَ حَبِيبٌ أُلاَعِبُهُ
فَوَاللَّهِ لَوْلاَ اللَّهُ إِنِّى أُرَاقِبُهُ
تَحَرَّكَ مِنْ هَذَا السَّرِيرِ جَوَانِبُهُ
Malam yang panjang, namun ujungnnya kelam
Yang menyedihkan, tak ada kekasih yang bisa kupermainkan
Demi Allah, andai bukan karena Allah yang mengawasiku
Niscaya dipan-dipan ini akan bergoyang ujung-ujungnya
Umar menyadari, wanita ini kesepian karena ditinggal lama suaminya. Dia bersabar dan tetap menjaga kehormatannya. Seketika itu, Umar langsung mendatangi Hafshah, putri beliau,
كَمْ أَكْثَرُ مَا تَصْبِرُ الْمَرْأَةُ عَنْ زَوْجِهَا؟
Berapa lama seorang wanita sanggup bersabar untuk tidak kumpul dengan suaminya?
Jawab Hafshah,
“Enam atau empat bulan.”
Kemudian Umar berkomitmen,
لاَ أَحْبِسُ الْجَيْشَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا
Saya tidak akan menahan pasukan lebih dari batas ini. (HR. Baihaqi dalam al-Kubro no. 18307)
Lalu Umar memerintah suaminya untuk pulang. Dan beliau juga menetapkan, bahwa pasukan maksimal boleh keluar selama 6 bulan. Perjalanan berangkat 1 bulan, di lokasi perbatasan 4 bulan, dan perjalanan pulang 1 bulan.
Dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan Baihaqi, dinyatakan,
كتب عمر إِلى أُمراء الأجناد في رجال غابوا عن نسائهم يأمرهم أن يُنفقوا أو يُطلّقوا، فإِنْ طلَّقوا بعَثوا بنفقة ما مضى
Umar radhiyallahu ‘anhu, mengirim surat kepada para pemimpin pasukan, memerintahkan untuk para suami yang meninggalkan istrinya, agar mereka memberikan nafkah atau mentalaknya. Jika mereka mentalak istrinya, mereka harus mengirim jatah nafkah selama dia tinggalkan dulu.
Ibnul Mundzir mengatakan bahwa surat ini shahih dari Umar bin Khatab. (HR. Baihaqi)
*Bolehkah jika suami istri berpisah lebih dari 6 bulan?*
Salah satu murid Imam Malik yang bernama Ibnul Qosim, beliau meninggalkan istrinya di Mesir, untuk belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Berapa lama Ibnul Qosim berpisah dengan istrinya?
Kurang lebih selama 17 tahun. Berpisah dengan istrinya untuk belajar hadis kepada Imam Malik. Dan mereka tetap suami istri, meskipun itu perpisahan mereka tanpa komunikasi sama sekali.
Keterangan di atas, sama sekali bukan memotivasi atau mengizinkan suami untuk meninggalkan istrinya tanpa sebab yang dibenarkan syariat. Jangan pula dipahami sebaliknya bahwa istri boleh meninggalkan suaminya. Keterangan di atas hanya menjelaskan hukum bahwa perpisahan suami istri dalam waktu lama, seperti yang terjadi pada para TKI, tidak otomatis terjadi talak.
Karena itu, jangan sampai dijadikan motivasi untuk saling berpisah, dengan alasan: ”Yang pentingkan gak cerai”. Dan kami sama sekali tidak menganjurkan perpisahan semacam ini. Sebaliknya, islam sangat menganjurkan untuk mempertahankan kebersamaan keluarga. Allah perintahkan para suami untuk selalu bersikap baik kepada istrinya,
Kedua, Istri yang ditinggal pergi oleh suami, dan dia merasa keberatan karena pisah lama dengan suami, dia berhak untuk melakukan gugat cerai ke pengadilan agama.
Dalam Fikih Sunah dinyatakan,
للمرأة أن تطلب التفريق إذا غاب عنها زوجها ولو كان له مال تنفق منه، بشرط:
1 – أن يكون غياب الزوج عن زوجته لغير عذر مقبول.
2 – أن تتضرر بغيابه.
3 – أن تكون الغيبة في بلد غير الذي تقيم فيه.
4 – أن تمر سنة تتضرر فيها الزوجة.
Istri dibolehkan untuk gugat cerai ketika ditinggal oleh suaminya, meskipun suami telah memberikan nafkah untuknya, dengan syarat:
Kepergian suami meninggalkan istri tanpa udzur yang bisa diterima
Adanya madharat yang memberatkan istri karena kepergian suami.
Kepergian suami ke luar daerah yang ditinggali istri
Telah berlalu selama setahun sehingga menyebabkan istri tersiksa.
Penulis Fikih Sunah juga mengatakan,
وكذلك لها الحق في أن تطلب التفريق للضرر الواقع عليها لبعد زوجها عنها لا لغيابه. ولابد من مرور سنة يتحقق فيها الضرر بالزوجة وتشعر فيها بالوحشة، ويخشى فيها على نفسها من الوقوع فيما حرم الله. والتقدير بسنة قول عند الامام مالك
Demikian pula, istri berhak gugat cerai karena madharat (keadaan memberatkan) yang dialami istri, disebabkan keberadaan suami yang jauh. Dan kondisi memberatkan istri harus dilalui selama setahun, yang membuat dia sangat sedih, dan khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam apa yang Allah haramkan. Dan ukuran satu tahun merupakan pendapat Imam Malik. (Fikih Sunah, Sayid Sabiq, 2/291 – 292).
Namun jika istri ridha berpisah jauh dengan suami dalam kurun waktu lama, dan dia sanggup bersabar untuk tidak melakukan gugat cerai, insyaaAllah akan menjadi pahala bagi sang istri.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ يَنْزِلُ بِالْمُؤْمِنِ وَ الْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ
Musibah akan terus-menerus menimpa seorang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan: pada dirinya, anaknya dan harta bendanya, hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. (HR. Ahmad 7859)
Ketiga, jika istri mengajukan gugat cerai ke PA karena jauh dari suami dan PA tidak memutuskan cerai, maka pernikahan belum batal. Karena yang berhak memutuskan dalam gugat cerai ini adalah hakim.
Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,
اتفق الفقهاء القائلون بالتفريق للغيبة على أنه لا بد فيها من قضاء القاضي لأنها فصل مجتهد فيه، فلا تنفذ بغير قضاء
Para ulama yang berpendapat bolehnya memisahkan pernikahan karena ditinggal suami, mereka sepakat bahwa memisahkan pernikahan ini harus ditetapkan berdasarkan keputusan hakim. Karena masalah ini area mujtahid. Karena itu, tidak boleh ditetapkan tanpa keputusan hakim. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 29/64)
*Kesimpulannya*
Membangun hubungan jarak jauh dalam bingkai pernikahan memang tidak mudah. Suami istri yang tinggal satu atap saja terkadang banyak perma sa lahannya apalagi yang berlainan domisili. “Pasangan yang baru menikah atau usia pernikahannya masih di bawah lima tahun, sebaiknya tidak tinggal berjauhan,” saran relationship coach Indra Noveldy.
Hubungan jarak jauh sebetulnya bisa saja sukses, namun dibutuhkan kerja keras suami dan istri. Usaha mereka untuk mempertahankan keharmonisan keluarga mesti lima kali lipat lebih besar ketimbang pasangan lainnya. Terutama, upaya untuk saling mengerti, memberikan kasih sayang, dan saling memahami.
Suami-istri yang menjalankan hubung an jarak jauh harus membuang jauh-jauh pemikiran negatif. Jangan mengira, suami sedang enak-enakan di tempat ia tinggal, sementara istri repot mengurus rumah tangga. Posisikan diri setara sebagai orang yang sama-sama ditinggal pasangan, me rasa tak lengkap, dan membutuhkan kasih sayang. Cobalah saling mengerti dan menyayangi, jangan hanya menunggu untuk diperhatikan.
Agar keharmonisan terjaga, perlancar komunikasi. Manfaatkan beragam peranti teknologi komunikasi. Menelepon dengan video call, web cam, WhatsApp, ataupun Skype juga da pat menjadi obat kangen yang ampuh. Anda juga bisa saling sapa melalui jejaring sosial. Soal intensitas percakapannya, pahami kesibukan pasangan. Semoga keluarga kita semua menjadi keluarga yang bahagia sejahtera, sakinah, mawaddah warohmah. Aamiin
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Selasa, 08 Januari 2019
KAJIAN TENTANG MURTAD MEMBATALKAN KEISLAMAN, HARUSKAH DIBUNUH?
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُو۟لٰٓئِكَ حَبِطَتْ أَعْمٰلُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۖ وَأُو۟لٰٓئِكَ أَصْحٰبُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خٰلِدُونَ ۞ه
“… Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]:217)
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَسَوْفَ يَأْتِى اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِينَ يُجٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍ ۚ ذٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَاللَّهُ وٰسِعٌ عَلِيمٌ ۞ه
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah [5]:54)
*DEFINISI MURTAD*
Riddah dan irtidad menurut al-Raghib, adalah, “al-ruju’ fi al-thariq al-ladziy jaa minhu” (kembali ke jalan dimana ia datang). Akan tetapi lafadz riddah khusus untuk kekafiran, sedangkan kata irtidad mencakup kekafiran maupun yang lain (Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar, Kitab al-Riddah)
Istilah murtad dalam bahasa Arab diambil dari kata ( ارْتَدَّ) yang bermakna kembali berbalik ke belakang. Sedangkan menurut syariat, orang murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya, tanpa ada paksaan, dalam usia tamyiiz (sudah mampu memilah dan memilih perkara, antara yang baik dari yang buruk) serta berakal sehat.
Seorang yang menyatakan kekufuran karena terpaksa, tidak dikategorikan sebagai orang murtad, sebagaimana yang terjadi pada diri Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang dipaksa dan disiksa agar mau mengingkari kenabian Rasûlullâh dan mencela Islam. Akhirnya terpaksa menuruti mereka, padahal hatinya tetap yakin akan kebenaran ajaran Rasûlullâh. Setelah dibebaskan, dengan menangis dia mendatangi Rasulullah seraya menceritakan peristiwa tersebut, dan ternyata Rasûlullâh memaafkannya. Kemudian turunlah firman Allâh Azza wa Jalla,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Barang siapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan baginya adzab yang besar." (QS. An-Nahl/16:106)
Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.
*Macam Murtad :*
*1. Riddah bi al-qawli* atau murtad dengan sebab ucapan. Misalnya ucapan mencela atau mengolok-olok Allah Ta’ala, malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya dan agama Islam, menyatakan tasybih (menyerupakan dengan makhluk-Nya) terhadap Allah Ta’ala, menyatakan ta’thil terhadap Allah Ta’ala, menyatakan takdzib (kedustaan) terhadap Allah Ta’Ala, mengakui dirinya atau orang lain sebagai nabi setelah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa kepada selain Allah Ta’ala
*2. Riddah bi al-fi’li* atau murtad dengan sebab perbuatan. Misalnya menyembah selain Allah Ta’ala, beribadah karena selain Allah Ta’ala, menistakan malaikat-Nya dan rasul-Nya (dalam gambar, tulisan atau lainnya), membuang mushaf Al-Quran di tempat kotor, belajar dan mengajarkan sihir, menetapkan keputusan dengan mengedepankan hukum lain di atas hukum Allah Ta’ala.
*3. Riddah bi al-i’tiqadi* atau murtad dengan sebab keyakinan. Misalnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini Islam bukan satu-satunya agama yang diterima Allah, meyakini Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan nabi terakhir, meyakini ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Allah Ta’ala dan rasul-Nya, meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya, meyakini kehalalan sesuatu yang jelas disepakati keharamannya.
*4. Riddah bi al-Syaki* atau murtad dengan sebab keraguan. Misalnya meragukan ketuhanan dan kekuasaan Allah, meragukan kebaikan hukum dan keputusan Allah, meragukan kebenaran Al-Quran dan Hadits Shahih, meragukan kebenaran risalah Nabi dan Rasul, meragukan kebenaran ajaran Islam, meragukan perkara yang sudah jelas dalam Islam, meragukan kecocokan Islam dengan perkembangan jaman.
*SANKSI-SANKSI MORAL BAGI ORANG MURTAD*
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
”Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas nyawa, orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Bukhari 6878, Muslim 1676, Nasai 4016, dan yang lainnya).
Dalam hadits lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya)
قَتْلُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ، وَذِكْرُ الِاخْتِلَافِ عَلَى زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ، عَنْ عَرْفَجَةَ فِيهِ
*Bab 5 Hukum Bunuh bagi Orang yang Memisahkan Diri dari Jamaah dan Penyebutan tentang Perbedaan Riwayat Ziyaad bin ‘Ilaaqoh dari ‘Arfajah tentang Hal tersebut*
Pada bab kali ini akan dibahas dalil-dalil lain yang menguatkan bahwa seorang yang murtad dari Islam, layak mendapatkan hukuman yaitu halal darahnya alias dibunuh.
Para ulama juga memiliki perhatian yang serius dalam masalah ini, mereka memasukkannya dalam kitab-kitab fiqihnya dan memberikan pasal khusus yaitu hukum orang yang murtad. Misalnya Imam Syafi’i, beliau telah membahas masalah ini dalam kitab fiqihnya yang diberi judul al-Umm. Pada jilid 1 hal. 294 (cet. Daarul Ma’rifah, Beirut), Imam Syafi’i memberikan sebuah sub bab dengan judul “Murtad dari Islam”, lalu beliau berkata :
وَمَنْ انْتَقَلَ عَنْ الشِّرْكِ إلَى إيمَانٍ ثُمَّ انْتَقَلَ عَنْ الْإِيمَانِ إلَى الشِّرْكِ مِنْ بَالِغِي الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ اُسْتُتِيبَ فَإِنْ تَابَ قُبِلَ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا} [البقرة: 217] إِلَى {هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ} [البقرة: 39]
Barangsiapa yang pindah dari kesyirikan kepada iman, lalu berpindah dari iman kepada kesyirikan dari kalangan laki-laki dan wanita yang baligh, maka diminta taubat, jika bertaubat diterima, namun jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Allah Azza wa Jalla berfirman : {Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya} (QS. Al Baqoroh : 217).
Kemudian Imam kita ini membawakan beberapa hadits yang menunjukkan hukum bunuh bagi orang yang murtad. Diantara hadits tersebut adalah :
مَنْ غَيَّرَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ
Barangsiapa yang mengganti agamanya. Maka potonglah lehernya.
Kemudian Imam Syafi’i memberikan penjelasan untuk hadits ini :
دُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ دِينَ الْحَقِّ، وَهُوَ الْإِسْلَامُ لَا مَنْ بَدَّلَ غَيْرَ الْإِسْلَامِ وَذَلِكَ أَنَّ مَنْ خَرَجَ مِنْ غَيْرِ دِينِ الْإِسْلَامِ إلَى غَيْرِهِ مِنْ الْأَدْيَانِ فَإِنَّمَا خَرَجَ مِنْ بَاطِلٍ إلَى بَاطِلٍ، وَلَا يُقْتَلُ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ الْبَاطِلِ إنَّمَا يُقْتَلُ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ الْحَقِّ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَلَى الدِّينِ الَّذِي أَوْجَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَعَلَى خِلَافِهِ النَّارَ إنَّمَا كَانَ عَلَى دِينٍ لَهُ النَّارُ إنْ أَقَامَ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ} [آل عمران: 19] ، وَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ} [آل عمران: 85] إلَى قَوْلِهِ {مِنَ الْخَاسِرِينَ} [البقرة: 64] وَقَالَ {وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ} [البقرة: 132] إلَى قَوْلِهِ {مُسْلِمُونَ} [البقرة: 132]
Hadits diatas menunjukkan bahwa yang orang mengganti agamanya adalah yang dimaksud disini agama yang hak yaitu Islam bukan agama selain Islam, sehingga keluar (dari cakupan hadits diatas) orang yang keluar dari agama selain Islam untuk memeluk agama lain juga, maka ia keluar dari (agama) yang batil kepada agama batil lainnya, tidak dibunuh orang yang keluar dari agama yang batil, hanyalah yang dibunuh orang yang keluar dari agama yang hak (yaitu agama Islam), karena tidak ada agama yang Allah tetapkan atasnya surga dan yang menyelisihinya akan masuk neraka (selain agama Islam). Allah berfirman : { Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam} (QS. Ali Imron : 19), { Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi} (QS. Ali Imron : 85), { Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam} (QS. Al Baqoroh : 132).
Namun ada pendapat lain bahwa seorang yang murtad tidak harus dibunuh sebagaimanayang disampaikan Mohammad Hashim Kamali, profesor hukum Islam pada International Islamic University of Malaysia, terhadap literatur fiqh dan hadits tentang hukum apostasy (irtidad) dalam Islam setidaknya membantah adanya ijma’
(konsensus) para ulama dalam soal ini sejak dulu sampi sekarang.
Profesor Kamali menyebut sejumlah pemikir Islam generasi salaf yang berpendapat bahwa orang yang keluar dari Islam tidaklah diganjar dengan hukuman mati, melainkan mesti terus menerus diberi kesemptan untuk kembli ke Islam, karena selalu ada harapan bahwa mereka akan berubah pikiran dan bertaubat. Sebut saja nama-nama seperti Ibrahim al-Nakha’i, faqih (ahli fiqh) generasi Tabi’in; Sufyan al-Tsauri, ahli hadist generasi Tabi’ al-Tabi’in yang digelari Amir al-Mu’minin dalam soal hadits dan pengarang buku kompilasi hadist tekenal, Jami’ al-Shaghir dan Jami’ al-Kabir; juga ahli fiqh empat mazhb seperti Imam Sya’roni dan Imam Syarakhsyi. (Lihat Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, hal. 93). Dengan kata lain, ahli-ahli hukum Islam sejak dulu berbeda pendapat tentang soal status orang murtad.
Wallahu a'lam
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Jumat, 04 Januari 2019
MUSLIM AKHIR ZAMAN MENJADI UMMAT MAYORITAS TAPI KRISIS MORALITAS
Di negara mayoritas muslim ini, umat Islam memang paling seksi dijadikan alat. Entah itu untuk motif politik, ekonomi hingga kekuasaan. Hal itu terjadi sejak orde baru hingga era keterbukaan sekarang. Umat Islam Indonesia seolah tak pernah sepi didera ujian. Ujian yang bertubi-tubi itu datang silih berganti, terutama ujian saling membenci dan saling memaki sesama muslim terlebih di tahun politik saat ini.
Belakangan ini, keindahan ajaran akhlak islam yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
*Larangan Mencela*
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezhaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim)
Pada akhirnya jika umat islam saling mencaci dan saling membenci maka umat lain akan merebutkannya demi kepentingannya sebagaimana Nabi Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda,
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلاَمِ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا " . فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ " بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ " . فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ " حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ " . روه ابو داود 4297
Telah berkata kepada kami Abdurrahman bin Abdullah ad-Damsyiqi, telah berkata kepada kami Bisyr bin Bakr, telah berkata kepada kami Ibnu Jabir, telah berkata kepadaku Abu Abdissalam dari Tsauban berkata Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau
menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud [4297])
Cukup jelas hadist di atas. Umat Islam kini ibarat buih. Banyak tapi tak ada arti apa-apa. Keberadaanya seperti tak ada wujudnya (wujuduhu ka’adamihi). Parahnya lagi, umat Islam tak lebih seperti hidangan yang diserbu oleh musuh dari arah manapun tanpa perlawanan.
Padahal, sejak dulu umat Islam memiliki izzah yang kuat dan ditakuti musuh-musuhnya. Umat Islam paling berani melawan maut di medan perang. Moncong senjata atau bahkan nuklir sekalipun tak membuat ciut nyali. Sebab, mati dalam perjuangan imbalannya syurga. Itulah yang membuat takut musuh-musuh Islam sejak dulu hingga sekarang. Dan, kenyakinan itulah yang dilakukan para pejuang kita dalam merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang.
Tapi, itu dulu. Kini, keberanian memelihara izzah Islam itu redup bahkan mati. Seperti yang digambarkan hadist di atas, umat Islam ini mengidap penyakit alwahn cinta dunia dan takut mati (hubbud dunya wakarohayatul maut).
Zaman sekarang, dua gambaran jenis manusia seperti ini banyak didapati. Umat Islam sendiri lebih banyak menumpuk harta dan lupa agamanya. Bahkan, tak sedikit yang menjual agamanya demi kepentingan kekuasaan, harta dan negara asing. Orang semacam inilah yang menjadi duri perjungan. Seperti musang berbulu domba.
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita tarik dari hadits diatas yaitu :
*Pertama,* Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam memprediksi bahwa akan tiba suatu masa dimana orang-orang beriman akan menjadi kumpulan manusia yang menjadi rebutan ummat lainnya. Mereka akan mengalami keadaan yang sedemikian memprihatinkan sehingga diumpamakan seperti suatu porsi makanan yang diperbutkan oleh sekumpulan pemangsa. Artinya, pada masa itu kaum muslimin menjadi bulan-bulanan kaum lainnya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki kemuliaan sebagaimana di masa lalu. Mereka telah diliputi kehinaan.
*Kedua,* pada masa itu muslimin tertipu dengan banyaknya jumlah mereka padahal tidak bermutu. Sahabat menyangka bahwa keadaan hina yang mereka alami disebabkan jumlah mereka yang sedikit, lalu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyangkal dengan mengatakan bahwa jumlah muslimin pada waktu itu banyak, namun berkualitas rendah.
*Ketiga,* Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan bahwa jika ummat Islam dalam keadaan terhina, maka salah satu indikator utamanya ialah rasa gentar menghilang di dalam dada musuh menghadapi ummat Islam. Artinya, sesungguhnya Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam lebih menyukai ummat Islam senantiasa berwibawa sehingga disegani dan ditakuti musuh.
*Keempat,* Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam kemudian menjelaskan apa sesungguhnya yang melatarbelakangi umat Islam di masa itu sehingga menjadi terhina dan kehilangan kemuliaannya.
وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahn.” (HR Abu Dawud 3745)
Jadi, Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam menyebut penyakit ummat Islam tersebut dengan istilah ”Al-Wahn”. Suatu istilah baru yang menyebabkan para sahabatpun bertanya-tanya. Sehingga Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam mendefinisikannya dengan uraian yang singkat namun sangat jelas.
فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahn itu?” Nabi Shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: *”Cinta dunia dan takut akan kematian.”* (HR Abu Dawud 3745)
Penyakit Al-Wahan merupakan penyakit yang boleh dikatakan sangat dominan dewasa ini menjangkiti ummat manusia, termasuk ummat Islam. Karena kita sedang menjalani era paling kelam dalam sejarah Islam dimana kaum kuffar sedang mendapat giliran mengarahkan dan menguasai ummat manusia sedunia, maka konsep hidup kaum kuffar itulah yang mewarnai kehidupan manusia pada umumnya tanpa kecuali ummat Islam.
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia puncak cita-cita kami dan batas akhir pengetauan kami. Ya Allah, jadikanlah akhirat pusat perhatian kami selalu dan mati di jalan-Mu ambisi utama kami. Aamiin
Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bermanfa'at. Aamiin
*والله الموفق الى أقوم الطريق*
Kamis, 03 Januari 2019
EDISI KHUTBAH JUM'AT (Muhasabah, Mu’atabah, dan Muroqobah di Tahun Baru 2019)
*Khutbah Pertama*
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه اجمعين.أما بعد..
فيأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل وتمسك بهذا الدين تمسكا قويا والاستقامة في سبيله حتى يأتينا اليقين.
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : يا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
*Ma'asyirol muslimin wa zumrotal mu'minin rohimakumulloh...*
Memasuki tahun baru 2019, sudah sepantasnya kita memulai untuk memikirkan, merenungkan, dan memperhitungkan tiga hal yang mungkin terlewatkan atau kurang mendapatkan perhatian dari kita sebelumnya.
Langkah pertama MUHASABAH. Kita perlu “mengadili atau menghakimi” diri sendiri. Amal-amal kebaikan apa saja yang telah kita lakukan selama ini? Atau paling tidak dalam satu tahun terakhir? Dan tindakan-tindakan keburukan apa saja yang telah kita lakukan dalam hubungannya dengan perintah - perintah dan larangan-larangan Allah Ta'ala?. Kita perlu bermuhasabah, menghitung-hitung sendiri dengan hati yang bersih, karena nurani tidak pernah bohong.
Langkah kedua, MU ’ATABAH yaitu "responsif mengkritik diri sendiri". Kita perlu introspeksi diri sendiri. Bermacam ujian, kerusakan, penyakit, dan kegagalan lainnya harus kita akui sebagai kesalahan diri kita sendiri. Manusia yang mendzalimi dirinya sendiri, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan segala macam kesempurnaan alam dengan sunatullah/hukum alamnya.
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh Subhanahu wa Ta'ala*
Ketahuilah bahwa setiap anggota tubuh telah diciptakan untuk suatu fungsi tertentu, sedangkan sakitnya anggota tubuh adalah bila tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu contohnya adalah sakitnya mata, yaitu ketidakmampuannya untuk melihat dengan sempurna. Begitu pula sakitnya hati/jiwa adalah karena tidak berjalannya fungsi hati/jiwa sesuai tujuan penciptaannya, yaitu menyerap ilmu, hikmah-ma'rifah, mencintai Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, serta beribadah hanya kepada-Nya. Hati/jiwa yang sehat akan mengutamakan semua itu daripada seluruh kenikmatan sementara lainnya dan akan berusaha keras mengerahkan semua kekuatannya untuk beribadah kepada Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala Berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
…Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzariyat/51: 56).
Barangsiapa lebih mencintai selain Allah Ta'ala, maka berarti hatinya sedang sakit. Untuk itu perlulah kita segera mengingat peringatan Allah Ta'ala berikut,
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
"Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At-Taubah : 24)
Untuk itu, agar hati menjadi terus terjaga dan tunduk hanya kepada Allah Ta'ala. Terus dan senantiasalah memperhatikan diri kita dan mengenal Akhlak kita sendiri dengan segala kemudahan dan kesulitannya dalam bertindak, sehingga keterikatan hati kita pada selain Allah Ta'ala terputus. Segala langkah kehidupan harus kita arahkan menjadi jalan keselamatan di dunia dan akhirat yang sudah pasti kedatangannya. Sedikit sekali hamba yang terhindar dari penyimpangan jalan kebenaran untuk meraih kedua-duanya secara benar. Sangat banyak orang-orang yang berada atau cenderung kepada salah satu sisi dan hatinya terkait pada sisi yang dicenderungi itu. Hal tersebut menyebabkan mereka tidak selamat dari siksa yang pasti akan melintas.
Allah Ta'ala berfirman,
وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوا وَّنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
"Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut." (QS. Maryam/19: 71-72).
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh Subhanahu wa Ta'ala*
Jadi, orang-orang yang akan terlepas dari siksa neraka adalah orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa berarti orang-orang yang lebih dekat ke jalan lurus. Sebagaimana permohonan kita pada setiap rakaat shalat, "Ya Allah tunjukilah kami pada jalan yang lurus " (QS. Al-Fatihah/1: 6)
Kemudian hati kita menjadi tenang dalam keadaan ridha dan diridhai Allah swt., sehingga masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang dekat kepada-Nya, yaitu rombongan para nabi, shiddiqiin, syuhadaa, dan orang-orang salih.
Semakin cerdas dan tinggi kedudukan seseorang, semakin sedikit rasa berbangga diri/ujub-nya dan semakin banyak introspeksi dirinya. Meskipun ini pun sudah menjadi barang langka di zaman akhir ini. Sangat jarang ada teman yang meninggalkan basa basi lalu dengan kerendahan hati memberitahukan aib, kejelekan, atau kekurangan kita. Hal ini juga tidak mudah dilakukan karena seseorang yang kita beri masukan demi kebaikannya justru terkadang menjadi tersinggung dan berdampak buruk pada yang memberi peringatan. Untuk itu, semestinya kita berkaca kepada kelembutan hati/jiwa Umar bin Khatab r.a. Umar bin Khatab r.a. berkata: Semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada orang yang menunjukkan aib-aib/kejelekan-kejelekan dariku.
Bahkan, Umar bin Khatab r.a. pernah bertanya kepada sahabat Khudzaifah r.a.: “Engkau adalah pemegang rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang siapa-siapa saja orang yang termasuk munafik, apakah Engkau melihat dampak-dampak (ingat: bukan tanda-tanda) kemunafikan itu ada pada diriku?” Subhaanallooh.....
Itulah yang dilakukan seorang khalifah yang berkedudukan tinggi, namun begitulah introspeksi dirinya yang sangat tinggi. Muhasabah dan Mu ’atabah begitu mengalir pada contoh mulia para sahabat setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
*Jama'ah jum'at yang dirohmati Alloh Subhanahu wa Ta'ala*
Langkah ketiga, MURAQABAH. Kita perlu mensupervisi sehingga masa-masa yang akan datang atau tahun depan harus lebih baik dan optimis menjadi semakin baik. Manfaatkanlah masa lalu hanya dan hanya sebagai kaca spion untuk segera melaju ke depan penuh semangat. Rahmat Allah Ta'ala selalu terbuka bagi semua makhluk-Nya, dan hanya orang yang tidak beriman saja yang bersikap pesimis atau bahkan putus asa.
Allah Ta'ala berfirman,
...وَ لَا تَایۡـَٔسُوۡا مِنۡ رَّوۡحِ اللّٰہِ ؕ اِنَّہٗ لَا یَایۡـَٔسُ مِنۡ رَّوۡحِ اللّٰہِ اِلَّا الۡقَوۡمُ الۡکٰفِرُوۡنَ
….dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (QS. Yusuf/12: 87).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah disiapkannya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr : 18)
Jadi, setiap muslim harus introspeksi terus apa yang telah diperbuatnya untuk masa depannya. "Hari esok" dalam ayat tersebut mengandung makna: hari esok yang dekat yaitu dunia, dan hari esok yang jauh yaitu akhirat.
Kini, setelah keyakinan bahwa ke depan harus lebih baik, maka petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikutnya perlu kita hayati dan kita implementasikan,
من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون
"Barangsiapa yang keadaannya hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung; Barangsiapa yang keadaannya hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia termasuk orang yang rugi; dan barangsiapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka dia termasuk orang yang dilaknat/celaka."
Semoga keadaan kita di waktu yang akan datang lebih baik dari waktu kemarin atau waktu yang telah lalu. Aamiin
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
*Khutbah Kedua*
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Langganan:
Postingan (Atom)