MEDIA ONLINE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG (WCNU)NU KECAMATAN CIPAYUNG KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Senin, 13 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG KEHARUSAN MENGINGATKAN HABAIB YANG MENYIMPANG




"Al-Fushul Al-Ilmiyyah" adalah salah satu karya tulis dari Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dari sekian banyak karyanya, beliau seorang ulama besar dari Tarim, Yaman, yang dikenal sebagai pembaharu Tarekat Alawiyyah. Kitab ini berisi nasihat dan petuah yang berfokus pada tasawuf dan bertujuan membimbing umat menuju akhlak mulia dengan meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Beliau dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim), dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.

Dalam pandangan penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid (pembaharu) abad 11 H. pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. 

Dalam salah satu kitab karyanya beliau menyampaikan,

الفصل الحادي والعشرون  

لا ينبغي لأحدٍ ممن يعول عليه أن يعظِّم ولا أن يُثني على الجاهل، وإن كان ممن له نسب شريف وسلف صالح، فإنَّ تعظيمه والثناء عليه في الظاهر قد يَفْتِنُهُ في دينه، ويغره بالله ويزهده في العمل الصالح، ويلهيه عن التزود لآخرته، ويكون الذي يعظمه ويثني عليه سبباً في فتنته وغروره، كالساعي في هلاكه. فيُستوجب بذلك السَّخَط من الله ورسوله ومن السلف الصالحين الذين يُنسب إليهم ويُشَرَّفُ بهم ذلك الجاهل. وكيف يَغْتَرُّ أحدٌ يُنسب بمجرد عن التقوى، أو يعتمد عليه بعد قول رسول الله ﷺ: يا فاطمة بنت محمد، لا أغني عنك من الله شيئاً. الحديث الصحيح، وفيه: يا بني عبد المطلب، يا فلان يا فلان من قرابته عليه السلام، ثم يخصّ مضرّة المدح وفتنته على الجاهل عظيمة، وقد أُتي رجل على آخر عند رسول الله ﷺ، فقال: «ويلك قطعت عنق أخيك لو سمعها ما أفلح». الحديث. وقال عليه الصلاة والسلام: «لأن يمشي أحدكم إلى أخيه فيسكنه مرفق خير له من أن يُثني عليه في وجهه».  

Bab 21: Tidak Mengagungkan dan Memuji Orang Bodoh

Tidak sepantasnya bagi seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan untuk mengagungkan atau memuji orang bodoh, meskipun orang tersebut memiliki nasab yang mulia dan leluhur yang saleh.

Sebab, mengagungkan dan memuji secara lahiriah dapat membuat orang bodoh itu terfitnah dalam agamanya, merasa sombong di hadapan Allah, malas beramal saleh, dan lalai dari bekal untuk akhiratnya.

Orang yang mengagungkan dan memujinya justru menjadi penyebab fitnah dan kesombongannya, seperti orang yang berupaya menghancurkan dirinya sendiri.

Dengan demikian, orang tersebut berhak mendapatkan kemurkaan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang saleh yang diagungkan dan dihormati oleh orang bodoh itu.

Bagaimana mungkin seseorang yang hanya dinilai dari nasabnya merasa sombong, padahal ia tidak memiliki ketakwaan?

Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada nasabnya setelah mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya, Fathimah, "Wahai Fathimah binti Muhammad, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepadamu di sisi Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Wahai Bani Abdul Muththalib! Wahai fulan! Wahai fulan!" (beliau menyebutkan beberapa nama kerabatnya).

Akan tetapi, dampak negatif dari pujian dan fitnah terhadap orang bodoh sangatlah besar.

Suatu ketika, ada seseorang yang memuji orang lain di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Celaka kamu, kamu telah memenggal leher saudaramu! Jika dia mendengar pujianmu itu, niscaya dia tidak akan beruntung selamanya." (HR. Bukhari)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Sungguh, jika salah seorang di antara kalian berjalan menuju saudaranya untuk menenangkan dan menolongnya, itu lebih baik baginya daripada memujinya di hadapannya." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.87)

Sayyid Abdullah Al-Haddad. Sayyid Abdullah Al-Haddad tidak setuju atas anggapan bahwa keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dipastikan masuk surga meskipun melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama.

فيقول هؤلاء أهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورسول الله شفيع لهم، ولعل الذنوب لا تضرهم، وهذا قول شنيع، يضر القائل به نفسه، ويضر به غيره من الجاهلين، وكيف يقول أحد ذالك وفي كتاب الله العزيز ما يدل غلى اهل أن أهل البيت يضاعف لهم الثواب على الحسنات، والعقاب على السيئات.

“Ada yang mengatakan, ”Biarlah, mereka adalah dari Ahlul Bait, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti akan bersyafaat kepada mereka, dan mungkin pula dosa-dosa yang mereka lakukan tak akan menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang-orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Qurán, Kitab Allah yang mulia terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah dilipat gandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya.” (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.88)

﴿يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ﴾ الآية، والآية التي بعدها، ونساؤه من أهل بيته ﷺ.  

ومن قال أو ظنَّ أن ترك الطاعات، وفعل المعاصي لا يضر أحداً لشرف نسبه، أو صلاح آبائه، فقد افترى على الله الكذب، وخالف إجماع المسلمين، ولكن لأهل بيت رسول الله ﷺ شرف، ولرسول الله ﷺ بهم مزيد عناية، وقد أكثر على أمّته من الوصيةِ بهم، والحثّ على حبّهم ومودّتهم. وذلك أمرُ الله تعالى في كتابه في قوله تعالى: ﴿قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾، فعلى كافة المسلمين أن يعتقدوا حبَّهم ومودّتهم، وأن يكرّموهم ويعظّموهم من غير غلوٍّ ولا إسراف.  

ثم إنّ من كان من السادة أهل البيت على مثل أو قريب من سير سلفهم الصالح وطريقتهم المرضيّة، فهو إمام يُهتدى بأنواره، ويُقتدى بآثاره، كأئمّة المهتدين من الأئمّة المتقدّمين، مثل أمير المؤمنين الإمام عليّ بن أبي طالب، والحسن، والحسين سبطي رسول الله ﷺ، ومثل جعفر الطيّار، وسيّد الشهداء حمزة، ومثل حِجر الأُمّة عبد الله بن عبّاس، وأبيه الإمام العبّاس عمّ رسول الله ﷺ، ومثل الإمام زين العابدين عليّ بن الحسين، والإمام الباقر، وولده الإمام جعفر الصادق عليهم السلام، وأمثالهم من سلف هذا البيت المطهَّر وخلَفهم.  

"Allah berfirman: 'Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian yang melakukan perbuatan keji yang nyata, maka azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat bagi-Nya.' (QS. Al-Ahzab: 30).

Ayat ini dan ayat berikutnya menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah bagian dari Ahlul Bait beliau.

Barangsiapa yang berpendapat atau meyakini bahwa meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat tidak akan membahayakan seseorang karena kemuliaan nasabnya atau kesalehan leluhurnya, maka dia telah berbuat dusta terhadap Allah dan menyalahi ijma' (kesepakatan) kaum Muslimin.

Namun, Ahlul Bait Rasulullah memiliki kemuliaan tersendiri, dan Rasulullah memiliki perhatian lebih terhadap mereka.

Beliau banyak berwasiat kepada umatnya untuk menyayangi dan mencintai mereka. Allah juga memerintahkan hal ini dalam Al-Qur'an dengan firman-Nya:

"Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepada kalian kecuali kecintaan kepada kerabatku.'" (QS. Asy-Syu'ara: 23).

Oleh karena itu, seluruh kaum Muslimin harus meyakini cinta dan kasih sayang kepada Ahlul Bait, serta menghormati dan memuliakan mereka tanpa berlebihan dan melampaui batas.

Jika ada seseorang dari Ahlul Bait yang mengikuti jejak salaf (pendahulu) mereka yang saleh dan metode yang diridhai, maka dia adalah imam yang dapat diikuti petunjuk dan jejaknya, seperti para imam yang mendapat petunjuk dari kalangan terdahulu, seperti:

- Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

- Hasan dan Husein, cucu Rasulullah

- Ja'far bin Abi Thalib (Ja'far At-Thayar)

- Hamzah bin Abdul Muththalib (Sayyid Syuhada)

- Abdullah bin Abbas (ahli tafsir) dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muththalib (paman Rasulullah)

- Ali Zainal Abidin bin Husain

- Muhammad Al-Baqir dan putranya, Ja'far Ash-Shadiq

Mereka semua adalah contoh dari Ahlul Bait yang suci dan petunjuk bagi umat." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.89)

وأما من كان من أهل هذا البيت ليس على مثل طرائق أسلافهم الطاهرين، وقد دخل عليهم شيء من التخليط لعلّة الجهل، فينبغي أيضاً أن يعظّموا ويُحترموا لقرابتهم من رسول الله ﷺ، ولا يُبالَغ المتماهل للنصيحة نصحهم وحثّهم على الأخذ بما كان عليه سلفهم الصالح، من العلم والعمل الصالح، والأخلاق الحسنة، والسير المرضيّة، ويخبرهم أنهم أولى بذلك وأحقّ به من سائر الناس، وأنّ مجرد النسب لا ينفع ولا يرفع مع إضاعة التقوى، والإقبال على الدنيا، وترك الطاعات، والدنس بَدَنَس المخالفات. وقد نَظَمَ لذلك جماعةٌ من الشعراء فضلاً عن الأئمّة والعلماء، حتى قال بعضهم:  

لعمْرُكَ ما الإنسانُ إلاّ ابنُ دينِهِ  

فلا تتركِ التقوى اتّكالاً على النَّسَبِ  

فقد رفع الإسلامُ سلمانَ فارسٍ  

وقد وضعَ الشِّركُ الحسيبَ أبا لهبِ

"Adapun orang-orang dari Ahlul Bait yang tidak mengikuti jalan salaf (pendahulu) mereka yang suci, dan telah terjadi penyimpangan pada mereka karena kebodohan, maka seyogyanya mereka tetap dihormati dan diagungkan karena kekerabatan mereka dengan Rasulullah ﷺ.

Namun, orang yang lalai dalam menasihati mereka tidak boleh menyerah untuk terus memberikan nasihat dan motivasi kepada mereka agar mengikuti apa yang telah dilakukan oleh salaf mereka yang saleh, yaitu berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan berperilaku terpuji.

Mereka harus diberi tahu bahwa mereka lebih utama dan lebih berhak untuk mengikuti hal tersebut daripada orang lain.

Sebab, semata-mata nasab tidak dapat memberikan manfaat atau mengangkat derajat seseorang jika dia meninggalkan ketakwaan, lebih mengutamakan dunia, meninggalkan ketaatan, dan mengotori diri dengan kemaksiatan.

Banyak penyair, ulama, dan imam yang telah merangkai kata-kata indah tentang hal ini. Salah seorang penyair berkata:

"Demi usiamu, manusia tidak lain adalah karena agamanya. Janganlah kamu meninggalkan ketakwaan hanya karena mengandalkan nasab.

Islam telah mengangkat derajat Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia, sedangkan kesyirikan telah merendahkan Abu Lahab yang memiliki nasab yang mulia." (Al-Fushul Al-Ilmiah wa Al-Ushul Al-Hikamiyah, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, cet. Dar Al-Hawi hal.90). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Minggu, 12 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG HUKUM MENDIRIKAN BANGUNAN DI PEMAKAMAN UMUM (WAKAF)




Hukum membangun sebuah bangunan di makam umum adalah haram karena bisa menimbulkan kesan mengagungkan kuburan dan dapat menghabiskan lahan pemakaman yang seharusnya digunakan untuk umum. Namun, beberapa hal yang diperbolehkan antara lain memasang nisan sederhana untuk penanda identitas atau menata makam dengan cara yang tidak permanen (seperti batu biasa) dan tidak berlebihan, terutama jika tujuannya adalah untuk melindungi dari kerusakan identitas makam. 

Dalam Kitab Fath Al-Mu’in dijelaskan,

   وكره بناء له أي للقبر أو عليه لصحة النهي عنه بلا حاجة كخوف نبش أو حفر سبع أو هدم سيل.   ومحل كراهة البناء إذا كان بملكه فإن كان بناء نفس القبر بغير حاجة مما مر أو نحو قبة عليه بمسبلة وهي ما اعتاد أهل البلد الدفن فيها عرف أصلها ومسبلها أم لا أو موقوفة حرم وهدم وجوبا لأنه يتأبد بعد انمحاق الميت ففيه تضييق على المسلمين بما لا غرض فيه

Makruh membangun kuburan, sebab adanya larangan syara’. Kemakruhan ini ketika tanpa adanya hajat, seperti khawatir dibongkar, dirusak hewan atau diterjang banjir. Hukum makruh membangun kuburan ini ketika mayit di kubur di tanah miliknya sendiri, jika membangun kuburan dengan tanpa adanya hajat atau memberi kubah pada kuburan ini di pemakaman umum, yakni tempat yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk mengubur jenazah, baik diketahui asalnya dan keumumannya atau tidak, atau di kuburkan di tanah wakaf, maka membangun kuburan tersebut hukumnya haram dan wajib dibongkar, sebab kuburan tersebut akan menetap selamanya meski setelah hancurnya mayit, dan akan menyebabkan mempersempit umat muslim tanpa adanya tujuan (Syekh Zainuddin Al-Maliabari, Fath al-Mu’in, hal.219).   

Lebih lanjut penjelasan Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim dalam kitab karyanya Al-Bina' 'Ala Al-Qubur sebagai berikut,

المقبرة المسبَّلة  

أما المقبرة المسبَّلة، فهي بقعة غير مملوكة، خُصِّصت للدفن، بحيث لا يجوز أن يُبنى فيها دار للسكنى أو حمّام أو مصنع أو نحو ذلك. فدخل طعام أنه كان مملوكاً، وأن المالك سيبلها للدفن، وعلمُنا أنه كان مواتاً حتى شُرع في الدفن فيه، وكذا مَن يُعلَم حاله قبل تخصيصه للدفن، لأن الأصل عدم الملك، فظاهر الحال أنه كان مواتاً حتى خُصص للدفن.  

أما طعام أنه مملوك، فإن يُعلَم أنه سيّبله فنيظر، وليس من موضوعنا، لأنه إن لم يُحكم بالتسبيلا حكم بقاء الملك عند الدفن، ويكون للورثة الاستيلاء على البقعة، ورفعها أو البناء فيها للسكنى أو غير ذلك، بعد بليّ من دُفن فيها سابقاً، إلى غير ذلك مما لا يهمّنا.  

*Pemakaman (umum) yang diwakafkan*

Adapun pemakaman yang diwakafkan, yaitu tanah yang tidak dimiliki oleh individu (wakaf), yang dikhususkan untuk tempat penguburan, sehingga tidak boleh dibangun di atasnya rumah tinggal, pemandian, pabrik, atau yang sejenisnya.

Jika diketahui bahwa tanah tersebut dulunya milik seseorang dan pemiliknya mewakafkannya untuk penguburan, serta diketahui statusnya sebelum diwakafkan, maka status tanah tersebut tetap sebagaimana asalnya.

Namun, jika tidak diketahui statusnya sebelum diwakafkan, maka yang jelas adalah tanah tersebut dianggap sebagai tanah mati (mubâh) hingga digunakan untuk penguburan.

Bagi mereka yang mengetahui status tanah tersebut sebelum diwakafkan untuk penguburan, maka statusnya tetap sebagaimana asalnya.

Namun, jika diketahui bahwa tanah tersebut milik seseorang dan dia mewakafkannya untuk penguburan, maka perlu dikaji lebih lanjut.

Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan kita karena jika wakaf tersebut tidak sah, maka hukumnya tetap milik ahli waris untuk menguasai tanah tersebut, menggalinya, atau membangunnya untuk hunian atau keperluan lain setelah jenazah yang dikuburkan di dalamnya telah membusuk, dan seterusnya, yang tidak relevan dengan pembahasan kita saat ini." (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.27)

القدر المشروع لرفع القبر  

لم أطلع على ما يُستدل به في هذا بالنسبة إلى غير المَلِك، إلا أن يُقال: إن الظاهر أن يُبيَّن، لذلك الأصل الذي تقتضيه طبيعة الحال، وهو إعادة تراب الحفرة إليها بلا نقصان ولا زيادة، ويؤيد بأحاديث النهي عن الزيادة الآتية، فإن مفهومها جواز إعادة تراب الحفرة سواء أقل أم أكثر.  

وربما يُعترض هذا بقول فضالة (أخفوا) على ما قدَّمْنا.  

ويمكن أن يُجاب: بأنه لعل البِقْعَة التي حُفر فيها القبر تُرابية، فيختلط التراب الخارج من الحفرة بالتراب الذي حولها، فلا يتميز، وفيه شيء.  

ولكن وَرَدَ الدليل على مقدار الرفع في المَلِك، وعممه العلماء في المَلِك وغيره لعدم الفَرْق؛ ففي صحيح ابن جَبان:  

(كندا بالأصل ويحتمل بتحريك).  

Tinggi kubur yang disyariatkan bagi selain pemilik tanah tidaklah jelas berdasarkan dalil yang dapat dijadikan pegangan, kecuali jika dikatakan bahwa yang jelas adalah mengembalikan tanah galian kubur ke tempatnya tanpa ada kekurangan atau kelebihan.

Hal ini diperkuat oleh hadits-hadits yang melarang menambah tanah pada kubur, yang secara implisit menunjukkan bolehnya mengembalikan tanah galian ke dalam lubang kubur, baik jumlahnya sedikit atau banyak.

Mungkin ada yang keberatan dengan argumen ini berdasarkan perkataan Fudhalah "tutuplah (kubur itu)", seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Namun, dapat dijawab bahwa tanah yang digali untuk kubur mungkin bercampur dengan tanah di sekitarnya sehingga tidak dapat dibedakan dengan jelas.

Ada dalil yang menjelaskan tentang ukuran tinggi kubur bagi pemilik tanah, dan para ulama menggeneralisasikannya untuk pemilik tanah dan selainnya karena tidak ada bedanya.

Dalam Shahih Ibn Hibban disebutkan: "Dibuatkan seperti punuk unta (yakni sekitar sejengkal)." Ini menunjukkan ukuran tinggi kubur yang disunnahkan.' (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.48)

أخبرنا السختياني، ثنا أبو كامل الجحدري، ثنا الفضيل بن سليمان، ثنا جعفر بن محمد، عن أبيه، عن جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم (أُحد له، ونُصب عليه اللبن نصبا، ورفع قبره من الأرض نحوًا من شبر). فهذا عمل أكابر الصحابة رضي الله عنهم، ولا نعلم لهم مخالفا، والصحابة ذلك اليوم متوافرون بالمدينة، ولم يرد في الكتاب أو السنة ما يخالف ذلك فكان حجة.  

كيفية رفع القبر  

الصفة الطبيعية لإعادة التراب إلى الحفرة: أن ينشأ عن ذلك شيء من الارتفاع مسنما، وهذا هو الأصل الذي لا ينبغي أن يتعدى إلا بدليل.  

استدل من يقول بالتسطيح بحديث التسوية المتقدم بناءً على أن المراد جعل القبر متساوياً، وقد سبق رده وبيان ماهو – إن شاء الله – الحق.  

واستدلوا أيضًا بحديث أبي داود عن القاسم بن محمد قال: (دخلت على عائشة، فقلتُ: يا أماه! اكشفي لي عن قبر النبي صلى الله عليه وآله وسلم وصاحبيه، فكشفت لي عن ثلاثة قبور، لا مشرفة ولا لاطئة، مبطوحة ببطحاء العُرَصَة).  

Telah mengabarkan kepada kami As-Sakhtiyani (Syeikh Sakhtiyani merujuk pada Syeikh Ayyub As-Sakhtiyani, seorang tabi'in terkemuka dari Basrah yang hidup dari tahun 66-131 H), telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Al-Jahduri, telah menceritakan kepada kami Al-Fudhail bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Beliau diusung (ke kubur) dengan berjalan kaki, dan ditaburi tanah di atasnya setinggi satu jengkal, kemudian beliau meninggikan kuburnya dari tanah sekitar satu jengkal."

Ini adalah perbuatan para sahabat senior yang mulia, dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi mereka.

Para sahabat pada masa itu banyak yang berada di Madinah, dan tidak ada riwayat dari Al-Qur'an atau Sunnah yang menyelisihi hal ini, sehingga riwayat ini menjadi hujjah.

Cara meninggikan kubur:

Cara yang alami dalam mengembalikan tanah ke dalam lubang kubur adalah dengan membiarkannya sedikit menonjol seperti punuk unta, dan ini adalah cara yang seharusnya tidak dilanggar kecuali dengan dalil.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kubur itu harus diratakan dengan tanah berdasarkan hadits perataan kubur yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, pendapat ini telah dibantah dan telah dijelaskan apa yang benar, insya Allah.

Mereka juga berdalil dengan hadits riwayat Abu Dawud dari Al-Qasim bin Muhammad, dia berkata:

"Saya menemui Aisyah dan berkata, 'Wahai Ummah, tunjukkanlah kepadaku kubur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya.' Maka beliau menunjukkan kepadaku tiga kubur yang tidak meninggi dan tidak pula rendah, tetapi datar di tanah lapang.'" (Al-Bina' 'Ala Al-Qubur, Syeikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allim, hal.49). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 11 Oktober 2025

KAJIAN LANJUTAN TENTANG PAHAM SYIAH ZAIDIYAH YANG MEMBOLEHKAN MEMBANGUN KUBURAN




Menurut Imam Asy-Syaukani, membangun di atas kuburan adalah haram secara mutlak, tanpa pembedaan antara tanah pribadi atau umum. sebagian ulama mazhab Syafi'i yang membolehkan membangun di atas tanah milik sendiri (makruh) namun mengharamkannya di tanah wakaf. 

Pendapat Imam Asy-Syaukani didasarkan pada dalil yang menyatakan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan secara umum, dan beliau menguatkan pendapat ini dengan menolak adanya perbedaan hukum yang dianjurkan oleh mazhab lain. 

Beliau berpendapat bahwa tidak ada dalil yang membenarkan pembedaan hukum tersebut, tidak seperti apa yang dinyatakan oleh Syeikh Yahya bin Hamzah Al-Yamani salah seorang ulama yang berpaham Syiah Zaidiyah sebagai orang yang membolehkannya.

Dalam penutup kitab beliau Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.22-24 beliau mengatakan, 

فائدة

وأما ما استدل به الإمام يحيى حيث قال: لاشتمال المسلم ذلك ولم ينكروه. فقول مردود، لأن علماء المسلمين ما زالوا في كل عصر يروون أحاديث رسول الله ﷺ فيمن فعل ذلك ويقررون شريعة رسول الله ﷺ في تحريم ذلك في مدارسهم ومجالس حفاظهم يرويها الآخر عن الأول، والصغير عن الكبير، والعلم عن العلم من لدن أيام الصحابة إلى هذه النهاية، وأوردها المحدثون في كتبهم المشهورة من الأمهات والمسانيد والمصنفات، وأوردها المفسرون في تفاسيرهم، وأهل الفقه في كتبهم الفقهية، وأهل الأخبار والسير في كتب الأخبار والسير. فكيف يقال: إن المسلمين لم ينكروا على من فعل ذلك؟ وهم يوردون أدلة النهي عنه، والنص الناهية، خلفاً عن سلف في كل عصر. ومع هذا قد نقل علماء الإسلام منكرين لذلك سابقين للنهي عنه. وقد حكى ابن الحاج عن شيخه فقيه الدين رحمه الله وهو الإمام الحطّاب بأن مذهب سلف هذه الأمة وخلفها: أنه قد شرع عامة الطوائف بالنهي عن بناء المساجد على القبور، ثم قال: وصرح أصحاب أحمد ومالك والشافعي بتحريم ذلك، وطائفة أطلقت الكراهة، لكن ينبغي أن يحمل على كراهة التحريم، إحساناً للظن بهم، وأن لا يظن بهم أن يجيزوا ما تواتر عن رسول الله ﷺ من نهيه ولعنه لمن فعله، والنهي عنه انتهى.  

فانظر كيف حكى التصريح عن عامة الطوائف؟ وذلك يدل على أن إجماع من أهل العلم على اختلاف طوائفهم، ثم بعد ذلك جعل أهل ثلاثة مذاهب مصرحين بالتحريم. 

*Faidah*

Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Yahya, yaitu "karena umat Islam telah melakukannya dan tidak ada yang mengingkarinya," maka pendapat ini dapat ditolak.

Para ulama Islam di setiap zaman terus-menerus meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah ﷺ tentang larangan melakukan hal tersebut dan menetapkan syariat Rasulullah ﷺ yang mengharamkannya dalam pengajaran dan majelis hafalan mereka.

Mereka meriwayatkannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari yang kecil hingga yang besar, dan dari yang berilmu hingga yang lebih berilmu, sejak zaman sahabat hingga sekarang.

Para ahli hadits juga menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka yang terkenal, seperti kitab-kitab induk, musnad, dan muṣannaf. Begitu pula para ahli tafsir dalam kitab tafsir mereka, ahli fikih dalam kitab-kitab fikih mereka, dan ahli sejarah dalam kitab-kitab sejarah mereka.

Lalu, bagaimana mungkin dikatakan bahwa umat Islam tidak mengingkari perbuatan tersebut, padahal mereka semua menyebutkan dalil-dalil yang melarangnya dan teks-teks yang melarangnya dari generasi ke generasi?

Bahkan, para ulama Islam telah menyebutkan bahwa ada ulama yang mengingkari perbuatan tersebut dan melarangnya.

Ibn al-Hajj meriwayatkan dari gurunya, Faqihuddin (semoga Allah merahmatinya), yang juga dikenal sebagai Imam al-Hattab, bahwa mazhab salaf dan khalaf sepakat bahwa syariat telah melarang pembangunan masjid di atas kuburan.

Kemudian, beliau mengatakan bahwa pengikut Imam Ahmad, Malik, dan Syafi'i secara tegas mengharamkan hal tersebut. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa hal itu makruh, tetapi sebaiknya dipahami sebagai makruh tahrim (makruh yang mendekati haram).

Ini dilakukan untuk menjaga kehormatan mereka dan tidak menyangka bahwa mereka menghalalkan sesuatu yang telah jelas-jelas dilarang dan dilaknat oleh Rasulullah ﷺ bagi yang melakukannya.

Perhatikan bagaimana beliau menyebutkan bahwa mayoritas ulama dari berbagai mazhab sepakat tentang hal ini. Ini menunjukkan adanya ijmak (kesepakatan) di antara para ulama dari berbagai mazhab. Beliau kemudian menyebutkan bahwa ulama dari tiga mazhab secara tegas mengharamkannya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.22-23)

و يجعل طائفة مصرحـة بالكراهة، وحملها على كراهة التحريم. فكيف  

يقال: إن بناء القباب والمشاهد على القبور لم ينكره أحد؟ ثم انظر كيف يصح استثناء أهل الفضل برفع القباب على قبورهم، وقد صح عن النبي ﷺ أنه قال: «أولئك قوم إذا مات فيهم العبد الصالح أو الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً، ثم صوروا فيه تلك الصور، أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة» رواه مسلم.  

فكيف يسوغ لمن مسّه أن يستثني أهل الفضل بفعلٍ شدد الحرام الشديد على فعله؟ ومع أن أهل الكتاب الذين لعنهم الرسول ﷺ وحذر الناس ما صيروه معابداً ومشاهد لم يعملوا إلا على قبور صلحائهم. فهل هذا رسول الله ﷺ سيد البشر وخير الخليقة، وخاتم الرسل، واصفوه الله من خلقه، ينهى أمته أن يعملوا على قبره مسجداً أو مشهداً، وهو القدوة لأمته، وأهل الفضل من القدوة به والتأسي بأفعاله وأقواله الحفظ الأوفر، وهم أحق الأمة بذلك وألزمهم به. فكيف يكون فعل بعض الأمة وصلاح بعضهم أفضل من هذا المنكر على قبره؟ وأصل الفضل ومرجعه هو رسول الله ﷺ، وأي فضل يُنسب إلى فضله أدنى نسبة، أو يكون له غبطة أقل اعتبار؟ فإن كان هذا حراماً منبهاً عنه ملعوناً فاعله في قبر رسول الله ﷺ، فما ظنك بغيره، من أمته؟  

وكيف يستقيم أن يكون للفضل مدخل في تحليل المحرمات وفعل المنكرات؟ اللهم اغفر، واهدنا هدى الحق ووفّقنا  

لأتباعه. وصلى الله على محمد عبد الله ورسوله، وعلى آله أجمعين.  

"Bagaimana mungkin dikatakan bahwa membangun kubah dan bangunan di atas kuburan tidak diingkari oleh siapa pun?

Perhatikan bagaimana bisa dikatakan bahwa orang-orang shaleh boleh dikecualikan dari larangan membangun kubah di atas kuburan mereka, padahal telah sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

"Orang-orang yang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah mereka yang membangun masjid di atas kuburan orang shaleh di antara mereka, lalu mereka membuat gambar-gambar di dalamnya." (HR. Muslim)

Bagaimana mungkin seseorang yang sedikit memahami agama ini menghalalkan perbuatan yang sangat dilarang ini hanya karena orang yang melakukannya adalah orang shaleh?

Bahkan, ahli Kitab yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan diperingatkan oleh beliau, mereka hanya membangun tempat ibadah dan kubah di atas kuburan orang-orang shaleh mereka.

Apakah mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan sebaik-baik manusia dan penutup para nabi, yang disifati oleh Allah sebagai manusia terbaik, melarang umatnya membangun masjid atau kubah di atas kuburan beliau, sementara beliau sendiri adalah contoh terbaik bagi umatnya?

Orang-orang shaleh di antara umatnya seharusnya lebih berpegang teguh pada ajaran beliau dan mengikuti jejak beliau. Mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk mengikuti ajaran beliau dan paling wajib melaksanakannya.

Bagaimana mungkin perbuatan sebagian umat ini dan keshalehan sebagian mereka lebih utama daripada perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kuburan beliau?

Sumber keshalehan dan kebaikan adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah ada keshalehan yang dapat dibandingkan dengan keshalehan beliau?

Jika perbuatan ini diharamkan dan dilaknat oleh Allah di kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana lagi dengan kuburan selain beliau?

Bagaimana mungkin kesalehan dapat menjadi alasan untuk menghalalkan perbuatan yang diharamkan dan melakukan kemungkaran? Ya Allah, ampunilah kami dan tunjukilah kami jalan yang benar, serta berilah kami taufik untuk mengikuti petunjuk-Mu. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, hamba dan Rasul-Nya, serta kepada keluarga beliau semuanya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.24)

Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikit,

 عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Dari Abul Hayyaj al-Asady beliau berkata: Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku: Engkau aku utus (dengan tugas) sebagaimana Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mengutusku, yaitu: Janganlah engkau tinggalkan  patung/gambar makhluk bernyawa kecuali engkau  hilangkan, dan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan (HR Al-Jamaah, kecuali Al-Bukhari dan Ibnu Majah)

Al-Imam Asy-Syaukan menyatakan sebagai berikut,

ومن رفع القبور الداخل تحت الحديث دخولا أوليا القبب والمشاهد المعمورة على القبور وأيضا هو من اتخاذ القبور مساجد وقد لعن النبي صلى الله عليه وآله وسلم فاعل ذلك كما سيأتي وكم قد سرى عن تشييد أبنية القبور وتحسينها من مفاسد يبكي لها الإسلام منها اعتقاد الجهلة لها كاعتقاد الكفار للأصنام وعظم ذلك فظنوا أنها قادرة على جلب النفع ودفع الضرر فجعلوها مقصدا لطلب قضاء الحوائج وملجأ لنجاح المطالب وسألوا منها ما يسأله العباد من ربهم وشدوا إليها الرحال وتمسحوا بها واستغاثوا وبالجملة إنهم لم يدعوا شيئا مما كانت الجاهلية تفعله بالأصنام إلا فعلوه فإنا لله وإنا إليه راجعون ومع هذا المنكر الشنيع والكفر الفظيع لا نجد من يغضب لله ويغار حمية للدين الحنيف لا عالما ولا متعلما ولا أميرا ولا وزيرا ولا ملكا وقد توارد إلينا من الأخبار ما لا يشك معه أن كثيرا من هؤلاء المقبوريين أو أكثرهم إذا توجهت عليه يمين من جهة خصمه حلف بالله فاجرا فإذا قيل له بعد ذلك احلف بشيخك ومعتقدك الولي الفلاني تلعثم وتلكأ وأبى واعترف بالحق وهذا من أبين الأدلة الدالة على أن شركهم قد بلغ فوق شرك من قال إنه تعالى ثاني اثنين أو ثالث ثلاثة فيا علماء الدين ويا ملوك المسلمين أي رزء للإسلام أشد من الكفر وأي بلاء لهذا الدين أضر عليه من عبادة غير الله وأي مصيبة يصاب بها المسلمون تعدل هذه المصيبة وأي منكر يجب إنكاره إن لم يكن هذا الشرك البين واجبا

Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.

Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala. Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.

Mereka bersusah payah melakukan perjalanan (syaddur rihaal) ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.

Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.

Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani).

Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari." (Nailul Authar karya Asy-Syaukani bab Tasliimul Qabri wa Rasysyihi bil Maa’ wa Ta’liimihi li Yu’rof  juz 4 hal.131). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG AJARAN MEMBANGUN BANGUNAN KUBURAN BERASAL DARI SYIAH ZAIDIYAH



Syahdan, tulisan ini sekedar menyampaikan perkataan ulama Ahlussunnah wal Jama'ah dan bukan berasal dari kitab-kitab ulama salafi wahabi sehingga siapa pun yang mengkritisi kuburan Ba'alawi disebut berpaham wahabi. Kajian kali ini mengambil hujjah dari Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani Al-Yamani. 

Imam Asy-Syaukani berasal dari Yaman, lebih tepatnya dari kota Hijrah Syaukan di luar kota Sana'a. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani Ash-Shan'ani Al-Yamani, dan ia dilahirkan di sana pada tahun 1173 H. Dalam salah satu kitab karyanya Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur pada halaman 6-8 menjelaskan bahwa orang yang pertama kali dan satu-satunya yang membolehkan pembangunan makam orang-orang Shaleh dengan megah adalah Syeikh Yahya bin Hamzah Al-Yamani.

Syeikh Yahya bin Hamzah Al-Yamani adalah anggota elit Syiah Zaidiyah, tetapi bukan dari keturunan Rassayyin (Al-Houti) yang biasanya menjadi imam. Yahya adalah keturunan generasi ke-13 dari imam Syiah Ali bin Musa Ar-Ridha (wafat 818 M).

Imam Al-Mahdi Muhammad telah menaklukkan banyak wilayah negara Rasuliyah, termasuk kota perdagangan dan politik penting, Sana'a. Setelah kematiannya pada tahun 1328 M, setidaknya ada empat orang yang mengklaim diri sebagai imam.

Selain Yahya, klaim imamah juga datang dari An-Nasir Ali bin Shalah, Ahmad bin Ali Al-Fathiy, dan putra imam yang wafat, Al-Watsiq Al-Muthahhar bin Muhammad.

Yahya adalah yang paling berpeluang menjadi imam dan berhasil menguasai Sana'a. Dengan Sana'a sebagai basis, beliau memutuskan untuk melancarkan perang terhadap sekte Ismailiyah dari suku Hamdan di Dhuhr Wadi.

Negara Rasuliyah tidak dapat merebut kembali wilayah yang telah hilang di Yaman utara dan membiarkan Zaidiyah tidak terancam. Imam Yahya menulis kitab "Al-Intishar" yang dianggap sebagai salah satu kitab hukum syariah terpenting bagi Zaidiyah dan kitab "Ad-Da'wah Al-'Amah" untuk mendorong perjuangan iman yang sebenarnya.

Dikatakan bahwa jumlah halaman kitab-kitab yang ditulisnya sama dengan jumlah hari yang beliau jalani.

Mukayyad Yahya wafat pada tahun 1345 M (atau 1349 M menurut sumber lain) dan dimakamkan di Dhamar. Setelah kematiannya, Sana'a dikepung oleh dua bersaudara Zaidiyah, Ibrahim bin Abdullah dan Dawud bin Abdullah, yang memerintah sebagai amir dan tidak mengklaim gelar imam. Kontrol atas Sana'a berlanjut hingga tahun 1381 M.

Di dalam kitab karya Imam Asy-Syaukani dijelaskan sebagai berikut,

**مسألة رفع القبور، والبناء عليها، كما يفعل الناس من بناء المساجد والقباب على القبور.**

نقول: اعلم أنك قد اتفق الناس، سابقهم ولاحقهم، وأولهم وآخرهم من لدن الصحابة رضي الله عنهم إلى هذا الوقت، أن رفع القبور والبناء عليها بدعة من البدع التي ثبت النهي عنها، رأيت رسول الله ﷺ لفاعلها، كما يأتي بيانه، ولم يخالف في ذلك أحد من المسلمين أجمعين؛ لكنه وقع للإمام يحيى بن حمزة مسألة تدل على أنه يرى أنه لا بأس بالقباب والمشاهد على قبور الفضلاء، ولم يقل بذلك غيره، ولا يُروى عن أحد سواه، ومن ذكرها من المؤلفين في كتب الفقه من الزيدية، فهو جرى على قوله وقلّدَه فيه، ولم يُجد القول بذلك من غيره، أو تقدّم عصره عليه، لا من أهل البيت، ولا من غيرهم. وهكذا اقتصر صاحب البحر الذي هو مدرَس كبار الزيدية ومرجع مذهبهم، ومكان العيان فلاتهم في ذات بينهم، والخلاف بينهم غيرهم، بل اشتهل على غالب أقوال المجتهدين وخلافاتهم في المسائل الفقهية، وصار هو المرجوع إليه في هذه الأعصار، وهذا الديار، لمن أراد معرفة الخلاف في المسائل وأقوال القائلين بأعيانها أو نُسبها من المجتهدين؛ فإن صاحب هذا الكتاب الجليل لم يُنسب هذه المقالة -أعني جواز رفع القباب والمشاهد على قبور الفضلاء- إلا إلى الإمام يحيى وحده. فقد قال ما نصه:  

**مسألة: الإمام يحيى: لا بأس بالقباب والمشاهد على قبور الفضلاء، والمدرك: لاستعمال المسلمين ولم يُنكر. انتهى.**

*Masalah Meninggikan Kubur dan Membangun Bangunan di Atasnya*

Seperti yang biasa dilakukan orang dengan membangun masjid dan kubah di atas kuburan, kami katakan: Ketahuilah bahwa semua ulama, baik yang terdahulu maupun yang belakangan, dari zaman sahabat radhiyallahu ‘anhu hingga sekarang, sepakat bahwa meninggikan kubur dan membangun di atasnya adalah bid'ah yang dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Tidak ada seorang Muslim pun yang menyelisihi hal ini. Namun, Imam Yahya bin Hamzah memiliki pendapat yang berbeda. Beliau berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan membangun kubah dan bangunan di atas kuburan orang-orang saleh.

Pendapat ini tidak diikuti oleh ulama lain, dan tidak ada riwayat yang mendukungnya selain dari beliau. Para penulis kitab fikih dari kalangan Zaidiyah mungkin menyebutkan pendapat ini karena mengikuti pendapat Imam Yahya dan meneladaninya dalam hal ini.

Namun, pendapat ini tidaklah kuat jika dibandingkan dengan pendapat lainnya. Bahkan, penulis kitab "Al-Bahr" yang menjadi rujukan utama dalam mazhab Zaidiyah dan tempat rujukan bagi para ulama mereka, menyebutkan bahwa hanya Imam Yahya yang berpendapat demikian.

Beliau (penulis kitab Al-Bahr) menyebutkan berbagai pendapat dan perbedaan pandangan para mujtahid dalam masalah fikih dan menjadi rujukan utama di zaman ini.

Dalam kitabnya yang agung ini, beliau hanya menyebutkan bahwa pendapat tentang bolehnya membangun kubah dan bangunan di atas kuburan orang-orang saleh hanya datang dari Imam Yahya saja. Beliau berkata:

Masalah: Imam Yahya berkata, "Tidak ada masalah dengan membangun kubah dan bangunan di atas kuburan orang-orang shaleh, karena umat Islam telah melakukannya dan Masjid di atas kuburan orang-orang shaleh, berdasarkan kebiasaan umat Islam dan tidak ada yang mengingkarinya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.6-7)

فقد عرفت من هذا أنه لم يقل بذلك إلا الإمام يَحْيَى، وعرفت دليله الذي استدلّ به، وهو استعمال المسلمين مع عدم الإنكار. ثم ذكر صاحب البحر هذا الدليل الذي استدلّ به الإمام يحيى في الثبت واقتصر عليه، ولم يأتِ بغيره.  

فإذا عرفت هذا تقرر لك أن هذا الخلاف واقعٌ بين الإمام يحيى وبين سائر العلماء، من الصحابة والتابعين، ومن المتقدمين من أهل البيت والمتأخرين، ومن أهل المذاهب الأربعة وغيرهم، ومن جميع المجتهدين أوّلهم وآخرهم، ولا يُعتدّ هذا بحكاية عن حِكَيّ قول الإمام يحيى في مؤلفه من حياء بعده من المؤلفين. فإن جرد حكاية القول لا يدلّ على أن الحاكي يختار ويذهب إليه. فإن وُجدَ قائلٌ من بعده من أهل العلم يقول بقوله هذا ويرجّحه، فإن كان مجتهدًا كان قائلاً بما قاله الإمام يحيى ذاهبًا إلى ما ذهب إليه بذلك الدليل الذي استدلّ به، وإن كان غير مجتهد فلا اعتبار بموافقته؛ لأنها تقليد أقوال المجتهدين لا أقوال المقلدين. فإذا أردت أن تعرف: هل الحق مع ما قاله الإمام يحيى أو ما قاله غيره من أهل العلم، فالواجب عليك ردّ هذا الخلاف إلى ما أُمرنا الله بالردّ إليه، وهو كتاب الله وسنّة رسوله ﷺ.  

فإن قلتَ: بيّن لي العمل في هذا الردّ حتى تتمّ الفائدة، ويتضح الحقّ من غيره؛ والمصيب من المخطئ، في هذه المسألة.  

Dari sini, kita dapat memahami bahwa hanya Imam Yahya yang berpendapat demikian, dan kita juga mengetahui dalil yang digunakan oleh beliau, yaitu kebiasaan umat Islam yang tidak diingkari.

Penulis kitab "Al-Bahr" menyebutkan dalil yang digunakan oleh Imam Yahya sebagai landasan hukum dan tidak menyebutkan dalil lainnya.

Dengan memahami hal ini, Anda dapat mengetahui bahwa perbedaan pendapat terjadi antara Imam Yahya dan ulama lainnya, baik dari kalangan sahabat, tabi'in, ulama terdahulu dari kalangan Ahlul Bait dan ulama lainnya, maupun dari kalangan empat mazhab dan lainnya, serta seluruh mujtahid dari zaman awal hingga akhir.

Mengutip pendapat Imam Yahya tanpa mempertimbangkan dalilnya tidaklah cukup untuk menetapkan suatu hukum. Mengutip pendapat seseorang tidak selalu berarti bahwa orang yang mengutip itu memilih dan mengikuti pendapat tersebut.

Jika ada ulama lain yang kemudian mendukung pendapat Imam Yahya dan mengemukakannya sebagai pendapat yang lebih kuat, maka jika ulama tersebut adalah seorang mujtahid, dia dianggap telah mengemukakan pendapatnya berdasarkan dalil yang sama dengan yang digunakan oleh Imam Yahya.

Namun, jika ulama tersebut bukan mujtahid, maka pendapatnya tidak memiliki nilai lebih karena dia hanya mengikuti pendapat mujtahid lain.

Jika Anda ingin mengetahui mana yang benar, pendapat Imam Yahya atau pendapat ulama lainnya, maka Anda harus merujuk pada sumber hukum yang telah diperintahkan oleh Allah, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Jika Anda bertanya bagaimana cara merujuk pada sumber-sumber tersebut agar kita dapat memperoleh jawaban yang jelas dan membedakan antara yang bendan yang salah dalam masalah ini." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Dar Al-Wathan li An-Nasyr wa Al-A'lam hal.8). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Kamis, 09 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG HIKMAH KONTROVERSI NASAB BA'ALAWI DEMI MENCARI SEBUAH KEBENARAN





Tulisan ini terlepas dari penolakan atau pembatalan nasab Ba'alawi khususnya di Indonesia ini, tetapi bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa memang sesungguhnya awal mula keberadaan masyarakat Hadhramaut pada masa itu sebagian besar mengaku ahlul bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun mereka tidak memiliki bukti yang kuat dan dapat dipercaya kecuali hanya klaim mereka sendiri. Dari sinilah bisa dipahami bahwa ketika ada yang mempertanyakan validitas klaim nasab yang tersambung dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu hal yang wajar.

Penjelasan tersebut terdapat dalam kitab Dirasah fi Nasab As-Sadah Bani Alawi karya Al-Habib Saqaf bin Ali Al-Kaff sebagai berikut,

البحث الثالث  

مناقشة وإيضاح في ما ورد في مقالة الطنطاوي

في تاريخ ٢٠/١٢/١٤٠٥ هـ الموافق ٥/٩/١٩٨٥ م طالعتنا جريدة الشرق الأوسط في عددها رقم ٢٤٨٣ بمقالة الشيخ علي الطنطاوي تحت عنوان ذكريات الشيخ الطنطاوي، ونص هذه المقالة هو:  

والحضارم طبقات منهم العلويون يقولون أنهم سادة أشراف ومنهم من ليس من عمل هذه الدعوى عن تهمة الإنسان في دين الإسلام يعلمون ولقد تكاثرت الأبايه وأجداده الكريمة النسبة في الشرف ومحاسن الأخلاق وكرم السلوك، ثم إن أكثر هذه الأنساب التي يدعى فيها الانتساب إلى رسول الله ﷺ ليس لها ما يثبتها ويؤكدها إلا قول أصحابها، وأنا لا أتهم أحداً في نسبه ولكن أريد تحقيق حقيقة ثابتة).  

ولم يكتفِ الشيخ بهذه المقالة بل كررها في كره من الادعاء عندما سئل عن شروط الكفاءة في النسب في النكاح، كُرر هذه المقالة مستنداً إلى الإذاعة لنشر أفكاره المثيرة للفتنة، وكان الأولى أن يجيب السائل بقول العلماء الأئمة الأعلام: أبو حنيفة وأحمد والشافعي رضي الله عنهم، اشترط النسب في النكاح ولم يشترطه مالك، وهذا ما جرى عليه العلماء.  

ولقد أعاد الشيخ علي الطنطاوي في ذكرياته نفس الكلام، وذلك في الجزء السادس صفحة رقم ٢٣٣ في السطر ١٨ فلهذا طُبعنا هذه الرسالة لإيضاح ما جاء في مقالته.  

Penelitian Ketiga: Diskusi dan Klarifikasi Mengenai Tulisan Al-Tantawi

Pada tanggal 20 Desember 1405 H, bertepatan dengan tanggal 5 September 1985 M, surat kabar "Ash-Sharq Al-Ausat" dalam edisi nomor 2483 memuat sebuah artikel yang ditulis oleh Syaikh Ali Al-Tantawi dengan judul "Kenangan Syaikh At-Tantawi". Berikut adalah teks artikel tersebut:

"Dan Hadhramut terdapat berbagai lapisan masyarakat yang terdiri dari para Alawi yang mengaku sebagai keturunan sayyid dan bangsawan. Namun, ada di antara mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini. Manusia tidak dapat dituduh dalam hal keislamannya, tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang memiliki nasab yang mulia dan akhlak yang baik. Namun, sebagian besar dari nasab-nasab yang diklaim sebagai keturunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memiliki bukti yang kuat dan dapat dipercaya kecuali hanya klaim mereka sendiri. Saya tidak menuduh siapa pun dalam nasabnya, tetapi saya ingin mencari kebenaran yang pasti)."

Syaikh At-Tantawi tidak hanya menulis artikel ini, tetapi juga mengulangi pendapatnya dalam sebuah wawancara di radio ketika ditanya tentang syarat kesetaraan dalam nasab dalam pernikahan. Dia mengulangi pendapatnya dan menyebarkan gagasan yang dapat menimbulkan fitnah.

Sebaiknya, beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip pendapat para ulama besar seperti Abu Hanifah, Ahmad, dan Asy-Syafi'i, yang mensyaratkan kesetaraan dalam nasab dalam pernikahan, sedangkan Imam Malik tidak mensyaratkan hal itu. Ini adalah pendapat yang telah menjadi tradisi di kalangan ulama.

Syaikh Ali At-Tantawi juga mengulangi perkataannya yang sama dalam memoarnya, yaitu pada jilid keenam, halaman 233, baris ke-18. Oleh karena itu, kami mencetak risalah ini untuk menjelaskan dan mengklarifikasi apa yang beliau tulis dalam artikelnya." (Dirasah fi Nasab As-Sadah Bani Alawi, Saqaf bin Ali Al-Kaff, cet. Muthaba' Al-Mukhtar Al-Islami, hal.13)

قال الشيخ: «أن الصدام طبقات» (منهم المغالون الذين يقولون إنهم سادة أشراف)، ونحب أن نبيّن للشيخ الطنطاوي وهو يعلم هذا نظرًا لعلمه الواسع وثقافته العالية، أن الطبقية ليست في هذا اللقاء لأن الطبقية هي الفروقات بين طبقات المجتمع في الجانب الاجتماعي، فهناك طبقة العمال وطبقة الفلاحين وطبقة الرأسماليين إلخ...  

أما ما هو عند المغالين فهي قبيلة أو أسرة، وقد يطلق على العلوي أن ينتمي لأي طبقة من الطبقات الثلاث، ولكن لا يمكن أن ينتمي إلى قبيلة غير قبيلته ولا إلى أسرة.  

والشيخ يعلم أن العرب من قبل الإسلام وهم يهتمون بأنسابهم، وقد نسب رسول الله ﷺ نفسه فقال: «أنا النبي لا كذب، أنا ابن عبد المطلب»، ويعرف خليفة رسول الله ﷺ وآله، سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه، بأنه عالم في علم النسب ويقال له نسّابة العرب، وقد أُلفت في علم الأنساب العربية عشرات المؤلفات وأُلف في أنساب آل بيت رسول الله ﷺ وآله المئات من المؤلفات والمشجرات، ولننظر في هذا البحث القليل منها كما ذكرنا على سبيل المثال لا الحصر والاستقصاء.  

ويعلم عند الجميع أن نسبة آل البيت وعلى الأخص السادة بنو علي بن أبي طالب عمود نسبهم في هذا البحث ثابت بالاستفاضة جيلاً بعد جيل، بالاستفاضة منذ عصر رسول الله ﷺ، ومنكر المتواتر معروف حكمه في الإسلام.  

Syaikh tersebut berkata, "Di antara manusia terdapat lapisan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang berlebihan dalam mengklaim diri sebagai sayyid dan bangsawan." Kami ingin menjelaskan kepada Syaikh At-Tantawi, yang tentunya sudah mengetahui hal ini karena keluasan ilmunya dan kebudayaannya yang tinggi, bahwa stratifikasi sosial yang dimaksud bukanlah dalam konteks pertemuan ini.

Stratifikasi sosial sebenarnya merujuk pada perbedaan antara lapisan masyarakat dalam aspek sosial, seperti kelas pekerja, petani, kapitalis, dan sebagainya. Adapun yang diklaim oleh orang-orang yang berlebihan itu adalah tentang suku atau keluarga. Seorang Alawi dapat dikatakan termasuk dalam salah satu kelas sosial, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa dia termasuk dalam suku atau keluarga selain suku dan keluarganya sendiri.

Syaikh At-Tantawi tentunya mengetahui bahwa orang-orang Arab sebelum Islam sangat memperhatikan nasab mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menyebutkan nasabnya dengan berkata, "Aku adalah Nabi yang tidak berdusta, aku adalah anak Abdul Muttalib."

Khalifah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarga beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu nasab dan disebut sebagai "pakar nasab Arab".

Telah ditulis puluhan kitab tentang ilmu nasab Arab dan ratusan kitab tentang nasab keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Ahlul Bait. Mari kita lihat beberapa contoh kitab yang membahas hal ini, meskipun tidak semua dapat disebutkan di sini.

Sudah diketahui oleh semua orang bahwa nasab keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, khususnya sayyid-sayyid keturunan Ali bin Abi Thalib, adalah nasab yang kokoh dan terjaga secara turun-temurun sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Menolak sesuatu yang telah mutawatir adalah perbuatan yang diketahui hukumnya dalam Islam." (Dirasah fi Nasab As-Sadah Bani Alawi, Saqaf bin Ali Al-Kaff, cet. Muthaba' Al-Mukhtar Al-Islami, hal.14)

إن أمة الإسلام أمة الإسناد، واختصت بهذه الصفة عن سائر الأمم، فنقل البنا القرآن الكريم بالإسناد، ونقلت البنا السنة المطهرة بالإسناد، وكذلك التواريخ والأنساب، والمغازي والسير. وإذا تركنا لكل شخص أن يطلق لسانه في ما ثبت سنده بهم الأمر إلى تكذيب كثير من الأحكام الشرعية والحوادث التاريخية لكونها لم تعجبهم، ولم توافق هواهم، والقاعدة الشرعية التي يعلمها الشيخ باعتباره من كبار العلماء، ومن الذين زاولو القضاء سنين عديدة، وهي أن الناس مؤتمنون على أنسابهم فمن ثبت نسبه وطعن فيه غيره فعبئه بالإثبات، وإلا يعد باعتباره قاذفًا.  

وقال الشيخ الطنطاوي: **(ومنهم من ليس له مثل هذه الدعوى)**  

ونحب أن نوضح للشيخ: إن المضمار الذين تقول ليس لهم مثل هذه الدعوى يبدو أنك لا تعلم تركيب المجتمع العربي، فللعرب مشجرات ونسب لقبائلهم، فهناك المشايخ آل العمودي معروفة أنسابهم، كذلك المشايخ آل بافضل، وآل باعباد، وآل كثير، وآل بن علوي، وآل بلفقيه، وآل عيدروس، وغيرهم من قبائل حضرموت التي هي محتفظة بأنسابها ومعتزة بها كغيرها من قبائل جزيرة العرب في المملكة العربية السعودية واليمن والخليج.  

"Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang memiliki tradisi sanad yang kuat. Mereka memiliki keistimewaan ini dibandingkan dengan umat-umat lainnya. Al-Qur'an ditransfer melalui sanad, begitu pula dengan Sunnah yang suci, sejarah, nasab, peperangan, dan biografi. Jika kita membiarkan setiap orang berbicara bebas tanpa sanad yang kuat, maka akan menyebabkan banyak hukum syar'i dan peristiwa sejarah yang dipertanyakan karena tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Ada kaidah syar'i yang diketahui oleh Syaikh At-Tantawi sebagai seorang ulama besar dan hakim berpengalaman, yaitu bahwa orang-orang dipercaya dalam hal nasab mereka. Maka, siapa pun yang menuduh nasab seseorang tanpa bukti yang kuat, maka dialah yang harus membuktikan tuduhannya. Jika tidak, maka dia dianggap sebagai orang yang melakukan qadhf (penuduhan tanpa bukti).

Syaikh At-Tantawi berkata, "Dan di antara mereka ada yang tidak memiliki klaim seperti ini." Kami ingin menjelaskan kepada Syaikh bahwa sepertinya beliau tidak memahami struktur masyarakat Arab.

Orang-orang Arab memiliki catatan nasab dan silsilah untuk suku-suku mereka. Misalnya, keluarga Al-'Amudi, Al-Fadhel, Al-'Abbad, Al-Kathir, Al-Ba'alawi, Al-Faqih, Al-'Aydrus, dan lain-lain dari suku-suku Hadramaut yang masih menjaga dan bangga dengan nasab mereka, sebagaimana suku-suku lain di Jazirah Arab, baik di Arab Saudi, Yaman, maupun negara-negara Teluk." (Dirasah fi Nasab As-Sadah Bani Alawi, Saqaf bin Ali Al-Kaff, cet. Muthaba' Al-Mukhtar Al-Islami, hal.15)

كيف تقول أيها الشيخ هذه الكلمة في أمة ثبت نسبها بالتواتر، وألّف في أنسابها المؤلفات والمشجرات من القرن الثاني، وقد أثبتنا لك في هذا البحث إن كنت تريد العلم عن نسب آل بيت النبي ﷺ، فراجع فقط أعداداً من النسابين والمؤرخين والمحدثين ترتاح نفسك إلى أقوالهم بحسب بحثك وفهمك، فتحققها، وانظر لها بعين العلم والمعرفة لا بعين النفي والإنكار. لأن النفي والإنكار ليس من سمة المسلم فضلاً عن العالم الداعي، والله قد يعصم بصر وبصيرة الإنسان عندما يذكر الفضل لخلق أعظم خلق الله. وما يضيرك في هذا البحث إن ثبت النسب أو لم يثبت. ليس من أقوالهم من أخبارهم في أئمة العلم والحديث والفقه كالإمام السخاوي وابن حجر الهيتمي وغيرهم من أئمة الهدى، وما ثبت عندهم نسب بني علوي من صحة نسبهم يؤيد ما على سائر مشجرات آل البيت المثبتة في كتب الأنساب والعراجم والسير والتاريخ.

"Bagaimana Anda, wahai Syaikh, dapat mengucapkan kata-kata ini tentang suatu kaum yang telah ditetapkan nasabnya secara mutawatir? Banyak kitab dan silsilah yang telah ditulis tentang nasab mereka sejak abad kedua Hijriyah. Kami telah membuktikan kepada Anda dalam penelitian ini, jika Anda ingin mengetahui tentang nasab keluarga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Cukup Anda menelaah karya-karya para ahli nasab, sejarawan, dan ahli hadits. Dengan penelitian dan pemahaman Anda, semoga jiwa Anda akan merasa tenang dengan apa yang mereka katakan. Telitilah hal ini dengan pandangan ilmiah dan pengetahuan, bukan dengan pandangan penolakan dan pengingkaran.

Penolakan dan pengingkaran bukanlah sifat seorang Muslim, apalagi seorang ulama yang berdakwah. Allah terkadang melindungi pandangan dan pemahaman seseorang ketika menyebutkan keutamaan makhluk-Nya yang paling mulia.

Apa yang merugikan Anda jika nasab ini terbukti atau tidak? Ini bukanlah perkataan yang berasal dari kabar-kabar tentang para imam ilmu, hadits, dan fiqih seperti Imam As-Sakhawi, Ibnu Hajar Al-Haitami, dan lainnya dari para imam petunjuk.

Apa yang telah terbukti di sisi mereka tentang nasab Bani Alawi dari segi keabsahan nasab mereka mendukung apa yang tertuang dalam silsilah Nabi lainnya yang tercatat dalam kitab-kitab nasab, biografi, dan sejarah." (Dirasah fi Nasab As-Sadah Bani Alawi, Saqaf bin Ali Al-Kaff, cet. Muthaba' Al-Mukhtar Al-Islami, hal.17). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Senin, 06 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG LARANGAN DALAM MEMBANGUN KUBURAN DAN MEMPERCAYAI KARAMAH YANG MENYALAHI SUNNAH





Syahdan, dalam sebuah kitab Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur karya seorang ulama Yaman yaitu Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menjelaskan tentang larangan membangun kuburan secara berlebihan dan bahaya menceritakan karamah orang yang telah meninggal dan mengagungkannya sehingga bisa jatuh pada perbuatan syirik.

Imam Asy-Syaukani adalah ulama Sunni Yaman terkemuka (1759–1834 M) yang berprofesi sebagai hakim, teolog, dan ahli hukum, serta pendukung paham salafy yang menyerukan penafsiran tekstual Al-Qur'an dan Hadis serta menentang taklid mazhab. Beliau lahir di Desa Syaukan, Yaman, dan wafat di Sana'a, menjabat sebagai qadhi (hakim) besar Yaman hingga akhir hayatnya pada usia 76 tahun. Karyanya yang terkenal meliputi tafsir Fath Al-Qadir dan kitab Nail Al-Authar, yang menjadi rujukan umat Islam sampai sekarang. Adapun dalam kitab 

Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur beliau menjelaskan manusia yang pertama kali mengagungkan kuburan sebagai berikut,

وَكَانَ أَوَّلُ ذَلِكَ فِي قَوْمِ نُوحٍ، قَالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: ﴿وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾ كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ مِنْ بَنِي آدَمَ، وَكَانَ لَهُمْ أَتْبَاعٌ يَقْتَدُونَ بِهِمْ، فَلَمَّا مَاتُوا قَالَ أَصْحَابُهُمْ الَّذِينَ كَانُوا يَقْتَدُونَ بِهِمْ: لَوْ صَوَّرْنَا صُوَرَهُمْ كَانَ أَشْوَقَ لَنَا إِلَى الْعِبَادَةِ إِذَا ذَكَرْنَاهُمْ، فَصَوَّرُوهُمْ، فَلَمَّا مَاتُوا، وَجَاءَ آخَرُونَ دَبَّ إِلَيْهِمْ إِبْلِيسُ، فَقَالَ: إِنَّما كَانُوا يَعْبُدُونَهُمْ،  

وَبِهِمْ يَسْتَسْقُونَ الْمَطَرَ فَعَبَدُوهُمْ، ثُمَّ عَبَدَهُمُ الْعَرَبُ بَعْدَ ذَلِكَ.  

وَقَدْ حَكَى مَعْنَى هَذَا فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَقَالَ قَوْمٌ مِنَ السَّلَفِ: «إِنَّ هَؤُلَاءِ كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا مَاتُوا عَكُفُوا عَلَى قُبُورِهِمْ، ثُمَّ صَوَّرُوا تَمَاثِيلَهُمْ، ثُمَّ طَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَعَبَدُوهُمْ».  

وَيُرِيدُ هَذَا مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ذَكَرَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ كَنِيسَةً رَأَتْهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ، وَذَكَرَتْ لَهُ مَا رَأَتْ فِيهَا مِنَ الصُّوَرِ،  فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:  «إِنَّ أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِمْ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ».  

"Hal ini pertama kali terjadi pada kaum Nabi Nuh. Allah Subhanahu berfirman: "Dan mereka berkata, 'Jangan sekali-kali kamu meninggalkan sesembahan-sesembahanmu, jangan pula kamu meninggalkan Wadd, Suwâ`, Yaghuts, Ya'uq dan Nasr.'" (QS. Nuh: 23)

Mereka adalah kaum yang shaleh dari keturunan Adam, dan mereka memiliki pengikut yang mengikuti jejak mereka. Ketika mereka meninggal, para pengikut mereka yang mengikuti jejak mereka berkata, "Seandainya kita membuat patung-patung mereka, tentu akan lebih membuat kita bersemangat untuk beribadah ketika kita mengingat mereka." Lalu mereka membuat patung-patung tersebut. Ketika mereka meninggal, dan datang generasi lain, setan membisikkan kepada mereka, "Sesungguhnya mereka dahulu menyembah patung-patung itu. Dan dengan perantaraan mereka, hujan diturunkan. Maka mereka pun menyembah patung-patung itu. Kemudian orang-orang Arab juga menyembah patung-patung itu setelah itu.

Makna ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dalam Shahih Bukhari. Sebagian ulama salaf berkata, "Sesungguhnya mereka adalah kaum yang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal, orang-orang yang mengikuti mereka berdiam diri di kuburan mereka, lalu mereka membuat patung-patung mereka, dan setelah waktu yang lama berlalu, mereka menyembah patung-patung itu."

Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta kitab lainnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Ummu Salamah radhiyallahu 'anha menyebutkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sebuah gereja yang dilihatnya di negeri Habasyah, dan dia menyebutkan apa yang dilihatnya berupa gambar-gambar di dalamnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang apabila ada hamba yang saleh atau orang yang shaleh di antara mereka meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan membuat gambar-gambar mereka di dalamnya. Mereka itulah makhluk yang paling buruk di sisi Allah." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Imam Ahmad bin Ali Asy-Syaukani, cet. Pertama 1432 H./2011 M, hal.22-23)

رَسُولُ اللهِ ﷺ: «أَنْ لَا أَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ».  

وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ أَيْضًا عَنْ أَبِي الهَيَّاجِ بْنِ جِمَاحٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ نَحْوُ ذَلِكَ.  

وَفِي هَذَا أَعْظَمُ دَلَالَةٍ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ كُلِّ قَبْرٍ مُشْرِفٍ وَاجِبَةٌ لِأَنَّهُ يَرْتَفِعُ زِيَادَةً عَلَى الْقَدْرِ الْمَشْرُوعِ وَاجِبَةٌ مُحَرَّمَةٌ، فَمَنْ إِشْرَافِ الْقُبُورِ: أَنْ يُرْفَعَ سَمْكُهَا، أَوْ يُجْعَلَ عَلَيْهَا الْقِبَابُ أَوِ الْمَسَاجِدُ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ بِلَا شَكٍّ وَلَا مِرْيَةٍ، وَهَذَا فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَيْهِ، ثُمَّ إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بَعَثَ خَدَمَهُ أَبَا الْهَيَّاجِ الأَسَدِيَّ فِي أَيَّامِ خِلَافَتِهِ.  

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Aku tidak membiarkan ada patung kecuali aku akan menghancurkannya, dan tidak ada kubur yang ditinggikan kecuali aku akan meratakannya." Dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari Abu Al-Hayyaj bin Jumah dari Ali radhiyallahu 'anhu, yang serupa dengan itu.

Dalam hal ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa meratakan setiap kubur yang ditinggikan adalah wajib, karena meninggikannya melebihi batas yang disyariatkan adalah haram. Termasuk meninggikan kubur adalah dengan meninggikan bangunan di atasnya, atau membuat kubah atau masjid di atasnya, karena hal ini termasuk perbuatan yang dilarang tanpa keraguan sedikit pun. Maka hal (membangun kuburan) inilah sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan Amirul Mukminin Ali radhiyallahu 'anhu untuk menghancurkannya dan Amirul Mukminin memerintahkan pembantunya Abu Al-Hayyaj Al-Asadi untuk menghancurkannya di masa kekhalifahannya." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Imam Ahmad bin Ali Asy-Syaukani, cet. Pertama 1432 H./2011 M, hal.27)

وَقَدْ يَجْعَلُ الشَّيْطَانُ طَائِفَةً مِنْ إِخْوَانِهِ مِنْ بَنِي آدَمَ يَقِفُونَ عَلَى ذَلِكَ الْقَبْرِ، يُخَاطِبُونَ مَنْ يَأْتِي إِلَيْهِ مِنَ الزَّائِرِينَ، يَقُولُونَ عَلَيْهِمُ الْأَمْرَ، وَيَصْنَعُونَ أُمُورًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ، وَيَنْسِبُونَهَا إِلَى الْمَيِّتِ عَلَى وَجْهِ لَا يُفْطَنُ لَهُ مَنْ كَانَ مِنَ الْمُغَفَّلِينَ، وَقَدْ يَصْنَعُونَ أَكَاذِيبَ مُشْتَمِلَةً عَلَى أَشْيَاءَ يَسْمُّونَهَا كَرَامَاتٍ لِذَلِكَ الْمَيِّتِ، وَيَشِيعُونَهَا فِي النَّاسِ، وَيُكَرِّرُونَ ذِكْرَهَا فِي مَجَالِسِهِمْ، وَعِنْدَ اجْتِمَاعِهِمْ بِنَاسٍ، فَتَشِيعُ وَتُسْتَفْحَضُ، وَيَتَلَقَّاهَا مَنْ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِالْأَمْوَاتِ، وَيَقْبَلُ عَقْلُهُ مَا يُرْوَى عَنْهُمْ مِنَ الْأَكَاذِيبِ، فَيَرِيهَا كَمَا سَمِعَهَا، وَيَتَحَدَّثُ بِهَا فِي مَجَالِسِهِ، فَيَقَعُ الْجُهَّالُ فِي بَلِيَّةٍ عَظِيمَةٍ مِنَ الِاعْتِقَادِ الشِّرْكِيِّ، وَيَنْذُرُونَ عَلَى ذَلِكَ الْمَيِّتِ بِكَرَائِمِ أَمْوَالِهِمْ، وَيُخْصِرُونَ عَلَى قَبْرِهِ مِنْ أَمْلَاكِهِمْ مَا هُوَ أَحَبُّ إِلَى قُلُوبِهِمْ، عَلَى اعْتِقَادِهِمْ أَنَّهُمْ يَنَالُونَ بِسَبَبِ ذَلِكَ الْمَيِّتِ خَيْرًا عَظِيمًا وَأَجْرًا كَبِيرًا، وَيَعْتَقِدُونَ أَنَّ ذَلِكَ قُرْبَةٌ عَظِيمَةٌ، وَطَاعَةٌ نَافِعَةٌ، وَحَسَنَةٌ مُتَقَبَّلَةٌ، فَيَحْصُلُ بِذَلِكَ مَقْصُودُ أُولَئِكَ الَّذِينَ جَعَلَهُمُ الشَّيْطَانُ مِنْ إِخْوَانِهِ مِنْ بَنِي آدَمَ عَلَى ذَلِكَ الْقَبْرِ.  

Dan setan terkadang menjadikan sebagian manusia menjadi pengikutnya yang berdiri di kubur tersebut, berbicara kepada orang-orang yang datang menziarahinya, memerintahkan mereka melakukan sesuatu, dan mengada-adakan perkara yang dinisbatkan kepada mayit dengan cara yang tidak dipahami oleh orang-orang yang lalai. Mereka juga membuat kedustaan yang mengandung perkara-perkara yang mereka sebut sebagai karamah mayit tersebut, dan mereka sebarkan di tengah manusia, serta mengulang-ulang ceritanya dalam majelis-majelis mereka. Maka berita itu pun tersebar luas dan menjadi terkenal, dan orang-orang yang berprasangka baik kepada mayit akan menerima dan mempercayai kedustaan yang diriwayatkan tentang mereka, lalu dia menceritakannya dalam majelis-majelisnya. Maka terjadilah bencana besar berupa keyakinan syirik pada orang-orang yang bodoh, dan mereka bernazar dengan harta mereka yang berharga, serta mengkhususkan sebagian harta mereka yang paling dicintai untuk kubur tersebut, dengan keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan besar dan pahala besar dengan perantaraan mayit tersebut. Mereka meyakini bahwa hal itu adalah ibadah yang besar, ketaatan yang bermanfaat, dan amal baik yang diterima. Maka dengan itu, tujuan orang-orang yang dijadikan pengikut setan dari anak Adam di kubur tersebut tercapai." (Syarh Ash-Shudur bi Tahrim Raf'i Al-Qubur, Imam Ahmad bin Ali Asy-Syaukani, cet. Pertama 1432 H./2011 M, hal.24-25). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

KAJIAN TENTANG SEJARAH PAHAM PEMUJA KUBURAN DI NEGERI YAMAN




Dalam sejarah awal mula munculnya paham pemuja kuburan di Yaman terdapat penjelasan dalam kitab Al-Quburiyyah fi Al-Yaman karya Ahmad bin Hasan Al-Mu'allim. Siapakah Ahmad bin Hasan Al-Mu'allim tersebut? 

Dia adalah Ahmad bin Hasan bin Saudan Al-Mu’allim, dilahirkan di Hadhramaut (Yaman) pada tahun 1373 H.

Dia menimba ilmu di TPQ-TPQ desanya. Dia menyelesaikan sekolah dasar di Kerajaan Arab Saudi, dan belajar Tsanawiyyah di Darul hadits Al-Khairiyyah di Madinah Munawwarah. Belajar Kulliyatul Hadits di Jami’ah Islamiyyah Madinah lalu menyempurnakannya di Yaman. Dia mendapatkan ijazah Magister di Jami’ah Wathaniyyah dalam risalahnya yang berjudul “Al-Quburiyyah Fil Yaman: Nasy’atuha, Atsaruha, Mauqiful ‘Ulama Minha.” 

Dalam kitab karyanya dia menyebutkan,

المبحث الرابع

نشأة الصوفية ودورها في نشر القبور في اليمن 

وهي ثلاثة مطالب: 

المطلب الأول: نشأة الصوفية في اليمن:

سبق تعريف الصوفية والتفريق بين الزه الذي دعا إليه الإسلام، وبين التصوف المنحرف والإضاح بأن كلامنا انما هو منصب على التصوف الفلسفي المنحرف، سواء شعر المتصوفة القائمون به بأصل ذالك التصوف وعرفوا مصادره أم أخذوه تقليدا وثقة بمن قبلهم, بالانحراف هو الانحرافات ان انى على يد خبيث ماكر او يد صالح مغفل, واما الاشخاص انفسهم وما هي مقاصدهم ونوايهم فذلك سيئ مرده الى الله تبارك وتعالى ولييالينا, اذا عرفنا هذا التذكير حق لنا ان نشرع فى صدر مبدأ هذا التصوف المنحرف والنشأته.

*رواد التصوف في اليمن:* 

لعل حضرموت كانت هي الرائدة في جلب وإستراد التصوف، فقد ذكر مؤرخ حضرموت أن أول من عرف بالتصوف فيها هو "عبدالله بن أحمد المهاجر إلى الله" حيث الذكر الشاطري فى ادوار التاريخ الحضرامى, ان من شيوخه أبا طالب، المكى فقد تلقى عنه علم التصوف, وقرأ عليه فوت القلوب ذالك الكتاب الشهير فى فن التصوف وذالك لما حج السنة (٣٧٧ ه) غير ان هذا الرجل لم يكن له أثر يذكر فى نشر التصوف فى حضرموت, كما سيأت عند حديثا عن الفقيه المقدم, وهذا كما نرى من رجال القرن الرابع. 

وفى القرن الخامس : يطالعنا علم الصوفي سود بن الكميت المتوفى (٤٣٦ ه) حيث ترجمه السىجي طبقات الخواص وذكر قصة تحوله الى التصوف,   وأنه كان له أصحاب ومريدون، وأنه كان يجلس معهم في المسجد، و يأكل وينام معهم فيه، وهو  اشهر من عرف بالتصوف او من اشهرهم فى هذا القرن."  

*Bab Keempat*

Munculnya Tasawuf dan Perannya dalam Penyebaran Pemujaan Kubur di Yaman

Dan ini terdiri dari tiga poin:

Poin Pertama: Munculnya Tasawuf di Yaman

Sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi tasawuf dan perbedaan antara zuhud yang diajarkan oleh Islam dan tasawuf yang menyimpang. Juga telah dijelaskan bahwa pembahasan kita hanya fokus pada tasawuf yang berorientasi pada filsafat dan telah menyimpang. Baik mereka yang berpegang pada tasawuf ini menyadari asal-usulnya dan mengenal sumber-sumbernya, atau mereka yang mengambilnya secara taqlid dan percaya pada orang-orang sebelumnya tanpa memahami hakikatnya.

*Perintis Tasawuf di Yaman*

Mungkin Hadramaut adalah daerah yang pertama kali memperkenalkan dan mengimpor tasawuf. Sejarawan Hadramaut menyebutkan bahwa orang pertama yang dikenal sebagai sufi di sana adalah Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad Al-Muhajir Ilallah. Asy-Syathiri menyebutkan dalam kitab "Adwar At-Tarikh Al-Hadrami" bahwa salah satu guru Abdullah adalah Abu Thalib Al-Makki. Abdullah belajar tasawuf darinya dan membaca kitab "Faut Al-Qulub", sebuah kitab terkenal tentang tasawuf, ketika dia menunaikan ibadah haji pada tahun 377 H.

Namun, Abdullah bin Ahmad tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyebaran tasawuf di Hadramaut, seperti yang akan dijelaskan nanti ketika membahas tentang Al-Faqih Al-Muqaddam. Ini adalah salah satu tokoh yang hidup pada abad ke-4 Hijriyah.

Pada abad ke-5 Hijriyah, muncul seorang tokoh sufi bernama Saud bin Al-Kumait yang wafat pada tahun 436 H. As-Sijji menyebutkan dalam kitab "Tabaqat Al-Khawas" dan menceritakan kisah perubahannya menjadi sufi. Dia memiliki murid-murid dan pengikut, serta sering duduk bersama mereka di masjid, makan dan tidur di sana. Dia adalah salah satu tokoh yang paling terkenal dengan tasawuf atau salah satu dari yang paling terkenal dalam kurun waktu ini." (Al-Quburiyyah fi Al-Yaman, Ahmad bin Hasan Al-Mu'allim, hal.196)

القرن مع وجود آخرين أشار اليهم السيد عبدالله الحبشي ولم يبين أسماؤهم وذكر أنهم من المناكق المحاذية لتهامة من المدينة تعز.

وفى القرن السادس: اشتهر الصوفي أحمد بن أبي الخير الصياد المتوفى سنة (٥٧٩ هـ) وقد كان رجلاً عادياً من عوام مدينة زبيد، وعلى أثر الرؤيا رأها تحول الى التصوف, وصحب الشيخ إبراهيم الفشلي الاتي ذكره في القرن السابع, قال الشرجي بعد ذكر الرؤيا: (ومنذ ذلك الوقت أخذ بترقي في درجات التصوف).  

قلت: ثم اشتهر أمره، وتجمع حوله المريدون، وسجلت له الكرامات، ونقلت عنه أقوال ذات قيمة عند أهل التصوف. والملاحظة أنه في هذا القرن بدأت تتكون جماعات التصوف، ويلتف المريدون حول شيخهم، لا لطالب العلم ولكن لأخذ الفيوضات والبركات، وسلوك ذلك الطريق المبتدع, وليس هذا خاصا بالصياد وحده بل قبله كان لشيخه إبراهيم الفشلي, الذي سيأت الحديث عنه فى القرن السابع.

القرن السابع: هذا القرن هو فى الحقيقة قرن فى التصوف ففيه نبتت وترعرعت البذور التي بذرت فى القرون الماضية وشخد تحولات كيبرة منها :

١. دخول مدرسة ابن عربي - مدرسة وحدة الوجود الى اليمن وكان ذالك على يد رجل غامض مشبوه يقال له "المقدسي" لا يعرف اسمه الحقيقي ولا شيئ من ترجمته, وذلك لشدة حنق الفقهاء وأهل العلم عليه وهجره, بل ومحاولة قتله فى قصة طويلة عجيبة تدخل على إشرها السلطان وزجر الفقهاء وتوعدهم اشد الوعيد انهم تعرضوا له ولاصخابه, ولكن هذا الرجل لم يمت الا وقد غرس تلك النبتة الخبيثة فى اليمن, وقد قرر العلامة الاهدل انه اول من قدم بكتب ابن عربي الى اليمن. 

"(Pada abad ke-5 Hijriyah), terdapat beberapa tokoh sufi lainnya yang disebutkan oleh Sayyid Abdullah Al-Habsyi, meskipun beliau tidak menyebutkan nama-nama mereka secara jelas. Beliau menyebutkan bahwa mereka berasal dari daerah Munakan yang berdekatan dengan Tihamah, dari kota Madinah hingga Ta'iz.

Pada abad ke-6 Hijriyah, seorang sufi terkenal bernama Ahmad bin Abi Al-Khair Ash-Shayyad wafat pada tahun 579 H. Beliau adalah seorang laki-laki biasa dari kalangan penduduk kota Zabid. Setelah melihat sebuah mimpi, beliau beralih ke tasawuf dan menjadi murid Syaikh Ibrahim Al-Fasyili, yang akan disebutkan kemudian pada abad ke-7 Hijriyah.

Setelah itu, beliau menjadi terkenal dan banyak orang yang menjadi pengikutnya. Banyak karamah yang dikaitkan dengannya, dan perkataannya yang bernilai tinggi dikutip oleh para sufi.

Perlu diperhatikan bahwa pada abad ini, mulai terbentuk kelompok-kelompok sufi yang terdiri dari para pengikut yang berkumpul di sekitar seorang syaikh, bukan untuk menuntut ilmu, tetapi untuk mendapatkan limpahan spiritual dan berkah, serta menjalani jalan yang bid'ah ini. Hal ini tidak hanya terjadi pada diri Ash-Shayyad saja, tetapi juga pada gurunya, Ibrahim Al-Fasyili, yang akan dibahas pada abad ke-7 Hijriyah.

Abad ke-7 Hijriyah merupakan abad yang sangat penting dalam sejarah tasawuf. Pada abad ini, benih-benih yang telah ditanam pada abad-abad sebelumnya mulai tumbuh dan berkembang dengan pesat. Beberapa perubahan besar terjadi pada abad ini, di antaranya:

1. Masuknya ajaran Ibnu Arabi, khususnya konsep Wahdah Al-Wujud, ke dalam Yaman. Hal ini terjadi melalui seorang laki-laki misterius yang bernama Al-Muqaddasi, yang tidak diketahui nama aslinya dan tidak ada informasi tentang biografinya. Hal ini disebabkan oleh kemarahan para ulama dan ahli ilmu terhadapnya, serta usaha untuk mengusir dan bahkan membunuhnya. Namun, laki-laki ini berhasil menanamkan ajaran sesat tersebut di Yaman sebelum dia meninggal.

Ulama besar Al-Ahdal menyatakan bahwa Al-Muqaddasi adalah orang pertama yang membawa kitab-kitab Ibn Arabi ke Yaman." (Al-Quburiyyah fi Al-Yaman, Ahmad bin Hasan Al-Mu'allim, hal.197)

كما ظهر هذا القول على ذالك فى هذا القرن لدى ابى الغيث بن جميل الملقب شمس الشموس المتوفى سنة (٦٥١ ه) وألف فى ذالك كتابا, ولدى معاصره احمد بن علوان وله فى ذالك عدة كتب منها :

الغريب و الفتوح المسونة والاسرار المخزونة والتوحيد الاعظم. 

وفد ذكر مترجمو الرجلين ان لهما مكاتبة تشهد بمدى ما وصل اليه من التبجح والدعوى التي عرف بها اهل تلك النحلة, قال الشرحبي فى ترجمة ابى الغيث : وكتب اليه الشيخ احمد المذكور ابن علوان مرة من بلده كتابا يقول فيه. أما بعد. فأني اخبرك أني : جزت الصفوف الى الحروف الى الهجاحتى انتهيت مراتب الابداع لا باسم ليلي استعين عل  السى كلا ولا لبنى نقل شراعى.

فأجابه الشيخ ابو الغيث بكتاب يقول فيه :  من الفقير الى الله تعالى ابى الغيث بن جميل غذي نعمة الله تعالى فى محل الحضرة, أما بعد فإني اخبرك أني: 

(٣). تجلى لي العلم القديم بإسمه فاستقت الاسماء من اسمائي. وخباني الملك المهيمن وارتضى فالارض ارضي والسماء سمائي 

قال الحبشي: وبهذين الرجلين ابى الغيث وابن علوان قامت مد رسة الفلسفة الصوفية فى اليمن, الا ان قربهما المباشر من عصر ابن عربي لم يجعلهما مستفيدان فى كتاباته الخاصة, وان كان ذالك من خلال المشرب الذوقي الذي عرفت به تعاليم هذه المدرسة, وهم ينهلون جميعا من الاتحاه الذي سار عليه أسلافهم من دعواهم فى الحب والقرب وغيره من إشارات الصوفية. 

٢. فى هذا القرن دخلت الطرق الصوفية من الخارج, ونشأت الطرق الصوفية المحلية, واليك لمحة عن أهم الطرق الصوفية التي عرفتها اليمن فى هذا القرن فى المطلب التالي:

"Ajaran ini juga muncul pada abad ini melalui Abu Al-Ghaits bin Jamil, yang dijuluki Syams Syumus, yang wafat pada tahun 651 H. Beliau menulis sebuah kitab tentang hal ini. Selain itu, ajaran ini juga muncul pada masa hidup Ahmad bin Alwan, seorang tokoh sezaman dengan Abu Al-Ghaits. Ahmad bin Alwan memiliki beberapa kitab tentang hal ini, seperti "Al-Gharib", "Al-Futuhat Al-Masunah", "Al-Asrar Al-Makhzunah", dan "At-Tauhid Al-A'zham".

Para penulis biografi kedua tokoh ini menyebutkan bahwa mereka saling berkirim surat yang menunjukkan sejauh mana mereka berdua memiliki keberanian dan pengakuan yang menjadi ciri khas aliran mereka.

Al-Sharhabi menyebutkan dalam biografi Abu Al-Ghaits bahwa Syaikh Ahmad bin Alwan pernah menulis surat kepadanya dari kampung halamannya, yang berisi: "Sesudah itu, saya beritahukan kepadamu bahwa saya telah melewati barisan huruf hijaiyah hingga mencapai tingkatan penciptaan. Saya tidak memerlukan nama-nama malam untuk meminta pertolongan, dan tidak pula sandaran pada dalil-dalil yang dapat membawa saya kepada tujuan."

Abu Al-Ghaits menjawab surat tersebut dengan mengatakan: "Dari orang yang fakir kepada Allah Ta'ala, Abu Al-Ghaits bin Jamil, yang diberi nikmat oleh Allah di tempat kehadiran-Nya. Sesudah itu, saya beritahukan kepadamu bahwa ilmu yang qadim telah menampakkan diri kepadaku dengan nama-Nya, sehingga saya dapat mengambil nama-nama dari nama-nama saya sendiri. Raja Yang Maha Menguasai telah merahasiakan diri-Nya dan ridha dengan saya, sehingga bumi menjadi bumiku dan langit menjadi langitku."

Al-Habsyi berkata: "Dengan kedua tokoh ini, Abu Al-Ghaits dan Ibnu Alwan, berdiri kokoh aliran tasawuf filsafat di Yaman. Meskipun mereka hidup pada zaman yang dekat dengan Ibnu Arabi, mereka tidak banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan khusus Ibnu Arabi, meskipun mereka memiliki kedekatan dengan corak pemikiran yang sama dengan aliran ini. Mereka semua mengambil dari sumber yang sama yang telah dilalui oleh pendahulu mereka, yaitu pengakuan mereka tentang cinta, kedekatan, dan isyarat-isyarat sufi lainnya."

Pada abad ini, tarekat-tarekat sufi dari luar mulai masuk ke Yaman, dan tarekat-tarekat sufi lokal mulai muncul. Berikut adalah sekilas tentang tarekat-tarekat sufi yang paling penting di Yaman pada abad ini, yang akan dibahas pada poin berikutnya" ( Al-Quburiyyah fi Al-Yaman, Ahmad bin Hasan Al-Mu'allim, hal.198). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*

Sabtu, 04 Oktober 2025

KAJIAN TENTANG MEWASPADAI AJARAN YAHUDI BERKEDOK ISLAMI




Dalam kitab Kasyf Asrar Al-Bathinyah karya ulama Yaman yaitu Muhammad bin Malik bin Abi Al-Fadhail Al-Hamadi Al-Yamani pada halaman 27-29 menjelaskan tentang dua tokoh syiah Ismailiyah yang membawa ajaran islam tetapi sebenarnya mereka sangat membenci islam.

Pertama; Abdullah bin Maimun Al-Qaddah (270 H.) adalah seorang tokoh penting dalam sejarah mazhab Syiah Ismailiyah, dikenal sebagai salah satu arsitek utama dan pengembang ajaran Batiniyah di bawah pengaruh ayahnya, Maimun Al-Qaddah. Ia juga dikaitkan dengan pendirian Dinasti Fatimiyah, sebuah kekhalifahan Syiah. Gelarnya Al-Qaddah merujuk pada penggunaan celak olehnya. Dengan tipu dayanya, dia (Abdullah bin Maimun Al-Qaddah) merusak hati orang-orang bodoh dan memperindah kekufuran dan kesesatan bagi mereka.

Abdullah bin Maimun Al-Qaddah sebenarnya berakidah (beragama) Yahudi dan menampakkan keislamannya. Dia adalah seorang Yahudi dari keturunan Asy-Syal'ala' dari sebuah kota di Syam. Dia tidak melihat cara untuk mempengaruhi orang-orang kecuali dengan mengajak mereka kepada ajaran ahlul bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena itu adalah cara yang paling halus untuk menarik mereka keluar dari Islam. Dia adalah seorang rabbi Yahudi dan ahli filsafat dan mengetahui berbagai aliran pemikiran.

Kedua; Ḥamdan Qarmaṭ bin Al-Asyʿats (874–899 H.) Dinamakan Qarmat karena memiliki kaki yang pendek. Dia adalah pendiri sekte syi'ah Isma'iliyah Qaramithah. Awalnya adalah kepala misionaris (da'i) Isma'ili di Irak hilir, pada tahun 899 ia berselisih dengan pimpinan gerakan di Salamiyah setelah diambil alih oleh Sa'id bin Al-Husain (calon Khalifah Fathimiyah pertama).

Mereka berdua mengajarkan kesesatan mengatasnamakan ajaran islam, sebagaimana dalam penjelasan kitab berikut,

المقالة في أصل هذه الدعوة الملعونة ومبدئها 

وقد رأيت أيها الناس وفقنا الله وإياكم للصواب، وجنبنا وإياكم طرق الكفر والارتِيَاب – أن أذكر أجيال هذه الدعوة الملعونة؛ لئلا يميل إلى مذهبهم مائل، ولا يصبو إلى مقالتهم لبيب عاقل، ويكون في هذا القدر من الكلام في هذا الكتاب إنذارًا لمن نظره، وإعذارًا لمن وقف عليه واعتبره.  

باب 

إعلموا يا إخواني في الإسلام أن لكل شيء من أسباب الخير والشر والنفع والضر والداء والدواء أصولًا، وفروعًا، وأصل هذه الدعوة الملعونة التي استهوَت بها الشيطان أهل الكفر والشقوة ظهور عبد الله بن ميمون القداح في الكوفة، وما كان له من الأخبار المعروفة والمنكرات المشهورة الموصوفة، ودخوله في طرق الفلسفة واستعماله الكتب المزخرفة وتمشيته إيّاها على الطغام، ومكيدته لأهل الإسلام.  

وكان ظهوره في سنة سبعين ومائتين من التاريخ للهجرة النبوية، فقصَد المسلمين الجهال وبنى لهم القواعد، وليس الدين بالباطل.  

*Risalah tentang Asal-usul Dakwah yang Terlaknat dan Awal Mula Kemunculannya*

Wahai manusia, semoga Allah membimbing kita semua menuju jalan yang benar dan menjauhkan kita dari jalan kekufuran dan keraguan. Saya bermaksud untuk menyebutkan generasi-generasi dakwah yang terlaknat ini agar tidak ada orang yang terpedaya oleh ajaran sesat mereka dan agar orang-orang yang berakal sehat tidak terpengaruh oleh ucapan mereka. Dengan demikian, penjelasan ini dapat menjadi peringatan bagi yang memikirkannya dan hujjah bagi yang memperhatikannya.

Bab

Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku se-Islam, bahwa setiap sesuatu yang baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya, penyakit atau obat, memiliki asal-usul dan cabang-cabang. Asal-usul dakwah yang terlaknat ini, yang telah menyesatkan setan dan orang-orang kafir, adalah munculnya Abdullah bin Maimun Al-Qaddah di Kufah. Dia memiliki riwayat yang terkenal dan perbuatan munkar yang sangat tercela. Dia mendalami filsafat dan menggunakan kitab-kitab yang penuh tipu daya, serta menyebarkannya di kalangan orang-orang bodoh. Dia juga berusaha menipu umat Islam.

Abdullah bin Maimun Al-Qaddah muncul pada tahun 270 H (Hijriyah), dan dia berusaha menipu kaum Muslimin yang bodoh dengan membangun fondasi-fondasi kesesatan, padahal agama tidaklah dibangun di atas kebatilan." (Kasyf Asrar Al-Bathinyah, Muhammad bin Malik bin Abi Al-Fadhail Al-Hamadi Al-Yamani, cet. Al-Maktabah Al-Azhariyah li At-Turats, hal.27)

﴿وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ﴾ [فاطر: ١٠] 

وجعل لكل آية من كتاب الله تفسيرًا، ولكل حديث عن رسول الله ﷺ تأويلًا، وزخرف الأقوال، وضرب الأمثال، وجعل لأيّ القرآن شكلا يوازيه ومثلا يضاهيه، وكان الملعون عارفًا بالنجوم معطّلًا لجميع العلوم، ﴿يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ﴾ [الصف: ٨].  

فجعل أصل دعوته التي دعاها، وأساس نحلته التي بناها الدعاء إلى الله وإلى رسوله، ويحتجّ بكتاب الله ومعرفة مثله وممثوله، والاختصاص لعلي بن أبي طالب رضي الله عنه – بالتقديم والإمامة، والطعن على جميع الصحابة بالنسب والأذى.  

وقد رُوي عن رسول الله ﷺ أنّه قال: «لَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي». وقال عليه السلام: «أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُم». وقال ﷺ: «مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَقَدْ سَبَّنِي، وَمَنْ سَبَّنِي فَقَدْ سب اللَّهَ, ومن سب الله فقد كبه الله على وجهه فى النار. فأفسد بتمويهه قلوب الجهال وزين لهم الكفر والضلال, وله شرح يطول فيه الخطاب غير أني اختصر, وفيما اشرحه كفاية واعتبار لاولى الالباب والابصار وكان هذا الملعون يعتقده اليهودية ويظهر الاسلام, وهو من اليهودى من ولد الشلعلع من مدينة بالشام

"Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. Ali Imran: 54 atau QS. Al-Anfal: 30, atau yang lebih tepat QS. Fathir: 10 tidak tepat juga, karena kata yang digunakan adalah الْمَاكِرِينَ bukan seperti itu di QS Fathir: 10)

Dia (Abdullah bin Maimun Al-Qaddah) memberikan tafsiran terhadap setiap ayat Al-Qur'an dan memberikan penafsiran terhadap setiap hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia memperindah kata-kata dan memberikan perumpamaan, serta memberikan bentuk dan contoh yang serupa dengan Al-Qur'an. Meskipun dia mengaku mengenal ilmu bintang, namun dia tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang lain.

Mereka (orang-orang kafir) ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. (QS. Ash-Shaff: 8)

Dia menjadikan dasar dakwahnya yang dia serukan dan asas agama yang dia bangun adalah seruan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia berhujjah dengan kitab Allah dan pengetahuan tentang perumpamaan dan semisalnya. Dia juga mengkhususkan Ali bin Abi Thalib dengan keutamaan dan kepemimpinan, serta mencela semua sahabat dengan celaan yang buruk.

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: "Allah melaknat orang yang mencaci maki sahabatku." Beliau juga bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang, siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti, kamu akan mendapatkan petunjuk." Beliau juga bersabda: "Barang siapa mencaci maki sahabatku, maka dia telah mencaci maki aku. Barang siapa mencaci maki aku, maka dia telah mencaci maki Allah. Dan barang siapa mencaci maki Allah, maka Allah akan lemparkan dia ke dalam neraka dengan wajahnya."

Dengan tipu dayanya, dia (Abdullah bin Maimun Al-Qaddah) merusak hati orang-orang bodoh dan memperindah kekufuran dan kesesatan bagi mereka.

Dia memiliki penjelasan yang panjang tentang hal ini, tetapi saya akan mempersingkatnya. Apa yang saya jelaskan sudah cukup dan menjadi peringatan bagi orang-orang yang berakal dan memiliki pandangan.

Orang yang terlaknat ini (Abdullah bin Maimun Al-Qaddah) sebenarnya berakidah (beragama) Yahudi dan menampakkan keislamannya. Dia adalah seorang Yahudi dari keturunan Asy-Syal'ala' dari sebuah kota di Syam." (Kasyf Asrar Al-Bathinyah, Muhammad bin Malik bin Abi Al-Fadhail Al-Hamadi Al-Yamani, cet. Al-Maktabah Al-Azhariyah li At-Turats, hal.28)

من مدينة بالشام يقال لها "سلمية"، وكان من أحبار اليهود وأهل الفلسفة الذين عرفوا جميع المذاهب، وكان صانعاً يخدم (شيعة) إسماعيل بن جعفر الصادق بن محمد الباقر بن علي زين العابدين بن الحسين بن علي بن أبي طالب – عليهم السلام – وكان حريصاً على هدم الشريعة المحمدية لما ركبه الله في اليهود من عداوة الإسلام وأهله، والبغضاء لرسول الله ﷺ، فلم ير وجها يدخل به على الناس حتى يردهم عن الإسلام الطف من دعوته إلى أهل بيت رسول الله ﷺ، وكان قد خرج في أيام "قرمط" البقار، وكان اسمه له لقبه، لأنه كان يقرمط في سيره إذا مشى، ولذلك نسب إلى أهل مذهبه ومذهب ابن ميمون إلى قرمط لأنهما اجتمعا وعملا ناموسا بدعوان إليه، وكان يعرفان النجوم وأحكام الأزمان فدلهما الوقت عند تأسيس ماعاملاه فخرج ميمون إلى الكوفة، وأقام بها مدة، وله أخبار يطول شرحها مما كان منه ومن "علي بن فضل" "والمنصور" صاحب المسور و ابى سعيد الجنابي وأنا أشرح ذلك عند انتهائي إليه إن شاء الله تعالى. وأما قرمط البقار فإنه خرج إلى بغداد فقتل هناك – لا رحمه الله.  

Dari kota di Syam yang bernama "Salamiyah". Dia adalah seorang rabbi Yahudi dan ahli filsafat dan mengetahui berbagai aliran pemikiran. Dia bekerja sebagai seorang pelayan bagi pengikut (Syiah) Ismail bin Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridhai mereka-. Dia sangat bersemangat untuk menghancurkan syariat Muhammad karena sifat permusuhan yang Allah tanamkan dalam diri orang-orang Yahudi terhadap Islam dan pemeluknya, serta kebencian mereka terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dia tidak melihat cara untuk mempengaruhi orang-orang kecuali dengan mengajak mereka kepada ajaran ahlul bait Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena itu adalah cara yang paling halus untuk menarik mereka keluar dari Islam. Dia muncul pada zaman Qarmat Al-Biqar, yang nama aslinya adalah Hamdan bin Al-Asy'ats, dan dijuluki Qarmat karena cara jalannya yang unik. Karena itu, pengikutnya dan pengikut Ibnu Maimun dinisbahkan kepadanya, karena mereka berdua bekerja sama dan membuat ajaran baru yang mengajak orang-orang kepada kesesatan.

Keduanya memiliki pengetahuan tentang ilmu bintang dan hukum-hukum zaman, sehingga mereka dapat menentukan waktu yang tepat untuk memulai aksi mereka. Ibnu Maimun pergi ke Kufah dan tinggal di sana untuk beberapa waktu, memiliki banyak cerita yang panjang tentang dirinya dan beberapa orang lainnya seperti Ali bin Fadl, Al-Mansur, dan Abu Sa'id Al-Jannabi. Saya akan menjelaskan hal ini lebih lanjut ketika tiba waktunya, insya Allah.

Adapun Qarmat Al-Biqar, dia pergi ke Baghdad dan terbunuh di sana -semoga Allah tidak merahmatinya." (Kasyf Asrar Al-Bathinyah, Muhammad bin Malik bin Abi Al-Fadhail Al-Hamadi Al-Yamani, cet. Al-Maktabah Al-Azhariyah li At-Turats, hal.29). Wallahu a'lam 

Demikian Asimun Mas'ud At-Tamanmini menyampaikan semoga bermanfaat. Aamiin 

*والله الموفق الى أقوم الطريق*